Hidup Bakti Sebagai Kesaksian Pengikut Kristus
Pendahuluan
Paus
Fransiskus merumuskan program kerja apostoliknya secara sederhana, tetapi
sesunguhnya sangat radikal dan menentang. Pertama, menempatkan Tuhan sebagai
titik pusat kehidup kita. Kedua, pertobatan: berbalik dari jalan salah, dari
dewa-dewi palsu zaman ini (dewa uang, kekuasaan, kenikmatan badaniah melalui
narkoba, dsb). Ketiga, perutusan (misi); bila seorang sudah bertobat dan
menemukan Allah yang sejati, maka dengan sendirinya ia akan menjadi pewarta
kabar gembira. “kami tidak dapat mendiamkan apa yang sudah kami lihat dan kami
dengar” (Kis 4:20).
Selanjutnya,
dalam surat apostoliknya untuk para biarawan dan biarwati tertanggal 21
November 2014 beliau mengumumkan Tahun Hidup
Bakti dari tanggla 30 November 2014 sampai 2 Februari 2016. Dalam surat
apsotoliknya ini, Paus mengajak kita biarawan-biarawati
untuk menoleh ke masa lampau dan menemukan kembali dalam rasa syukur, inspirasi
awal dan kahrisma dasar tarekat-tareka kita, yang telah sekian lama mengilhami
hidup bakti dan perutusan banyak orang selama puluhan, ratusan bahkan ribuan
tahun. Kemudian beliau menghimbau kita menatap masa kini dengan penuh semangat
dan entusiasme, menafsir visi dasar dan kharisma tarekat dalam zaman ini, dan
membarui komitmen kita sebagai pengikut Yesus. Akhirnya beliau mengajak kita
untuk merangkul masa depan dengan penuh harapan, bukan karena kekuatan kita
sendiri, melainkan karena Kristus sendiri berjanji akan menyertai
murid-muridNya tiap hari sampai akhir zaman.
Menanggapi
himbauan Sri Paus, kita ingin merfeleksikan bersama hidup bahkti dan perutusan
tarekat-tarekat kita untuk membarui komitmen kita sebagai pengikut Kristus.
Saya ingin memulainya dengan sebuah kisah, sebuah parabel modern.
Memindai Jati Diri: Sari Pati Hidup
Bakti
Pada
suatu malam , antara lelap dan sadar, P. Peter d’Souza mendapat sebuah visum
tentang kematiannya sendiri. Peterd’Souza OPM adalah seorang provinsial yang
terkenal saleh dari Ordo Para Malaikat. Di saat kematian dia mengenakan jubah
yang terbaik untuk menghadap Tuhan. Tetapi sebelum menghadap hadirat Yang
Mahatinggi ada dua malaikat yang memeriksa kelayakannya. Yang pertama mereka
lakukan adalah meninggalkan jubah Peter d’Souza sambil berkata: “Di sini semua
busana lahiriah harus ditanggalkan. Yang dipakai menghadap Tuhan hanya busana
tindakan kasih yang pernah dilakukan sepanjang hidup”.
Salah
satu konfraternya menyelah: “Ini Reverend Pater Provinsial kami dari Ordo Para
Malaikat”.
Malaikat
menjawab: “Sebagai anak-anak Allah kita semua di depan Tuhn. Semua perangkat
dunia dan gelar keduniaan tidak berlaku di sini”.
Seorang
sama saudara lain menambah: “Lihat, Provinsial kami selalu mengenakan salib
kebiaraan, tekun berdoa dan melakukan tapa, setia merayakan Ekaristi”.
Malikat
menjawab: “Orang melihat tindakan-tindakan saleh lahiriah, Tuhan memandang
hati”.
Konfrater
yang ketiga menukas: “kalau begitu bagimana kamu menilai mutu kehidupan
seseorang?”
“Kami
akan memindai seluruh dirinya”, kata malaikat.
“memindai?
Membuat Scaning?” tanya semua konfrater serempak
“Ya”
kata malaikat, “Kami akan memindai apa yang pernah dipikirkan, dikatakan dan
dilakukannya, bagaimana ia menggunakan badan, pikiran, bakat-bakat, anugerah
dan kesempatan yang diberika Tuhan. Dengan itu menjadi nyata dirinya, siap dia
sebenarnya. Sama sekali tidan penting dia bangsa mana, anggota biara apa atau
beragama apa”.
Semuanya
yang hadir bingung. Wakil Provinsial berkata: “Apakah itu berarti menjadi anggota
Gereja Kudus dan mengakui iman akan Kristus tidak penting?”
