MEMBANGUN KRISTOLOGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA SUMBA



1.    Data-Fenomena-Pengalaman-Penelitian
Sebelum membuat tulisan ini, saya mengadakan wawancara melalui telepon dengan beberapa orang Sumba. Selain mengadakan wawancara dengan beberapa narasumber, saya juga melengkapi data wawancara tadi dengan beberapa kajian pustaka melalui buku-buku tentang Sumba, khususnya yang berbicara mengenai Marapu. Adapun pertanyaan utama saya dalam wawancara tersebut adalah bagaimana pandangan orang Sumba menegenai Yesus.
Kekristenan yang masuk ke Sumba menjumpai para penduduk yang telah memiliki suatu agama asli (Marapu) dan meski Kekristenan sudah hadir di Sumba selama lebih dari seabad, tetapi pengaruh Marapu masih cukup kuat sampai saat ini. Berbeda dengan wilayah lain di NTT yang hampir semua penduduknya sudah beralih ke agama-agama besar (seperti Kristen dan Islam), penganut Marapu di Sumba masih banyak dengan jumlah yang yang juga signifikan. Selain itu, banyak umat yang baru beralih ke agama Kristen dan terus hidup berbaur dengan para penganut Marapu, tidak jarang kembali lagi ke praktik-praktik keagamaan yang asli.
Orang Marapu  mengenal dan percaya dengan Ilah Tertinggi, Yang Ilahi ini mereka sembah lewat perantaraan Marapu.  Istilah untuk menyebut Ilah Tertinggi “Ndapa Teki Ngara, Ndapa Suma Tamo” (tidak bisa disebut nama-Nya/ tidak ada nama)[1]. Dalam agama Marapu nama tersebut bersifat keramat dan tidak dapat disebut secara sembarangan. Ilah tertinggi ini diyakini memiliki kekuatan magis. Kendatipun tidak bisa disebutkan namanya, namun orang Sumba memahami bahwa Ilah tertinggi adalah yang menciptakan langit dan bumi serta menciptakan manusia[2].
Bapak Philipus Lede Dakka mengatakan “ada beberapa ungkapan yang mengindikasikan mengenai yang tertinggi itu, tidak boleh disebut namanya:  Akanga lima, akanga wai: Pencipta jari-jari tangan dan jari-jari kaki. Labe beleka pari’i kalada: Pelindung dan penopang terbesar dan terkuat[3]. Kebanyakan orang Sumba yang belum beriman Kristiani, menyerahkan seluruh diri dan hidupnya pada Ilah tertinggi tersebut. Dalam pandagan orang Sumba, Marapu menjadi perantara bagi mereka dengan Yang Ilahi tadi.
Meski demikian, masih kuatnya pengaruh Marapu bagi mereka yang baru beralih ke agama Kristen menunjukkan bahwa dalam taraf tertentu Kekristenan belum mampu menjawab kerinduan terdalam mereka. Maka mereka masih kembali mencari pemenuhannya dalam praktik-praktik keagamaan asli. Kenyataan ini mendesak perlunya suatu usaha lebih jauh sampai pada taraf perjumpaan “hati ke hati” antara Marapu dan Kekristenan. Dalam hal ini diperlukan pertama-tama suatu studi yang mendalam untuk menemukan pada tataran teologis, hal-hal yang paralel antara Kekristenan dan Marapu, selanjutnya diperlukan suatu keberanian menerima unsur-unsur ajaran kepercayaan Marapu tersebut serta menempatkannya secara tepat dalam kerangka misteri iman Kristen.

