ROBERTUS BELARMINUS MENEGASKAN BAHWA DEMI MENJAGA OTORITAS KEPAUSAN, GEREJA PERLU MENJALANKAN KEKUASAAN YANG BERCIRI POTESTAS INDIRECTA
Roberto Francesco
Romono Bellarmino lahir di Montepulciano, Siena, Italia, 4 Oktober 1542. Ia
adalah kemenakan dari Paus Marcellus II[1].
Pada 21 September 1560 dia masuk tarekat Serikat Yesus dan melanjutkan studinya
di Roma, Padua dan Louvain[2].
Dia ditahbiskan pada tahun 1570 dan mengajar di Louvain sampai tahun 1576. Pada
tahun yang sama Bellarminus dipanggil kembali ke Roma untuk menjabat posisi
baru di Collegium Romanus milik Yesuit,
yang didirikan oleh Santo Ignatius de Loyola. Paus Klemens VIII mengangkat
Robert Bellarminus, menjadi teolog dan Kardinal di Gereja Katolik Roma pada
tahun 3 Maret 1599. Robert Bellarminus menentang doktrin-doktrin Protestanisme
yang salah (1513-1589). Salah satu teolog Protestanisme yang ditentang ole
Bellarminus adalah Michael Baius yang memegang teguh posisi Agustinian menyangkut
rahmat dan kehendak bebas, yang pandangan-pandangannya dikecam oleh Paus Pius V
pada tahun 1567. Untuk menjawab argument Protestanisme ia menerbitkan buku yang
berjudul "Kontroversi" yang terdiri dari tiga volume (1586-1593).
Pada 17 September 1621 dalam usia 78 tahun meninggal Robert Bellarminus di
Roma, Italia[3].
1.
Asal
usul kekuasaan duniawi paus
Sebelum kita membahasa
persoalan yang dihadapi Bellarminus hingga kemudian dia menularkan teorinya
tentang potestas indirecta, ada
baiknya kita melihat dulu asal usul kekuasaan duniawi paus.
Sebelum abad pertengahan,
ada banyak legenda yang menyingkapkan biji kebenaran, misalnya legenda yang
menceritakan kaisar Konstantinus Agung yang telah memberikan wilayah kekaisaran
Roma sebelah Barat kepada Paus Silvester. Tak dapat disangkal bahwa pemberian
ini merupakan salah satu akibat dari pertobatan kaisar yang tidak
dinanti-natikan sebelumnya. Alih kuasa ini sering dijadikan titik tolak pembicaraan
tentang asal-usul kekuasan duniawi Gereja[4].
Di dalam pelimpahan otoritas ini ada dua faktor hakiki yang berpengaruh: Pertama, situasi historis, yang
mewajibkan para paus selalu melebarkan peranan kedaulatan duniawinya demi
menambal kekosongan di Roma dan Italia Tengah. Kedua, kekewatiran akan pendudukan orang-orang Longobardi di Roma
yang akan memasungkan kemerdekaan Paus. Dikawatirkan, bahwa uskup-uskup di
wilayah kekuasaan wangsa Longobardi akan menganggap bahwa kebebasan paus di
Roma tidak lebih penting ketimbang kebebasan diri mereka.
Sejarah mencatat jika
di wilayah Barat kekaisaran Roma terjadi krisis, rakyat dan pemimpin setempat
seringkali berseru kepada paus. Beberapa kasus memperlihatkan penegasan
tersebut. Misalnya, sejak abad V para uskup di Gallia, Spanyol dan Italia
berkali-kali berperan sebagai satu-satunya penopang moralitas masyarakat,
Gregorius Agung menyelamatkan Italia dari ancaman wangsa Longobardi, sementara
itu orang-orang Bisantin tidak berdaya sama sekali. Dengan demikian Roma dan
warganya dibela paus. Paus juga dengan sepenuh hati memperhatikan tata tertib
moral warga Roma dan memperbaiki taraf hidup dan tingkat ekonomi masyarakat,
serta masih ada banyak contoh lain.