“Tentu
penting” jawab malaikat, “tetapi itu harus dibuktikan dalam pengayatan melalui tindakan
kasih. Dan itulah yang sekarang kami periksa melalui pemindaian”.
Tiba-tiba
turunlah awan putih dan sebuah cahaya jernih luar biasa menaungi Peter d’Souza.
Dan dari dalam awan itu malaikat mulai membaca hasil scanning.
Hati:
keadaannya baik. Ia mencintai umat, menyayangi anak-anak terlantar dan yatim
piatu, membela korban human trafficking, dermawan
terhadap orang miskin. Dia paling
tidak sbar dan gampang marah terhadap sama saudaranya yang hidup santai,
melanggar kaul dan pura-pura saleh, tapi pada dasarnya dia bermaksud baik dan
tidak pernah simpan dendam terhadap mereka.
Pikiran:
cerdas sekali. Kadang-kadang suka berkutat dengan teori spekulatif karena
ambisi ilmiah, yang tidak ada guna apa-apa dalam cahaya keabadian. Tapi paling
sering dia menggunakan inteligensinya untuk memberi pencerahan bagi sesama,
menuntun yang putus asa dan kehilangan orientasi, dan dengan itu memberi harapn
untuk mereka. Hunornya juga bagus, membawa kegembiraan untuk sama saudaranya.
Tangan:
pernah memukul anak nakal, tapi kemudian minta maaf dan sangat menyangi anak
itu. Tapi pada umumnya tangan ini sangat rea menolong sesama: membawa ibu tua
yang sakit berat dari pondok reot ke rumah sakit, menolong kroban bencana alam,
membuka pintu rumah biaranya untuk para pengungsi dan memberi makan anak-anak
terlantar yang kelaparan.
Kaki:
dia patroli jalan kaki dari kampung ke kampung
mengunjungi umat, ke penjara menenguk nara pidana, ikut pawai
demondtrasi membela hak petani-petani kecil yagn tanahnya dirampas pengusaha
tambang, mengunjungi dua suku terpencil yang bertikai soal masalah tanah dan
mendamaikan mereka.
“Dia
tulus”, kata malaikat, “Dengan gembira kita menghantar dia menghadap hadirat
yang Mahatinggi”.
Yang
paling mengherankan Peter d’Souza dalam proses scanning itu ialah bahwa
semua tindakan kasih yang dia lakukan untuk sesama, sekecil apapun itu, seperti
memberi secangkir air untuk orang yang haus, dicatat sebagai harta rohani unyuk
hidup abadi. Sebaliknya semua yang dia buat karena ingat diri dicatat sebagai kerugian. Peter
juga melihat bahwa semua jabatan yang membuat dia terkenal di bumi sama sekali
tidak ada artinya dalam cahaya keabadian; Provinsial, profesir filsafat,
penulis buku, penceramah, rektor collegio, konsultor LSM, koordinator FKKR.
Yang tercatat hanya tindakan kasih dalam semua tugas tersebut.
Sesudah
mendapat mendapat visum itu Peter tersadar. Dia bangun tengah malam dan tidak
bisu tidur lagi. Baru sekarang dia mengerti begitu jelas sari pati hidup bakti.
Sejak saat itu sama saudaranya melihat bahwa Peter jauh lebih gembira dan
sederhana, mukanya bercahaya, rela membantu orang lain dengan rendah hati
khususnya orang-orang kecil, ramah dalam pergaulan dan siap melayani saudaranya
kapan saja. Dalam kesibukan tugasnya Peter sendiri merasakan suatu kedamaian
hati yang belum pernah dirasakannya selama ini dan dia berguman: “Terima kasih
Tuhan. Akhirnya saya mengerti. Semoga dalam kekuatan Roh Kudus saya pun sanggup
menghayati ini sari hidup bakti ini”. (Adaptasi dair Joe Mannath SDB, A Radcal Love, A Path of Light, 2014)
1.
Panggilan
Dasar Kristiani dan Panggilan Khusus
Semua
orang beriman mendapat panggilan dasar yang sama kepada kekudusan: “jadilah
kudus, sebab Aku ini kudus”, firman Tuhan (Im. 11:45. Bdk. 1 Pet 1:15-16). Hal
ini diwartakan Yesus dengan kata-kata yang berbeda dalam kotbah di bukit:
“Haruslah kamu sempurnah, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna”
(Mat 5:48). Sebagaimana Bapa di surga menerbitkan matahari bagi orang jahat dan
orang baik, dan menurunkan hujan bagi orang benar dan tidak benar, Yesus
mengajarkan kita untuk melakukan tindakan kasih tanpa pamrih kepada siapa saja.
Dengan kata lain, jalan-jalan satu-satunya kepada kekudusan ialah jalan kasih.
