MANUSIA MEMPUNYAI TANGGUNG JAWAB MORAL UNTUK MENJAGA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP SEBAGAI WUJUD PERTOBATAN EKOLOGIS



 Oleh: Nikolaus L. Uran, CSSR
Pendahuluan
Sejak dunia diciptakan Allah telah memberi tugas kepada manusia untuk menjaga alam ciptaan yang lain sebagai bentuk dari tanggung jawab manusia untuk menjaga dan melestarikan ciptaan Tuhan. Sabda Allah “berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, (Kej 1:26)” sering disalahartikan sebagai sesuatu yang benar-benar menunjukkan bahwa manusia diberikan hak secara penuh untuk bertindak semaunya tanpa memandang efek yang akan terjadi.
Banyak kejadian yang kita temukan dalam kehidupan kita setiap hari yang berkaitan dengan pengrusakan alam. Di mana-mana orang mulai menebang hutan sembarangan, membakar hutan sembarangan, membuang sampah tidak pada tempatnya, menggunakan bahan-bahan kimia untuk menghancurkan kesuburan tanah, membunuh ekosistem yang ada, seperti menembak dan membunuh segala macam hewan di darat maupun di laut. Semuanya dilakukan atas dasar keinginan manusia yang tidak bertanggungjawab. Akibat dari kesalahan itu sendiri, akhirnya terjadi kekeringan dimana-mana, hutan semakin menipis, bahkan hewan-hewan liar semakin berkurang dan akibat dari penebangan hutan secara liar akhirnya menyebabkan banjir, tanah longsong, dan juga erosi yang berkepanjangan.
Oleh karena itu melihat situasi yang saat ini terjadi, saya ingin mengajak kita untuk mengetahui lebih dalam lagi bagaimana sebagai manusia kita mempunyai tanggung jawab moral yang tinggi untuk sadar akan kelestarian alam sehingga ketika kita menjaga alam ini dengan baik, maka kita dengan sendirinya mempunyai tanggung jawab moral kepada sesama kita manusia dan juga alam ciptaan yang lain, terlebih khusus kita bertanggungjawab atas Tuhan yang sudah menciptakan alam semesta dengan baik adanya.
1.                  Krisis lingkungan hidup dewasa ini
Melihat realitas yang terjadi dewasa ini khsusnya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak hal yang dilakukan oleh setiap orang atau kelompok untuk membuat dirinya atau diri mereka terlihat bagus dan menarik minat banyak orang. Dengan sikap semacam ini tentunya banyak sekali yang perlu dikorbankan dan salah satunya adalah alam. Keegoisan dan keserakahan manusia membuat alam ini akhirnya menjadi rusak dan terlihat tidak menarik lagi. Misalnya ketika membangun gedung yang bertingkat akan sekian banyak ekosistem tumbuhan baik umur panjang maupun yang pendek akan hancur. Orang mulai menebang pohon-pohon agar mendapat tempat yang lebih luas untuk membangun sebuah gedung. Di kota-kota besar mungkin juga di kota-kota kecil, kesadaran untuk menjaga alam tidak lagi dipentingkan karena orang mulai sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri sehingga tidak heran kalau dimana-mana terjadi pencemaran lingkungan, kepunahan ekosistem, bencana alam, dan kekacauan atau semacam perubahan iklim yang tidak lagi menentu dan berbagai persoalan sosial yang berkaitan dengan lingkungan tersebut. Misalnya menyangkut kerusakan alam, dari data menunjukkan bahwa awal abad ke-20 luas area hutan mencapai 5 miliar Ha. Dan kemudian terjadi kerusakan hutan secara besar-besaran di berbagai belahan dunia sehingga menurun menjadi 5 miliar Ha, dengan perkiraan laju kerusakan mencapai 7 juta per tahun.[1]
Persoalan demi persoalan yang semakin terjadi, kadang kita harus berpikir bahwa itu semua bukan karena kesalah alam melainkan kita harus merefleksikannya sebagai bagian dari perbuatan kita manusia sendiri.