2.    Status Quaestions
Berdasarkan data wawancara dan kajian pustaka, saya menarik beberapa kesimpulan berikut: sebelum agama Kristen masuk ke Sumba, masyarakat Sumba telah percaya adanya Ilah tertinggi, dan relasi mereka dengan Yang Ilahi tersebut terjadi lewat perantaraan Marapu. Dari sini, lahir beberapa pertanyaan dasar yang menjadi fokus refleksi kristologi kontekstual. Pertama, apa dan bagaimana itu agama Marapu? Kedua, apa peran Marapu dalam bagi masyaraat Sumba sendiri? Ketiga, apakah Marapu dalam pandangan orang Sumba dapat disejajarkan dengan Yesus Kristus yang diimani oleh orang Kristiani? Keempat, siapakah Yesus Kristus bagi orang Sumba dalam kaitannya dengan Marapu itu sendiri? Keempat pertanyaan tersebut akan menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini, secara khusus ditelaah dari sudut pandang ilmu sosial-filsafat, eksegetis-biblis, magisterium Gereja katolik dan pandangan teolog Kristiani.

3.    Refleksi dari Perspektif Ilmu Sosial
Berbicara tentang Sumba dan masyarakatnya, maka hal itu tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan Marapu. Suku bangsa Sumba memiliki suatu kepercayaan yang telah dianut turun temurun sejak jaman purba hingga masa kini, yaitu kepercayaan Marapu sebagai agama asli warisan leluhur orang Sumba. Disebut kepercayaan (religi) karena kegiatan-kegiatan pemujaan (kultus) dengan segala upacaranya dilakukan menurut suatu sistem atau cara yang teratur dan tertentu. Dapat juga dikatakan bahwa orang Marapu adalah masyarakat Sumba atau orang Sumba yang beragama Marapu.
Tidak ada defenisi yang pasti tentang Marapu. L. Onvlee seperti yang dikutip oleh Mateus Mali menyebutnyan sebagai “Yang Disembah dan Dihormati” karena baginya Marapu berasal dari kata arti kata  “Ma” (Yang) dan “rapu”(dihormati atau disembah). Marapu adalah sembahan orang Sumba. Penyembahan itu ditujuhkan kepada roh, arwah orang mati, atau “Allah” (Dewa Tertinggi). Semua yang disembah disebut Marapu[4]. Sementara itu, A.A. Yewangoe[5] mengartikan Marapu sebagai “Yang Tersembunyi” kalau kata ini diambil dari kata “ma”(yang) dan “rappu”(tersembunyi) atau sesuatu yang tidak dapat atau tidak boleh dilihat. Namun Marapu juga berarti “Serupa Nenek Moyang” bila kata Marapu diambil dari rangkaian kata “mera” (serupa) dan “appu” (nenek moyang)[6].
Dengan demikian belum dapat diketemukan kesesuaian pengertian di antara para tua-tua adat tentang pengertian Marapu ini[7]. Bahkan kebanyakan dari mereka tidak mempersoalkan hal tersebut. Untuk sementara ada beberapa pengertian yang dapat dikemukakan di sini sebagai arti dari kata Marapu antara lain yakni: 1). Para penghuni langit yang hidup abadi. Makhluk-makhluk mulia itu merupakan makhluk-makhluk yang berwujud dan berkepribadian seperti manusia. Terdiri dari pria dan wanita, mereka juga berpasangan sebagai suami-istri. Mereka adalah perantara antara Allah sebagai Pencipta dan manusia sebagai ciptaan. 2). Arwah nenek moyang di Kampung besar atau negeri Marapu. 3). Arwah sanak keluarga. Leluhur ini sebenarnya tidak sama dengan Marapu tetapi karena dekatnya mereka dengan Marapu lalu kemudian sering juga disebut Marapu. 4). Makhluk-makhluk halus yang menghuni seluruh  penjuru dan ruang alam, benda-benda antara lain: kayu cendana, padi dan ular. Mereka mempunyai kekuatan gaib, magis yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia di alam ramai. Dalam arti ini Marapu yang baik mendatangkan berkat, ada ­Marapu yang mendatangkan bencana. 5). Dalam pengertian lain Marapu dimengerti sebagai sobat[8].