Semua doa dan tapa, karya bakti dan korban harus dijiwai oleh kasih dan bermuara
dalam tindakan kasih. Dan karena itu, menurut Mat 25, kita semua akan dinilai
dalam pengadilan akhir semata-mata atas dasar pengalaman kasih.
Di
atas panggilan dasar yang sama ini, Tuhan memberikan panggilan khusus yang
berbeda menurut kharisma yang dianugerahkanNya kepada setiap orang. Kebanyakan
orang dipanggil kepada kekudusan dalam hidup berkeluarga. Hanya sekelompok
kecil yang dipanggil mengikuti Yesus secara khusus sebagai iman atau
biarawab-biarawati. Mengenai panggilan khusus murid-muid Yesus kita baca secara
singkat, padat dan jelas dalam Injil Markus:
Ia
memanggil orang yang dikehendakiNya dan merekapun datang kepadaNya. Ia menetapkan dua belas orang
menyertai Dia dan untuk diutusNya
memberitakan Injil dan diberiNya kuasa untuk mengusir setan (3:13b-15).
Teks
ini dengan jelas menunjukkan bahwa ada dua tujuan panggilan khusus mengikuti
Yesus, yaitu “untuk menyertai Dia” dan “untuk diutusNya memberitakan injil”.
Tujuan pertama
dan utama ialah “menyertai Dia, “tinggal dalam Tuhan”. Pengikut Yesus hanya
bisa mewartakan Dia, kalau ia lebih dahulu mengenal dan mencintaiNya. Karena
itulah selama masa formasi para formandi dilatih untuk mendalami Firman Tuhan,
menemui Dia dalam doa, meditasi dan kontemplasi, menjumpaiNya dalam pelayanan
kasih untuk sesama, dan menyatu dengan Dia dalam sakramen-sakramen, khususnya
dalam Ekaristi, jauh kemudian kita menyadari latihan khusus ini harus diperjuangkan
dengan setia sepanjang hidup.
Tujuan kedua ialah
“untuk diutusnya memberitakan Injil”. Murid-murid dipanggil untuk meneruskan
penebusan Kristus: Agar hidupNya menjadi hidup kita dan perutusanNya perutusan
kita. Iman Kristiani adalah iman personal, tetapi bukan iman individualistik.
Pada
saat saya beriman kepada Tuhan yang satu, pada saat yang sama saya harus
menerima tanggung jawab terhadap sesama sebagai putra-putri Bapa yang satu.
Karena itulah cahaya iman yang benar dan kabar Gembira yang saya dengar harus
saya teruskan kepada saudara-saudariku yang lain.
Pengutusan
disertai dengan kuasa untuk mengusir setan. “Setan” adalah nama yang dipakai
Kitab Suci untuk segala kekuatan gelap yang membelenggu dan memperbudak manusia
lahir batin. Dewasa ini kekuatan gelap itu terwujud dalam ketidakadilan,
kebencian rasial, terorisme, perang saudara, eksploitasi seksual, human
trafficking, nafsu kuasa dan keserakahan yang menyebabkan orang menindas dan
menghisap sesamanya. Dengan pelbagai cara kekuasaan gelap setan itu memperbudak
manusia.
Sebaliknya
Allah yang kita imani adalah Allah yang membebaskan. Hal itu dinyatakan secara
istimewa dalam Yesus penyelamat. Kemudian Ia pun mengutus murid-murid sebagai
“agen pembebasan” bagi sesama yang menderita, supaya semua berdiri di bawa
langit sebagai manusia merdeka, yang sanggup menyapa Tuhan dengan nama “Abba”
dan menyapa sesama dengan nama “saudara atau saudari”.
Kedua
aspek ini yaitu “Tinggal dalam Tuhan “ dan
“diutus memberitakan Injil” dalam
teologi disebut kontemplasi dan misi. Kontemplasi dalam artinya yang paling
dalam, berarti hidup dalam keheningan kudus, dalam intimitas pribadi dengan
Tuhan. Sedangkan misi berarti perutusan, membiarkan diri menjadi sarana
penyelamatan dalam tangan Tuhan, agar melalui penyaksianku orang lainpun boleh
bertemu dengan Tuhan dan mengalami kasihNya.