1.1              Manusia dan perilakunya
Bicara tentang kerusakan lingkungan tentu tidak terlepas dari kehidupan manusia, dan itu perlu disadari bahwa memang benar penyebab terjadinya kerusakan lingkungan atau kerusakan alam adalah karena manusia. Betapapun demikian, manusia tetaplah ciptaan Tuhan yang adalah gambar Allah sendiri yang diutus untuk berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, ternak dan atas seluruh bumi (Kej 1:26). Namun yang menjadi persoalannya adalah sikap manusia sendiri yang lebih mementingkan dirinya sendiri, manusia dalam hal ini telah dikuasai oleh sikap egoismenya serta kerakusan untuk menguasai seluruh alam ciptaan dengan tindakan yang tidak wajar. Manusia ingin menunjukkan dirinya lebih berkuasa dari ciptaan yang lain sehingga akhirnya manusia mengeploitasi sumber daya alam ini secara tidak terkendali dan ini merupakan sebuah tindakan kejahatan yang tidak dapat dibiarkan begitu saja.
Di balik pengrusakan alam yang disebabkan oleh sikap dan perilaku manusia sendiri, Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Cantesimus Annus art. 37 menegaskan bahwa manusia lupa pada prinsipnya sebagai karunia Allah sehingga manusia boleh menguasai semaunya sendiri terhadap alam dengan mengeploitasi alam tidak pada tempatnya hanya untuk kepentingannya sendiri dan juga kelompoknya.[2] Selain itu berbagai persoalan lingkungan hidup yang terjadi di bumi berasal dari dua perilaku buruk manusia yakni pertama, sikap tidak memperdulikan akibat dari tindakannya itu yang mencari keuntungannya sendiri dan mengorbankan yang lain misalanya alam dan juga sesama manusia yang lain. kedua, sikap pasif dan acuh tak acuh merusak lingkungan secara langsung misalnya menebang hutan secara liar tetapi tidak mengusahakan kelestarian dengan menanam kembali pohon yang lain sebagai pengganti.
1.2              Cara pandang yang keliru
Berhadapan dengan persoalan yang terjadi khususnya berkaitan dengan masalah ekologi, tentu bagi saya tidak terlepas dari cara pandang manusia yang keliru. Bertolak dari kitab Kejadian 1:26 yang menempatkan manusia sebagai penguasa akhirnya mengangap manusia adalah penguasa yang tunggal. Ketika manusia keliru memandang dirinya dan alam serta keliru menempatkan posisinya dalam alam, pada gilirinya akan menampilkan sikap dan perilaku yang keliru pula dalam relasinya dengan alam.[3] Cara pandang yang keliru ini yang kemudian dilihat oleh manusia bahwa alam dan segala isisnya hanyalah sebatas objek atau sarana yang selalu siap untuk memenuhi kepentingan manusia.
Manusia memandang dirinya sebagai yang berada di luar dan di atas alam. Tidak termasuk di dalamnya sehingga apapun dapat ia lakukan. Alam sering dilihat sebagai yang tidak mempunyai nilai instrinsik pada dirinya selain nilai instrumental yang hanya memuaskan kepentingan manusia.[4] Karena alam dipandang sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia maka dalam diri manusia tidak akan muncul lagi rasa tanggung jawab dan kemauan yang kuat untuk menjaga alam ciptaan. Sikap ini kemudian menjadi pemicu untuk terus dan selalu merusak alam.