Jadi, para paus,
sekurang-kurangnya berangkat dari zaman Gregorius Agung (akhir abad VI)
memiliki otoritas politis di Roma dan wilayah teritorial terdekat, kendati
mereka tidak leluasa berpengaruh atas kaisar “Roma” yang berkediaman di
Konstantinopel.
2. Persoalan
Gereja pada adan Pertengahan
Hal ini berlanjut terus
hingga abad pertengahan. Berikut ini adalah beberapa persoalan yang dihadapi Gereja
pada pada abad pertengahan.
Martin Luther muncul
dengan reformasinya. Luther menjadi tokoh awal dalam gerakan reformasi yang
majemuk. Waktu banyak orang mendambakan pembaruan hidup Gereja, “yakni suatu
pembaruan pada kepala gereja dan pembaruan pada anggota-anggota gereja”, Martin
Luther berhasil mengangkat pembaruan menjadi pokok perhatian umum dalam
masyarakat kristiani, Luther berhasil dengan menunjukkan pokok-pokok yang perlu
diperbarui dan rakyatpun menangkapnya. Luther tekun memperjuangkan pembaruan
itu dengan keterlibatan nyata[5].
Doktrin Protestan dalam hal ini adalah bahwa mereka berpikir bahwa Uskup Roma
hanyalah sebagai imam dan pengkhotbah, dan tidak ada seseorang yang lebih
tinggi dari yang lain.
Perluasan gerakan
reformasi dan adanya kebutuhan untuk pembaruan gereja memunculkan tuntutan yang
kuat untuk diadakan suatu konsili oikumenis. Konisili ini kemudian dikenal
dengan Konsili Trente yang berlangsung dari tahun 1545-1563. Konsili ini
merupakan yang terpanjang dalam sejarah. Konisili Trente memberikan dasar-dasar
yang kuat bagi Gereja Katolik Roma terhadap gerogotan gerakan reformasi[6].
Dalam perjalanan, Reformasi
Gereja Katolik pasca Konisli Trente menemui berbagai hambatan, bukan hanya dari
reformator itu sendiri tetapi juga dari kaum bidaah. Salah satunya, pada tahun
1570 Gereja Protestan berkonsilidasi dengan gereja-gereja teritorial dan
memperkuat hubungan mereka dengan penguasa politik. Terbukti pada tahun 1581
Negara Jerman lebih mendukung Protestan setelah perjanjian Augsburg[7].
Gereja Katolik sendiri juga melakukan perubahan besar, salah satunya yakni
dibentuknya Kongregasi Indeks (tahun
1527) yang bertugas menyensor dan melarang buku[8].
Penciptaan Kongregasi indeks bersamaan dengan usaha Gereja Katolik yang intens
dan agresif berhadapan dengan reformasi yang berpuncak misalnya pada
upaya-upaya membersikan Italia dari kehadiran protestantisme, dan bentuk-bentuk
lain dari penyimpangan doktrinal. Sementara itu, pada saat yang sama, dua
ordo/kongregasi besar dalam Gereja Katolik saat itu juga terbagi menjadi dua
kubu utama, yakni Dominikan dan Jesuit.
Robertus Bellarminus
juga berhadapan dengan kaum pagan yang melawan Gereja dengan dalih ajaran agama
dan kesalehan untuk mendapatkan penghormatan dari Kekaisaran Romawi.[9]
Tokoh kaum pagan yang dilawanya adalah Matthias Flacius Illyricus. Menururut mereka, Gereja
menggunakan dalih ajaran agama dan kesalehan untuk mendapatkan penghormatan dan
privelese dari kekaisaran atau penguasa Romawi.