Kontemplasi
dan misi, keheningan doa dan pewartaan, adalah dua aspek dari hidup Yesus. Ini
juga kedua aspek yang harus ada dalam hidup kristiani dan khususnya dalam hidup
membiara. Karena itu mereka yang masuk dalam biara kontemplasi harus menjadi misionaris dalam kesunyian
seperti St. Theresia Kecil yang menjadi pelindung misi. Sebaliknya, kita yang
menjaadi biarwan/ti aktif dalam karya misioner, harus menghayati “contemplatio in via” (kontemplasi di jalan)
seperti St. Paulus atau Fransiskus Xaverius. Kontemplasi tanpa misi cenderung
menjadi sentimentalisme religius. Sebalinya, misi tanpa kontemplasi cendrung
menjadi aktivisme yang kacau. Menyatu dengan Tuhan dan diutus melayani sesama
adalah dua sisi dari satu panggilan yang sama bagi murid Yesus. “Tinggallah
dalam Aku dan Aku di dalam kamu”, firman Tuhan. “Barang siapa tinggal dalam Aku
dan Aku dalam dia, ia berbuah banyak” (Yoh. 15 :4a & 5b).
2.
Para
Pionir Peretas Jalan
Inti
panggilan Yesus untuk mengikuti Dia tetap sama. Tetapi bentuk jawaban yagn
diberikan berbeda-beda dari zaman ke zaman sesuai dengan situasi khusus yang
menandai zaman tertentu. Kita akan membicarakan beberapa tokoh yang telah
menjadi pionir hidup pada zamannya, karena mendengarkan bisikan Roh Kudus,
menafsir tanda zaman dan menjawabnya secara tepat.
2.1
Sesudah zaman para Rasul, pada abad-abad pertama orang Kristen dalam kekaisaran
Roma dikejar-kejar, dianiaya dan dibunuh. Ada ribuan orang yang dibunuh dan
mati sebagai martir. Pada waktu itu menjadi pengikut Kristus secara radikal dan
konsekuen berarti rela mengorbankan nyawa sebagai martir. Kata “martir” artinya
saksi. Secara manusiawi kita biasa berkata: “Tidak ada yang lebih bernilai
untukku daripada hidupku sendiri”. Tetapi para martir memberi kesaksian; “Ada
sesuatu yang lebih besar, yang lebih agung dan lebih bernilai dari hidupku
sendiri. Untuk Dia saya hidup dan untuk Dia saya rela mengorbankan nyawa”. Yang mengheranan ialah bahwa penganiyaan yang
hebat tidak menghancurkan Gereja. Justru sebaliknya, pengikut Kristus menjadi
jauh lebih banyak. Maka muncul ungkapan yang terkenal: “Sanguis martyrum, semen christianorum” (“Darah para martir, benih
umat Kristiani”).
2.2
Tetapi kemudian tampil Kaisar Konstantinus Agung (272-337) yang bertobat dari
kekafiran Roma dan menjadi kaisar kristen yang pertama. Lalu pada 313 dia
mengeluarkan Edikt Milan yang
menjadikan agama Kristen sebagai agama resmi untuk seluruh kekaisaran. Sejak saat itu Gereja sangat berkembang,
jumlah umat berlipat ganda, tokoh-tokoh kristen menjadi pejabat-pejabat negara,
para uskup dan imam menjadi orang yang berpengaruh dan kaya. Kekuasaan Gereja
berkolusi dengan kekuasaan negara dan dengan itu semangat keduniawian merasuki
Gereja. Gereja menjadi mapan, kaya dan berkuasa, tetapi penghayatan iman
menjadi merosot. Di tengah situasi seperti itu ada kerinduan pada sejumlah umat
Kristiani untuk mengikuti semangat hidup Yesus secara lebih radikal dan
konsekuen. Tetapi bagaimana? Pada suatu hari seorang pemuda bangsawan dan tuan
tanah yang kaya lewat di depan sebuah Gereja dan kebetulan dia mendengar firman
Tuhan dari Injil Markus 10, yakni ucapan Yesus kepada pemuda yang kaya:
“Pergilah juallah apa yang kau miliki, berikanlah itu kepada orang-orang
miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan
ikutilah Aku”. Pemuda itu bernama Antonius. Hatinya bergetar. Dia merasa ucapan
Yesus tersebut langsung tujukan kepadanya saat itu. Dia kemudian pulang ke
rumah, menjual semua tanah dan harta miliknya, mendermakan semua kepada
orang-orang miskin. Hanya tinggal sedikit yang dia wariskan sebagai jaminan
hidup saudarinya. Lalu dia pergi ke padang gurun dan hidup sebagai pertapa.
Dialah orang kudus penting dari periode ini yang kemudian dikenal sebagai St. Antonius
Abbas dari Padang Gurun (251-356). Banyak orang yang kemudian mengikuti jejaknya
dan mereka kemudian dikenal sebagai rahib dan rubiah padang gurun yagn
mewariskan banyak tulisan rohani yang berharga untuk kita sampai sekarang.
