DI TENGAH KRISIS EKOLOGI, MANUSIA SEBAGAI CITRA ALLAH BERTANGGUNG JAWAB UNTUK MEMELIHARA KEUTUHAN ALAM CIPTAAN



1.                  Pengantar
Dalam kisah penciptaan (Kej 1:26-27), manusia diciptakan secitra dengan Allah, sebagai citra Allah, manusia diberi kuasa untuk menjaga alam ciptaan yang lain, tugas ini merupakan bentuk dari tanggungjawab manusia sebagai citra Allah. Dalam perjalanan waktu, tugas ini sering disalahartikan sebagai sesuatu yang benar-benar menunjukkan bahwa manusia diberikan hak secara penuh untuk bertindak semaunya tanpa memandang efek yang akan terjadi. Akibatnya, alam yang merupakan ciptaan Allah kini mengalami kerusakan bahkan kehancuran.
Ada banyak fenomena yang menunjukkan tindakan-tindakan manusia yang merusak alam. Pencemaran udara, air, tanah seringkali terjadi. Penebangan hutan secara liar, pembakaran hutan terjadi di mana-mana dan hampir setiap saat terjadi. Sebagai akibatnya bumi semakin panas, banjir, erosi terjadi di mana-mana, banyak spesies mati karena tidak memiliki tempat tinggal lagi. Ini semua terjadi karena ulah dan perbuatan manusia sendiri. Manusia yang ingin memperkaya diri, ingin menguasai alam. Kerakusan manusia membawa dampak yang begitu besar bagi keharmonisan dan keutuhan alam semesta.
Kenyataan ini memperlihatkan bahwa lingkungan hidup tidak bisa lagi dianggap remeh karena menyangkut keberadaan manusia sendiri. Untuk itu, dalam paper ini penulis akan mencoba memberi gagasan bahwa manusia bukan hanya sebagai pribadi yang melihat keberadaannya sebagai dominator atau penguasa tetapi lebih dari itu merupakan citra Allah yang berkewajiban memelihara keutuhan alam alam ciptaan ini. Manusia sebagai citra Allah dipanggil untuk menggunakan kekuasaan yang dipercayakan Allah kepadanya untuk memelihara dan mengembalikan keutuhan alam ciptaan
2.                  Makna dan Istilah Ekologi
Sebelum memaparkan beberapa kasus krisis  ekologi, pertama-tama penulis akan mencoba memaparkan arti kata ekologi itu sendiri. Istilah ekologi terbentuk dari dua kata dasar Yunani, yaitu oikos (rumah, tempat tinggal) dan logos (kata, uraian). Secara harafiah, ekologi berarti penyelidikan tentang organisme-organisme dalam jagat raya. Umumnya ekologi dilukiskan sebagai penyelidikan mengenai hubungan-hubungan antara planet, hewan, manusia dan lingkungan hidup serta keseimbangan antaranya. Dengan kata lain, ekologi adalah ilmu tentang hubungan antarorganisme yang hidup dan lingkungannya. Selain itu, ekologi dipahami sebagai ilmu tentang tatanan dan fungsi alam atau kelompok organisme yang ditemukan dalam alam dan interaksi di antara mereka. Istilah ini diperkenalkanpertama kali oleh pakar biologi Jerman, Haeckel, pada tahun 1866[1].
Titik berat ekologi terletak pada unsur saling keterkaitan antar organisme dengan lingkungan hidup di sekitarnya. Organisme tidak lain daripada keberadaan benda-benda (entitas) yang berhubungan dan menyatu dengan lingkungannya. Dalam pembicaraan ekologis, manusia tidak dapat lebih dahulu memikirkan keberadaan benda-benda, kemudian memikirkanlingkungannya. Tiap entitas dari kodrat dasariahnya selalu terpaut dengan yang lain. Hubungan dengan yang lain adalah ciri khas organisme. Planet bumi dianggap sebagai salah satu komunitas hidup yang berciri saling tergantung dan memiliki keseimbangan yang hampir-hampir tidak terasakan. Jadi, ekologi dapat dirumuskan sebagai ilmu atau studi tentang organisme  dalam hubungan dengan seluruh lingkungan hidup. Ekologi berusaha menyoroti, menganalisis, dan memajukan seluruh unsur dalam alam semesta.