Semenra itu, gereja pada
masa itu mendapatkan tempat istimewa dalam negara-negara. Beberapa negara
memiliki kedekatan yang erat dengan Gereja Katolik. Hal ini tentu mempengaruhi
relasi pemimpin antara pemimpin Gereja dengan pemimpin Negara. Misalnya Paus
Clement VIII yang mendapatkan kemewahan dengan bantuan Raja Henri IV. Tidak
hanya terhadap Paus, Bellarminus juga mengingatkan para uskup yang lebih senang
tinggal di Roma dari pada di Keuskupannya. Para uskup jarang tinggal di
keuskupannya karena mereka mendapatkan fasilitas dan kenyamanan yang luar biasa
di Roma.
Bellarminus
mengkritik kepemimpinan Paus yang mengangkat seorang uskup dengan seenaknya.
Bellarminus menulis bahwa dirinya kecewa ketika melihat dua atau tiga kali
dalam tahta suci, beberapa orang dipilih menjadi kardinal padahal orang-orang tersebut
tidak memiliki kompetensi yang cukup sebagai uskup. Dia menambahkan bahwa
penting mencari dan mempersiapkan orang untuk memimpin keuskupan, bukan sekadar
mengangkat dan menempatkan orang di suatu tempat.
Dominasi
Gereja Katolik yang besar, termasuk dalam perkembangan ilmu pengetahuan,
menjadikannya superior terhadap illmu pengetahuan. Gereja menjadi institusi
yang menyortir perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu. Efeknya adalah
Gereja menolak teori heliosentrisme dan mengutuk Galileo Galilei atas berbagai
penemuannya yang mengembangkan teori tersebut. Dari segi ilmu pengetahuan,
teori heliosentris dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kebenarannya
banyak diakui oleh pemikir-pemikir pada masanya. Hanya saja, dominasi Gereja
Katolik memberikan pertentangan bagi teori tersebut. Gereja pun secara jelas
mengutuk Galileo. Di sini menjadi jelas bahwa kebenaran dari segi illmu
pengetahuan dilawankan dengan ketaatan Gereja.
Berhadapan
dengan persoalan ini, Bellarminus melihat kebutuhan Paus sebagai pemimpin Gereja
namun hal tersebut tidak menutup kemungkinannya untuk terbuka terhadap
perkembangan pengetahuan pada masanya. Bagi Bellarminus, peran paus sebagai
“emperor of souls” memang memiliki kuasa dan otoritas yang luas namun perlu
membatasinya. Batasannya adalah kesadaran bahwa seorang paus adalah pemimpin
spiritual. Dalam ilmu pengetahuan, teologi dan filsafat
adalah wilayah kuasa intelektual seorang paus.
Persoalan-persoalan
di atas adalah beberapa dari contoh persoalan yang terjadi pada abad pertengahan
yang juga dihadapi dan dialami oleh Bellarminus.
3.
Otoritas
Kepausan dalam Pandangan Bellarminus
Berhadapan dengan
berbagai persoalan yang terjadi pada masa itu dan, berikut ini adalah beberapa
tanggapan dan gagasan Bellarminus tentang otoritas kepausan.
Bagi Bellarminus, Paus
"ditunjuk oleh Allah sendiri melalui pemeliharaan yang luar biasa baik
sebagai teolog tertinggi dan satu hakim dari semua. Bellarminu mengakui bahwa
teologi harus "utuh dan menjadi tubuh yang sempurna dan lengkap dari
doktrin".
Belarminus juga
berpendapat bahwa, Gereja Kristus adalah monarki absolut dengan Kristus sebagai
kepala. Fakta bahwa Gereja Kristus adalah kepala monarki absolut merupakan
argumen yang paling menarik untuk menjelaskan monarki. Dia menggarisbawahi
perbedaan mendasar dan substansial antara monarki atau kekuasaan paus dengan
penguasan duniawi atau penguasa temporal. Baginya Paus adalah sebuah kekuasaan
yang lain, yang berbeda dari kewenangan lembaga duniawi lainnya. Bagi
Bellarminus dalam hal spiritual atau rohani, sejauh itu berhubungan dengan umat
kristiani, Paus memiliki kekuasaan langsung, namun jika berkaitan dengan
masyarakat dalam hubungan dengan pemerintah temproal, paus memiliki kekuasaan
yang bersifat tidak langsung.
