INKULTURASI DAN TUGAS MISI DALAM PANDANGAN AMALADOSS
1.
Pendahuluan
Tema
inkulturasi merupakan permasalahan teologis yang amat luas dan kompleks.
Persoalan ini mencakup dan mengandaikan berbagai disiplin ilmu lainnya. Justru karena
begitu besarnya masalah ini, tema inkulturasi perlu mendapat penjernihan.
Proses inkulturasi memang tidak mudah dilaksanakan tetapi hal itu juga bukan
tidak mungkin. Itulah sebabnya dierlukan terus-menerus diskusi yang sifatnya
luas, mendalam dan interdisipliner untuk semakin menemukan arahnya yang jelas.
Dalam hal ini tentu saja diperlukan usaha penjernihan yang terus-menerus[1].
Kita
mengenal berbagai istilah yang menyertai kata “inkulturasi” ini. ada istilah
Indonesiasi, indegenisasi (dari bahasa Latin indigena = pribumi), evangelisasi,
implantasi, adaptasi, akomodasi, kontekstualisasi. Isitlah inkulturasi berasal
dari lingkungan teologi misi. Istilah inkulturasi ini dipopulerkan oleh Joseph
Mason, seorang misiolog dari Belgia pada tahun 1959. Kata inkulturasi
berhubungan dengan kosakata antropologi enkulturasi
(penyesuaian seseorang ke dalam suatu budaya terntetu) dan akulturasi
(pertemuan antar budaya dan penerimaan unsur-unsur budaya dari suatu budaya
asing).
Istilah
inkulturasi semula digunakan dalam khazana diskusi teologis, lalu digunakan
dalam dokumen Yesuit pada Kongres Jenderal para tahun 1974/1975. Baru pada
Sinode para Uskup tahun 1977 istilah inkulturasi diterima dan digunakan dalam
suatu dokumen resmi gereja. Kemudian Sri Paus Yohanes Paulus II biasa
menggunakan istilah inkulturasi ini dalam beberapa ajarannya. Kini istliah
inkulturasi sudah menjadi kosakata yang umum dan diterima di mana-mana[2].
Menurut
Giancarlo Collet, inkulturasi adalah suatu proses yang berlangsung terus di mana
Injil diungkapkan di dalam situasi sosio-politik dan religius-budaya sedemikian
rupa hingga ia tidak hanya melalui unsur-unsur situasi tersebut, tetapi menjadi
suatu daya yang menjiwai dan mengolah
budaya tersebut, sekaligus budaya tersebut memperkaya Gereja universal[3].
2.
Pengertian
Misi
Pengertian
tentang “misi” dan “misiologi” tidak hanya sekedar telaah etimologis-sintaksis
dari kata, tetapi telah memuat macam-macam modifikasi pengertian dan makna
sepanjang sejarah karya misi Gereja dan bahkan di dalam seluruh karya
penyelamatan Allah. Kata “misi” memuat bermacam-macam ragam pengertian dan
konotasi. Macam-macam tafsiran terhadap istilah ini telah terbukti mempengaruhi
pelaksanaan tugas misioner Gereja di dala dunia dan turut menentukan
langkah-laku Gereja dalam menjalankan tugas perutusan seperti ditunjuk Kristus.
Kata
“misi” barasal dari bahasa Latin missio, yang
berarti pengutusan. Missio Dei = Pengutusan
yang berasal dari/kepunyan Allah. Missio diterjemahkan
ke dalam bahasa-bahasa Inggris Jerman, Perancis sebagai Mission. Kata missio adalah
bentuk subtantif dari kata kerja mittere (mitto,
missi, missum) yang mempunyai beberapa pengertian dasar: (1) membuang,
menembak, membentur; (2) mengutus, mengirim; (3) membiarkan, membiarkan pergi,
melepaskan pergi; (4) mengambil, menyadap, membiarkan mengalir (darah).
Kalangan Gereja pada dasarnya menggunakan kata mittere dalam pengertian mengutus,
mengirim.
