DIA YANG MEMANGGIL ADALAH SETIA


Nama saya Marcelinus Ledu Ngaba, saya merupakan anak pertama dari satu saudara dan satu saudari. Meski kedua orang tua berasal dari Palla, saya sendiri lahir di Wairasa-Anakalang dan tumbuh besar di Waimangura, sebuah lingkungan pedesaan di Sumba Barat Daya, kurang lebih 8 Km dari Weetebula ibu kota kabupaten. Seiring dengan pemekaran kabupaten, lingkungan  tempat saya tumbuh juga mengalami perkembangan dan kemajuan. Sebagai anak pedesaan, corak hidup masa kecil saya pun tidak jauh dari yang namanya alam, mulai dari sepak bola, perang-perangan, mancing, bermain karet, gasing, gambar, balapan ban, kelereng, mandi di sungai, dll merupakan ragam permainan yang mewarnai masa kecil saya.
Pengalaman masa kecil yang bersentuhan langsung dengan alam dan sesama teman berpadu dengan didikan kedua orang tua yakni Bapak Robertus Ng. Bulu, seorang pegawai negeri sipil pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (saat itu Depdikbud) dan Ibu Ester Koni Bali, seorang ibu rumah tangga yang sangat memperhatikan perkembangan anak-anaknya. Didikan dan bimbingan merekalah yang menjadikan saya pribadi yang mampu menentukan pilihan dan cita-cita hidup apa yang harus saya jalani. Mereka memberi saya kebebasan untuk memilih jalan hidup, dan mendukung setiap pilihan saya. Meski bapak bukanlah seorang guru, namun beliau sangat memperhatikan pendidikan kami anak-anaknya. Seingat saya, bapak selalu mendorong kami untuk sekolah meski terkadang harus meminjam uang  untuk melunasi tunggakan uang sekolah. Perjalanan pendidikan formal saya dimulai dari SDM Waimangura, SMPK Stella Maris Waikabubak dan SMAK Anda Luri Waingapu. Selama menempuh pendidikan di jenjang SD saya tinggal bersama kedua orang tua, dan sejak SMP hingga SMA saya tinggal di asrama. Waktu SMP saya tinggal di Asrama Putera yang dikelolah oleh suster-suster SCMM dan di bangku SMA saya tinggal di Asrama Pewarta Injil Pada Dita.
Kapan dan bagaimana saya terpanggil menjadi imam? Mengapa saya memilih Redemptoris? Tidak ada jawaban yang pasti. Yang jelas, panggilan ini terjadi dan berlangsung dalam proses serta diwarnai dengan berbagai dinamika: ada saat penuh semangat dan juga ada saat di mana panggilan serasa menjadi beban berat. Kisah panggilan saya mungkin bisa dimulai dari masa-masa ketika saya duduk di bangku SD. Paroki kami merupakan salah satu Paroki yang ditangani oleh para imam Redemptoris. Pengalaman perjumpaan dengan para imam Redemptoris rupanya sangat berkesan bagi saya. Pater Wilfrid, CSsR, seorang imam Jerman yang bertugas sebagai pastor paroki kami waktu itu merupakan Redemptoris pertama yang saya kenal. Satu hal unik yang saya ingat dari beliau yakni kebiasaannya memberi permen kepada anak-anak yang memanggil namanya ketika beliau mengendarai jip birunya, tidak peduli, mau Katolik atau Protestan semua yang berpapasan dengan beliau, asal memanggil namanya akan mendapatkan permen yang dilemparkan lewat jendela jipnya.
Di samping itu, peran orang tua yang mendorong kami anak-anaknya untuk mengikuti Perayaan Ekaristi menjadi pengalaman awal yang memunculkan dalam diri saya benih ketertarikan menjadi imam. Setiap Minggu pagi, mama menjadi orang pertama yang membangunkan kami untuk mempersiapkan diri berangkat ke Gereja mengikuti Perayaan Ekaristi. Selama Perayaan Ekaristi saya sangat senang melihat imam mengangkat hosti dan piala. Dalam benak, saya berujar demikian “Hosti dan anggur yang diangkat oleh imam dalam sebuah Perayaan Ekaristi pasti sangat sedap”. Saking senangnya melihat imam yang merayakan Ekaristi sambil mengangkat piala dan hosti, dalam hati timbul keinginan untuk mencoba hal yang sama. Akibatnya, jika ada yang bertanya, “Nanti mau jadi apa?” atau “Kalo sudah besar mau jadi apa?” dengan cepat akan saya timpali bahwa saya mau jadi imam, saya mau mencoba merasakan enaknya hosti dan mengecap manisnya anggur. Ditambah lagi dengan kebiasaan para imam saat itu (baik projo maupun para misonaris) yang mengendari motor trail, keinginan saya menjadi imam semakin bertambah besar, saya ingin merasakan nikmatnya mengendarai motor trail.