Bellarminus juga
menjelaskan bahwa kekuasaan Gereja adalah kekuasan yang bersifat supranatural
yang berarti bahwa ia memiliki asal dan tujuan yang berbeda dari pemerintahan
sekuler atau temporal. Sehigga jika pemerintahan sekuler selalu berkaitan
dengan alam politik dan hukum sipil, maka Gereja dalam hal kekuasaan Kristus adalah
“suatu kerajan, suatu kota, suatu rumah tangga” yang berciri atau bersifat
supranatural, sebuah kerajaan hati nurani, yang melampui batas-batas kondisi
politik
Bellarminus membahas kekuasaan Paus secara yurisdiksi teologis
sebagai otoritas spiritual tertinggi dan sempurna, kemudian dia membuat risalah
yang berjudul De summo Pontifice yang
membicarakan pengaruh kekuasaan paus dalam dunia politik. Dia menulis risalah
ini untuk menghadapi kaum pagan yang melawan dan menentang Gereja. Kaum pagan
berdalih bahwa Gereja menggunakan ajaran agama dan kesalehan untuk mendapatkan
penghormatan dari Kekaisaran Romawi.[10]
Tokoh kaum pagan yang dilawan oleh Bellarminus adalah Matthias Flacius Illyricus. Pada 1566 Flacius menerbitkan risalat berjudul
De translatione Imperii yang
menolak otoritas paus dalam pengangkatan Charlemagne. Berhadapan dengan
pemikiran kaum pagan tersebut, Bellarminus berusaha membela kedudukan paus dan
menyatakan bahwa otoritas paus itu lebih dari para kaisar, karena memiliki
kekuasaan dari Kristus yang menyangkut kekuasaan sekalipun Paus diakui tidak
memiliki otoritas politik[11].
Bellarminus juga menegaskan
bahwa Paus memang tidak memiliki otoritas duniawi secara langsung. Dia tetap
berusaha membela dengan menggunakan
teologi katolik yang secara umum menyatakan bahwa “kekuasaan tidak didirikan
oleh kasih karunia atau iman, namun melalui kehendak bebas dan beberapa alasan,
tidak muncul dari yang Ilahi, tapi melalui hukum negara” maka pemerintah
politik selalu sah atau legal jika diperintah oleh gubernur non-Kristen. Dan
Paus tidak memiliki otoritas apa pun atas non-Kristen, oleh karena tidak bisa
dikatakan, Paus menjadi pemimpin seluruh dunia. Namun hal itu tak berarti bahwa
kekuasaan paus tidak mencakup seluruh dunia. Dalam pandangannya, wilayah kekuasaan
Paus yang terdapat dalam hal spiritual
mencakup semua orang Kristen yang tersebar di seluruh dunia. Dengan demikian, jika seluruh dunia menjadi
Kristen, maka bisa dikatakan bahwa kekuasaan Paus di dalam hal-hal duniawi
menjadi lebih besar dan luas, karena meningkatnya jumlah jiwa-jiwa yang tunduk
pada kekuasaan spiritualnya[12].
Kenyataan itu membuat Paus yang tidak memiliki otoritas duniawi secara langsung
tetapi dalam hal yang berkaitan spiritual dan rohani, dan sejauh itu berkaitan
dengan umat kristiani maka paus memiliki kekuasaan langsung atas umatnya.
4.