3.                  Krisis Ekologi
Berikut ini adalah beberapa data kerusakan ekologi yang memberi gambaran bagaimana bumi tidak lagi menjadi tempat yang aman. Pada tahun 1960-an, terjadi krisis ekologi di dunia dan terjadi eksploitasi alam yang gila-gilaan. Negara-negara yang baru saja melepaskan diri dari penjajahan sedang membangun bangsanya. Namun pembangunan itu berdampak bahwa mereka mengeruk kekayaanalamnya tanpa memperhitungkan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan tersebut, seperti pencemaran udara/air/tanah, pembabatan hutan tanpa reboisasi, perusakan ekosistem (kebersamaan hidup), makhluk-makhluk hidup di sekitar lokasi tambang mengalami kepunahan, dlsb[2].
Pada tahun 1950-an ditemukan juga alat-alat sintetis dan plastik yang di satu pihak memberi kemudahan namun di lain pihak penemuan itu menimbulkan masalah karena barang-barang seperti itu tidak dapat segera membusuk. Hal ini menimbulkan pencemaran lingkungan yang tidak sedikit jumlahnya. Juga ditemukan rekayasa biologi dan kimia yang menghasilkan nuklir dan gas biologis yang dapat menimbulkan kematian yang tragis dan dalam jumlah yang banyak pada seluruh makhluk hidup. Dari penemuan ini kemudian lahirlah juga senjata nuklir atau senjata biologis yang dapat mematikan makhluk hidup secara mengenaskan[3].
Sekedar untuk memperoleh gambaran tentang kerusakan yang dihasilkan oleh pencemaran lingkungan, U.S Worldwacht Institute pada tahun 1984 melaporkan suatu prediksinya tentang kerusakan lingkungan hidup. Menurutnya, kalau kita tidak serius memperhatikan pencemaran lingkungan, maka, pada tahun 1990 ada 10 spesies dalam sehari akan hilang. Pada tahun 2000, ada satu spesies hilang setiap jam. Sejak tahun 1950, kita kehilangan 5% per tahun lahan untuk bercocok tanam dan hutan tropis untuk menarik hujan. Setiap tahun kita kehilangan20-25 juta ton humus melalui erosi, penggaraman dan menjadi gurun. Setiap tahun, 20 milyar hektar hutan hilang.
Menurut laporan FAO (Badan Pangan Dunia), Indonesia menghancurkan hutan kira-kira 51 kilometer persegi setiap hari. Artinya, kira-kira seluas 300 lapangan sepak bola yang hancur setiap jam yang rusak karena penebangan hutan yang tidak terkendali. Angka deforestasi Indonesia dari tahun 2000-2005 mencapai 1,8 juta hektar. Bahkan Depertemen Kehutanan merilis angka yang lebih besar lagi 2,84 juta hektar per tahun dalam kurun waktu 1997-2000. Data ini kiranya memberi gambaran terhadap kita tentang tingkat keseriusan pencemaran tersebut[4].
4.                  Akibat Krisis Ekolgis
4.1.            Pencemaran Udara dan Air
Salah satu akibat dari krisis lingkungan hidup adalah pencemaran udara. Udara kita dewasa ini sudah dicemari oleh CO2 (Carbon dioxidie), yang dimuntahkan melalui asap pabrik dan asap hutan yang terbakar. Dampak negatifnya yang pertama adalah berkurangnnya tingkat kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Yang kedua yakni mulainya proses pemanasan global. Lapisan CO2 bertahan pada lapisan atmosfer dalam waktu yang panjang. Lapisan itu memantulkan panas dari bumi, sehingga panas tersebut tetap meliputi bumi dan membuat bumi semakin panas. Hal ini mengakibatkan semakin meluasnya gurun pasir, mencairkan sebagian es di kedua kutub, menaikkan permukaan laut dan banjir pada pantai-pantai[5].
Selain udara, air di daratan maupun di lautan kita juga sudah tercemar. Pencemaran itu terutama berasal dari limbah industri. Sebagian dari limbah itu diserap oleh berbagai bakteri, yang kemudian mengurangi kadar oksigen dari air. Berkurangnya oksigen dalam air itulah yang kemudian membahayakan kesehatan dan hidup ikan-ikan serta makhluk-makhluk lain yang hidup dalam air. Di samping itu, air di lautan sudah tercemar oleh limbah PAH (polyciclic-aromatic-hydrocarbon, yang timbul dari limbah bahan bakar minyak) dan limbah PCB (ply-chlorinated-biphenyl, yang timbul dari limbah cairan yang dipakai pada instalasi pembangkita tenaga listrik). Limbah PAH menimbulkan mutasi genetik dan kanker pada makhluk-makhluk hidup di laut, sedangkan PCB menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia maupun makhluk hidup lainnya[6].