Lulus dari SD, saya kemudian meninggalkan kampung halaman saya Waimangura untuk melanjutkan pendidikan di SMPK Stella Maris Waikabubak. Dalam perjalanan  waktu, keingin untuk menjadi seeorang imam seakan hilang. Lingkungan baru serta teman-teman yang juga baru membuat saya seakan lupa dengan cita-cita awal saya. Saya bahkan hampir saja menjadi perawat. Ceritanya begini, seusai lulus SMP, Sr. Matea, SCMM, suster kepala Asrama saya saat itu mendaftarkan saya di SPK Waikabubak, namun karena tidak lulus tes, saya kemudian “banting setir” melanjutkan pendidikan ke SMAK Anda Luri. Bersamaan dengan itu, bersama beberapa teman, kami juga diterima di Asrama Pewarta Injil (API) Pada Dita. Saya pun melanjutkan pendidikan di SMA Anda Luri dan menjadi bagian dari API.
Di Pada Ditalah, ketertarikan dan cita-cita awal saya yang sempat hilang itu, perlahan tapi pasti mulai muncul kembali. Lingkungan API Pada Dita dan SMAK Anda Luri menjadi tempat yang memunculkan kembali cita-cita masa kecil saya. Pengalaman perjumpaan dengan para imam Redemptoris yang berkarya atau pun sekedar mampir di lembaga pendidkan ini semakin meyakinkan saya untuk menjalani dan menekuni cita-cita awal saya.  Gaya hidup (life style) yang ditampilkan para Redemptoris, baik itu dalam relasi mereka dengan umat yang mereka layani, maupun dengan anak-anak, khususnya dengan kami anak asrama bak sihir yang membuat kami sangat terkesan. Hobi dan minat mereka, seperti musik dan olahraga menjadi nilai tambah yang membuat saya dan banyak teman lain tertarik untuk menjadi Redemporis. Bersama beberapa teman-teman asrama saat itu, saya kemudian mengajukan lamaran untuk diperkenankan menjadi Redemptoris.
Dari SMAK Anda Luri saya kemudian melanjutkan petualangan pendidikan saya ke KPA St. Paulus Mataloko-Bajawa selama satu tahun (2007-2008). Setelah menamatkan pendidikan di KPA saya kemudian diterima untuk mengikuti tahun persiapan atau postulan selama satu tahun di Pada Dita (2008-2009). Dari Pada Dita, saya kemudian berpindah ke Wanno Gaspar untuk melanjutkan tahun Novisiat (2009-2010), sebuah jenjang yang didominasi dengan keheningan dan keteraturan, setiap menit dan jam sudah ada aturannya. Selain itu, kami (para novis) juga banyak ditempa dengan berbagai aneka kegiatan baik itu di dalam biara mapun di luar biara. Tujuan dari semua ini sangat jelas: untuk semakin mematangkan panggilan saya dan teman-teman sehingga bertumbuh menjadi pribadi yang dewasa. Saya merasa pengalaman di Novsiat adalah pengalaman di mana kami benar-benar dituntun untuk memperhatikan kehidupan rohani. Meski awalnya serba berat, namun dalam perjalanan waktu, aturan-aturan yang tadinyan nampak memberatkan menjadi sebuah rutinitas harian yang tidak hanya saya hidupi tetapi juga telah menghidupi saya. Hal yang saya syukuri kemudian karena aturan dan tuntutan tersebut menjadi habitus melekat dalam diri saya hingga hari ini.