Para Marapu tidak sama tingkat kedudukannya, Marapu yang menjadi cikal-bakal sekelompok suku menempati tingkat yang tinggi. Walapun demikian tak satupun di antara Marapu, meski pun tinggi derajat-Nya, dinyatakan sebagai Marapu pencipta alam semesta. Secara prinsispil kepercayaan Marapu tidak mengakui adanya Marapu pencipta alam semesta. Sebab yang tertinggi adalah DIA yang dialami sebagai yang mencipta seisi alam semesta, yang membentuk dan memberi kehidupan, yang bertelinga dan bermata Maha Besar. Sang Pencipta yang pantang disebut namaNya ini dikenal dengan “Ndapa Teki Ngara-Ndapa Suma Tamo” (Tak diucapkan namaNya dan tak disebutkan gelarNya). Dia tidak disebut Marapu.
Para Marapu inilah yang menjadi perantara atau media antara manusia dengan Alkhalik (Yang Ilahi/Yang Maha Kuasa) di dalam penyampaian segala perasaan dan kehendak hati dalam bentuk doa atau upacara-upacara. Dalam hal ini mereka melaksanaknnya dalam rumah-rumah adat yang disebut oleh masyarakat sebagai Umma Rato[9].
4.    Pandangan Filsuf
Untuk merefleksikan tulisan ini dari perspektif filsafat, saya menggunakan pemikiran Baruch de Spinoza. Spinoza banyak dipengaruhi rasionalitas Descartes. Dalam krisis sosial dan intelektual pada zamannya, seperti Descaters, dia juga ingin menemukan jaminan atau pegangan yang pasti bagi segala bentuk pengetahuan. Kalau Descartes menemukan dasar akhir itu pada Cogito, Spinoza menemukannya pada konsep substansi. Menurut Spinosa, pikiran mustahil tanpa konsep Substansi. Dengan kata Substansi, dia mendefenisikannya sebagai sesuatu yang ada pada dirinya sendiri. Dengan defenisi ini, Spinoza memahami substansi sebagai suatu kenyataan yang mandiri tetapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain. Substansi tidak berelasi dengan sesuatu yang lain, dan tidak dihasilkan atau disebabkan oleh sesuatu yang lain. Dan Substansi ini, dalam pandangan Spinoza hanya satu dan itu adalah Allah. Substansi ini bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesuatu yang tampaknya individual[10].
Dalam hubungannya dengan konsep substansi, Spinoza juga merumuskan konsep ”atribute” dan “modus”. Dengan atribut dia maksudkan sesuatu yang ditangkap intelek sebagai hakikat substansi, sedangkan modus adalah “hal-hal yang berubah-ubah pada Substansi”. Dalam pandangan Spinoza, keluasan (eksistensi) dan pikiran bukanlah substansi seperti dikira Descarters, melainkan sebuah atribute, sebab kita tangkap sebagai hakikat benda-benda jasmani. Warna, ukuran, dst. hanyalah modus. Keluasan itu menurut Spinoza adalah atribute Allah yang adalah Substansi yang tak terhingga.
Dalam hubungannya dengan kerpercayaan Marapu, orang Sumba yang menganut agama Marapu juga percaya pada adanya Substansi Tertinggi yang mereka kenal dengan sebutan Ndapa Teki Ngara, Ndapa Suma Tamo (tidak bisa disebut nama-Nya/ tidak ada nama), Dia adalah Ilah Tertinggi, yang dariNya manusia memperoleh berkat. Hubungan mereka dengan Ilahi Tertinggi  diperantarai oleh Marapu. Dengan demikian, memakai pemikiran Spinoza, kita dapat mengatakan bahwa “Ndapa Teki Ngara, Ndapa Suma Tamo” (tidak bisa disebut nama-Nya/ tidak ada nama) adalah Substansi Tertinggi, sedangkan Marapu adalah atribut yang menjadi perantara anatara manusia dengan Ilah Tertinggi mereka.