2.                  Manusia dan tanggung jawab moralnya untuk menjaga alam dan lingkungan hidup
Pada prinsipnya setiap kita sudah diberikan apa yang kita inginkan. Segala sesuatu sudah ada dan kita hanya bisa untuk menggunakannya. Tuhan telah memberikan itu semua kepada kita supaya kita bisa menggunakan dengan penuh tanggung jawab dan kewajiban kita adalah menjaganya. Dalam hubungannya dengan ekologis, saya berpikir bahwa alam ini sudah diberikan kepada manusia secara cuma-cuma, semuanya seolah-olah menjadi milik kita manusia. Oleh karena itu sudah selayaknya kita menjaga dan melestarikannya sebagai wujud dari tanggung jawab kita atas alam ciptaan. Tanggung jawab manusia terhadap alam dapat dikatakan juga sebagai bentuk wujud solidaritas manusia terhadap kosmis, manusia di dorong untuk mengambil sebuah kebijakan yang pro terhadap alam, pro terhadap lingkungan, dengan demikian manusia menentang setiap tindakan yang menyakiti binatang tertentu atau memusnahkan species tertentu.[5]
Bertolak dari pernyataan tersebut saya akhirnya merefleksikan bahwa karena kita dan seluruh alam ciptaan adalah hasil karya Allah, hendaknya kita juga menjadi seperti Allah yang adalah kasih itu. Allah telah menciptakan seluruh alam semesta dan akhirnya dia menciptakan kita menurut gambar dan rupaNya sendiri (bdk Kej 1: 26-27). kiranya ini yang harus kita pegang jika kita benar-benar ingin melihat alam itu sebagai sesama yang diciptakan sama oleh Allah, dan kelebihan manusia adalah dia diciptakan seturut gambar dan rupah Allah.
2.1              Manusia sebagai gambar Allah
“Berfirmanlah Allah: baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala bilatang melata yang merayap di bumi, maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanyanNya mereka (Kej 1:26-27)”.
Peran manusia telihat sangat jelas dalam kutiban teks kitab suci tersebut bahwa manusia merupakan gambar Allah sendiri. Gambar (Ibrani : Zelem) dan rupa (Ibrani : demut) Allah. Zelem artinya patung yang dipahat untuk melukiskan seseorang. Dengan demikian manusia adalah Bayangan dari Allah (1Sam 6:5, Bil 33:52). Sedangkan Demut merupakan perwujudan dari apa yang tampak, sehingga manusia merupakan perwujudan atau penampakkan dari Allah yang tidak tampak (bdk. Yeh 1:5.10.26.28; 2Raj 16:10), jadi manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah berarti manusia merupakan perwujudan dari PenciptaNya.[6]
Sebagai gambar dan rupa Allah maka jelaslah manusia dimungkinkan berkuasa atas makhluk ciptaan yang lain. Berkuasa dalam hal ini berarti mengusahakan dengan sebaik mungkin untuk menjaga dan memelihara alam ini, manusia harus bisa mengahadirkan Allah yang menciptakannya dan mengelola alam untuk kebaikan bersama bukan mengartikannya secara bebas bahwa manusia mempunyai hak untuk bertintak terhadap alam dengan semena-mena.
            Beritik tolak dari manusia sebagai gambar Allah, manusia sudah dan selayaknya mampu mengenal dan mencintai ciptaannya (bdk Gs 12.3).[7] Manusia ditugaskan sebagai salah satu cara pengabdiannya kepada Pencipta. Dengan demikian manusia dianugerahi Tuhan untuk menguasai dan memelihara alam semesta. Jelaslah bahwa setiap manusia tanpa kecuali memiliki anugerah untuk memiliki bumi, mengusahakan alam ini dan beserta isinya namun manusia memiliki tanggung jawab yang sama dalam memelihara dan melestarikan alam ini.
            St. Bonaventura mengikuti pengalaman St. Fransiskus yang mengembangkan suatu teologi yang disebut Skramentalitas Ciptaan. Di mana dunia dihuni oleh yang kudus yakni jejak-jejak Kristus ada di dalam dunia ciptaan.[8] Sejak kisah Penciptaan Allah sendiri yang telah membuat segalanya itu baik adanya, Allah yang dengan pewahyuanNya meninggalkan jejak-jejakNya di mana-mana (Epifania). Oleh karena itu merusak dengan sengaja ciptaan berarti merusak gambar Allah sendiri dan juga merusak Kristus yang hadir dalam setiap ciptaan. Sakramentalitas ciptaan menunjukkan kepada kita bahwa Allah Sang Pemilik dunia tidak sengaja mendesak kita untuk memperhatikan keadilan sosial, yakni relasi kita yang baik dengan masyarakat atau sesama, tetapi juga keadilan ekologis yang berarti relasi yang baik antara manusia dengan ciptaan yang lain dan dengan bumi itu sendiri.