2.3
Kekaisaran Romawi Barat runtuh sekitar tahun 476, karena penyalahgunaan
kekuasaan, pertikaian politik, kemorosotan moral dan serangan dari luar. Di
tengan kegalauan situasi sosial politik dan keorosotan moral waktu itu
Benediktus dari Nursia (480543/7) pergi ke gua Subiaco dan hidup sebagai
pertapa. Tetap dia menyadari bahwa untuk memperbaiki Gereja dan masyarakat,
tidak cukup orang menarik diri dan hidup sendirian sebagai pertapa. Maka di gua
Subiaco dia mulai berpikir bagaiman membentuk satu komunitas biara orang-orang
yang mau mengikuti Kristus secara radikal. Di gua itu dia mulai menulis apa
yang kemudian dikenal sebagai Regula St.
Benedicti (Peraturan St. Benediktus) yang praktis mempengaruhi semua
konstitusi biara-biara dalam Gereja Katolik. Ketika sejumlah orang menggabungkan
diri, Benediktus berpindah ke Monte Casino yang menjadi rumah induk Ordo
Benediktin yang tetap hidup sampai sekarang. Semoboyan utama mereka adalah Ora et Labora (Berdoa dan bekerja). Ordo
ini kemudia sangat berjasa dalam memajukan pendidikan, pertanian, pengembangan
ilmu penegtahuan dan peradaban di Eropa, sehingga St. Benediktus dikenal sebagi
pelindung Benua Eropa. Biara-biara kemudian menjadi pusat peradaban yang megah,
kaya dan berkuasa. Tetapi di mana ada kemegahan, kekayaan dan kekuasaan, orang
semakin jauh dari dari semangat hidup Yesus dari Nazaret yang miskin itu.
2.4
Dalam abad 12-13 sewaktu keadaan Gereja di Eropa sangat merosot, Fransiskus
dari Asisi (1182-1226) merasa dipanggil untuk menghayati kemiskinan Yesus
secara radikal. Ketika Ayahnya, seorang pedagang yang kaya, tidak setuju,
Fransiskus menanggalkan semua pakaiannya, meletakkan di kaki bapanyaa dan pergi
dengan telanjang sama sekali. Seseorang memberi dia satu jubah hitam, yang dia
pakai sepanjang hidupnya. Radikalitas rohani Fransiskus Asisi menarik banyak
orang yang kemudian membentuk Ordo Fransiskan. Pengikut Fransiskus dari
kalangan prempuan kemudian bergabung dengan St. Klara. Inspirasi rohani St.
Fransiskus ternyata mempengaruhi sangat banyak taraekat yang menghayati spiritualitas
Fransiskan.
2.5.
Ketika gerakan Renaissance mencapai puncaknya di Italia dalam abad 14-15,
pendidikan, kesenian dan kebudayaan pada umumnya berkembang luar biasa. Tetapi
Angela Merici (1474-1540) mengamati bahwa kaum perempuan sangat terabaikan.
Maka dia dan teman-temannya membentuk semacam kelompok rahani yang berniat
memajukan pendidikan di kalangan anak-anak perempuan, karena mereka inilah yang
akn menjadi ibu keluarga yagn bakal melanjutkan pendidikan iman Kristiani untuk
anak-anak usia dini. Kelompok Angela Merici dan teman-temannya mengambil St.
Ursulin sebagai pelindung mereka. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi apa
yang kita kenal sebagai tarekat suster-suster Ursulin.
2.
6. Iganatius Loyola (1491-1556) tampil ketika Gereja mengalami kesulitan besar
dalam abad 16. Gerakan Reformasi Protestan di bawah Martin Luther sangat keras
mengkritik kewibawaan Paus dan sejumlah ajaran Katolik, dan kemudian memisahkan
diri dari Roma. Dalam situasi seperti itu, Ignatius dan teman-temannya berniat
membela ajaran iman Katolik dan menghayati kaul-kaul kebiaraan dengan ketaatan
mutak kepada Sri Paus. Yang penting dicatat sejak Angela Merici dan Igantius
Loyola ialah cita-cita hidup membiara tarekat-tarekat aktif bukan lagi “menarik
diri dari dunia” melainkan “melibatkan diri dalam dunia sebagai ragi dan garam
bagi masyarakat”.
2.7.
