PANGGILANKU SEBAGAI REDEMPTORIS


Panggilan menjadi seorang imam bermula sejak masa kecil. Pengalaman menyaksikan imam yang mengangkat Tubuh dan darah Kristus saat doa Syukur Agung membuat saya tertarik untuk menjadi seorang imam. Ketika menjalani pendidikan di bangku SMP panggilan tersebut sempat hilang. Kala itu timbulkeinginan untuk menjadi seorang Polisi. Benih panggilan kembali muncul ketika saya menjalani pendidikan di bangku SMA. Pengalaman tiga tahun hidup bersama para imam, bruder dan frater Kongregasi Redemptoris (CSsR) di Asrama Pewarta Injil Pada Dita, Sumba Timur, NTT adalah pengalaman yang menentukan perjalanan panggilan saya. Gaya hidup para Redemptoris yang dekat dengan orang-orang kecil lewat kegiatan misi umat serta cara mereka mewartakan sabda Tuhan lewat kotbah-kotbah dalam bahasa yang sederhana tidak hanya disenangi oleh umat yang mereka layani, tetapi juga mengispirasi.  

Pengalaman inilah yang kemudian mendrong saya dan beberapa teman SMA untuk melamar menjadi calon imam Redemptoris. Cita-cita kami saat itu sangat sederhana yakni menjadi seorang Redemptoris dan kemudian kembali ke NTT untuk melayani orang-orang kecil di pedalaman Sumba dan Flores. Namun seperti kata Nabi Yesaya “ Sebab rancanganKu bukanlah rancanganmu dan jalanmu bukanlah jalanKU” (Yes 55:8), saya boleh bermimpi untuk kembali ke NTT, namun di atas semuanya itu, rencana Tuhanlah yang terjadi. Seiring berjalanannya waktu, saya menyadari bahwa menjadi seorang Redemptoris tidak lagi hanya soal bermisi di negara atau daerah sendiri tetapi juga harus siap menjadi misionaris dan diutus di mana Kongregasi dan Gereja membutuhkan. Kesadaran inilah yang kemudian memberanikan saya untuk menerima tugas perutusan menjalani studi lanjut di Australia.

Sampai saat ini, cita-cita saya menjadi seorang Redemptoris masih tetap sama: menjadi saluran berkat Tuhan bagi sesama. Jika ditanya, apa yang membuat saya tetap bersemangat menjalani panggilan dan menekuni dunia pewartaan? Jawabannya adalah doa. Secara pirbadi saya mengalami bahwa doa tidak hanya menjadi solusi bagi banyak persolan yang saya hadapi tetapi juga menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhand an juga semakin mengenalNya secara lebih mendalam. Doa menyadarkan saya bahwa cinta dan bimbingan Tuhan akan  senantiasa memampukan saya untuk mengatasi setiap persoalan yang dihadapi. Selain itu, keluarga, konfrater, para sahabat dan tentu saja umat Allah menjadi pendorong dan motivator untuk senantiasa mencitai panggilan ini.


Sebagai seorang Redemptoris, saya sangat bersyukur karena boleh mengalami berkat Tuhan yang hadir lewat keluarga, sahabat dan konfrater. Meski demikian, tidak sedikit juga tantangan yang menyertainya. Menjadi seorang calon imam dan pewarta, saya diharuskan untuk tidak hanya mengenal dan mengetahui sabda Tuhan, tetapi  lebih dari itu saya juga dituntut untuk menghayati dan menghidupi sabda itu sendiri lewat tutur kata dan perbuatan. Terkadang saya seperti kaum Farisi yang dikiritk oleh Yesus, yang hanya tahu menyuarakan hukum taurat tanpa disertai penghayatan. Pewartaan yang tidak dihidupi dan dihayati adalah pewartaan yang tidak berbobot. Pewartaan yang seperti ini tidak hanya membebani orang lain tetapi juga diri kita sendiri.


Pewarataan yang berbobot tidak hanya nampak lewat kata-kata yan teruntai indah tetapi juga mengejawantah dalam praksis hidup sehari-hari. Pewartaan yang dihidupi jauh lebih mengispirasi daripada kata-kata indah tanpa makna. Para Rasul adalah contoh pribadi-rpibadi yang menghidupi Sabda Tuhan. Mereka adalah sosok-sosk yang mewartakan Sabda Yesus berdasarkan pengalaman mereka dengan sang Guru. Mereka adalah orang-orang sederhana, namun kesaksian mereka tidak terbantah karena lahir dari pengalaman hidup mereka bersama Yesus, terutama ketika mereka mendengarkan ajaran dan menyaksikan mukjisat yang dikerjakan olehNya. Pewartaan kitapun akan menjadi pewartaan yang nyata jika lahir dari kedekatan pribadi kita dengan Yesus sang guru.


Selain mengenal dan menghidupi Sabda Tuhan, tantangan lain yakni adanya kencederungan untuk mewartakan diri sendiri. Dengan kata lain, saya lebih suka menonjolkan kehebatan pribadi daripada mewartakan Sabda Tuhan. Pada titik ini saya disadarkan untuk selalu mendahulukan Tuhan di atas pewartaan pribadi. Pewartaan akan semakin menginspirasi jika bertujuan untuk memuliakan Tuhan. Dan yang terakhir, seorang pewarta ditantang untuk mengenal latar belakang umat yang dilayani. Mengenal berarti tahu dan memahami tradisi serta budaya mereka. Pemahaman yang komprehensif akan tradisi dan budaya setempat akan membantu pewartaan sabda itu sendiri menjadi lebih mendarat. Pengenalan dan pemahaman yang mendalam akan suatu budaya lahir pengalaman keterlibatan seorang pewarta dengan budaya di mana Injil Tuhan diwartakan.


Demikialah kisah singkat panggilan saya sebagai seorang calon imam Redemptoris. Saya sadar bahwa apapun yang saya jalani saaat ini semuanya karena penyelenggaraan dan campur tangan Tuhan. Kesadaran inillah yang membuat saya juga siap untuk menjalani perutusan menjadi seorang misionaris di mana Kongregasi dan Gereja membutuhkan. Saya juga tetap membutuhkan dukungan doa dari keluarga, konfrater serta umat. Doa tidak saja memampukan saya menghadapi setiap tantangan dan kesulitan yang saya hadapi tetapi juga akan semakin mempermudah langkah saya menuju imamat suci.







Komentar

Postingan Populer