Di
dalam Vukgata, kata “mittere” adalah terjemahan dari kata Yunani “pempein” dan
“apostelein” (yang berarti mengutus).
Kedua istilah Yunani ini terdapat 206 kali di dalam Kitab Suci Perjnajian Baru.
“Orang yang diutus” atau missionarius diterjemahkan
dari kata Yunani apostolos (terdapaat
79 kali di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru), sedangkan tugas yang dilaksanakan
disebut missio, sebagai terjemahan
dari kata Yunani apostole (4 kali di
dalam Kitab Suci Perjanjian Baru). Dalam penggunaan selanjutnya istilah misi dan apostolat yang pada dasarnya mempunyai arti yang sama mendapatkan
modifikasi pengertian seperti dalam istilah missionalis
apostolatus (= kerasulan misioner) yang dipakai oleh Paus Pius XII dan
ensiklik misi Fidei Donum (1957). Kata “apostolat” atau “kerasulan” dipakai
untuk menunjukkan kegiatan pastoral umum, sedangkan kata “misi” atau
“perutusan” dipakai untuk kegiatan penyebaran iman[4].
3.
Pandangan
Amalados Tentang Inkuluturasi dan Tugas Misi
Dalam
konteks ini, penulis mencoba melihat pemikiran Michael Amaladoss berkaitan
dengan Inkulturasi dan tugas dari misi. Amaladoss adalah seorang Katolik. Ia
dilahirkan pada tahun 1936 di Tamil Nadul India. Ia dibesarkan dalam lingkungan
Katolik India yang saleh. Dia adalah anggota serikat Yesus. Dia adalah Profesor
Teologi Sistematik di Vidyajyoti College
of Theology di Dheli, dan Rektor Institut untuk dialog budaya dan agama, di
Chennai. Ia juga menjabat sebagai editor of
the review Vidyajyoti Journal of Theological Reflection[5]. Selain
itu, Amaladoss juga bekerja sebagai pembicara dan penulis. Ia menulis tentang
misi, dialog, dan teologi pembebasan. Lebih dari 20 buku dan 300 artikel telah
ditulis olehnya dalam berbagai bahasa (Jerman, dan Inggris, Hindi). Ia juga
menjadi dosen reguler di Institut Pastoral Asia Timur (EAPI) di Manila. Ia pun
menjadi salah satu teolog Asia yang mempunyai peran penting dalam sidang-sidang
FABC. Federation of Asian Bishop’s Conferences (FABC) merupakan suatu federasi para uskup
Asia yang berusaha untuk membangun Gereja di Asia yang tanggap dengan konteks
jemaat Asia. Sebagian besar dari buku dan tulisannya berkaitan
dengan konteks di Asia. Dari keterangan tersebut tampak bahwa Amaladoss
memberikan perhatian yang amat besar pada teologi di Asia.
Ia
pernah mengenyam pendidikan filsafat Hindu, teologi, dan spiritualitas. Dia
pernah menjadi seorang konsultan untuk Komisi Dewan dan Wakil Presiden dari
Asosiasi Internasional untuk studi misi.[6]
Dia adalah asisten superior Jenderal Serikat Yesus, dengan perhatian khusus
untuk penginjilan, dialog, inkulturasi dan ekumenisme. Sebagai seorang teolog Asia,
Amaladoss memperjuangkan agar Yesus Kristus yang notabene adalah orang Asia dikenal sebagai Yesus dari Asia dan
bukan Yesus dari Eropa. Ia berjuang agar Kristus dan Gereja-Nya tumbuh dan
mengakar dalam realitas konkret Asia. Sama halnya dengan teologi, ia berjuang
agar teologi di Asia tidak lagi menjadi teologi yang diterjemahkan dari teologi
Barat, tetapi teologi yang hidup dan mengakar dari Asia.