5.    Refleksi dari Perspektif Teolog
Untuk merefleksikan  tulisan ini dari perpektif teolog, di sini saya menggunakan pemikiran Yustinus Martir seorang apologet abad ke-2[11]. Dalam pandangan Yustinus Martir, semua pengenalan akan Yang Ilahi dalam berbagai kepercayaan dan kebudayaan bersumber pada Logos yang satu dan sama yakni Logos Spermatikos. Sebelum peristiwa inkarnasi (dan sebelum suatu kebudayan dijagkau pewartaan Kristen) segala kebenaran yang terdapat dalam kebudayaan bangsa-bangsa  telah merupakan partisipasi dalam Logos  yang satu dan sama yang tidak lain dari Putra Tunggal Allah, walaupun dengan tingkat yang berbeda-beda. Dalam sejarah Bangsa Israel, campur tangan Logos lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Pada akhirnya, campur tangan Logos dalam sejarah umat manusia menjadi sempurna hanya dalam Kekristenan. Dengan adanya tingkatan-tingakatan partisipasi di dalam Logos yang satu dan sama, maka sekali pun ada Logos Spermatikos, Sabda yang tersebar dan hadir dalam setiap kebudayaan, sifat kebenaran di luar Kekristenan masih fragmetnaris, tersembunyi, bahkan masih membingungkan.
Berkaitan dengan tradisi masyarakat Sumba yang sangat kental dengan budayanya, dapat dipahami bahwa semua yang didengar, dicari dan dilihat itu berasal dan terarah kepada yang Ilahi, namun seperti yang diungkapkan di atas, dalam bahasa Yustinus Martir, Sabda yang tersebar dan hadir dalam kepercayaan orang Sumba, khususnya Marapu masih bersifat fragmenatris, tersembunyi dan masih membingungkan. Maka, masyarakat sumba masih mencari identitas diri untuk memahami dan mengerti yang tertinggi itu. Bertitik tolak dari pemikiran Yustinus, kepercayaan Marapu yang banyak dianut oleh masyarakat Sumba pada intinya mengandung kebenara karena kepercayaan mereka bersumber dari Logos yang satu dan sama namun kepercayaan tersebut masih bersifat fragmentaris.
Istilah Marapu dalam kepercayaan Marapu itu sendiri dapat memiliki dua makna yang berbeda. Di satu pihak, benar bahwa istilah itu bisa ditujukan kepada Ilah Tertinggi dalam kepercayaan marapu, namun di lain pihak dapat juga digunakan untuk menyebut marapu sebagai pengantara, ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh bapak Philipus Lede Dake bahwa Marapu adalah Sosok yang mereka yakini sebagai Ilah tertinggi dan juga sebagai pengantara doa-doa serta permohonan mereka kepada Ilah Tertinggi. Pertanyaan yang kemudian bisa muncul adalah, siapa sosok Marapu pengatara ini? Dalam konteks masyarakat Sumba yang menganut Marapu, sosok ini masih tersembunyi dan membingungkan, ini nampak dari banyaknya pengertian terhadap Marapu dan tidak adanya kesepakatan antara para tetua adat.