Arnoldus Janssen (1837-1909) muncul ketika gerkan Kulturkampf di Jerman menutup biara-biara dan sangat mempersulit
kehidupan Gereja Katolik. Ketika Arnold menyampaikan kepada uskup niatnya untuk
mendirikan tarekat misi (tarekat misi pertama di wilayah-wilayah berbasa
Jerman), Uskup berkata: “Aneh sekali, engkau mau mendirikan tarekat misi ketika
biara-biara sedang diruntuhkan”. Arnold menjawab: “Justru karena yang lama
diruntuhkan, kita perlu membangun yang baru”. Tetapi karena cita-citanya tidak
bisa diwujudkan di tanah Jerman, dia menyebrang perbatansa Belanda, membeli
sebidang ladang dengan gudang tua, yang kelak direnovasi menjadi rumah
kelahiran tarekat Societas Verbi Divini, sebuah
tarekat misi yang ditahbiskan kepada Sabda Allah, yang sekarang berkarya di 78
negera di lima benua. Arnol Janssen segera menyadari bahwa tareka misi untuk
kaum pria saja tidak cukup. Maka ia mendirikan juga tarekat misi Suster Abdi
Roh Kudus (SSpS) dan tarekat kontemplatif Suster SSpS Adorasi Abadi (SSpSAP)
yang secara khusus mendoakan para misionaris.
2.8.
Salah satu misionaris SVD yang dikirim ke Flores ialah Henricus Leven
(1883—1953). Beliau datang ke Flores pada tahun 1930. Dalam patrolinya di
Flores danTimor ia mengamati bahwa keadaan kaum perempuan sangat amat
terbelakang dan memprihatinkan di zaman itu, seperti bisa kita saksikan dalam
film dokumenter Ria Rago. Ketika
Henricus Leven menjadi uskup pada tahun 1933 sudah ada beberapa gadis pribumi
yang tertarik kepada hidup religius. Ketika uskup bertanya kepada gadis-gadis
sederhana ini tentang keinginan mereka, dengan polos mereka menjawab: “Kami mau
ikut Yesus”. Dari jawaban ini Mgr. Leven mendapat inspirasi untuk memberi nama Congregatio Imitatio Jesu (CIJ) atau
Kongregasi Pengikut Yesus yang dirikan pada tanggal 25 Maret 1935. Inilah
tarekat religius pertama yang lahir dari rahim Gereja lokal di Flores (yang
kedua di Indonesia). Pada Tahun Hidup bakti ini, Suster-suster CIJ akan
merayakan 80 tahun hidup bakti dan perutusannya.
3.
Kau
Kebiaraan
Hampir
semua biara sejak St. Benediktus mempunyai kesamaan dasar dalam disiplin doa
bersama, menghayati firman, hidup berkomunitas, misi khusus tarekat di tengah
misi universal Gereja dan penghayatan kaul-kaul kebiaraan. Mari kita lihat
secara singkat kaul-kaul kita.
Ketiga
kaul kita sebetulnya hanya satu kaul saja. Dari satu pihak kita bisa
menyebutnya sebagai kaul pengosongan diri (Kenosis).
Kemisikinan:
pengosongan diri dari harta benda, agar orang dipenuhi Roh Tuhan untuk mengabdi
sesama dengan gembira tanpa pamrih. Semua gerakan rohani besar dalam sejarah
dimulai dengan kemiskinan: Teresa dari Kalkuta, Arnold Janssen, Fansiskus
Asisi, Benediktus, Yesus dari Nasareth.
Kemurnian:
pengosongan diri cari cinta yang berpusat
pada diri atau orang tertentu saja, agar mencintai Tuhan dan sesama dengan
cinta yang dermawam dan terbuka.
Ketaatan:
pengosongan diri dari kehendak dan keinginan pribadi agar siap melaksanakan
kehendak Tuhan dengan gembira.
Pengosongan
diri yang dibuat dengan sadar dan rela hati adalah suatu kemerdekaan batin yang
luar biasa.
Dirumuskan
secara positif ketiga kaul adalah kaul pengabdian dalam kasih (Agape). Kaul
kebiaraan hanya punya kasih jika diabdikan karena kasih. Maka kemiskinan
berarti solidaritas dengan mereka yang paling miskin dan terpinggirkan, dan
memberikan prioritas pelayanan untuk semua. “Putting
the last first”.
Inti
kaul kemurnian bukan hidup membujang atau jomblo, melainkan kedermawan kasih
yang tulus dan terbuka demi Tuhan dalam pelayanan untuk mereka yang ketiadaan
cinta, terlantar dan terabaikan. “kemiskinan yang paling nestapa adalah keadaan
di mana orang tidak dikasihi”, kata ibu Teresa.