Michael
Amaladoss juga terlibat dalam dialog antara agama (Hindu, dan Muslim). Semua
ini telah menyadarkan dia untuk menjadi seorang Kristen yang tetap terbuka
kepada agama yang lain.Untuk menjadi orang Kristen berarti kita harus siap
untuk mewartakan Yesus kepada semua orang. Selain untuk berdialog, ia juga
mengajak semua orang Kristen untuk membangun hidup harmoni di tengah dunia yang
kian plural. Dia sangat mendorong para teolog di Asia untuk memahami panggilan
penting ini dengan mengintegrasikan sikap positif terhadap agama-agama lain. Di
Asia semua masyarakat hidup dalam suku dan budaya yang berbeda, oleh karena itu
semua orang diundang dan ditantang untuk bergerak keluar dari budaya dan
ideologi mereka untuk menyambut dan merangkul lainnya.[7]
Dalam
pandangan Amaladoss, Kabar Baik atau Kabar Gembira adalah benih baru yang
terdapat dalam setiap budaya dan kemudian bertumbuh menjadi pohon yang besar.
Lewat asimilasi dan transformasi setiap elemen dari budaya tersebut Kabar
Gembira tersebut kemudian memberikan sebuah prinsip baru yang mengarah kepada
persekutuan umat Allah. Dasar teologi inkuturasi dalam pandangan Amaldoss adalah peristiwa inkarnasi yakni Firman yang
menjadi manusia (Yoh 1, 14). Peristiwa inkarnasi tidak hanya menjadi model dan
pembenaran dari inkulturasi tetapi peristiwa inkarnasi itu sendiri menuntut hal
tersebut, yakni agar Injil diterjemahkan ke dalam budaya-budaya tertentu[8].
4.
Konteks
Inkulturasi
Amaladoss
berbicara mengenai inkulturasi dalam konteks Asia. Benua Asia merupakan benua
yang terluas di muka bumi ini. Benua ini dihuni oleh hampir dua pertiga
penduduk dunia. Dengan keadaan seperti itu, tak dapat dipungkiri bahwa benua
ini memiliki keragaman bangsa dengan budaya-budaya yang telah diwariskan dari
jaman ke jaman. Kita perlu mengingat bahwa Asia merupakan kawasan kelahiran
agama-agama besar dunia, yaitu Yudaisme, aama Kristiani, Islam dan Hinduisme.
Di benua ini pula lahir pula berbagai tradisi rohani lainnya, misalnya:
Budhaisme,Taoisme, Konfusianisme, Zoroatrianisme, Shintoisme, dan masih banyak
lagi. Di dalamnya, iman masyarakat berbaur pula dengan agama-agama tradisional,
suku-suku, pada berbagai tingkatan ajaran religius ritual dan formal yang
terstruktur. Dengan demikian, Bagi Amaladoss, ketika berbicara
mengenai inkulturasi dan misi dalam konteks Asia unsur atau persoalan pokok
yang tidak boleh dilupakan adalah persoalan berkaitan dengan kemiskinan,
pluralitas agama dan budaya.
Dengan kenyataan seperti itu
tantangan Gereja semakin berat dan rumit. Gereja harus menghadapi cakrawala
budaya yang begitu beraneka ragam dan berubah dengan cepat. Dalam pandangan
Amaladoss, Tugas Gereja adalah berusaha untuk menterjemahkan dan mengartikulasikan
pesan Kristiani (Budaya Kristiani) dalam bahasa dan budaya orang-orang yang sejaman, dalam
konteks ini yakni masyarakat Asia dengan segala kenyataan yang melingkupinya.
Dalam proses tersebut, perlu pula dilihat bahwa pewartaan Kristiani ini ditujukan
kepada manusia dan bukan kepada para malaikat. Dengan kata lain, pewartaan ini
harus mencakup manusia sutuhnya, jiwa dan badan, bukan hanya jiwanya saja.
Sehubungan dengan itu, Gereja harus menjadi locus theologicus, artinya
bahwa Gereja harus tetap menjadi sumber di mana para jemaat dapat menghayati
imannya dan tempat di mana umat dapat menimba iman Gereja itu sendiri yang
benar dan sejati. Dalam pewartaannya di dunia, ia harus tetap menjadi
sebuah tanda dan sarana keselamatan[9].
