ON GOING FORMATION


Usia Bukan Penghalang Untuk Belajar

“Kalau kita tahu, kita tidak akan pernah belajar” adalah sebuah ungkapan yang saya dapatkan setelah menyaksikan film Sang Pencerah, sebuah film inspiratif karya sutradara Hanung Bramantyo. Film bergenre sejarah yang mengambil setting Yogyakarta awal abad 19 ini berkisah tentang perjuangan Kiai Ahmad Dahlan, seorang tokoh pembaru dan pendiri oraganisasi Muhammdiyah yang bercita-cita membawa umat Islam kepada jalan yang benar.
Kalimat inspiratif ini terungkap dari mulut istri Kiai Ahmad Dahlan yakni Nyai Walidah. Kata-kata ini terucap tatkala Ahmad Dahlan merasa putus asa dan kehilangan semangat mengahadapai berbagai penolakan dari orang sekitarnya, dalam keadaan seperti itu, di mana para ulama dan kiai-kiai serta masyarakat Kauman tempat dia tinggal menolak ide dan gagasan yang coba disampaikannya, di hadapan istrinya, Ahmad Dahlan kemudian mempertanyakan “Apakah yang aku lakukan itu bernar?”
            Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas lebih jauh film ini, karena saya sadar saya bukan seorang kritikus film, saya hanyalah seorang penikmat film. Saya hanya mencoba membahas kta-kata “inspiratif’ yang disampaikan oleh Nyai Walidah.  “Kalau kita tahu, kita tidak akan pernaha belajar” Hemat saya, kata-kata ini justru berbeda atau bertolak belakang dengan sebuah ungkapan lain, yang jika tidak salah berbunyi demikian, “Semakain kita belajar, semakin banyak kita tidak tahu”. Meski berbeda dalam bentuk penyajiannya, dua ungkapan ini mempunyai maknayang sama yakni ajakan untuk senantiasa belajar dan belajar.
            Jika kita mencoba membandingkan ungkapan ini dengan kehidupan konkret, khususnya hari-hari ini, kita akan menemukan bahwa kalimat ini benar adanya. Faktanya, dalam kehidupan nyata, kita dengan sangat mudah menemukan banyak orang yang cepat sekali menjadi pribadi yang berpuas diri dengan pengetahuan dan gelar yang disandangnya. Bagi mereka, kepastian memperoleh gelar sarjana, berarti juga segala sesuatu yang berkitan dengan belajar telah berakhir. Seperti seorang pendaki yang berusaha mencapai puncak dari sebuah gunung, gelar tersebut seolah-olah merupakan puncak dan akhir dari perjuangannya selama ini, padahal sadar atau tidak, pencapaian tersebut sejatinya merupakan awal dari sebuah perjuangan nyata yang tetap membutuhkan kesediaan kita untuk belajar terus belajar dan meyempurnakan diri(On Going Formation).
            Sayangnya, mental atau spiritulitas yang cepat berpuas diri seperti ini acapkali juga kita temukan dalam diri banyak biarawan/i. Ada banyak biarawan/ti yang setelah selesai kuliah atau menyelesaikan pendidikannya pada suatu jenjang pendidikan tidak lagi menyentuh buku, bahkan mereka terkesan menjadi alergi terhadap buku atau bahan-bahan bacaan lain, seperti koran atau majalah. Mereka seperti enggan untuk membaca buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah. Akibatanya, pengetahuan dan wawasan yang mereka miliki menjadi sangat dangkal. Padahal sebagai pemimpin atau guru agama, kita seringkali menjadi tempat di mana umat Allah mencari dan berusaha menemukan solusi atas persoalan hidup yang mereka hadapi. Okelah, kalo kita rajin membaca banyak buku rohani atau buku yang berkaitan dengan liturgi, namun kita tidak akan menemukan jawaban dari pertanyaan umat Allah yang semakin kritis dan berkembang dalam banyak bidang.
Sejatinya belajar dan belajar adalah sebuah kerharusan bagi kita untuk senantiasa mempebarui pemahaman dan pengetahuan kita berkaitan dengan banyak hal. Kemajuan dan kecanggihan teknologi yang berkembang begitu cepat mengharuskan kita untk terus-menerus menempah diri agar tidak tertinggal dari mereka yang kita layani. Kita harus sadar bahwa kemajuan dan kecanggihan teknologi membuak akses yang sangat luas bagi banyak umat yang kita layani untuk maju Dan berkembang dlam berbagai bidang. Sehingga jika kita cepat berpuas diri dengan apa yang kita miliki saat ini, dapat dipastikan kita akan tertinggal dalam banyak hal.
“Kalo kita tahu, kita tidak akan pernah belajar...” bukan hanya sekedar slogan tanpa makna, tetapi ini adalah ungkapan yang mau mengajak kita untuk tidak cepat menjadi pribadi yang berpuas diri, atau merasa menjadi pribadi yang merasa sudah tahu banyak hal. Ungkapan ini menyadarkan kita untuk senantiasa belajar dan belajar dan bahwa belajar bukan hanya menjadi kata yang didengungkan ketika menempuh pendidikan di bangku kuliah tetapi harus dihidupi dan bergema terus menerus selama hidup kita. Ungkapan ini juga mengingatkan kita bahwa semakin kita tahu, sejatinya kita akan semakin menemukan bahwa ada banyak hal yang belum kita ketahui, sehingga menuntut dan mengharuskan kita untuk terus dan terus mencari, itu berarti kita harus terus belajar tanpa kenal akhir.
Di tengah kemajuan zaman, adalah sebuah kewajiban bagi untuk senantiasa belajar. Dengan belajar yang tekun dan rajin kita akan memperoleh pengetahuan yang tidak saja berguna bagi kita tetapi juga menjadi senjata yang paling ampu untuk bersaing dalam berbagai ranah kehidupan. Tanpa pengatahuan yang memadai, kita hanaya akan menjadi penonton, kita juga akan tertinggal dalam banyak hal. Belajar yang berlangsung terus- menerus secara berkesinambungan tidak hanya mendatangkan pengetahauan tetapi juga senantiasa menyegarkan pemahaman dan pengetahuan kita berkaitan dengan ilmu pentehauan yang juga senantias berkembang dari waktu ke waktu.
            Untuk itu, setiap orang wajib melihat pendidikan sebagai sebuah prioritas yang utama. Sebuah kewajiban yang tidak boleh dianggap enteng, karena tanpanya kita akan tertingagal dan dilindas oleh berbagai kemajuan yang ditimbulkan oleh kemajuan zaman. Agar belajar dan belajar menjadi sebuah habitat, penting juga untuk memiliki rasa lapar dan haus akan ilmu. Dengan habitat sperti itu kita tidak akan pernah merasa puas dengan ilmu yang sudah kita miliki. Semoga kita menjadi pribadi pembelajar yang tidak cepat berpuas diri, tetapi terus tertantang dan menatang diri untuk belajar.

Komentar

Postingan Populer