2.2              Tanggung jawab moral manusia untuk menjaga alam semesta
Bertitk tolak dari manusia sebagai gambar dan rupa Allah maka menjadi jelas bahwa manusia mempunyai tugas dan tanggung jawab moral untuk terus menerus menjaga alam semesta ini menjadi lebih baik. Namun kenyataannya bahwa, lemahnya kesadaran manusia terhadap lingkungan hidup seakan sesuatu yang sudah terbiasa dan menjadi seolah-olah wajar untuk dilakukan. Misalanya saja, membuang sampah sembarangan, penebangan pohon secara liar terus menjadikan manusia semakin terbiasa dan dari sini tugas dan tanggung jawabanya sebagai manusia yang bermoral seakan tidak ada hanya karena keegoisan manusia untuk menguasai alam semaunya karena baginya alam dipahami sebagai tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Karena alam tidak mempunyai nilai dalam dirinya menurut anggapan manusia pada umumnya maka, segala macam nilai dan norma moral hanya sebatas keberlakuannya bagi manusia dalam komunitas manusia belaka.[9] Ini berarti bahwa kewajiban dan tanggung jawab moral hanya berlaku dan relevan dituntut untuk relasi sosial manusia yang satu dengan manusia yang lain. Kewajiban dan tanggung jawab moral dan segala perintah larangan serta perilaku yang baik menjadi tidak relevan ketika manusia berhadapan dengan alam. Dengan demikian konsekuensinya adalah manusia tidak mempunyai tanggung jawab dan kewajiban untuk menjaga serta menghormati kehidupan sesama ciptaan termasuk alam semesta.
Etika dan moral manusia menentukan sikapnya bagaimana manusia akhirnya sampai pada tugas dan tanggung jawabnya untuk menjaga alam semesta. Dua hal tersebut sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika itu sendiri merupakan sebuah sikap atau sebuah tindakan yang dilakukan oleh manusia berdasarkan norma-norma yang berlaku, sehingga jika dikaitkan dengan etika lingkungan hidup, dapat diartikan sebagai sebuah usaha untuk membangun dasar-dasar rasional bagi sebuah sistem prinsip-prinsip moral yang dapat dipakai sebagai panduan dari usaha mansia untuk menjaga dan memperlakukan ekosistem alam dan lingkungan sekitarnya dengan baik.[10] Etika ekologis juga menegaskan bahwa manusia hanyalah sebagian dari alam.[11] Karena itu manusia harus peduli pada makluk lain dari dunia ini, bukan saja pada dirinya sendiri. Sedangkan moral adalah tindakan yang paling menentukan kualitas manusia baik buruknya hidup seseorang. Prinsip-prinsip moral tentang yang baik, keadilan dan hormat pada diri sendiri, inilah yang menentukan sikap orang itu baik dan bisa dikatakan moralnya baik.[12]
Memang benar bahwa hanya manusia yang bisa dikatakan sebagai pelaku moral, karena hanya manusia yang mempunyai akal budi serta kehendak yang bebas. Karena manusia adalah subjek moral maka tidak berarti manusia tidak harus melihat alam itu sebagai objek yang diperlakukan semena-mena melainkan manusia harus memperlakukan alam itu sebagai bagian dari dirnya, sebagai subjek yang lain dari dirinya, sehingga alam itu berhak dan pantas diperlakukan secara bermoral oleh manusia sebagai pelaku moral.[13] Alam semesta mempunyai hungungan yang erat dengan kehidupan manusia, oleh karena itu kebersamaan dengan yang lain adalah unsur penting dari manusia karena manusia pada dasarnya adalah makhluk yang selalu mempunyai ketergantungan dengan yang lain. Oleh karena itu manusia harus disadarkan akan pentingnya sebuah sikap moral dalam kaitanya dengan kebersamaan dengan yang lain dalam hal ini makhluk ciptaan yang lain. Manusia harus mempunyai rasa tanggung jawab untuk bersama dengan seluruh isi alam yang ada di dunia ini, karena moralitas bukan sekedar manusia dengan manusia saja tetapi menyangkut kehidupan manusia dengan seluruh kosmos yang ada sebagai bagian dari kehidupannya sendiri.[14]
Masalah moral manusia yang keliru terhadap cara pandangan mereka atas alam semesta merupakan masalah yang serius. Karena manusia tidak lagi menganggap alam itu sebagai bagian dari dirinya. Manusia tidak lagi melihat alam itu sebagai bagian dari dirinya maka tanggung jawab manusia untuk menjaga dan melestarikan alam tidak berpengaruh lagi bahkan manusia menguasai alam itu dengan tidak bermoral.