Kekuasaan
Paus berciri Potestas Inderecta
Bellarminus menjelaskan
kekhasan dan keunggulan dari otoritas spiritual sehubungan dengan otoritas
duniawi dengan menerapkan metafora Aristotelian yakni hubungan antara seni
menunggang kuda dan pembuatan kekang: “kedua hal itu merupakan seni yang
berbeda, karena mereka memiliki subjek dan objek dan tindakan yang berbeda, dan
tetap karena akhir yang terakhir ini diperintahkan untuk akhir sebelumnya, maka
salah satu yang unggul dari yang lain. Sehingga otoritas gerejawi dan politik
tampaknya pihak yang berwenang yang berbeda, dan tetap satu di bawah yang
lain" walaupun dalam pandangannya dia mengatakan otoritas politik memiliki
legitimasi penuh tanpa pengaruh otoritas gerejawi, sehingga hubungan antara
otoritas spiritual dan politik secara substansial memang berbeda namun ada
nilai yang lebih tinggi[13].
Pendapat Bellarminus
ini membuat berkembangnya opini teokratis atas kepenuhan kekuasaan Paus di
kedua bidang gerejawi dan duniawi. Perkembangan tersebut membuat Giles dari
Roma berpendapat kekuatan duniawi yang menjadi "hamba" dari otoritas
spiritual. Bahkan Marsilius dari Padua seorang bidaah dari Skisma Anglikan menyatakan
“kebenaran itu ada dalam Gereja Katolik berdasar otoritas spiritual secara
yurisdiksi yang benar dan tepat, untuk mengatur orang-orang Kristen secara
tepat demi keselamatan jiwa.” Pemikiran ini semakin diperkuat dengan pernyataan
Luis de Molina “kepemimpinan spiritual Sri Paus bersifat adikodrati dengan
konsekuensinya kekuasaannya lebih tinggi dari hukum duniawi yang tertinggi atas
seluruh pemimpin. Pendapat ini ditentang oleh Bellarminus dengan mengatakan
“Paus oleh hukum ilahi tidak memiliki otoritas duniawi semata langsung”[14].
Untuk membela
pendapatnya Bellarminus menegaskan kekuasaan kepausan mendasarkan kerajaan
Kristus yang bukanlah kerajaan duniawi. Kristus ketika menjadi manusia tidak
memiliki kerajaan duniawi. Dia memang seorang raja, tapi dari "Kerajaan kekal
dan ilahi," dan karena itu ia tidak menghapus kewenangan apapun dari
penguasa duniawi masanya. Hal itu tidak berarti bahwa Ia belum bisa menerima
kekuasaan raja yang dia ingini. Namun Kristus tidak ingin apapun karena
kekuasaan tersebut tidak diperlukan, sebab bagi Kristus tujuan sementara Ia berdiam
di bumi adalah untuk memenuhi tugasnya untuk penebusan, dan kekuasaan spiritual
sangat dibutuhkan. Argumen bahwa kerajaan Kristus, karena itu kekal, juga
rohaniah adalah dasar bagi seluruh konstruksi teoritis Bellarminus. Dari
pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa Bellarminus menentang mereka yang
berpendapat bahwa paus tidak memiliki kekuasaan dalam hal duniawi. Namun dia
juga menolak bahwa Paus memiliki kekuasaan secara langsung atas hal-hal duniawi[15].
Dalam
pemikirannya, Bellarminus berpandangan bahwa Paus, Kardinal dan Uskup padalah para pemimpin jiwa. Bellarminus
melihat Paus sebagai
“emperor of souls” atau penguasa jiwa. Terhadap para kardinal yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, Bellarminus berpendapat bahwa jika dia (mereka) tidak menyadari kedudukannya sebagai pembantu wakil Kristus, Gereja universal
berada dalam bahaya akan keselamatan abadinya. Di awal tulisannya, Bellarminus menuliskan bahwa Paus memegang tiga peran, yaitu dia adalah imam dari Gereja Universal, uskup kota Roma dan pangeran temporal dari teritori gerejawi. Namun, dari itu semua, tugas utamanya adalah menjaga dan merawat semua Gereja, inilah yang
menjadi tugas pertama, tertinggi dan unik.
