TRADISI SAISO
Pengantar
Hampir semua agama, baik yang sudah diakui oleh
negara seperti Islam,Katolik, Hindu, Budha, Protestan dan Konghucu, maupun
agama-agama tradisional seperti Marapu di Sumba dan kepercayaan Kejawen di Jawa
, tema “keselamatan” merupakan tema utama dari setiap ritus yang mereka
jalankan. Paham keselamatan dalam
masing-masing agama atau kepercayaan tersebut tentunya juga berbeda satu dengan
yang lainnya. Tidak hanya berbeda dalam pemahaman dan pengamalan paham keselamatan,
melainkan juga dalam ritus-ritus atau upacara-upacara yang digunanakan untuk
mendapatkan atau menggapai keselamatan tersebut juga sangat berbeda satu dengan
yang lainnya. Hal yang sama terjadi dengan agama Marapu[1],
yang merupakan agama asli orang Sumba.
Dalam
tulisan ini, penulis akan mencoba membahas tentang pengertian agama Marapu
tersebut. Bagaimana paham agama ini tentang Yang Ilahi, paham mereka tentang
penciptaan yang dimulai dari fase penciptaan, separasi hingga penciptaan kembali. Kemudian bagaimana
pemahaman mereka tentang keselamatan. Paham keselamatan ini juga kemudian
berkaitan dengan salah satu ritus yang mereka gunakan untuk memperoleh
keselamatan. Salah satu ritus dari sekian ritus penyucian yang akan coba
diangkat oleh penulis dalam tulisan ini adalah ritus pertanyaan Saiso. Dan pada akhir dari tulisan ini
penulis akan mencoba memberikan
sedikit refleksi teologis berkaitan dengan kepercayaan
agama ini.
Agama
Marapu
Berbicara tentang Sumba
dan masyarakatnya, khususnya masyarakat suku Wewewa kabupaten Sumba Barat
Daya, maka hal itu tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan Marapu. Suku bangsa
Sumba memiliki suatu kepercayaan yang telah dianut turun temurun sejak jaman
purba hingga masa kini, yaitu kepercayaan Marapu sebagai agama asli warisan
leluhur orang Sumba. Disebut kepercayaan (religi)
karena kegiatan-kegiatan pemujaan (kultus)
dengan segala upacaranya dilakukan menurut suatu sistem atau cara yang teratur
dan tertentu. Dapat juga dikatakan bahwa orang Marapu adalah masyarakat Sumba
atau orang Sumba yang beragama Marapu. Disebut agama sebab agama adalah
ekspresi lahir dari sikap batin manusia terhadap Allah.
Tidak ada defenisi yang
pasti tentang Marapu. L. Onvlee seperti yang dikutip oleh Mateus Mali
menyebutnyan sebagai “Yang Disembah dan Dihormati” karena baginya Marapu
berasal dari arti kata “Ma” (Yang) dan
“rapu”(dihormati atau disembah). Marapu adalah sembahan orang Sumba.
Penyembahan itu ditujuhkan kepada roh, arwah orang mati, atau “Allah” (Dewa
Tertinggi). Semua yang disembah disebut Marapu[2].
Sementara itu, A.A. Yewangoe[3]
mengartikan Marapu sebagai “Yang Tersembunyi” kalau kata ini diambil dari kata
“ma”(yang) dan “rappu”(tersembunyi) atau sesuatu yang tidak dapat atau tidak boleh
dilihat. Namun Marapu juga berarti “Serupa Nenek Moyang” bila kata Marapu
diambil dari rangkaian kata “mera” (serupa) dan “appu” (nenek moyang)[4].
Dengan demikian belum
dapat diketemukan kesesuaian pengertian di antara para tua-tua adat tentang pengertian
Marapu ini[5].
Bahkan kebanyakan dari mereka tidak mempersoalkan hal tersebut. Untuk sementara
ada beberapa pengertian yang dapat dikemukakan di sini sebagai arti dari kata
Marapu antara lain yakni:
1. Para
penghuni langit yang hidup abadi. Makhluk-makhluk mulia itu merupakan
makhluk-makhluk yang berwujud dan berkepribadian seperti manusia. Terdiri dari
pria dan wanita, mereka juga berpasangan sebagai suami-istri. Di antara
keturunannya ada yang menghuni bumi dan menjadi cikal-bakal nenek moyang
suku-suku yang hidup di Sumba, mereka adalah perantara antara Allah sebagai Pencipta
dan manusia sebagai ciptaan.
2.
Arwah nenek moyang di Kampung besar atau negeri Marapu
3. Arwah
sanak keluarga. Leluhur ini sebenarnya tidak sama dengan Marapu tetapi karena dekatnya mereka dengan Marapu lalu kemudian
sering juga disebut Marapu.
4. Makhluk-makhluk
halus yang menghuni seluruh penjuru dan
ruang alam, benda-benda antara lain: kayu cendana, padi dan ular. Mereka
mempunyai kekuatan gaib, magis yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia di
alam ramai. Dalam arti ini Marapu yang baik mendatangkan berkat, ada Marapu yang mendatangkan bencana.
5. Dalam
pengertian lain Marapu dimengerti sebagai sobat[6].
Marapu juga dimengerti
sebagai kekuatan supranatural yang senantiasa memberi pengaruh kepada manusia.
Bila diikuti permintaanNya, Ia akan memberikan berkat. Namun bila tidak
mengikutiNya, Ia akan memberikan kutuk. Berkat yang diberikan berupa kekayaan
atau keberhasilan sesuai dengan intensi pemintanya. Sebaliknya, kutuk yang
diberikan berupa kegagalan di dalam usaha atau bahkan bisa mendatangkan
kematian. Kekuatan supranatural ini bisa melekat pada suku, tanah atau orang
tertentu. Artinya bahwa yang bersangkutan memiliki hubungan khusus dengan
Marapu[7].
