Teroris
Terorisme. Dalam kata “terorisme”
itu terkandung kata “teror”. Kata itu dipungut dari kata dalam bahasa Latin
yakni terere, yang berarti “menakuti”
atau “menggigil” atau “gemetar. Ketika kata teror ditambah akhiran yang ada
dalam basa Perancis, isme, maka akan
menjadi terorism yang kemudian
diartikan sebagai “menyebabkan
ketakutan” atau “membuat gemetar”.
Praktik teror, paling tidak yang
tercatat sejarah, dilakukan pertama kali oleh sekte Zealot yang hidup di
Palestina pada abad pertama. Sejahrawan Yahudi, Flavius Josephus, dalam
karyanya Jewish Antiquities, yang
dipublikasikan pada tahun 93-94, menyebut tentang aksi teror tersebut. Josephus
menggunakn kata sicarii yang diambil
dari kata dalam bahasa Latin, sicarius, yang
berarti orang yang bersenjatakan pisau-untuk menyebut nama kaum Zealot. Dengn
bersenjatakan pisau, kaum Zealot
mengobarkan pembrontakan melawan pemerintahan kolonial Romawi, dilancarkan pada
tahun 6. Karena itu kemudian kaum Zealot oleh pemerintahan Romawi disebut
sebagai bandit.
Buku-buku sejarah lalu menyebut
Zealot sebagai organisasi teroris pertama di dunia. Meskipun, sebenarnya, jauh
sebelum kaum Zealot muncul dan menebarkan teror, Assunasirpal, Raja Assyria
(884-860 SM) menurut artefak yang ditemukan di Mosul, Irak sekarang ini,
dikenal sebagai raja yang sangat kejam dan menebarkan teror. Tragedi politik
paling terkenal di zaman Romawi Kuno, pembunuhan terhadap Julius Cesar pada
tahun 44 SM, juga disebut sebagai teror. Dalam hal ini, teror diartikan sebagai
“menghalalkan segala cara, terutama kekerasan untuk mewujudkan tujuannya”:
menyingkirkan Caesar.
Pembunuhan politik seperti itu
terus terjadi. Pada abad XI-XII muncul Assassin, sekte Muslim Shiah di Iran
barat laut. Kelompok ini secara terorganisasi, sistematik dan jangka panjang
melakukan pembunuhan politik (Robert A. Pape, Dying to Win).
Revolusi Perancis menjadi titik
balik sejarah terorisme. Istilah “terorisme” mucul pada zaman Revolusi Perancis
ketika Le Gouvernement de la Terreur (Kerajaan Teror) berkuasa, 1793-1794,
seperti diungkapkan dalam History of
Terorism, From Antiquity to Al Qaeda (Gerard Chaliand dan Arnaund Blind,
ed). Kerajaan teror adalah kampanye kekejaman besar-besaran yang dilakukan oleh
Pemerintah Perancis pada masa itu. Dalam tempo setahun mereka membunuh
16.000-40.000 orang. Dengan kata lain, Revolusi Perancis-lah yang melahirkan
istilah teror atau mungkin lebih tepatnya “terorisme negara”.
Di zaman ini muncul nama
Maximilien Roberspierre (1758-1794), pemimpin kaum Jacobin radikal dan salah
seorang tokoh dalam Revolusi Perancis,
yang mempraktikkan teror. Jacobin adalah grup politik sangat terkenal di zaman
Revolusi Perancis, yang diidentifikasi dengan egalitarianisme dan kekejaman
ekstrem, yang memimpin pemerintahan revousioner, dan kemudian disebut sebagai
Kerajaan Teror.
Dalam cerita tersebut, tergambar
jelas bahwa terorisme bukanlah fenomena baru dalam pengalaman kehidupan
manusia. Kekejaman, kekerasan, selalu digunakan sepanjang sejarah manusia oleh
mereka yang menentang negara, menentang raja-raja dan para pangeran.
Terorisme-meski belum ada
kesatuan definisi tentang apa itu terorisme, menurut A. Schmit (1983) ada 109
defenisi akademik-menjadi isu dalam agenda internasioanl mulai tahun 1934.
Yakni, ketika Liga Bangsa-Bangsa mengambil langkah besar pertama dengan
menyatakan terorisme sebagai sangat ilegal dan dapat dihukum.
Untuk mewujudkan hal itu, Liga
Bangsa-Bangsa membuat draf konvensi untuk pencegahan dan penghukuman terhadap
tindakan teroris. Tetapi, anehnya, beberapa tahun kemudian lahirlah “Stern
Gang” , sebuah kelompok zionis militan yang didirikan oleh Avraham Stern.
Tujuannya adalah mengusir otoritas Inggris dari Palestina dan mengisinkan
imigrasi kaum Yahudi, serta meciptakan negara Yahudi.
Satu hal yang pasti, terorisme
selalu dicirikan dengan penggunaan kekerasan, kekejaman terhadap sasaran
mereka, entah itu rakyat sipil ataupun militer dan polisi. Kekerasan dan
kekejaman menjadi ciri khasnya. Cara mereka inilah yang membuat mereka tidak
akrab kemanusiaan, dengan hati nurani.
Saat ini, aktivitas teroris dapat
ditemukan di mana-mana, di berbagai belahan bumi dengan alasan kemunculan dan
tujuan gerakannya beragam, dari yang sangat kanan sampai yang sangat kiri, dari
yang bertujuan ekonomi hingga politik dan religius ekstrem. Cara untuk
mewujudkan tujuannya pun dengan berbagai cara, yang terakhir dengan menggunakn
pelaku bom bunuh diri.
Yang menarik adalah mengapa kini
orang menjadi teroris? Mengapa orang memilih jalan gelap, padahal ada jalan
terang? Ada banyak jawaban atas pertanyaan itu.
Umar Farouk Abdulmutallab, yang disebut underwear bomber, misalnya, mengisahkan
mengapa dirinya memilih bergabung dengan Al Qaeda (Special Report, Mei 2010, United States Institute of Peace). “Saya
tidak punya kawan. Saya tidak punya kawan untuk diajak becara, tidak ada kawan
yang bisa diajak konsultasi, tidak ada kawan yang mendukung saya. Lagi pula,
saya merasa tertekan dan sendirian. Saya tidak tahu apa yang harus saya
lakukan,” tulisnya.
Mereka yang bergabung dengan
Negara Islam di Irak dan Suriah pun dengan enteng mengatakan “selamat tinggal”
kepada keluarganya, lalu terbang ke Instanbul, menyeberangi perbatasan, dan
masuk Suriah bergabung dengan NIIS. Lalu, pulang ke tanah air mereka membunuh
orang-orang tak berdosa.
Absurd!
Komentar
Posting Komentar