Setelah menyelesaikan satu tahun “retret agung”, dari Novisiat saya kemudian diutus untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Teologi Wedahbakti Kentungan-Yogyakarta. Pengalaman selama empat tahun menjalani pendidikan filsafat dan teologi (2010-2014) menjadi sebuah pengalaman yang sangat berarti dan berkesan. Studi filsafat dan teologi memberi saya banyak sekali bekal hidup yang tidak ternilai. Pemikiran-pemikiran filsafat dan teologi yang dipadukan dengan praktek-praktek rohani yang berlangsung dengan teratur dalam komunitas seperti: misa, ibadat, doa, adorasi, rekoleksi, retret, bimbingan rohani, dll juga membentuk pribadi saya menjadi semakin matang dan kritis dalam tindakan dan kata-kata.
Selain itu, hidup di kota besar seperti Yogyakarta, sebuah kota yang dikenal sebagai kota pelajar dan budaya, memungkinkan saya juga berjumpa dan belajar dengan aneka macam orang, peristiwa, budaya dan bahasa. Keterlibatan saya dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) memberi saya juga kesempatan untuk taktif terlibat dalam berbagai kegiatan, baik itu yang bersifat akademis maupun non akademis, dan lebih jauh lagi, kegiatan-kagiatan seperti itu juga membantu saya mengenal diri sendiri, tahu apa kemampuan dan kelebihan serta apa kekurangan dan kelemahan. Perjumpaan dengan berbagai pribadi dengan latar belakang yang berbeda, baik dalam komunitas maupun dalam lingkungan yang lebih luas seperti kampus dan masyarakat mengajari saya untuk mampu memahami tidak saja diri sendiri tetapi juga orang lain.
Setelah selama empat tahun bergulat dengan filsafat, teologi, Kitab Suci, dll tibalah saatnya bagi saya mengalami hidup pastoral sekalian mencoba mempraktekkan ilmu yang telah saya dapatkan dan juga belajar secara langsung dari umat Allah. Saya kemudian mendapat perutusan untuk menjalankan Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Keuskupan Larantuka, tepatnya di lembaga calon imam Seminari Menengah San Dominggo Hokeng-Flores Timur (2014-2015), sebuah lembaga formasi calon imam yang jauh dari keramaian dan hingar bingar keramaian kota dan kebisingan kendaraan bermotor, sebuah tempat yang sangat kaya dengan suasana keheningan yang sangat mendukung refleksi dan permenungan. Lembaga ini juga kaya karena dihidupi oleh  pribadi-pribadi yang luar biasa, pribadi-pribadi yang sangat bersahabat dan menginspirasi. Kami memang datang dari ordo dan daerah yang berbeda, namun di sini kami disatukan dalam cita yang sama: mengikuti Kristus lewat pengabdian yang total di bidang pendidikan.
Selama kurang lebih satu tahun berkarya di tempat TOP ada banyak hal yang saya pelajari. Saya belajar tentang arti pemberian diri yang total. Saya dituntut untuk senantiasa menyelaraskan kata dan tindakan dalam keseharian, khususnya dalam perjumpaan dengan mereka yang saya layani. Menghidupi setiap kata adalah perjuangan yang tidak mudah, namun harus diperjuangkan karena anak-anak (seminaris) tidak hanya memperhatikan apa yang kita katakan tetapi juga memperhatikan dan mengamati apa yang kita lakukan, untuk itu, keselarasan antara kata dan tindakan adalah seumpama doa yang harus senantiasa didaraskan dalam hidup harian di lembaga ini. Sifat nakal khas anak-anak yang ditampilkan oleh para seminaris membuat saya juga terus berinovasi dan berimprovisasi guna menemukan pola didik yang bisa membantu mereka menjadi pribadi yang baik yang meninggalkan kebiasaan lama dan menggantinya dengan kebiasaan baru. Selain itu, kenakalan seminaris membuat dan melatih saya juga menjadi pribadi yang sabar, pribadi yang lebih mengedepankan komunikasi daripada emosi.