Para Marapu tidak sama
tingkat kedudukannya, Marapu yang menjadi cikal-bakal sekelompok suku menempati
tingkat yang tinggi. Walapun demikian tak satupun di antara Marapu, meskipun
tinggi derajatNya, dinyatakan sebagai Marapu pencipta alam semesta. Secara
prinsispil kepercayaan Marapu tidak mengakui adanya Marapu pencipta alam semesta.
Sebab yang tertinggi adalah DIA yang dialami sebagai yang mencipta seisi alam
semesta, yang membentuk dan memberi kehidupan, yang bertelinga dan bermata Maha
Besar. Istilah-istilah ini diucapkan secara berpasangan dalam bait-bait bahasa
adat. Semuanya menyatakan pengakuan adanya Yang Ilahi, Yang Esa, Sang Pencipta
yang pantang disebut namaNya, “NdapanumaNgara-Ndapateki
Tamo” (Tak diucapkan namaNya dan tak disebutkan gelarNya). Dia tidak
disebut Marapu.
Para Marapu inilah yang
menjadi perantara atau media antara manusia dengan Alkhalik (Yang Ilahi/Yang Maha Kuasa) di dalam penyampaian segala
perasaan dan kehendak hati dalam bentuk doa atau upacara-upacara. Dalam hal ini
mereka melaksanaknnya dalam rumah-rumah adat yang disebut oleh masyarakat
sebagai Umma Rato[8].
Konsep
Yang Ilahi[9]
Kepercayaan Marapu mempunyai
konsepsi tentang adanya Yang Ilahi yang menciptakan alam semesta dan kehidupan
segala makhluk, Dialah “Ama a mawalo Ina
a Marawi” (Bapa yang memintal dan Ibu yang menenun = yang menjadikan).
Kepercayaan Marapu didukung oleh mitos-mitos religius yang berfungsi memperkuat
iman para penganutnya[10].
Kedudukan Yang Ilahi
tidak tersaingi dan tidak tergoyahkan oleh berbagai Marapu yang juga memiliki
kesaktian. Bagi masyarakat Sumba, menyembah Marapu berarti mereka menyembah
Yang Ilahi. Marapu adalah jembatan ke yang Ilahi. Marapu inilah yang mendapat
julukan yakni: Inna Pulu-Ama Kandouka
(Ibu pembicara – Bapa penutur), Andikita-Anoneka
(Yang beranjak dan beralih), Andkita
pala’o-Anoneka pamaina (Yang beranjak ke sana dan yang beralih ke mari), Apadukina mbara Ina-Apotamona mbara ama (Yang
mengatakan kepada Ibu dan yang menyampaikan kepada Bapa), Andara nda kabuta-Abangga nda kahogha (yang sebagai kuda tak
berkeringat dan sebagai anjing tak lelah).
Marapu menempatkan roh sebagai komponen paling utama di samping
magi. Roh itu bersifat abadi di alam baka, menjadi penghuni Negeri Marapu dan
mempunyai struktur masyarakat yang sama dengan masyarakat di dunia. Roh itu
sendiri terdiri dari dua unsur yaitu nDewa
(Sumba Barat) atau Ndiewa (Sumba Timur),
dan yang disebut Mawo atau Magho atau Hamangu (Sumba Timur). nDewa, unsur pertama akan menjadi penghuni
Negeri Marapu, memiliki kepribadian utuh, serta kedudukan yang sama seperti
masa hidupnya di dunia. Sedangkan unsur kedua, Mawo atau Magho akan
tetap berada di dunia sebagai makhluk halus yang tinggal di sekitar manusia
(sanak keluarganya). Unsur yang kedua hanya terdapat pada manusia, sedangkan
yang pertama (nDewa) terdapat pada segala makhluk hidup, termasuk tumbuh-tumbuhan
yang kelak ikut menghuni Negeri Marapu.
Pengakuan terhadap Yang
Ilahi, Yang Esa, Sang Pencipta diungkapkan dalam suatu rangkaian upacara-upacara
penting dalam gerak kehidupan manusia Sumba baik pribadi maupun kelompok,
dengan menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat kiasan. Tata cara hidup
masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan. Mereka menyembah Yang Ilahi
dengan perantaraan Marapu leluhur yang
sudah selamat. Lewat merekalah disampaikan segala perasaan dan kehendak hati
manusia yang diucapkan dalam dan lewat doa. Marapu meneruskan kepada Yang
Membentuk dan Menganyam manusia, sebab daripadaNyalah datang segala petunjuk
dan nasehat yang harus ditaati oleh manusia. Dari padaNyalah datang amaringi – amalala (Berkat dan restu)
untuk kebahagiaan manusia yang memenuhi kewajibanya.
Kepercayaan Marapu yang
memiliki pandangan dan pemahaman tertentu mengenai Yang Ilahi itu terungkap dan
terwujud dalam berbagai macam pranata budaya sosial-ekonomi mereka. Pengalaman
akan Yang Ilahi terwujud dalam cara hidup, tingka laku, cara berkarya seperti
bercocok tanam, adat perkawinan, pesta-pesta adat. Pengalaman akan Yang Ilahi
ini juga terungkap dalam bentuk-bentuk budaya seperti upacara dan ritus-ritus
keagamaan, upacara kelahiran dan kematian, syair-syair adat dan doa mereka.
Konsep
Keselamatan dalam Masyarakat Sumba
Bagi orang Sumba
dunia ini terdiri atas dua bagian yaitu: dunia yang nampak dan dunia yang tidak
nampak. Dunia yang tidak nampak itulah justru dunia yang sesungguhnya. Biasanya
orang Sumba berkata: Dunia ini (dunia yang nampak) bersifat menipu, sedangkan
dunia yang di seberang sana (yang idak nampak) itulah dunia yang sebenarnya.