3.                  Panggilan pada Pertobatan  Ekologis
Berhadapan dengan persoalan yang terjadi pada saat ini, khususnya dalam kaitanya dengan kehancuran alam akibat dari ulah manusia, yang memperlakukan alam secara tidak bermoral dan mengabaikan tugas serta tanggung jawabnya sebagai penjaga dan pelestari alam, maka pada bagian ini saya mengajak kita semua untuk kembali melihat tugas dan tanggung jawab kita yang sesungguhnya yang dipercayakan Allah pada kita manusia, dengan memulai langkah baru yakni panggilan pada pertobatan ekologis. Pertobatan itu adalah langkah kita mengubah hati dan mengubah arah hidup. lingkungan alam diperlakukan bukan sebagai sumber penghasilan semata melainkan tempat yang aman dan nyaman. Panggilan ke arah pertobatan berarti mengakui segala sikap manusia dari yang merusak alam menuju pada hidup yang membangun dan memelihara.
a.       Panggilan untuk bertindak
Lingkungan tempat kita tinggal yang telah rusak ini memaksa kita untuk segera melakukan sesuatu yakni sebuah aksi nyata. Usaha-usaha nyata perlu untuk dilakukan agar tetap menjaga keseimbangan ekosistem dan kelangsungan makhluk hidup. Usaha pemulihan ini dapat dimulai dari kesadaran akan semakin krisisnya persoalan lingkungan, maupun kesadaran iman yang mendasari tindakan.
Ø  Pemberdayaan air tanah
Masalah kekurangan air adalah masalah yang serius bagi manusia, dengan tindakan penebangan hutan yang secara liar membawa dampak yang begitu besar terhadap sumber air. Kelangkaan air terjadi karena peresapan air oleh berbagai jenis pohon tidak ada lagi. Maka dari sini diperlukan sebuah pertobatan ekologis di mana setiap orang wajib menanam pohon untuk peresapan air.
Ø  Pemberdayaan Hutan
Kadang kita manusia sering mempersalahkan Tuhan dan juga alam ketika manusia mengalami nasib buruk yang menimpa dirinya. Padahal kenyataannya adalah manusia sendiri yang membuat itu semua terjadi. Hutan yang luas sudah semakin berkurang bahkan terkesan gersang karena sudah di potong habis demi kepentingannya sendiri dan kelompoknya, manusia menjadi kekurangan oksigen, sering terjadi banjir di mana-mana, maka dari situ tindakan pertobatan yang perlu dilakukan adalah gerakan penanaman hutan kembali atau istilah reboisasi.
Ø  Hemat Energi Listrik[15]
Mematikan lampu dan pendingin ruangan di kamar yang tidak digunakan, agar tidak memboros energi. Menggunakan waktu siang hari untuk menerangi ruangan tanpa harus menggunakan lampu. Di satu pihak menggunakan udara yang alami dengan cara membuka jendela kamar daripada menggunakan pendingin ruangan.
Ø  Pemberdayaan Sampah[16]
Tindakan pengolahan sampah dengan baik dengan cara memisahkan yang organik dan yang anorganik. Agar bisa didaur ulang atau diperbaiki barang yang masih bisa digunakan lagi. Intinya adalah buanglah sampah pada tempatnya.