Waktu satu tahun menjalani TOP juga membantu saya semakin mendalami  tentang arti hidup berkomunitas. Meski saya tinggal dan berkarya di Seminari dan jarang bertemu dengan sesama konfrater, hal itu tidak menghalangi saya untuk belajar tentang hidup komunitas. Pengalaman-pengalaman perjumpaan, baik langsung atau tak langsung dengan konfrater serta cerita-cerita lepas yang saya dengar dari konfrater yang berkarya di komunitas-komunitas Redemptoris semakin menyadarkan saya bahwa tidak ada komunitas dan kongregasi yang sempurna. Namun itu tidak berati bahwa kesempurnaan adalah sebuah kemustahilan. Masa TOP selama satu tahun, pengalaman tinggal dan hidup dalam komunitas campuran membuat saya sadar bahwa komunitas yang sempurna itu tidak diturunkan dari langit, melainkan harus diperjuangkan oleh anggotanya sendiri. Saya sadar bahwa komunitas akan hidup jika anggotanya mau menghidupi komunitas tersebut, itu berarti baik buruk sebuah komunitas sangat tergantung dari kerelaan setiap anggota komunitas untuk memberi diri dan terlibat aktif dalam komunitas. Nuansa persaudaraan akan nampak dalam komunitas jika setiap anggota berani mengesamping kepentingan pribadi dan mengedepankan kepentingan umum.
Selesai menjalani TOP, pada bulan Agustus 2015 yang lalu saya kemudian kembali lagi ke Komunitas Wisma Sang Penebus, kembali ke rumah yang telah membesarkan dan memberi banyak sekali pengalaman. Kembali merasakan komunitas  dengan karakter-karakter dan peribadi- pribadi yang luar biasa: ada yang sabar, ada juga yang cepat sekali emosi, ada yang sangat serius, ada juga yang sangat lucu, namun ada juga yang sangat enjoy, membuat saya serasa berada di tengah komunitas yang beragam corak warnah yang membentuk sebuah keindahan, komunitas yang terdiri dari pribadi-pribadi yang berbeda namun sangat kaya dngan pribadi-pribadi yang menginspirasi satu dengan yang lain, itulah rumah besar Wisma Sang Penebus. Semua sifat dan karakter dari anggotanya menyatu dan menjadi daya yang mewarani komunitas. Pribadi-pribadi yang membentuk komunitas ini jugalah yang dalam segala kelebihan dan kekurangannya memberi inspirasi bagi saya. Mereka menginspirasi saya untuk melanjutkan nilai-nilai yang positif serta meninggalkan atau merubah sesuatu yang negatif.
Dari perjalanan panggilan yang relatif masih sangat singkat ini, saya merasa bahwa panggilan ini sungguh bermakna dan membahagiakan. Perjumpaan dengan orang-orang lain dalam setiap pengalaman dan langkah panggilan saya menumbuhkan semangat dan kebahagiaan untuk terus menjalani panggilan ini. Perjumpaan-perjumpaan serta dukungan dan doa yang mereka berikan menjadi kekuatan dan motivasi tambahan bagi saya untuk terus berada dan setia pada pilihan ini. Meski di sana sini ada banyak cerita miring mengenai konfrater atau komunitas, namun itu semua tidak menyurutkan keyakinan saya untuk tetap terus berada pada jalan yang telah saya pilih ini. Seperti uangakapan yang berbunyi: “Pengalaman adalah guru terbaik”, pengalaman-pengalaman dan cerita-cerita yang tidak mengenakkan mengenai hidup membiara saya ambil dan saya jadikan sebagai pelajaran hidup. Pengalaman-pengalaman tersebut saya ambil sebagai pelajaran berharga untuk menjadi lebih baik di hari depan.
Di atas semuanya itu, saya yakin dan percaya dengan sungguh bahwa panggilan yang saya jalani saat ini buka karena kekuatan dan kehebatan saya tetapi merupakan karya penyelenggaraan Allah. Dan penyelenggaraan Allah itu hadir secara nyata lewat konfrater di komunitas dan umat yang saya layani. Lewat pengalaman-pengalaman perjumpaan tersebut Tuhan menunjukkan bahwa Ia setia mendampingi dan menolong saya, Ia tidak pernah meningglkan saya berjalan sendiri, Ia tidak membiarkan saya berjuang sendiri, Ia selalu hadir dalam setiap perjuangan hidup saya. Itu semua memperlihatkan bahwa Allah adalah sosok yang setia dan Ia meyakinkan saya bahwa tidak sia-sialah pengharapan saya kepada-Nya. Dan saya pun percaya bahwa Ia masih mau berkarya dalam dan lewat diri saya bagi sesama. Dia yang memanggil saya adalah setia.

Komentar

Postingan Populer