Selanjutnya
dunia yang nampak ini merupakan gambaran dan bayangan dunia yang lain itu yang
mata oleh mata kita tidak dapat dilihat. Apabila dalam dunia yang nampak ini
terjadi perjuangan antar manusia, maka sebenarnya perjuangan tersebut
menggambarkan perjuangan yang terjadi di “sana” dan penentuan akhir perjuangan
itu justru ditentukan di sana. Hal itu berarti bahwa mestilah ada hubungan yang erat antara dunia yang nampak
dan dunia yang tidak nampak itu. Hubungan itu mestilah dicerminkan di dalam
kehidupan sehari-hari orang-orang Sumba, artinya bahwa harmoni antara dunia
atau keserasian antara dunia yang nampak dan dunia yang tidak nampak itu
mestilah dipelihara.
Dalam
pada itu seringkali juga hubungan antara dunia yang nampak dan dunia yang tidak
nampak itu digambarkan sebagai hubungan antara langit dan bumi. Gambaran ini
misalnya terlihat dalam cerita-cerita tentang seorang yang berusaha untuk naik
ke langit dengan maksud mengambil air kehidupan agar dengan demikian memiliki kehidupan abadi. Dengan begitu
sebenarnya terdapat “lalu-lintas” antara langit dan bumi, yang dilukiskan dalam
“pohon kehidupan”. Pohon itu adalah
lambang dari hubungan antara langit dan bumi[11].
Dengan
cerita seperti ini mau dikatakan bahwa pada hakekatnya terdapat hubungan yang
sangat erat atau hubungan yang bersifat kerabat
antara manusia di bumi dengan langit, dengan dunia yang tidak nampak
tersebut. Berhubungan dengan kekerabatan tersebut, maka senantiasa terjadilah
kecendrungan di antara manusia untuk bersatu dengan dunia yang tidak nampak
itu. Usaha-usaha untuk bersatu itu dilakukan dengan mempersembahkan
korban-korban.
Menurut orang Sumba dunia ini diciptakan oleh satu Ilah.
Dari sanalah berasal segala sesuatu dan kepadaNyalah segala sesuatu kembali.
Tetapi Ilah ini sangat jauh dan sangat tinggi bagi manusia. Di dalam kehidupan
sehari-hari Ia tidak memainkan peranan yang penting. Tetapi justru oleh karena
itu maka Ia ditakuti oleh manusia . Ia adalah suatu hakekat yang namaNya tidak
boleh diserukan dan dipanggil. Ia tidak datang mendekat kepada manusia dan
manusia tidak dapat memanjat kepadaNya.
Keseimbangan merupakan
konsepsi kepercayaan Marapu yang mencakup tata kehidupan alam semesta.
Keseimbangan (keselamatan) mendatangkan kebahagiaan. Karenanya perlu dijaga dan
dipelihara agar tidak menimbulkan keguncangan yang merusak tata hidup[12].
Dengan demikian di hadapan
alam semesta atau berhadapan dengan ciptaan-ciptaan lain di alam ini manusia
dituntut untuk menjaga keselarasan dan harmoni dengan ciptaann-ciptaan lain.
Manusia sebagai makhluk yang unggul dengan akal budinya tidak boleh bertindak
semenah-menah terhadap makhluk ciptaan lain di alam ciptaan ini. Di alam
semesta ini manusia hanya merupakan salah satu ciptaan dari sekian banyak
ciptaan yang lain. Dengan demikian manusia bersama ciptan yang lain diciptakan
bukan untuk saling menaklukkan melainkan untuk saling mengisi yang ditandai
dengan terciptanya keselarasan dan harmoni.
Keseimbangan ini dijaga atau dipulihkan lewat
upacara-upacara korban. Tidak ada keselamatan (keseimbangan) tanpa korban.
Dalam upacara pemulihan keselamatan biasanya dinyatakan dengan hewan darah
korban yang mengalir. Darah sebagai unsur penjamin atau pemulih keseimbangan
atau keselamatan[13]. Puncak
keselamatan diperoleh ketika orang meninggal dan hidup di Wano Kalada (Kampung Besar) sebuah dunia yang tidak nampak, atau
dalam bahasa Doni Kelen yakni kehidupan di kabaila
ro’o[14] (kehidupan
di balik daun atau mereka ada bersama kita namun tidak dapat dilihat secara
kasat mata). Orang Sumba meyakini bahwa kehidupan di dunia yang tidak tampak
atau kabaila ro’o jauh lebih istimewa.
Namun kehidupan yang demikian indah itu hanya akan dialami oleh mereka yang
tidak memiliki tunggakan kesalahan adat selama hidupnya. Kalau orang yang
meninggal dan kemudian menyisahkan banyak dosa dan kesalahan yang belum
dibereskan maka orang tersebut akan menderita di sana.
Macam-macam
Kematian dalam Masyarakat Sumba
Orang Sumba pada
umumnya dan suku Wewewa pada khususnya, membedakan kematian dalam dua jenis,
yakni kematian normal (kematian wajar) dan kematian tidak normal (kematian
panas, kematian tidak wajar)[15]. Bagi orang Wewewa, kematian normal adalah kematian
yang paling mulia dan terhormat[16].
Orang yang meninggal karena umur tua diyakini juga karena mendapat berkat dan
perlindungan dari leluhurnya. Berkat itu diperoleh karena relasinya yang baik
dengan leluhur, misalnya dengan memberi mereka sesaji.
Sedangkan
kematian yang tidak normal dalam pandangan orang Wewewa disebabkan oleh
beberapa hal yakni, pertama karena perbuatan sesamanya, seperti karena dibunuh
atau ditabrak. Kedua, karena alam, seperti bencana alam banjir dan gempa bumi,
dan yang ketiga yakni karena tidak melakukan tuntutan leluhur. Yang termasuk
dalam kematian jenis ketiga ini seperti: mati tiba-tiba, gantung diri, disambar
petir, atau karena sesuatu penyakit. Biasanya kematian karena tidak melakukan
tuntutan leluhur didahului oleh peringatan seperti gagal panen, atau ditimpa
penyakit yang sulit disembuhkan.