4.2.             Berkurangnya Kekayaan Alam
Menurut para ahli, beberapa puluh jenis tumbuhan dan binatang sudah punah, antara lain karena kekejaman manusia. Luas dan kekayaan hutan di bumi juga sudah sangat berkurang. Bila berkurangnya hutan tidak segera dicegah akan semakin banyak jenis makhluk hidup ikut punah pada abad yang datang.
Persediaaan bahan dasar minyak mentah juga sudah sangat berkurang. Padahal bahan tersebut terjadi dari berbagai fosil  dari zaman kuno, sehingga bahan tersebut baru akan terbentuk lagi beberapa ribu tahun yang akan datang. Demikian pula dengan persediaan batu bara, gas alam dan berbagai tambang lainnya seperti misalnya aluminium, besi, tembaga dan seng[7].
5.                  Akar Krisis Ekologi
Pertanyaannya kemudian dari mana semua krisis ekologi ini berasal? Atau, apa akar utama yang menyebabkan krisis ekologi?Pemicu utama kerusakan lingkungan adalah faktor ekonomi. Perkembangan ekonomi yang hebat dimulai abad ke-19 saat batu bara ditemukan sebagai pembangkit energi menggantikan kayu di dalam idustri. Penemuan ini memicu ekploitasi besar-besaran yang sangat berdampak pada pencemaran lingkungan. Sistem ekonomi liberalisme yang didasarkan pada usaha dan pasar bebas mendorong orang untuk bekerja keras dan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan hanya mengorbankan barang sekeci-kecilnya. Usaha ini mengarah kepada penggunaan sumber daya alam, bahan mentah dan kekayaan biota lainnya secara maksimal. Akibatnya menjadi jelas: pencemaran tanah, air dan udara.
            Sistem ekonomi seperti di atas akan menjadikan alam sebagai sarana ekonomis belaka. Alam yang tadinya besar dan agung, menjadi kecil dan tak berarti di hadapan manusia. Tadinya manusia dikuasai oleh alam; sekarang manusia menguasai alam. Dengan alat teknologi manusia menaklukkan alam dan menguasainya dengan leluasa. Alam menjadi sarana produksi dari manusia. Manusia menjadi tuan atas alam. Celakanya dibanyak tempat eksploitasi itu tidak dibarengi oleh usaha pemulihan alam oleh manusia. Alam dibiarkan menyelesaikan masalah kerusakan yang disebabkan oleh manusia. Konsep ekonomi yang menawarkan pengelolaan kekayaan alam untuk kehidupan rumah tangga (oikos) menjadikan manusia sebagai pengelola dan pengatur alam karena ia adalah padrone (pemilik) atas alam. Ia menjadi “tuan” atas alam. Dengan rekayasa teknologi,  alam dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan manusia. Pola pikir macam ini adalah pola pikir yang sepihak dari manusia tanpa melihat makhuk yang lain. Karenanya akan terjadi perampasan hak alam menurut kehendak manusia.
            Pola pikir ekonomi di atas ditopang pula oleh pola pikir filosofis yang sangat antroposentris. Sampai abadpertengahan, keangkeran dan sekaligus keagungan alam cukup kuat merasuk dalam pikiran manusia. Hutan misalnya dianggap angker karena ada “penunggunya.”  Namun konsep Francis Bacon (1561-1626) mengubah segala-galanya. Bagi dia, ilmu pengetahuan diperuntukkan bagi kehidupan manusia. Alam itu harus ditaklukkan demi manusia karena dipakai untuk menyejahterakan manusia. Penaklukan itu adalah bagian dari perintah Allah. Pembenaran untuk ide itu, menurut Bacon, muncul dari perintah Allah sendiri, “Berkembangbiaklah dan taklukkanlah bumi” (Kej 1:28). Ilmu pengetahuan adalah rahmat yang dianugerahkan Allah kepada manusia untuk menguasai kembali alam semesta yang terputus akibat dosa di Taman Firdaus (Kej 3). Maka manusia harus menguasai alam ini kembali dengan ilmu pengetahuan.