Gereja di Asia adalah salah satu locus
theologicus. Di dalamya kita dapat menggali nilai-nilai Kristiani awali
yang berguna bagi perkembangan iman jemaat. Perbedaan budaya, suku bangsa, dan
ajaran-ajaran yang ada bukanlah menjadi halangan untuk mendatangkan Kerajaan
Allah di dunia ini. Sebaliknya, melalui keberagaman tersebut diharapkan dapat
memperdalam iman kita akan Yesus Kristus. Dengan kata lain, inkulturasi perlu
dikembangkan sejauh hal itu membantu jemaat dalam hidup menggereja dan hidup
beriman.
Berkaitan dengan usaha inkulturasi
dalam konteks Asia, khususnya ketika budaya Kristiani bertemu dengan budaya
Asia yaang kaya dengan berbagai nilai dan tradisi, Amaladoss menemukan beberapa
persoalan. Pertama adalah persoalan budaya, di satu sisi, budaya yang dibawa
oleh Injil dalam konteks Asia adalah budaya yang sudah matang dengan jenis
sastra yang tinggi. Selain itu Kabar Gembira yang dibawa oleh para misionaris
awal yang notabene bersamaan dengan para penjajah menjadi tantangan tersendiri
bagi pelaksanaan inkulturasi itu sendiri. Pada titik ini, inkulturasi menjadi
sebuah proses yang cukup kompleks dalam konteks Asia[10].
Tantangan lain bagi usaha
inkulturasi adalah persoalan yang berkaitan dengan dimensi psikologi, khusunya
ketika nasionalisme sudah berakar begitu kuat dalam budaya masyarakat. Hal ini
menjadikan mereka menolak Injil sebagai kesaksian yang tidak diinginkan karena
bersentuhan dengan perilaku dan nilai-nilai dan budaya-budaya asing. pengalaman
masyarakat Asia akan penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara Eropa seperti
Inggris, Spanyol dan Belanda membuat mereka menolak nilai Injil yang dibawa
oleh para misionaris.
Tantangan lain dalam konteks Asia,
khususnya India yang dilihat dan ditangkap oleh Amaladoss adalah perbedaan
kelas dalam masyarakat. Masyarakat masih terbagi dalam kelompok-kelompok
tertentu, misalnya ada golongan elit atau kelas atas, kaum miskin, buruh, kaum
muda, dll. Dalam pandangan Amaladoss, proses inkulturasi di kawasan Asia
mengalami kegagalan karena persiapan misi yang masih sangat minim. Menurutnya, misi
yang hanya mendasarkan persiapannya secara teoritis semata yakni pada studi
pustaka yang kemudian disimpulkan menjadi gambaran umum suatu budaya akan
berakhir pada kegagalan, untuk itu, dalam pandangan Amaladoss yang penting dijalankan dalam konteks misi dan
inkulturasi adalah perjumpaan langsung lewat dan hidup bersama. Dengan
demikian, kesimpulan yang diambil memiliki pendasaran yang kuat karena lahir
dari perjumpaan langsung.
Dalam
konteks Asia, budaya dan agama merupakan dua hal yang saling terkait. Agama
adalah prinsip yang menjiwai suatu budaya. Dengan demikian, inkulturasi bukan
hanya perjumpaan antara Injil dan budaya, tetapi juga perjumpaan antara Injil
dengan agama[11].
5.
Proses
inkulturasi
Bagi
Amaladoss, adalah benar jika dikatakan bahwa inkulturasi sebagai penyesuaian
Kabar Gembira dalam bahasa dan simbol yang bisa diterima dan dipahami oleh masyarakat
dalam konteks tertentu di mana Kabar Gembira diwartakan. Namun pengertian
inkulturasi bagi Amaladoss harus lebih dari itu. Inkulturasi adalah perubahan
hidup sebuah komunitas “orang-orang percaya” dari dalam di mana Kabar Gembira
menjadi prinsip yang menjiwai seluruh hidup mereka. Dengan demikian, titik awal
dan locus inkulturasi adalah komunitas.