Dengan
demikian, kematian yang tidak wajar atau kematin panas adalah kematian sebelum
waktunya. Kematian ini adalah merupakan sebuah musibah yang memiluhkan,
menakutkan dan menyedihkan. Jiwa orang yang mati dengan cara demikian masih
mengembara dan ia tidak tenang. Untuk mereka yang mati tidak wajar akan dikuburkan
di luar pagar kampung (mbali bina). Dengan
demikian supaya jiwa orang yang meninggal tidak wajar ini tenang dan damai,
haruslah dibuat upacara atau ritual penyucian.
Upacara
atau ritual penyucian untuk orang yang meninggal tdak wajar oleh orang Wewewa
di tempuh dalam tiga tahap. Pertama, upacara oka (balas-membalas dalam berbicara untuk mengungkapkan suatu
masksud). Cara pelaksanaan ini adalah seorang yang mewakili orang mati berdiri
di luar pagar kampung dan satu lagi yang mewakili pihak keluarga yang masih
hidup berdiri di dalam pagar. Setelah itu mereka mulai berbicara dan
bersahut-sahutan dalam menyampaikan isi hati masing-masing, teristimewa
menyangkut sebab kematian panas. Kedua, yakni ropu ana manu (memotong anak ayam). Anak ayam dipotong dan dibagi
dua, lalu dibuang satu bagian ke arah timur dan bagian yang lain ke arah barat.
Tujuannya adalah supaya kematian tidak wajar itu tidak terjadi lagi tetapi
dijauhkan dari mereka, yang disimbolkan dengan kedua kutub itu. Dan yang
terakhir yakni Saiso. saiso dalam hal ini adalah doa
penyucian dari orang yang hidup yang diucapkan secara bertutur dan diiringi
bunyi gong. Isi doa ini adalah permohonan keselamatan bagi orang yang mati
tidak wajar. Upacara saiso ini juga
meminta kepada Marapu supaya
arwah orang yang mati tidak wajar yang masih berkeliaran itu segera turun dan
masuk dalam rumah.
Dalam
konteks inilah, Saiso menjadi salah
satu ritus yang akan menjadi fokus perhatian saya dalam membahas salah satu
ritus penyucian dalam masyarakat Wewewa.
Kabihu/Kabizu/Kabizzu,
Penanggungjawab-Ritus
Setiap agama
atau kepercayaa tradisional pasti memiliki struktur, di mana di dalamnya kita
dapat melihat penanggungjawab dari setiap ritus atau upacara yang dijalankan.
Demikian juga dengan agama Marapu pada masyarakat Sumba. Membicarakan berbagai
ritus dalam masyarakat Sumba tidak bisa dipisahkan dari berbagai kabizzu.
Kabizzu-kabizzu itulah yang mengaturnya-menggelarnya melalui rumah-rumah adat
di setia perkampungan adat. Setiap kabizzu mempunyai fungsi masing-masing
begitu juga rumah-rumah adat, dengan memperhatikan tata cara adat yang ketat[17].
Pelaku
utama setiap ritus di Sumba tergantung dari siapa yang terlibat atau
bertanggungjawab dalam ritus tersebut. Sejauh hal itu menyangkut kepetingan
dalam rumah sendiri maka kepala rumah tangga
dari keluarga tersebut akan memimpin jalannya upacara atau ritus
tersebut. Tetapi jika hal itu menyangkut kepentingan seluruh suku, maka upacara tersebut akan
dipimpin oleh kepala-kepala suku. Di sini peran kepala suku sebagai pemimpin mempunyai peranan yang
besar, baik sebagai pemimpin dalam kehidupan sehari-hari maupun sebagai pemimpin dalam
ritual-ritual atau upacara-upacara keagamaan[18].
Dengan
demikian, dalam kaitan dengan upacara atau ritus Saiso, maka dapat dipastikan bahwa pihak yang terlibat atau
bertanggungjawab penuh adalah pihak keluarga dari korban yang meninggal dalam
keadaan tidak wajar. Pihak keluargalah yang bertanggungjawab atas
berlangsungnya ritus ini. Doa dari pihak keluarga akan mempercepat proses
keselamatan pihak yang meninggal tadi. Selain itu, seluruh warga kabizzu (laki-laki maupun perempuan)
juga masyarakat sekitarnya (tetangganya) atau yang disebut ole mbara uma (teman sekampung) dan ole mbara wanno (teman kampung yang bertetangga atau kampung
terdekat). Semua anak-anak perempuan yang sudah kawin (ana mawine) beserta keponakan-keponakannya (ana kabine), saudara-saudara yang sudah kawin (wotto) dan suaminya saudara perempuan itu disebut olesawa serta semua orang dari warga kabizzu yang bersangkutan (wallo riwu rawo, watu ndari tana) [19].
Penyelenggara
teknis ritus ini adalah seluruh warga kabizzu
yang terdiri dari laki-laki dewasa, dan mengerti adat. Mereka inilah yang
menyiapkan materi yang dibutuhkan di dalam penyelenggaraan upacara saiso. Mereka jugalah yang menetapkan
waktu penyelenggaraan upacara saiso dan
menyampaikan pula maksudnya Rato Urata (Imam
Marapu[20]). Mengundang pendukung-pendunkung
(upacara) saiso serta menentukan pula
Rato Urata.