Dengan demikian, kedudukan Paus dan para uskup adalah sebagai pelayan Gereja. Memang Paus perlu menunjukkan kepemimpinannya kepada para pemimpin Negara namun hal itu bukan tugas utamanya. Tugas utama, pertama, tertinggi dan unik seorang paus adalah sebagai “emperor of souls”
(kaisar jiwa-jiwa).
5.
Penutup
Pandangan
Bellarminus mengenai kepausan kelihatannya agak merepotkan[16].
Ia menentang mereka yang berpendapat bahwa paus tidak mempunyai kekuasaan dalam
hal-hal duniawi, berlawanan dengan soal-soal rohani. Tetapi dia juga menolak
bahwa paus memiliki kuasa secara langsung atas hal-hal duniawi. Inilah kemudian
mengapa pemikiran Bellarminus mengundang banyak kontroversi dan perdebatan.
Bagi
Bellarminus, Paus dalam hubngannya dengan umat sejauh itu berkaitan dengan
pemerintah atau penguasa temporal, memiliki dan harus menjalankan kekuasaan
yang berciri potestas indirecta atau
kekuasaan yang tidak langsung. Namun jika itu menyanngkut masalah rohani dan
spiritual dan sejauh itu berkaitan dengan umat kristiani, maka dalam hal ini
pasu memiliki dan menjalankan kekuasaan yang berciri potestas directa atau kekuasaan langsung.
Pemikiran
Bellarminus tentang Potestas Indirecta memberikan implikasi terhadap
pandangannya terhadap kepemimpinan Paus dalam Gereja Katolik. Pertentangan
dengan Protestan yang mengakibatkan perpecahan dalam kekristenan membuat para
pemikir Gereja membenahi struktur kepemimpinan Gereja Katolik.
Selain
berusaha mempertahankan kesatuan dalam Gereja Katolik Roma dari perpecahannya
dengan Protestan, Bellarminus juga berusaha membenahi Gereja dari dalam.
Pemikirannya banyak memberikan teguran bagi kepemimpinan Gereja di tengah
dunia.
Pemikiran
Bellarminus berfokus pada dua hal. Pertama, Bellarminus mencoba memelihara relasi antara paus
dan uskup-uskup Gereja Katolik. Kedua, Bellarminus melihat peran Gereja Katolik
dalam debat-debat intelektual.
6.
Daftar pustaka
Donnelly, J, P.,
1989 Robert
Bellarmine Spiritual Writings, Paulist Press, New York.
Kristiyanto, E.,
2002
Gagasan yang Menjadi Peristiwa, Kanisius, Yogyakarta.
Lane, T.,
1990 Runtut
Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Tutino, S.,
2010 Empire of Souls,
Robert Bellarmine and the Christian
Commonwealth, Oxford University
Press, New York.
Willem, F.D.,
1989 Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, BPK Gunung Mulia,
Jakarta.
2006 Kamus Sejarah Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Bernhard, K.,
2001 Diktat
Kuliah Sejarah Doktrin Gereja, FTW, Yogyakarta.
[2] John Patrick
Donnelly (eds), Robert Bellarmine
Spiritual Writings, Paulist Press, New York 1989, 13.
[3] F.D. Willem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam
Sejarah Gereja, Jakarta, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1989, 40-41.
[7] Stefania Tutino, Empire of Souls, Robert Bellarmine and the Christian Commonwealth, Oxford University Press, New York
2010, 9.
[11] Stefania Tutino, Empire of Souls, Robert Bellarmine and the Christian Commonwealth, 39.
[12] Stefania Tutino, Empire of Souls, Robert Bellarmine and the Christian Commonwealth, 40.
[13] Stefania Tutino, Empire of Souls, Robert Bellarmine and the Christian Commonwealth, 41.
[14] Stefania Tutino, Empire of Souls, Robert Bellarmine and the Christian Commonwealth, 42.
[15] Tony lane, Runtut Pijar, Sejarah Pemikiran Kristen,
192.
Komentar
Posting Komentar