            Pemikiran Bacon di atas seolah-olah diperkuat dengan pemikiran Descartes (1596-1650) yang sangat mengagumkan, “cogito ergo sum.” (saya pikir maka saya ada). Konsep ini menempatkan manusia sebagai ciptaan terbaik karena mempunyai rasio. Ciptaan yang lain berada di bawah manusia. Manusia adalah subyek dari segala-galanya karena ia bisa berpikir sementara ciptaan yang lain adalah obyek dari manusia karena mereka tidak bisa berpikir. Maka manusia adalah “penguasa dan pemilik alam.” Status keberadaan suatu ciptaan ditentukan oleh kemampuan ia untuk berpikir. Manusia menjadi ciptaan yang unggul karena ia mampu berpikir.
            Dasar-dasar rasionalitas di atas juga merasuk dalam pola pikir orang kebanyakan. Keangkeran alam semesta yang biasanya dibungkus dengan cerita-cerita mistis atau takhyul diganti dengan pemikiran-pemikiran yang lebih rasional. Keilahian Yang Transenden yang sering dipahami datang kepada manusia lewat alam semesta (panteisme) digeser oleh pemahaman rasionalitas yang lebih mengenal hukum alam. Konsep ketakutan (tremendum) dalam iman tergeser oleh konsep rasio. Fides (iman) langsung dihubungkan dengan ratio di dalam konsep beriman. 
            Selain pandangan filosofis dan kebijakan ekonomi yang keliru,  krisis ekologi juga dihubungkan dengan iman. Bagi mereka kerusakan ekologis ini disebabkan oleh pemahaman iman orang Yahudi dan Kristen yang mendasari tingkah laku mereka. Mereka menuduh orang-orang beragama Abramik itu telah salah menafsirkan teks Kitab Suci demi pembenaran dirinya untuk menguasai alam semesta ini.Lynn White misalnya, menunjuk biang keladi kerakusan manusia itu pada iman kepercayaan Kristen. Ia menulis: “Allah merencanakan segala sesuatunya secara eksplisit demi kepentingan dan kuasa manusia: apapun yang ada dalam dunia ciptaan fisik dimaksudkan untuk  melayani keinginan manusia. Meskipun tubuh manusia diciptakan dari tanah, namun ia bukan bagian alam semesta: ia dicipta menurut gambar Allah... manusia sedikit banyak berbagi dalam transendensi Allah terhadap alam. Kekristenan dalam kontras mutlak dengan agama kafir kuno dan agama-agama Asia, tidak hanya menciptakan dualisme manusia dan alam, tetapi juga menegaskan bahwa telah menjadi kehendak Allah, manusia mengeksploitasi alam demi tujuan manusia itu sendiri”. Pendapat ini dikembangkan oleh Arnold Toynbee yang mengatakan bahwa Kej 1:28 mengizinkan Adam dan Hawa berbuat semaunya atas bumi[8].
Sedangkan Jhon Passamore menyimpulkan bahwa penafsiran harafiah atas kuasa manusia atas ciptaan lain dalam Kej 1:28 merupakan satu dari berbagai pemicu hasrat manusia menguras habis kekayaan alam. Pandangan itu semakin dipertegas dengan berkembangnya paham-paham filsafat hidup berikut: Mengolah bumi berarti memperdayakan manusia; Manusia adalah satu-satunya pengelola alam; Keberadaan dunia tidak lain untuk direkayasa sedapat mungkin. Alhasil, daripada alam dibiarkan seperti adanya, manusia cenderung mengolahnya, bahkan tidak segan-segan mengeksploitasinya[9]. Pertanyaannya kemudian, apakah memang benar bahwa manusia yang diciptakan menurut citra Allah sendiri diberi tugas untuk berkuasa dan mengeksploitasi alam dengan sewenang-wenang? Atau, jangan-jangan manusia hanya menafsirkan teks tersebut secara harafiah untuk memenuhi hasratnya yang tidak pernah puas?