Dalam ritus atau
upacara saiso ini ada beberapa Rato
(Imam)
yang berperan yakni, Rato Urata, Rato
Saiso dan RatoMarapu. Rato Urata
inilah yang mencari tahu atau menyelidiki (wegawe
urata dana), mengapa terjadi malapetaka dalam kabizzu yang bersangkutan. Rato inilah yang dapat mengungkapkan
dosa-dosa serta dia pulalah yang bisa menyucikan dosa-dosa tersebut. Rato Urata biasanya berumur empat puluh
tahun ke atas[21]. Yang
kedua yakni Rato Saiso, dialah yang
menyalurkan maksud saiso atau
menyampaikan keinginan warga kabizzu kepada
para leluhur (Marapu) dan kemudian mendengarkan kepada pendukung atau hadirin[22].
Yang terakhir, Rato Marapu yaitu ahli
adat Marapu. Orang
inilah yang mengetahui tingkatan Marapu dan mana yang harus dipuja. Rato Marapu ini juga yang dapat
memperbaiki dan menyempurnakan kesalahan Rato
Urata dan Rato Saiso[23].
Ritus
atau Upacara Saiso
Upacara
Saiso[24]
dilakukan sesudah sesuatu bencana berlaku atau terjadi seperti: sesudah
terjadinya suatu kematian karena pembunuhan, mati karena suatu bencana, seperti
jatuh dari pohon, dibawah banjir, diterkam buaya, ataupun bencana lain, kampung
atau rumah terbakar dan sebagainya. Saiso
berarti memanggil semangat atau jiwa dari pada yang mati atau terbakar,
dengan bahasa Loura: kaghulai ndewana (memanggil
jiwanya)[25].
Dalam kaitannya
dengan upacara kematian, Van Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan upacara
itu dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) perpisahan atau separation (2) peralihan atau merrge, dan
(3) integrasi kembali atau agregation[26]. Upacara
saiso diadakan dengan tujuan untuk
mengembalikan jiwa orang yang meninggal tidak wajar. Dengan demikian upacara saiso terjadi ketika ada orang yang
meninggal tidak wajar atau tidak normal. Dengan demikian, di sini terjadi apa
yang oleh Van Gennep disebut dengan separation
atau perpisahan. Perpisahan ini ditandai dengan adanya orang yang meninggal
dengan tidak wajar. Perpisahan terjadi antaar orang yang meninggal secara tidak
wajar dengan keluarga dan suku atau kabizzunya.
Menentukan
waktu Saiso kepada Marapu dengan cara
manggapu atau kerita, yaitu tumbana wiaza
mono iya ana manu (membuang beras dan menyembelih seekor anak ayam). Tepat
pada siku rumah di luar, yang bertentangan dengan mata Marapu dibuat suatu tangga dari dua batang tamian dengan anak
tangganya. Tangga itu diletakkan di atas sebua tonda (tameng) yang diberi abu halus yang kemudian diratakan. Pada
malam pertama ritual Saiso itu,
diminta dengan cara tauna li’i (memberi
suara, menyatakan perasaan) dan ndondo (menyanyi)
kiranya Marapau (Andikita-Anoneka) menolong
untuk mengembalikan ndewa (jiwa atau semangat) dari orang yang meninggal
secara tidak wajar tersebut[27].
Tiap-tiap
pagi orang memeriksa apakah ada bekas kaki di atas abu pada tameng tempat
tangga itu diletakkan atau belum ada. Selama bekas itu belum nampak, tiap-tiap
malam diadakan Saiso dengan tauna li’i (doa), ndondo (menyanyi) dan nenggo (menari),
memohon kiranya: Ina Pulu – Ama Kandouka
(ibu dan bapa almarhum, yang beranjak dan bedalih, Ibu Pembicara dan Bapa
Penutur – Marapu) menyampaikan seruan mereka kepada Amagholo
– Amarawi (Pencipta dan Pembuat, Alkhalik) agar Ia mengembalikan jiwa atau
semangat dari pada orang yang mati tidak wajar tersebut.
Pada
tahap ini terjadi apa yang oleh Van Gennep disebut dengan peralihan atau merge, di mana manusia dianggap mati
atau tak ada lagi. Namun mereka perlu dipersiapkan untuk menjadi manusia baru
dalam lingkungannya yang baru nanti. Dalam upacara atau ritus saiso hal ini nampak dari usaha keluarga
atau kabizzu yang terlibat untuk
memohon kepada Marapu Tertinggi untuk mengembalikan roh atau jiwa orang yang
meninggal secara tidak wajar. Usaha atau doa dari pihak keluarga atau kabizzu nampak dari berbagai persiapan
yang mereka adakan, seperti mempersiapkan ritus saiso dan segala material yang berkaitan dengan ritus tersebut
seperti sirih pinang, beras, telur ayam, anak ayam anak kambing, babi besar
yang sudah bertaring, anak babi dan kerbau. Tujuan semua ritus beserta segala
persiapannya yakni supaya Marapu
mengembalikan atau mengalihkan jiwa orang yang meninggal tidak wajar tadi
kepada tempat yang layak, atau dalam bahasa setempat disebut Wano Kalada, atau dunia yang tidak nampak (kabaila ro’o).
Kalau
pada suatu pagi sudah nampak bekas, terus tangga itu dipotong, supaya jiwa atau
semangat yang sudah kembali jangan pulang kembali ke atas. Pada saat itulah
upacara Saiso dilakukan dengan
mengundang loloka – ndam (ipar biras)
dan para undangan lain dengan menentukan waktu penutupan upacara, selambat-lambatnya
empat hari atau secepat-cepatnya dua hari. Pada hari yang ditentukan
dilakukanlah tunu – teba dengan
mempersembahkan sirih pinang, makanan dan minuman kepada Magholo – Marawi serta para leluhur, daging kerbau dan babi yang
telah disembelih dan dibantai dibagi-bagikan kepada para undangan dan para
hadirin[28].