b.      Panggilan akan pengharapan
Setiap manusia tentunya dipanggil pada suatu pengharapan akan hidup yang baru. Dipanggil untuk menikmati suasana yang baru yang aman dan damai. Dalam kaitannya dengan ekologi manusia mengharapkan untuk hidup di bumi yang baru dan langit yang baru.[17] Keinginan untuk hidup di bumi dan langit yang baru adalah gambaran dari kesejahteraan manusia yang melihat alam itu sebagai bagian dari hidupnya. Manusia tidak lagi melihat alam sebagai objek semata melainkan subjek yang ada dalam hidupnya sebagai sesama ciptaan Tuhan.

Penutup
Persoalan tentang lingkungan hidup adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena ada hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Alam akan menjaga manusia jika manusia juga berbuat yang baik terhadap alam, demikianpun sebaliknya, manusia harus bertanggung jawab dan menggunakan alam itu dengan sebaik mungkin.
Saya pikir letak persoalan yang terjadi pada saat ini dengan berbagai macam bencana alam yang melanda kehidupan manusia adalah karena ulah manusia itu sendiri. Manusia kurang menggunakan alam yang ada dengan sebaik mungkin. Maka perlulah menjaga keutuhan ciptaan, dan perlu adanya suatu pertobatan ekologis. Pertobatan ekologis bukan hanya kesadaran pentingnya lingkungan hidup bagi manusia, tetapi karena lingkungan hidup adalah saudara kita. Untuk itu pula perlunya pembaharuan diri untuk menjaga dan mencintai alam sebab alam merupakan sarana bagi kita untuk memuliakan Allah. Dengan mencintai alam, manusia menjadi semakin kaya dan semakin merealisasikan dirinya sebagai pribadi ekologis. Manusia semakin berkembang bersama alam, dengan segala watak dan kepribadiannya yang tenang, damai, penuh kasih sayang dan wawasan manusia akan semakin luas seluas alam.[18]
Saya sangat terkesan dengan ungkapan yang ditulis oleh Thom Hartman yang melihat konteks dari suku Indian alsi, di mana mereka melihat alam itu sebagai bagian dari kehidupan manusia, mereka mengatakan bahwa:[19]
Pertama, “Kita adalah bagian dari dunia” :kita diciptakan dalam daging yang sama seperti binatang lain. Kita makan tetumbuhan yang sama. Kita berbagi udara, air, tanah dan makanan dengan setiap bentuk kehidupan yang lain di planet ini. Kita dilahirkan dengan cara yang sama seperti mamalia yang lain, dan kalau kita mati, sama seperti mereka, kita akan menjadi bagian dari tanah yang akan menumbuhkan generasi-generasi yang akan datang. Kedua: “adalah kodrat kita untuk bekerja sama dengan ciptaan yang lain: setiap bentuk kehidupan mempunyai tujuan khusus dalam ekosistem yang luas, dan semuanya patut dihormati. Kita boleh bersaing dengan tetumbuhan dan binatang yang lain, namun kita tak boleh semena-mena menghancurkan mereka. Setiap kehidupan adalah suci secara absolut sama seperti hidup manusia. Meski perburuan dan pembunuhan adalah bagian dari hukum alam, ketika melakukannya harus dilaksanakan dengan hormat dan terimakasih.





























DAFTAR PUSTAKA

Hadiwardoyo Al. Purwa.,
2006 7 Masalah Sosial Aktual, Kanisius, Yogyakarta.
2015 Teologi Ramah Lingkungan Sekilas tentang Ekoteologi Kristiani, Kanisius, Yogyakarta.
Siswono Eko.,
2015 Ekologi Sosial, Ombak, Yogyakarta.
Sonny A. Keraf.,
2010 Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Kanisius, Yogyakarta.
Mali Mateus.,
2008 “Ekologi dan Moral” dalam A. Sunarko, dkk (ed), Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta.
Aswin G.N.,
2007 “Pendahuluan Selamatkan Lingkungan-Selamat Bumi Kita”, dalam A. W. Seputra, dkk (ed), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Prespektif Pastoral Sosial, Sekretariat Komisi PSE, Jakarta.
Budiyanto H,.