6.    Dasar Eksegetis Biblis
Untuk merefleksikan tulisan ini, di sini saya menggunakan Injil Matius 5: 17-48 yang berkisah Yesus dan hukum Taurat, khususnya ayat 18 yang berbunyi: “Aku berkata kepadamu: sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi”. Di sini peranan Yesus dibicarakan dengan referensi pada Perjanjian Lama, atau lebih baik, Perjanjian Lama dilihat dalam referensi kepada Yesus. Yesus datang untuk mengungkapkan dan mewahyukan makna sesungguhnya dari Perjanjian Lama, untuk mengungkapkan apa yang ingin dikatakan hukum dan para nabi, dan membawanya ke dalam pemenuhan[12]. Ucapan dalam ayat 18 menantang gagasan orang Yahudi bahwa hukum adalah abadi, atau paling sedikit tetap mempunyai kekuatan sebelum semuanya terjadi (kepenuhan dari Kerajaan Allah).
Sabda yang telah menjelma secara konkrit dalam kebudayaan Yahudi juga telah menjelma dalam setiap kebudayaan di mana Kekristenan hadir. Sebagaimana Sabda Kristus itu “tidak membatalkan hukum Taurat sebelum semuanya digenapi” (Mat. 5:18) demikian juga Kristus yang sama tidak membatalkan segala yang baik dan benar dalam kebudayaan-kebudayaan. Selanjutnya sebagaimana Kristus melampaui dan melengkapi setiap peraturan taurat dengan ajaran etika-Nya yang tinggi supaya manusia menjadi sempurna sama seperti Bapa di surga adalah sempurna (Mat. 5:48). Kristus yang sama mentransformasikan setiap kebudayaan supaya manusia dihantar kepada kesempurnaan.
Kenyataannya Kristus tidak membatalkan Taurat. Ia menggenapi dan menyempurnakannya dan itu pula merupakan paradigma perjumpaan Kekristenan dengan kebudayaan Sumba, khususnya Marapu. Dalam perjumpaan itu, Yesus Kristus yang diwartakan Gereja menemui umat-Nya di Sumba yang sesungguhnya tidak asing bagi-Nya. Dia lalu membiarkan diri-Nya dikenal oleh umat-Nya dengan cara mentransformasikan pengalaman mereka akan diri-Nya yang sebelumnya masih samar-samar dalam kepercayaan Marapu menjadi pengenalan yang sempurna di dalam Gereja.

7.    Pandangan Dokumen Magisterium
Untuk mendukung tulisan ini, di sini saya menggunakan  Dokumen Nostra Aetate (NA) atau Pernyataan Tentang Hubungan Gereja Dengan Agama-Agama Bukan Kristen. Ini merupakan salah satu Dokumen Konsili Vatikan II. Dokumen ini diresmikan oleh Paus Paulus VI pada tanggal 28 Oktober 1965. Dokumen ini terdiri atas lima artikel. Terbitnya dokumen ini menandai suatu sikap dan pandangan yang baru Gereja  Katolik dalam hubungannya dengan agama-agama lain. Dokumen ini menjadi evaluasi historis dan teologis Gereja Katolik di masa lalu dalam hubungannya dengan agama dan kepercayaan lain.
Pernyataan mengenai hubungan dengan agama-agama bukan Kristen diawali dengan penjelasan mengenai semakin eratnya penyatuan dan hubungan antar bangsa dan antar pelbagai bangsa berkembang serta menuju satu asal dan tujuan akhir dari semua, yakni Allah. Dokumen ini juga mengungkapkan mengenai pertanyaan abadi yang telah ada di dalam pemikiran manusia sejak awal mulanya dan bagaimana berbagai tradisi keagamaan yang beraneka ragam telah berupaya untuk menjawabnya.
Sejak Konsili Vatikan II, Gereja dengan penuh keyakinan menegaskan bahwa iman dan wahyu orang bukan Kristen dapat bersifat menyelematkan dan bahwa Gereja harus menolak “semua saran yang memaksa pewartaan iman. Sarana-sarana yang dimaksud tersebut adalah semacam sifat fanatisme berlebihan dan seifat manakut-nakuti kebudayaan lain[13].
Dalam NA art. 2 tertulis: Gereja Katolik tidak menolak apa pun yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat dan tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang.
Dalam pernyataan ini dapat dilihat bahwa di dalam lembaga Gereja dan institusi serta tradisinya, dalam orang-orang kudus dan kitab-kitab sucinya, “pesan kristiani” secara aktif disingkapkan oleh Roh Kudus di tengah-tengah kita dan melampui rintangan-rintangan budaya, seturut janji yang Yesus berikan kepada para murid-Nya.
            Bagi saya pribadi, satu hal yang patut diperhatikan dalam membangun kristologi dalam konteks budaya Sumba dengan masyarakatnya yang terikat sangat erat dengan kepercayaan Marapu adalah penghargaan dan penghormatan terhadap apa yang mereka percayai dan yakini. Penghormatan dan penghargaan ini menjadi pintu masuk bagi kita untuk kemudian mulai membangun kristologi dalam konteks kepercayaan Marapu. Dan ini hemat saya mendapatkan legitimasinya lewat Dokumen Nostra Aetate.
Penghargaan bahwa apa yang mereka yakini selama ini juga bisa menuntun kepada keselamatan menjadi starting point bagi bagi kita untuk membangun Kristologi. Dalam kepercayaan orang marapu, keselamatan merupakan berkat yagn dianugerahkan oleh Ilah yang tertinggi lewat perantaraan Marapu, karena dalam kepercayaan Marapu wujud perantara tersebut masih ambigu namun memancarkan sinar kebenaran, maka dapat dikatakan bahwa di sana juga ada iman.