Orang
Wewewa meyakini bahwa apabila pada
tameng yang ditaburi abu sudah nampak bekas atau jejak kaki, maka orang yang
meninggal secara tidak wajar telah kembali memasuki Kampung Besar (Wano Kalada). Pada bagian ini terjadi
apa yang oleh Van Gennep disebut sebagai bagian agregation, yang mana orang yang meninggal tadi diresmikan ke dalam
tahap kehidupannya serta lingkungannya yang baru[29]
yang dalam pandangan orang Wewewa disebut Wano
Kalada. Juga dalam bagian ketiga ini oleh Van Gennep, seperti dalam banyak
upacara lingkaran hidup: dalam upacara inisiasi sering ada acara di mana individu yang bersangkutan secara
perlambang seakan-akan dilahirkan kembali, dan mengukuhkan integrasinya ke
dalam lingkungan sosialnya yang baru[30].
Dalam
masyarakat Wewewa sebagai perlambang bahwa individu yang bersangkutan yang
dalam konteks ini yakni orang yang meninggal secara tidak wajar dilahirkan
kembali atau telah memasuki Wano Kalada
(Kampung Besar) suatu dunia yang penuh dengan kedamaian dan ketenangan maka
diadakan acara “syukuran” makan bersama dengan para tamu undangan atau
pendukung (loloka) dari upacara atau
ritus ini. Acara syukuran berupa pengurbanan hewan yakni babi dan kerbau tidak
pertama-tama ditujukan kepada para undangan melainkan pertama-tama kepada Magholo – Marawi serta para leluhur.
Hewan-hewan yang dipotong adalah korban pengucapan syukur karena jiwa yang
meninggal tidak wajar telah kembali[31].
Refleksi
Teologis
Dalam tulisannya
yang dimuat dalam Orientasi Baru[32],
A. Sudiarja mengatakan bahwa agama-agama formal itu mula-mula muncul sebagai
fenomena budaya. Dalam perkembangan selanjutnya, tampak bahwa agama sulit
dipisahkan dari kebudayaan suatu suku atau bangsa. Simbol-simbol agama selalu
diambil dari kekayaan budaya masyarakat yang bersangkutan, baik itu berupa
bahasa, pakain ataupun alat-alat peribadatan. Inilah pengertian agama secara
luas (lato sensu) dan primordial.
Dari sudut budaya, agama memang hanya salah satu unsur saja di samping unsur-unsur
lain. Akan tetapi, karena sifatnya yang khas, yang luhur, yang dianggap
berkaitan dengan kekuatan yang adiduniawi, maka agama mendapat kedudukan yang istimewa dalam
seluruh konfigurasi budaya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila kebudayaan
primitif terutama masih amat diwarnai oleh agama, justru karena peran agama
yang masih dianggap begitu penting.
Hemat penulis,
agama Marapu merupakan agama atau kepercayaan yang dapat dikelompokkan atau
digolongkan ke dalam apa yang disebut dengan agama-agama alam[33].
Kehidupan masyarakat yang masih sangat
terikat dan berhubungan dengan alam mewarnai setiap ritual dari agama ini. Sebagai
agama alam, di dalamnya kuasa-kuasa dan kekuatan-kekuatan alam sangat
dihormati. Mereka melihat alam serta segala ciptaan lain sebagai gambaran
kehendak atau perintah dari Yang Ilahi. Inilah mengapa orang Sumba menaruh perhatian dan penghormatan yang
besar kepada beberapa benda-benda duniawi atau kejadian-kejadian alam[34].
Dari benda-benda duniawi atau kejadian-kejadian alam, mereka kemudian
menafsirkan kehendak Marapu atau Yang Ilahi.
Menarik
juga memperhatikan bahwa sebagai agama, Marapu melihat bahwa salah satu unsur
yang dapat menjadi sarana penyucian atau penyelamatan adalah darah binatang
yang dikurbankan atau disembelih. Binatang di sini, seperti kerbau, babi dan ayam yang dikurbankan. Saya
katakan menarik karena dalam beberapa agama, seperti Kristen, salah satu kurban
yang menjadi sarana pendamai antara manusia sebagai ciptaan dengan Allah
sebagai Pencipta adalah Yesus Kristus yang mengurbankan hidupNya di kayu Salib. Orang Sumba melihat bahwa darah binatang yang dikurbankan
akan menyucikan atau menyelamatkan orang dari penderitaan menuju kehidupan baru
di Kampung Besar (Wano Kalada).
Dengan demikian, sebagai sebuah agama yang menjiwai
seluruh hidup dan gerak serta keberadaan orang Sumba, sangat menarik untuk
melihat dan meniliti agama ini lebih jauh.
saya katakan menarik karena di sana tergambar dengan jelas filsofi hidup
orang Sumba, filsofi yang saya maksud di sini yakni bagaimana cara mereka menaruh
hormat dan perhatian terhadap alam semesta sebagai tempat kehadiran Yang Ilahi.
Karena menjiwai alam pikiran mereka, maka tidak mengerankan jika kemudian
mereka berusaha menjaga relasi dengan ciptaan-ciptaan lain di alam ini, bahkan
jika terjadi kesalah mereka akan berusaha untuk kembali berdamai dengan Yang
Ilahi lewat ritual-ritual atau upacara-upacara keagamaan seperti ritual saiso yang baru saja kita bahas.
Hal
ini tentunya berbeda dengan agama-agama lain yang melihat alam sebagai ciptaan
Yang Ilahi yang dipercayakan kepada manusia. Akibatnya dapat kita saksikan
sendiri. Manusia dengan keyakinan dan
kebangaannya sebagai makhluk yang unggul dibandingkan ciptaan-ciptaan lain semenah-menah mengeksploitasi alam ini. Dalam memanfaatkan
alam, manusia tidak lagi mengikuti kebutuhannya, melainkan mengikuti nafsunya,
akibatnya manusia tidak pernah merasa puas dan merasa cukup dengan apa yang
alam telah berikan. Sejatinya sebagai makhluk ciptaan, manusia harus melihat
alam ini sebagai ciptaan lain yang juga harus dijaga kelestariannya. Manusia
sebagai ciptaan yang unggul harus menjaga
harmoni alam ini dengan ciptaan-ciptaan yang lain.