Pada bagian ini, rupanya sudah sejak lama tugas dari yang Ilahi ini diselewengkan oleh manusia menjadi “menguasai” tanpa belas kasihan dan “mengeksploitasi” sehabis-habisnya alam ciptaan ini. Sikap manusia yang serakah dan rakus, yang tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimilikinya ini didukung dengan pemikiran-pemikiran filosofis dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mempercepat dan memperparah krisis dan kerusakan lingkungan hidup.Alam yang tadinya diciptakan Tuhan dengan sangat indah menjadi tempat yang tidak lagi nyaman untuk dipandang dan ditempati. Untuk itu, penulis akan mencoba melihat bahwa manusia sebagai citra Allah sejatinya tidak diciptakan sebagai penguasa dan penakluk alam semesta yang semenah-menah tetapi bertanggungjawab untuk memelihara alam ciptaan ini.
6.                  Manusia sebagai citra Allah Bertanggung Jawab Memelihara Alam Semesta
      26 Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."27 Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Teks 1:26-27 merupakan kisah penciptaan yang melukiskan aktivitas Allah mencipta manusia. Kata kerja menciptakan (Ibrani = bara) berbeda dengan menjadikan (Ibrani = hasah). Istilah hasah dipakai untuk mengungkapkan kegiatan membuat sesuatu dari bahan yang sudah ada, misalnya seorang seniman membuat patung dari sebuah batu. Artinya, tanpa batu itu patung pun tidak akan pernah tercipta. Sedangkan kata kerja bara merupakan istilah khas yang dikenakan untuk kegiatan Allah mencipta makhluk-Nya, yakni mencipta sesuatu dari ketiadaan. Allah mencipta manusia bukan dari bahan yang sudah tersedia sebelumnya tetapi dari ketiadaan[10].
Manusia itu pun dicipta menurut gambar (Ibrani = zelem) dan rupa (Ibrani = demut) Allah. Kata zelem artinya patung yang dipahat untuk melukikan seseorang.  Dengan demikian manusia adalah bayangan dari Allah (bdk. 1Sam 6:5; Yeh 23:14). Sedangkan kata demut berarti perwujudan apa yang tak tampak. Sehingga manusia merupakan perwujudan atau penampakan dari Allah yang tidak tampak (bdk. Yeh 1:5.10.26). Jadi, manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah berarti manusia merupakan perwujudan dari pencipta-Nya[11].
            Kepada manusia yang diciptakan Allah sebagai laki-laki dan perempuan menurut citra-Nya sendiri(Kej 1:26-27) diserahkan-Nya tugas ini: beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilahbumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi (Kej 1:28). Teks Kej 1:26-28 seperti yang sudah dibahas sebelumnya, lama sekali ditafsirkan dalam Gereja sebagai sebuah teks yang memberi legitimasi kepada manusia untuk berkuasa atas makhluk yang lain. Kekuasaan itu menjadi sangat berarti karena manusia adalah wakil Tuhan. Namun dalam perjalanan Gereja selanjutnya, teks tersebut ditafsir secara baru[12]. Di sini, kata “berkuasa” harus dimengerti berdasarkan konteks terdekat Kej 1. Itu berarti, bahwa kata tersebut harus dipahami dalam kaitan dengan konsep tentang berkat (ayt 28a) dan tentang pembagian antara manusia dan binatang tanpa adanya saling membunuh (aya 29-30). Di samping itu patut diingat, bahwa dalam kisah penciptaan Kejadian 1 ini, dunia digambarkan sebagai sesuatu yang ditata secara harmonis dan baik. Dengan memperhatikan konteks seperti itu, kata berkuasa (raddah) tidak boleh dimengerti sebagai kesewenang-wenangan, perlakuan keras dan kasar (bdk. Yoel 3:13: injak-injaklah mereka seperti anggur); melainkan lebih sebagai tugas untuk memelihara dan mengurus.
