Tomas More dan Utopia
Thomas More 91478-1535)
dikenal sebagai seorang ahli hukum, ilmuwan, penulis, anggota parlemen dan Lhord Chancellor Raja Inggris, Henry
VIII. Ia membangun reputasinya sebagai ilmuwan antara lain dengan berkawan
akrab dengan seorang teolog Katolik Erasmus. Thomas More juga pernah terlibat
berpolemik dengan dengn Marthin Luther (1483-1546) mengenai Reformasi
Protestan.
Cerita tentang Raja
Henry ini sangat menarik. Raja Henry VIII yang semula Katolik memilih
memisahkan diri dari Roma karena ingin menceraikan istrinya dan kawin
lagi-suatu yang tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan oleh Gereja Katolik.
Ia tidak hanya kawin lagi tetapi juga mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin
tertinggi Gereja Inggris (1534) dan mendirikan Gereja Anglikan.
Menurut cerita, Henry
VIII-yang sebelumnya bernama Henry Tudor-memiliki enam orang istri, yang dua di
antaranya dihukum pancung. Keenam istri Henry VIII adalah Ratu Chaterine, Mary
Boleyn, Anna Boleyn (dihukum pancung), Jane Seymour, Chaterine Howard (sepupu
Anne Boleyn yang juga dihukum pancung) dan Chaterine Parr.
Akhir hidup Thmas More
sangat tragis, tidak berbeda dengan Anne Boleyn dan Chaterine Howard. Ia
dihukum mati dengan cara dipenggal kepalnya. Hukum mati itu dijalaninya pada
tanggal 6 Juli tahun 1535. Thomas More dihukum mati karena menentang keinginan
Raja Henry VIII menjadi pemimpin
tertinggi Gereja Inggris, memisahkan diri dari Roma, mendirikan Gereja Anglikan
dan menolak meninggalkan Gereja Katolik.
Tindakan Raja Henry
VIII yang demikian mendorong Thomas More mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai penasehat Raja. Akan tetapi, di luar ia terus menyuarakan
perlawanannya, sampai akhirnya ia ditangkap, ditahan dan kemudian dihukum mati.
Thomas More dikenal
dengan bukunya yang berjudul Thes History
of Richard III (1515) yang menggambarkan raja sebagai seorang tiran. Inilah
masterpiece/karya agung pertama historiografi
Inggris. Namun yang paling kondang adalah karyanya yang diberi judul Utopia (1516)
Kata utopia, seperti
tertulis dalam kamus Merriam Webster
diambil dari kata dalam bahasa Yunani, ou yang berati no atau not atau tidak dan topos yang berarti place atau tempat. Dari konsep aslinya, kata utopia berarti sebuah tempat di
mana kita hanya memimpikan firdaus yang sesungguhnya. Barangkali hampir sama
dengan konsep Republic-nya Plato
yakni yang berbicara tentang sebuah negara sempurna yang diperintah oleh para
raja-filsuf.
Franz Magnis Suseno
menulis yang dimaksud dengan utopia adalah segala macam pemikiran yang
membayangkan suatu masa depan yang ideal tanpa perhatian sama sekali terhadap
apakah masa depan itu nyata-nyata mungkin, jadi suatu khayalan tentang situasi
yang baik, di tanah yang penuh susu dan madu, di mana tidak ada lagi
penderitaan, di mana manusia bersikap baik terhadapa sesamanya manusia, dan segala
tangisan serta kesedihan dihisap dari diri dan muka mereka yang menderita,
khayalan tentang saman emas di mana segala-galanya akan menjadi baik.
Zaman emas tersebut
seperti yang dilukiskan oleh nabi Yesaya dahulu kala, “Serigala akan tinggal
bersama domba, dan macan tutul akan berbaring di samping kambing, anak lembu
dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan
menggiringnya”
Gambaran atau cita-cita
ini sekarang sangat tidak mugkin. Coba lihat apa yang terjadi di Timur Tengah
di mana Suriah misalnya terus menerus dilanda perang yang berkecamuk. Di
mana-mana muncul konflik sektarian yang mengatasnamakan suku, ras dan agama.
Di negara kita
sendiri,Indonesia, rakyat disodori tontonan yang seolah-olah, seakan-akan
panggung demokrasi, namun senyatanya panggung sandiwara. Masyarakat tentunya
masih ingat bagaimana panggun sandiwara saat sidang MKD dipertontonkan kepada
rakyat.
Sinduhanta, pemimpin
redaksi majalah Basis pernah menulis pada zaman ini semua bisa dipak menjadi
kemasan barang. Barang-barang di mall atau supermarket dikemas amat rapi,
kendati menarik dan indah dipandang mata, dalam kemasan itu itdak ada lagi
kehidupan. Semua diimpit-impitkan jadi kemasan.
Celakanya, pada zaman
ini tidak hanya barang tetapi harga diri, moral, etika, bahkan idealisme pun
dijadikan satu kemasan. Kemasan adalah sebuah format di mana sebuah bisa masuk.
Kemasan seperti kantong yang bisa menampung apa saja. Yang tidak cocok sekali
pun bisa dimasukkan asalkan formatnya memungkinkan; asalkan memberi keuntungan.
Partai politik berkoalisi, betapapun asas dan idealisme politiknya berbeda.
Yang penting bisa diformat dalam satu kemasan karena politik adalah barang
dagangan. Suatu hal yang agak umum saat pilkada.
Karena itu,
mengharapkan adanya “zaman keemasan” adalah sebuah utopia belaka. Seperti
dikatakan oleh Thomas More. Sama utopianya kelompok NIIS ingin melanjutkan
kebesaran kekhalifaan Utsmaniyah (Ottoman) dengan menyatukan lagi negara-negara
Levant: meliputi wilayah Lebanon, Suriah, Jordania, Israel, dan Palestina.
Namun sebagai hiburan
boleh berutopia.
Komentar
Posting Komentar