2007 “Membangun Lingkungan Sekolah Berbasis Nilai, Suatu Tinjauan “LIVING VALUES”, dalam A. W. Seputra, dkk (ed), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Prespektif Pastoral Sosial.
Bijanta Stefanus.,
2007 “Pemberdayaan Lingkungan Sebagai Upaya Kesejahteraan”, dalam A. W. Seputra, dkk (ed), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Prespektif Pastoral Sosial.

Karnedi A Dieng.,
2007 “Lingkungan Hidupku, Kajian Etika dan Moral”, dalam A. W. Seputra, dkk (ed), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Prespektif Pastoral Sosial.
Stanislaus S.,
2007 “Peduli Ekologi Belajar dari Kej 1:28”, dalam A. W. Seputra, dkk (ed), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Prespektif Pastoral Sosial.
Widjaja F.V. Bernardi.,
2007 “Cintaku Pada Secarik Kertas”, dalam A. W. Seputra, dkk (ed), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Prespektif Pastoral Sosial.
Wijaya F. Brilyandino.,
2014 “Kembalikan Firdaus Kita! Tinjauan Teologis tentang Lingkungan Hidup dan Persoalannya”  dalam Forum Jurnal Ilmiah Filsafat Teologi, Manusia Penguasa Bumi?, STFT Widya Sasana, Malang.



[1] A. Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Kanisius, Yogyakarta 2010, 28.
[2] Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, Kanisius, Yogyakarta 2006, 54.
[3] Felix Brilyandino Wijaya “Kembalikan Firdaus Kita! Tinjauan Teologis tentang Lingkungan Hidup dan Persoalannya”  dalam Forum Jurnal Ilmiah Filsafat Teologi, Manusia Penguasa Bumi?, STFT Widya Sasana, Malang  2014, 24.
[4] A. Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, 79.
[5] Eko Siswono, Ekologi Sosial, Ombak, Yogyakarta 2015, 35.
[6] S. Stanislaus, “Peduli Ekologi Belajar dari Kej 1:28”, dalam A. W. Seputra, dkk (ed), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Prespektif Pastoral Sosial, Sekretariat Komisi PSE, Jakarta 2007,48-49.
[7] H. Budiyanto, “ Membangun Lingkungan Sekolah Berbasis Nilai, Suatu Tinjauan “LIVING VALUES”, dalam A. W. Seputra, dkk (ed), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Prespektif Pastoral Sosial, 178.
[8] F.V. Bernardi Widjaja, “ Cintaku Pada Secarik Kertas”, dalam A. W. Seputra, dkk (ed), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Prespektif Pastoral Sosial, 176.
[9] A. Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, 81.
[10] A. Dieng Karnedi, “ Lingkungan Hidupku, Kajian Etika dan Moral”, dalam A. W. Seputra, dkk (ed), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Prespektif Pastoral Sosial, 79.
[11] Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 51.
[12] A. Dieng Karnedi, “ Lingkungan Hidupku, Kajian Etika dan Moral”, dalam A. W. Seputra, dkk (ed), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Prespektif Pastoral Sosial, 81.
[13] A. Dieng Karnedi, “ Lingkungan Hidupku, Kajian Etika dan Moral”, dalam A. W. Seputra, dkk (ed), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Prespektif Pastoral Sosial, 82.
[14] Mateus Mali, “Ekologi dan Moral” dalam A. Sunarko, dkk (ed), Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta 2008, 141.
[15] A. Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global,163.
[16] A. Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, 163.
[17] Stefanus Bijanta, “ Pemberdayaan Lingkungan Sebagai Upaya Kesejahteraan”, dalam A. W. Seputra, dkk (ed), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Prespektif Pastoral Sosial, 113.
[18] Eko Siswono, Ekologi Sosial, Ombak, 36.
[19] G.N. Aswin “ Pendahuluan Selamatkan Lingkungan-Selamat Bumi Kita”, dalam A. W. Seputra, dkk (ed), Kajian Lingkungan Hidup Tinjauan dari Prespektif Pastoral Sosial, 3.

Komentar

Postingan Populer