Demikian pula dengan memperhatikan konteks seperti itu, kata “menaklukkan” (kabbas) tidak boleh dimengerti secara negatif dan keras (bdk. Zak 9:15: mereka akan menghabisi dan menginjak-injak pengumban-pengumban), tetapi harus dimengerti secara lebih positif (mengolah, mengerjakan). Dimengerti secara demikian, maka Kejadian 1 tidak dapat dijadikan dasar untuk membenarkan tindakan eksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab. Manusia berdasarkan Kejadian 1 harus lebih dilihat sebagai wakil dari Allah yang bertanggungjawab atas bumi dan segala makhluknya. Tanggung jawab dan tugas itu harus dilaksanakan dengan semangat dan keprihatinan dari Sang Khalik Pemelihara[13]. Manusia memang berkuasa dan mempergunakan kekuasaan itu demi kesejahteraan setiap makhluk dan seluruh makhluk. Kekuasaan berhubungan dengan mengelola agar semua makhluk yang ada merasa nyaman dan dapat hidup di bumi[14]. Manusia bertanggung jawab dalam mengurus, memelihara, dan mengelola alam. Pengaturan yang disebut dalam kitab Kejadian itu, menggambarkan bagaimana manusia menyatu secara harmonis dengan bumi. Di hadapan Allah, ia bertanggung jawab kepada Dia dalam mengatur hal-hal yang menyangkut manusia maupun bumi ciptaan-Nya. Dengan demikian meskipun manusia, yang diciptakan Allah menurut citra-Nya (Kej 1:27) dibedakan, namun ia tidak dipisahkan dari segala ciptaan Allah lainnya. 
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa manusia diciptakan Allah menurut citra-Nya sendiri. Menjadi citra Allah berarti memiliki hati yang meluapkan kasih dari hati Allah. Hati Allah adalah hati yang mampu menembus masuk untuk membaca dan merasa semua yang terhitung sebagai yang diadakan dan dicintainya, yakni seluruh alam semesta serta segenap isinya. Gambaran kemampuan menembus ke dalam hati bagi yang dicintai dilambangkan sebagai gambaran ibu yang memiliki relasi yang kuat dengan mengandung, melahirkan, mendidik dan akhirnya rela melepas anak yang dicintainya, dan bukan untuk dijadikan milik yang dapat selalu dikuasainya. Dengan demikian, ketika manusia menyadari hidup dan adanya sebagai citra Allah, ia tidak dapat berbuat lain kecuali hidup sebagai manusia yang berhati ibu bagi alam semesta. Karena semua manusia adalah sebagai citra Allah, karenanya panggilan untuk peduli, memelihara dan menyayangi alam adalah panggilan bagi semua[15].
Gagasan manusia sebagai citra Allah bukan menunjuk pada masalah keunggulan manusia dibandingkan degan makhluk lainnya, tetapi lebih pada relasi manusia dengan Allah. Dengan kata lain, gelar manusia sebagai citra Allah menunjuk pada keistimewaan hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta. Keistimewaan itu nampak, di mana Allah memberi kesempatan kepada manusia untuk berpartisipasi dalam kuasa-Nya untuk menguasai dunia. Sebagai citra Allah, maka kecitraallahan yang dimiliki manusia atas alam-lingkungan harus selalu dipahami dalam hubungannya dengan Allah sehingga tidak disalahgunakan demi kepentingan yang tidak sesuai dengan dengan maksud penciptaaan dan rencana Allah sendiri.
            Sebagai citra Allah, manusia menjadi rekan kerja Allah dalam menjaga dan melestarikan ciptaan . Manusia diberi kuasa atas ciptaan yang lain(Kej 1:28), maka ketika manusia ikut ambil bagian dalam gerak kehidupan alam, bukan cara menurut  konsep manusia yang semestinya diterapkan, melainkan sebuah konsep atau kondisi yang menampakkan keberadaannya sebagai citra Allah, yang memungkinkan  bagi kelangsungan hidup alam. Mengenal dan menghargai cara berada setiap ciptaan tida hanya merupakan bentuk usaha manusia dalam menghidupkan dan melestarikan alam tetapi juga merupakan perwujudan dari keberadaannya sebagai citra Allah. 
Dengan demikian, manusia sebagai citra Allah bertatanggung jawab mengandung arti bahwa manusia sebagai citra Allah mengelola alam semesta ini karena alam semesta ini mempunyai nilainya sendiri yang ada di dalam dirinya yang harus dihormati oleh manusia[16]. Alam lingkungan hidup kita pada jenis dan level apa pun, seperti halnya kita manusia juga ingin hidup dan berkembang serta memberi arti bagi hidup dan dunianya. Manusia tidak seenaknya saja bertindak atas alam semesta, melainkan ia harus menghargai nilai bawaan yang ada di dalam setiap ciptaan. Tugas manusia adalah menjamin kelangsungan hidup makhluk ciptaan yang lain. Tugas tersebut tercermin dalam sikap dan tindakan manusia untuk menjaga dan memelihara alam semesta.  