8.    Kesimpulan
Pada bagian ini saya akan mencoba menjawab status quaestions yang saya angkat dalam tulisan ini.    Hemat penulis, agama Marapu merupakan agama atau kepercayaan yang dapat dikelompokkan atau digolongkan ke dalam apa yang disebut dengan agama-agama alam. Kehidupan masyarakat yang  masih sangat terikat dan berhubungan dengan alam mewarnai setiap ritual dari agama ini. Sebagai agama alam, di dalamnya kuasa-kuasa dan kekuatan-kekuatan alam sangat dihormati. Mereka melihat alam serta segala ciptaan lain sebagai gambaran kehendak atau perintah dari Yang Ilahi. Inilah mengapa orang Sumba menaruh perhatian dan penghormatan yang besar kepada beberapa benda-benda duniawi atau kejadian-kejadian alam. Dari benda-benda duniawi atau kejadian-kejadian alam, mereka kemudian menafsirkan kehendak Marapu atau Yang Ilahi.
Seeperti yang telah saya uraikan dalam tulisan ini, dalam pemahaman penganut agama asli Sumba, marapu berfungsi sebagai pengantara antara manusia dengan Ilah Tertinggi yang dalam bahasa setempat disebut dengan  Ndapa Teki Ngara, Ndapa Suma Tamo” (tidak bisa disebut nama-Nya/ tidak ada nama). Dalam konteks seperti itu, mereka melihat Marapu sebagai pengantara.  Dengan demikian, dapat  dikatakan bahwa bagi para penganut agama asli Sumba, fungsi Marapu sebagai mediator antara Pencipta dan ciptaan analog dengan fungsi Kristus sebagai pengantara antara manusia sebagai ciptaan dengan Allah sebagai Pencipta.
Pertanyaannya kemudian, apakah dapat diterima adanya kontinuitas antara Marapu  dan Kristus? Ataukah harus ditegaskan suatu dikontinuitas mutlak antara Marapu dan kristus, dalam arti bahwa kristus adalah pengantara tungga yang meniadakan peran kepengataraan marapu? kalau diterima bahwa ada kontinuitas antara Ndapa Teki Ngara, Ndapa Suma Tamo dan Allah Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, maka dapat pula diterima kontinuitas antara Marapu dan Kristus. Redemptoris Missio no. 5 di satu pihak menegaskan bahwa Kristus merupakan “pengantara tunggal dan universal”, di lain pihak tidak mengecualikan adanya “bentuk-bentuk perantaraan dari berbagai macam dan tingkat yang dipartisipasikan”. Maka tidaklah salah bila Marapu menduduki posisi pengantara yang berpartisipasi dalam Kristus Pengantara Tunggal.
Bila Marapu boleh dilihat sebagai pengantara yang yang berpartispasi dalam kepengentaraan tunggal Yesus Kristus, maka Yesus Kristus dapat disebut Marapu sejati atau Marapu Nduka Marapu (Marapu maha Marapu), sehingga bukan hanya nama tetapi menunjukkan juga suatu kontinuitas pengataraan. Marapu yang bagi orang Sumba sebelum dijangkau pewartaan Gereja merupakan pengatara untuk menjumpai Sang Khalik, sesungguhnya telah merupakan pancaran dari Kristus Sang Pengantara Tunggal yang sehakikat dengan Allah. Dalam Kekristenan kepengataraan Marapu mencapai kesempurnaannya dalam Yesus Kristus Putra Tunggal Allah. Kepengantaraan Marapu yang dalam agama asli hanya merupakan pancaran dari Pengantara Tunggal dan sifatnya masih samar-samar dan ambigu, kini dalam Kekristenan menjadi defenitif dan sempurna dalam Yesus Kristus.