Ketaatan
kita pada hakekatnya adalah ketatan pada kehendak Tuhan, yang dihayati secara
konkret dalam sebuah komunitas. karena banyak kali orang mengerti kaul ini
secara pasif sebagai taat kepada keputusan pimpinan, kita perlu menafsirnya kembali menurut
Teologi Moral Bernhard Haring sebagai Ethics
of Responsbility, di mana tiap orang dituntut untuk mengambil inisiatif dan
tanggung jawab pribadi secara kreatif.
Dengan
merumuskannya sebagai pengabdian dalam kasih, kita dibawa kembali kepada cerita
awal di atas tentang inti hidup bakti: tindakan kasih. Yang lain-lain hanya
tambahan.
Kaul
yang kita hayati dengan gembira dan setia adalah persembahan yang paling indah
untuk Tuhan, kesaksian yang meyakinkan di tengah umat dan berkat besar bagi
Gereja.
Oleh
karena ketiga kaul itu pada hakekatnya hanya satu kaul dalam tiga dimensi, maka
pelanggaran satu kaul dengan sendirinya, cepat atau lambat akan membawa kita
kepada pelanggaran kaul yang lain. Kalau benar pengabdian kasih yang dihayati
dengan gembira dan setia adalah persembahan yang paling indah untuk Tuhan, maka
merusak apa yang terindah adalah tindakan terburuk. Corrptio optima pessima.
Pada
kesempatan-kesempatan khusus seperti waktu retret kita biasa membarui ikrar
kaul kita. Tetapi sebetulnya tiap perayaan Ekaristi merupakan kesempatan
istimewa untuk membarui kaul. Setiap kali kita mendengar kata-kata Yesus:
“Inilah tubuhKu, inilah darahKu yang
dikurbankan untukmu”, kita patut menjawab: “Inilah hidup bakti yang
kupersembakan bagiMu Tuhanku”.
4.
Tantangan
dan Peluang Hidup Bakti
Dalam
sejarah Gereja banyak sekali biara yang muncul dan banyak pula yang hilang.
Mereka muncul karena kebutuhan Gereja pada suatu zaman, dan menghilang karena
tidak dibutuhkan lagi atau karena anggotanya tidak lagi hidup menurut karisma
atau spiritualiatas awal tarekatnya. Raymond Hostie SJ dari Perancis pernah
membuat penelitian tentang tarekat-tarekat religius dalam Gereja Katolik.
Menurut hasil penelitian itu, 76% dari tarekat laki-laki yang didirikan sebelum
tahun 1500 sudah punah, dan 64% tarekat yang lebih baru yang didirikan sebelum
tahun 1800 sudah menghilang.
Sebaliknya
ada juga biara-biara tua yang tetap bertahan samapai sekarang. Apa yang menjadi
rahasia mereka? Raymond Hostie menemukan tiga faktor:
a. Tarekat
tetap menemukan kembali spiritualitasnya da karisma awalnya secara kreatif.
b. Tarekat
menanggapi tanda-tanda zaman secara transformatif
c. Tarekat
membarui diri secara radikal dalam penghayatan doa, iman dan pengalaman akan
Kristus.
Dalam
tahun Hidup Bakti ini kita perlu merefleksikan diri dalam perbagai aspek hidup
bakti dan perutusan: persaudaraan dalam komunitas, penghayatan kaul-kaul,
kepemimpinan, bentuk kreasulan, metode pelayanan dan pewartaan, pendidikan
calon imam dan seterusnya. Untuk semua aspek ini anggota-anggota tarekat perlu
mempertanyakan diri dengan tiga faktor kunci di atas. Apakah kita sungguh-sungguh
menghayati spiritualitas dan terus-meneruskan menemikan kembali karisma awal
tarekat secara kreatif? Apakah kita terbuka terhadap tanda-tanda saman dan
menanggapinya secara transformatif? Apakah tareka membarui diri secara radikal
dalam penghayatan doa, iman dan pengalaman akan Kristus?
Seuah
contoh penafsiran kembali secara kreatif adalah penafsiran misi sebagai “Missio ad gentes” menjadi “missio inter gentes”. Atau
mentranformasi metode misi sebgai pewartaan sepihak, menjadi dialog propetis,
dan memahami locus misi bukan sebagai keterangan tempat melainkan keterangan
keadaan di mana saja.
4.1.
Bahaya yang menentang hidup Bakti
Tiap
zaman menghadapi tantangan yang berbeda.
Beberapa dapat disebut dan bisa ditambahkan lagi.
Berhubungan
dengan kaul kemiskinan, konsumerisme global dewasa ini menggoda kita untuk hidup
enak dan santai, menyalagunakan uang milik bersama, mengutamakan kepentinga
diri sendiri dan mengabaikan iktiar untuk membela hak-hak kaum miskin dan
berjuang memperbaiki nasib mereka.