            Tanggung jawab manusia dalam memelihara alam dengan cara merawat alam bukan merusakkannya. Manusia membutuhkan alam untuk hidupnya. Manusia membutuhkan aneka bahan yang diambilnya dari kekayaan sumber daya alam untuk diolah dan dipakai. Tetapi bukan berarti manusia berlaku semena-mena terhadap alam. Manusia perlu menjaga dan menjamin keberlangsungan hidupnya. Alam dipercayakan kepadanya untuk dibudidayakan dan didayagunakan[17].
            Tanggung jawab terhadap keutuhan alam ciptaan adalah tanggung jawab manusia. Selain dapat diartikan sebagai milik kita, lingkungan hidup adalah sesuatu yang terbatas, ia membutuhkan perawatan dan pembaruan[18]. Ada banyak cara yang dapat kita lakukan untuk mengembalikan keutuhan alam. Salah satu cara yang dilakukan adalah melalui tindakan etis dan sikap moral yang tepat. Kita perlu sungguh menyadari bahwa ada bentuk kehidupan lain di luar kehidupan yang dimiliki oleh manusia. Hal itu berarti bahwa manusia memiliki tanggung jawab  yang lebih luas. Ia tidak hanya dituntut untuk menghargai diri dan sesamanya, tetapi juga menghargai makhluk hidup lain yang juga menjadi bagian dalam komunitas kehidupan di bumi  dengan tindakan etis dan sikap moral yang sesuai. Penghargaan terhadap alam itu diungkapkan dalam sikap mencintai alam. Kasih terhadap alam pada akhirnya harus berakar dalam kebaikan, kebijaksanaan dan daya pesona Allah sendiri yang tercermin di dalam makhluk-makhluk. Karena alam merupakan hasil karya Allah, maka ia harus dikasihi. Kasih itu akan menyatakan diri di dalam penghargaan bagi kebaikan dan keindahannya, dan dalam rasa hormat terhadap posisi yang diberikan kepadanya oleh Allah[19].
            Tanggung jawab terhadap untuk melestarikan alam ciptaan tentu akan menuntut pemahaman baru dari manusia yakni, ia mesti mengubah cara memandang dirinya di hadapan alam semesta. Manusia bukan satu-satunya ciptaan. Selama individualitas masih ada, manusia tetap akan menjadi perusak alam. Dari Kitab Suci manusia belajar untuk mencintai Tuhan, memandang keindahan dan melihat kebijaksanaanNya dalam penciptaan yang pada gilirannya ia juga bisa melihat dan memandang keindahan ciptaan yang lain. Maka ia tidak dibenarkan hanya memandang ciptaan yang lain sebagai alat produksi atau alat konsumsi belaka. Manusia harus bersikap tenggang rasa, tahu membatasi dan mengontrol diri. Ia tidak bisa menuntut kebebasan absolut untuk meneliti dan mengadakan eksperimen ilmiah secara tak terbatas[20].



7.      Penutup
Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah berarti manusia adalah Wakil dari Allah. Manusia sebagai citra Allah adalah wakil Allah di dunia ini. Sebagai citra Allah, manusia dalam segala tutur dan lakunya harus menampakkan dan mencerminkan Allah yang tidak kelihatan.  Menjadi citra Allah berarti menjadi tanda kehadiran Allah yang adalah kasih. Kasih bukan saja sifat Allah, melainkan Dia sendiri adalah kasih. Seperti semua ciptaan menjawabi panggilan Allah dengan cara mereka berada, demikian pun manusia sebagai citra Allah dipanggil untu menjawab panggilannya dengan kekhasannya sebagai pribadi dengan kasih yang melekat sebagai anugerah Allah.
Dengan dasar itulah, manusia sebagai citra Allah di tengah krisis ekologi yang terjadi saat ini dipanggil untuk mengalirkan dan menjadi saluran kasih-Nya yang diterima secara Cuma-Cuma  dengan menjaga dan memelihara keutuhan alam ciptaan. Dengan demikian, tema “berkuasa” dan “menaklukkan” dalam Kejadian 28 harus dipahami bukan dalam pengertian domination (penaklukan) melainkan perawatan dan pemeliharaan yakni dalam konteks mulia untuk memelihara harmoni dan keutuhan alam ciptaan.