Daftar Pustaka
Ahamad
Yunus, H. & HP. Suradi (eds),
1985 Upacara Tradisional yang Berkaitan dengan
Peristiwa dan Kepercayaan Daerah Nusa Tenggara Timur, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Jakarta.
Anita,
1987 Sumba,
Marapu dan Iman Kristiai, dalam Rohani, September.
Doni
Kelen, K.,
2012 Politik Resiprositas “Kontestasi Kearifan
dan Dampak Manipulasi Lokal di Suku Wewewa Sumba Barat Daya, Tesis Progaram
Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
J.
Daeng, H.,
2000 Manusia,
Kebudayaan dan Lingkungan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Kapita,
Oe. H.,
1976 Sumba
di Dalam Jangkauan Jaman, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
1982 Kamus
Sumba/Kambera Indonesia, Percetakan Arnoldus, Ende
Koentjaraningrat,
1985 Ritus
Peralihan di Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Michael
Beding, B. & Indah Lestari Beding, S.,
2002 Mozaik Sumba Barat Rekam Jurnalistik, Pemda
Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.
Mali,
M.,
2010 “Sumba:
Tanah Marapu,” dalam Spiritualitas Dialog Narasi Teologis Tentang
Kearifan Religius, Eddy Kristiyanto (ed), Kanisius, Yogyakarta.
Sudiarja,
A.,
“Agama Yang Jatuh Bangun,” dalam Orietasi Baru Jurnal Filsafat dan Teologi, No.
13, Tahun 2000, Kanisius, Yogyakarta.
Yewangoe, A. A.,
1980 “Korban
Dalam Agama Marapu, ” dalam Peninjau, Tahun
VII, Nomor 4.
[1]
Dalam kamus
Sumba/Kambera Indonesia yang disusun oleh Oe. H. Kapita, kata “Marapu”
diartikan sebagai dewa, ilah, yang dipuja, yang dipertuan, cakal bakal, nenek
moyang, leluhur mendiang, karamat (dalam bahasa sabu: ama ápu, Manggarai: rapu;
Do’o Donggo: parafu). (Oe. H. Kapita, Kamus
Sumba/Kambera Indonesia, Percetakan Arnoldus, Ende 1982, 154).
[2] Mateus
Mali, “Sumba: Tanah Marapu,” dalam Spiritualitas Dialog Narasi Teologis Tentang
Kearifan Religius, Eddy Kristiyanto (ed), Kanisius, Yogyakarta 2010, 74.
[3] A.A.
Yewangoe, “Korban Dalam Agama Marapu”, dalam Peninjau, Tahun VII, Nomor 4, 1980.
[4] Mateus
Mali melihat bahwa pemikiran ini didasarkan pada kebiasaan yang terjadi di
Sumba. Semua sanak saudara terlebih nenek moyang yang telah meninggal telah berbahagia di alam baka dan mereka
menjadi perantara doa-doa dari mereka yang masih hidup kepada “Dewa Tertinggi”.
Pemberian sesaji berupa siri pinang atau makanan yang diletakkan di atas
kuburan mereka yang meninggal dengan harapan mereka yang meninggal itu akan melindungi
yang masih hidup dan kelak berkenan menjemput mereka kalau meninggal nanti (
Mateus Mali, “Sumba: Tanah Marapu,”
74.)
[5] Bdk.
Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan
Lingkungan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2000, 117-118.
[7] Mateus
Mali, “Sumba: Tanah Marapu,” 74-75.
[8] H.
Ahamad Yunus & Suradi HP (eds), Upacara
Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa dan Kepercayaan Daerah Nusa
Tenggara Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi
dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Jakarta 1985, 76.
[9] Yang
Ilahi dalam syair-syair adat seperti: Ndapanuma Ngara-Ndapateki Tamo (Tak
diucapkan nama-Tak disebut gelar), Nggoko
Yori Yali-Bela Zupu Zenggila (Berseri kilau-kimilau dan suci mahakudus atau
dalam doa hanya dibisikkan), Mori
(Tuhan), Kaghutti gau mata Kazawa timbu
ulle (Yang tak ada awal dan tak ada akhir), Ina Kalada-Ama Kalada (Ibu Besar-Bapa Besar), Ama Kaza-Ina Kaza (Bapa dan Ibu semua orang), Ama nduka Ama-Ina nduka Ina (Bapa segala Bapa-Ibu segala Ibu)
[10] B.
Michael Beding & S. Indah Lestari Beding, Mozaik Sumba Barat Rekam Jurnalistik, Pemda Kabupaten Sumba Barat,
Nusa Tenggara Timur 2002, 32.
[11] Pandangan
seperti ini sebenarnya terdapat juga pada suku-suku lain di Indonsia ini. Salah
satu contohnya adalah kepercayaan orang Toraja di Sulawesi. Masyarakat Toraja
mempercayai bahwa pada zaman dulu kala terdapat hubungan antara langit dan
bumi. Hubungan itu diadakan dengan memakai suatu akar yang sangat panjang.
Melalui akar ini, seorang makhluk langit yang karena godaan seorang gadis bumi
turun ke bumi. Makhluk tersebut kemudian mengawini gadis bumi ini, dan sebagai
hasil perkawinan tersebut mereka
kemudian memperoleh seorang anak. Tetapi
pada waktu makhluk-langit itu melihat bahwa anaknya itu juga memiliki
sifat-sifat duniawi, maka ia merasa tidak dapa lagi hidup bersama istri dan
anaknya itu. Kemudian ia memutuskna kembali ke langit melalui akar itu.