Berhubungan
dengan kaul kemurnian ada dua tantangan besar. Dari satu pihak, orang tidak
berani mengemban cinta personal terhadap sesama sehingga menjadi dingin, beku
dan tertutup. Di pihak lain, orang tergoda arus zaman dan mengobral cinta dalam
penyelewengan seksual oleh para imam dan biarawan-biarawati yang sekarang
dipublikasikan secara luas di media massa menjadi perngatan untuk kita.
Dalam
hal ketaatan ada bahaya individualisme di mana orang-orang mengagungkan
kepentingan pribadi menurut rencana dan kehendak sendiri dari pada mencari
kehendak Tuhan dalam komunitas karena koimitmen misioner besama.
Selain
itu hidup bakti sangat dirugikan bila orang mengabaikan doa dan meditasi,
sebagai saat kudus untuk berjumpa dengan Tuhan, karena orang terlalu sibuk
dengan pelbagai urusan lain.
Dari
segi kepemimpinan dalam tarekat, bahaya terbesar bagi pimpinan ialah dia
tergoda main kuasa dan tidak melayani saudara-saudarinya dengan rendah hati.
Pada hal Yesus berkata: “Pemimpinmu hanya satu” dan “kamu semua adalah
saudara”.
4.2.
Peluang Hidup Bakti di Masa Depan
Anggota-anggota
tarekat umumnya bisa dibagi dalam tiga kelompok. Yang pertama, satu kelompok kecil dengan samangat pionir, menghayati
hidup bakti dan perutusan tarekat secara radikal. Kedua, kelompok terbesar kaum medioker, yang hidup cukup baik dalam
komunitas tetapi tanpa militansi dan semangat juang yang kreatif. Ketiga, satu kelompok kecil yang selalu
menjadi masalah untuk diri mereka sendiri dan untuk komunitas. Tarekat akan
sangat dimajukan bila sebagian kaum medioker digiatkan dan dipacu dengan
semangat pionir.
Secara
demografis, di masa depan keanggotaan biara-biara akan semakin menurun karena
jumlah anak dalam keluarga-keluarga baru hanya dua atau tiga orang. Karena itu
kita perlu bekerja sama dengan kaum awam, menginsprasi mereka dengan
spiritualitas tarekat dan menjadikan mereka mitra hidup bakti dan pengutusan
kita. Kaum awam merupakan 90% dari anggota Gereja. Kalau kita berhasil
melibatkan dan mengaktifkan kaum awam sebagai mitra kita, maka hidup bakti dan
karya misioner tarekat sengat dimajukan.
Dalam
Gereja terdapat sekian banyak tarekat religius. Tetapi sesungguhnya semua itu
adalah pekerja-pekerja di kebun anggur Tuhan yang satu dan sama. Maka kerja
sama antar tarekat perlu dimajukan, baik untuk kepentingan seluruh Gereja
maupun untuk tarekat masing-masing. Dengan bekerja sama secara kreatif, kita
bisa saling mempertajam kesadaran akan karisma masing-masing dan menghayatinya
secara otentik.
Setiap
tarekat berakar dalam Gereja lokal. Karena itu tarekat perlu menafsir
spiritualitas dan karismanya dalam konteks Gereja lokal, bekerja sama dengan
pimpinan Gereja dan semua kelmpok jemaat yang ada, sambil bertanya apa yang
bisa tarekat kita sumbangkan untuk kepentingan gereja secara konkret di tempat
ini.
Tarekat
hidup bakti sejauh mungkin patut bekerja sama dengan semua orang yang berkehendak
baik dari pelbagai agama dan golongan untuk memajukan kepentingan umat manusia,
misalnya berhubungan dengan masalah keadilan, perdamain dan keutuhan alam
ciptaan.
Di
atas segala-galanya kita harus menyadari bahwa kita dipanggil untuk menyertai
Kristus dan meneruskan karya agungNya; agar hidupNya menjadi hidup kita,
perutusanNya perutusan kita. Inilah rahasia yang menetukan rahasi hidup bakti
tarekat. Karena sejatinya, kita dipanggil untuk menjadi saksi Kristus dalam
kekuatan RohNya. “Kamu akan menerima kuasa bila Roh Kudus turun atas kamu dan
kamu akan menjadi saksiKu” (Kis 1: 8).
Menurut
Paus Fransiskus, tarekat-tarekat hidup bakti patut merangkul masa depan dengan penuh harapan,
bukan karena kekuatan dan prestasi kita sendiri, melainkan karena Dia yang
memanggil kita adalah setia.
“Aku
menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28:20).
Ende,
31 Januari 2015
Leo
Kleden SVD.
Komentar
Posting Komentar