Daftar Pustaka
Chang, W.,
2001    Moral Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta.
Dieng Karnedi, A.,
2007    “Lingkungan Hidupku” dalam A. Widyahadi (eds), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Perspektif Pastoral Sosial, Sekretariat Komisi PSE/APP Keuskupan Agung Jakarta.Go, P.,
1989    Etika Lingkungan Hidup, Dioma, Malang.
Henrika, M.,
2008    “Panggilan Berhati Ibu Bagi Semua: Kajian Ekofeminis”, dalam A. Sunarko – A. Eddy Kristiyanto (eds),Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup,Kanisius, Yogyakarta.
Heinz Peschke, K.,
2003    Etika Kristiani Jilid IV, Kewajiban Moral Dalam Hidup Sosial, Ledalero, Maumere
Mali, M.,
2008    “Ekologi dan Moral” dalam A. Sunarko – A. Eddy Kristiyanto (eds),Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup,Kanisius, Yogyakarta.
2011    “Ekologi, Teologi, dan Moral” dalam A. Hari Kustono  – V. Indra Sanjaya, Mencari Tuhan dalam Dialog Kehidupan, Kanisius, Yogyakarta.
Purwa Hadiwardoyo, Al.,
2006    7 Masalah Sosial Aktual, Kanisius, Yogyakarta.
Sunarko, A.,
2008    “Perhatian Pada Lingkungan: Upaya Pendasaran Teologis”, dalam dalam A. Sunarko–A. Eddy Kristiyanto (eds),Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup,Kanisius, Yogyakarta.
Stanislaus, S.,
2007    “Peduli Ekologi Belajar dari Kej 1:28”, dalam A. Widyahadi (eds), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Perspektif Pastoral Sosial, Sekretariat Komisi PSE/APP Keuskupan Agung Jakarta.


[1] William Chang, Moral Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta 2001,  13.
[2]M. Mali, “Ekologi dan Moral” dalam A. Sunarko – A. Eddy Kristiyanto (eds), Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta 2008, 138.
[3]M. Mali, “Ekologi dan Moral” 138.
[4]M. Mali, “Ekologi dan Moral”, 139.
[5]Al. Purw Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, Kanisius, Yogyakarta 2006, 48.
[6]Al. Purw Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 49.
[7]Al. Purw Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 49-50.
[8]Surip Stanislaus, “Peduli Ekologi Belajar dari Kej 1:28”,dalam A. Widyahadi (eds), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Perspektif Pastoral Sosial, Sekretariat Komisi PSE/APP Keuskupan Agung Jakarta 2007, 46-47.
[9]Surip Stanislaus, “Peduli Ekologi Belajar dari Kej 1:28”, 47.
[10]Surip Stanislaus, “Peduli Ekologi Belajar dari Kej 1:28”, 48.
[11]Surip Stanislaus, “Peduli Ekologi Belajar dari Kej 1:28”, 48-49.
[12]M. Mali, “Ekologi, Teologi, dan Moral” dalam A. Hari Kustono – V. Indra Sanjaya (eds), Mencari Tuhan dalam Dialog Kehidupan, Kanisius, Yogyakarta 2011, 111.
[13]AdrianusSunarko, “Perhatian Pada Lingkungan: Upaya Pendasaran Teologis”, dalam dalam A. Sunarko–A. Eddy Kristiyanto (eds),Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup,KanisiusYogyakarta, 33-34, 2008.
[14]M. Mali, “Ekologi, Teologi, dan Moral” 111.
[15]M. Henrika, “Panggilan Berhati Ibu Bagi Semua: Kajian Ekofeminis”, ” dalam A. Sunarko – A. Eddy Kristiyanto (eds), Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta 2008,  119
[16]M.Mali, “Ekologi dan Moral” 143.
[17]P. Go, Etika Lingkungan Hidup, Dioma, Malang 1989, 28.
[18]A. Dieng Karnedi, “Lingkungan Hidupku” dalam A. Widyahadi (eds), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Perspektif Pastoral Sosial, Sekretariat Komisi PSE/APP Keuskupan Agung Jakarta 2007,  87.
[19]Karl-Heinz Peschke SVD, Etika Kristiani IV, Kewajiban Moral Dalam Hidup Sosial, Ledalero, Maumere 2003, 283.
[20]Karl-Heinz Peschke SVD, Etika Kristiani,  IV, Kewajiban Moral Dalam Hidup Sosial, 285.

Komentar

Postingan Populer