Istrinya tidak menyetujui hal tersebut. Ia bersama anaknya menyusul makhluk
langit tersebut dengan memanjat akar itu. Tetapi pada waktu ia bersama anaknya
hampir mencapai tujuannya, maka makhluk-makhluk langit menebang akar tersebut,
dan wanita berserta anaknya itu kemudian jatuh ke bumi dan berubah menjadi
batu. Sejak saat itulah persekutuan antara langit dan bumi menjadi terputus.
[12] B.
Michael Beding & S. Indah Lestari Beding, Mozaik Sumba Barat Rekam Jurnalistik,34.
[13] B.
Michael Beding & S. Indah Lestari Beding, Mozaik Sumba Barat Rekam Jurnalistik, 34.
[14] Konradus
Doni Kelen, Politik Resiprositas
“Kontestasi Kearifan dan Dampak Manipulasi Lokal di Suku Wewewa Sumba Barat
Daya”, Tesis Progaram Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta 2012, 71.
[15] Konradus
Doni Kelen, Politik Resiprositas
“Kontestasi Kearifan dan Dampak Manipulasi Lokal di Suku Wewewa Sumba Barat
Daya”, 73.
[16] Kematian
normal ini dalam istilah wewewa disebut dengan rarano wino, modu na uta.
Artinya; pinang yang buahnya sudah matang dan sirih yang buahnya sudah
masak dengan sendirinya jatuh. Ungkapan ini mau menggambarkan bahwa orang yang
meninggal karena umur tua itu karena memang saatnya, ibarat orang yang
mengadakan perjalanan jauh kini ia sudah sampai pada ujung dari perjalanan itu
sendiri. Kematian ini merupakan kematian yang sangat dirindukan oleh setiap
orang. Dan sungguh diyakini bahwa orang yang mati (ata mate) karena umur
yang sudah tua ini akan memperoleh kehidupan yang sangat layak.
[17] Hal
itu ditegaskan oleh tokoh adat/tokoh masyarakat Yosef Nudu dalam wawancara tahun 1982, atau
khususnya dalam wawancara tahun 2001 dengan tokoh-tokoh adat atau masyarakat
seperti Umbu Siwa Ndujurumana di Anakalang, Y.L. Wadda Rato di Tambera, Nissa
Ama Magi (Rato Dodo Rato Podu) di Tarung, Lorens Dairo di Homba Karipit dan
Lorens Nani Boeloe di Weetabula (B. Michael Beding & S. Indah Lestari
Beding, Mozaik Sumba Barat Rekam
Jurnalistik,38).
[18] A.A.
Yewangoe, “Korban Dalam Agama Marapu”, 61.
[19] H.
Ahmad Yunus & Suradi HP. (eds), Upacara
Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Nusa
Tenggara Timur, 91.
[20] Menurut
A. A. Yewangoe, lembaga imamat juga terdapat di Sumba. Tetapi pelembagaan
imamat ini (Sumba Barat disebut Rato, sedangkan di daerah Mamboro dan Sumba
Timur disebut Ratu) dalam pandangan Yewangoe mestilah dilihat sebagai suatu
perkembangan yang berlangsung kemudian.
Imam itu adalah ahli dalam hal-hal yang menyangkut upacara-upacara dan
di dalam perkara-perkara yang menyangkut hubungan dengan kemungkinan untuk
mebaca kehendak Marapu melalui hati ayam, babi atau kerbau. Tokoh-tokoh
initidak hanya mempunyai pengetahuan mengenai dunia roh-roh tetapi juga
pergaulan yang rapat dengan dunia roh-roh tersebut. Ia mempunyai wibawa Ilahi.
Di pihak lain, Rato (Sumba Barat) dan Ratu (Sumba Timur) adalah juga
tokoh-tokoh yang ditakuti karena memiliki kemampuan-kemampuan yang luar biasa
dan kekuatan-kekuatan yang gaib. Kadang-kadang seorang Rato atau Ratu dapat
pula menjadi musuh yang harus dibunuh apabila terjadi suatu mala petaka di
dalam persekutuan, misalnya saja terjadi kelaparan, penyakit, kematian dan
lain-lain. (A.A. Yewangoe, “Korban Dalam Agama Marapu”, 61).
[21] H.
Ahmad Yunus & Suradi HP. (eds), Upacara
Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Nusa
Tenggara Timur, 89
[22] H.
Ahmad Yunus & Suradi HP. (eds), Upacara
Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Nusa
Tenggara Timur, 90
[23] H.
Ahmad Yunus & Suradi HP. (eds), Upacara
Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Nusa
Tenggara Timur, 90
[24]
Dalam dialek Loura
disebut Zaigho
[25] Oe.
H. Kapita, Sumba di Dalam Jangkauan
Jaman, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1976, 367.
[26]
Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta 1985, 33.
[27] Oe.
H. Kapita, Sumba di Dalam Jangkauan
Jaman, 368.
[28] Oe.
H. Kapita, Sumba di Dalam Jangkauan
Jaman, 368.
[29] Bdk.
Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di
Indonesia,33.
[30] Koentjaraningrat,
Ritus Peralihan di Indonesia, 33.
[31] Bdk.
H. Ahmad Yunus & Suradi HP. (eds), Upacara
Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Nusa
Tenggara Timur,124.
[32] A.
Sudiarja, “Agama Yang Jatuh Bangun,” dalam Orietasi
Baru Jurnal Filsafat dan Teologi, No. 13, Tahun 2000, Kanisius, Yogyakarta,
13.
[34] Berkaitan dengan ini dapat di lihat dalam
masyarakat Wewewa, mereka menafsirka kehendak dari Yang Ilahi atau Marapu
dengan cara memeriksa hati ayam atau babi. Hati binatang menjadi sarana
utama mereka menafsirkan
kehendak Marapu.
Komentar
Posting Komentar