Dalam konteks hidup komunitas inilah perjumpaan antara Injil dan budaya
mengambil tempatnya. Pengalaman komunitas serta persoalannya menjadi situasi di
mana Kabar Gembira dialamatkan. Inkulturasi juga adalah proses yang
terus-menerus (constan process) dari
kematian dan kebangkitan. Komunitas secara terus-menerus ditantang dengan Sabda
pada pembebasan lewat perubahan. Komunitas tertantang untuk menyesuaikan diri
dengan nilai Injil, dan Injil dalam konteks ini bagaikan benih yang mati untuk
tumbuh dalam “tanah” komunitas. Dengan demikian, komunitas menjadi agen pertama
dan utama dari inkulturasi itu sendiri[12].
6.
Penutup
Dalam Konteks inkulturasi dan misi, lepas dari segala
tantangan yang menyertainya, Amaladoss berusaha untuk menampilkan wajah Yesus
dalam konteks Asia. Asia memiliki keragaman budaya dan keragaman gambaran.
Gambaran Yesus yang dipakai oleh Amaladoss hendak mengatakan bahwa Yesus harus
menjiwai seluruh aspek hidup masyarakat Asia yang diwarnai oleh tiga konteks
besar Asia, yaitu kemiskinan, pluralitas agama, dan pluralitas budaya.Yesus
harus menyapa seluruh masyarakat Asia tanpa kecuali. Wajah Yesus harus
senantiasa hidup dan bersinar dalam wajah Asia yang penuh harapan akan
keselamatan yang ditawarkan oleh Allah kepada umat manusia.
7.
Daftar
Pustaka
Amaladoss, M.,
1997 Life
In Freedom(Liberation Theologies From Asia), Gujarat Sahitya Prakash,
India.
1992 Walking
Together; the Practice of Inter-religious Dilogue, Gujarat: GujaratSahitya
Prakash .
1980 “Inculturation and Task of Mission”, dalam East Asian Pastoral Review.
Edmund Prier, K.,
1999 Inkulturasi
Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
Martasudjita, E.,
[.....] “Inkulturasi Gereja katolik di Indonesia”, dalam
Studia Philosophie et Theologica, Vol.
5, NO 2, 127.
Woga, E.,
2002 Dasar-Dasar
Misiologi, Kanisius, Yogyaarta.
[1] E. Martasudjita, “Inkulturasi
Gereja katolik di Indonesia”, dalam Studia
Philosophie et Theologica, Vol. 5, NO 2,
127.
[2] E. Martasudjita, “Inkulturasi
Gereja katolik di Indonesia”, 130.
[3] Karl-Edmund Prier, Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik
Liturgi, Yogyakarta 1999, 8.
[4] Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi, Kanisius,
Yogyaarta 2002, 13-14.
[5] Michael Amaladoss, Life In Freedom(Liberation Theologies From
Asia), Gujarat Sahitya Prakash, India 1997, “Editor Introduction”.
[6]Michael Amaladoss, Making All Things New, “Editor
Introduction”.
[7]Michael Amaladoss, Walking Together; the Practice of
Inter-religious Dilogue, Gujarat: Gujarat Sahitya Prakash 1992, 32.
[8] Michael Amaladoss,
“Inculturation and Task of Mission”, dalam East
Asian Pastoral Review, 1980, 117.
[9] Michael Amaladoss, “Inculturation
and Task of Mission”, 117-118.
[10] Michael Amaladoss, “Inculturation
and Task of Mission”, 117-118.
[11] Michael Amaladoss,
“Inculturation and Task of Mission”, 117-118.
[12] Michael Amaladoss,
“Inculturation and Task of Mission”, 119-120.
Komentar
Posting Komentar