Daftar Pustaka

Ahamad Yunus,  H. & HP. Suradi (eds),
1985    Upacara Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa dan Kepercayaan Daerah Nusa Tenggara Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Jakarta.
Anita,
1987    Sumba, Marapu dan Iman Kristiai, dalam Rohani, September.
Bergant ,D.,- Karris R. J., (eds),
2002    Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Kanisius, Yogyakarta.
Hardiman, F. B.,
2004    Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta.
J. Daeng, H.,
2000    Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Kapita, Oe. H.,
 1976   Sumba di Dalam Jangkauan Jaman, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Kirchberger, G.,- Mansford Prior, J.,
1996    Iman dan Transformasi Budaya, Nusa Indah, Ende.
Mali, M.,
2010    “Sumba: Tanah Marapu,” dalam Spiritualitas Dialog Narasi Teologis Tentang Kearifan Religius, Eddy Kristiyanto (ed), Kanisius, Yogyakarta.
peters T.,- Bennet, G.,
2006    Menjembatani Sains dan Agama, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Welem, F. D.,
2004    Injil dan Marapu, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Yewangoe, A. A.,
1980    “Korban Dalam Agama Marapu, ” dalam Peninjau, Tahun VII, Nomor 4.

Nara Sumber:
Bapak Andreas Malo Dunga (64 tahun), Sumba, 2 Mei 2016.
Philipus Lede Dakka ( 56 tahun), Sumba, 3 Mei 2016.
Ibu Magdalena Bulu (54 tahun), Yogyakarta 26 April 2016.


[1] F. D.Welem, Injil dan Marapu, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2004,  42-43.
[2] Wawancara dengan Bapak Andreas Malo Dunga (64 tahun), Sumba, 2 Mei 2016.
[3] Philipus Lede Dakka ( 56 tahun), Sumba, 3 Mei 2016.
[4]               Mateus Mali, “Sumba: Tanah Marapu,” dalam Spiritualitas Dialog Narasi Teologis Tentang Kearifan Religius, Eddy Kristiyanto (ed), Kanisius, Yogyakarta 2010, 74.
[5]               A.A. Yewangoe, “Korban Dalam Agama Marapu”, dalam Peninjau, Tahun VII, Nomor 4, 1980.
[6]               Mateus Mali melihat bahwa pemikiran ini didasarkan pada kebiasaan yang terjadi di Sumba. Semua sanak saudara terlebih nenek moyang yang telah meninggal  telah berbahagia di alam baka dan mereka menjadi perantara doa-doa dari mereka yang masih hidup kepada “Dewa Tertinggi”. Pemberian sesaji berupa siri pinang atau makanan yang diletakkan di atas kuburan mereka yang meninggal dengan harapan mereka yang meninggal itu akan melindungi yang masih hidup dan kelak berkenan menjemput mereka kalau meninggal nanti ( Mateus Mali, “Sumba: Tanah Marapu,” 74.)
[7]               Bdk. Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2000, 117-118.
[8]               Sr. Anita, ADM, “Sumba, Marapu dan Iman Kristiai, dalam Rohani, September 1987, 334.
[9]               H. Ahamad Yunus & Suradi HP (eds), Upacara Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa dan Kepercayaan Daerah Nusa Tenggara Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Jakarta 1985, 76.
[10]             F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta 2004, 47.
[11] Ted Peters dan Gaymon Bennet, Menjembatani Sains dan Agama, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2006, 180.
[12] Dianne Bergant-Robert J. Karris (eds), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Kanisius, Yogyakarta 2002,  41.
[13] Georg Kirchberger-John Mansford Prior, Iman dan Transformasi Budaya, Nusa Indah, Ende 1996, 164.

Komentar

Postingan Populer