Natal, Kekuasaan, dan Teror
(Sebuah Renungan)
Tujuh
puluh tahun lalu (1945), perang dunia II berakhir, Auschwitz, kota kecil nan
permai di wilayah Jerman saa itu (sekarang: Oswiecim di Polandia) mendadak
memicu kengerian dan kegeraman. Pasalnya di Auschwitz terdapat kamp kosentrasi
besar, tempat terjadinya pemusnahan sekitar 1,5 juta orang Yahudi dan musuh
ideologi Nazisme.
Kebrutalan
dan kengerian yang terjadi di sana menjadikan Auschwitz simbol untuk teror
superlatif dan pabrik kematian ciptaan masyarakat modern. Hasilnya adalah
barbarisme baru, demikian sebutan Adorno dan Hokheimer, dua pemikiar kondang
dari mazhab Frankfurt pada tahun 1950-an untuk sebuah anti kultural rancangan
kaum Nazi.
Hilangnya
banyak nyawa akibat perendahan orang hingga setaraf barang membuat Auschwitz
menjadi kenangan akan nihilisme tanpa tara. Dikonfrontasikan dengan pengalaman
negatif ini, pada tahun 1970-an ada tanda tanya besar tentang Tuhan yang maha
rahim dan kodrat metafisik manusia yang konon bersifat baik, setelah tragedi
itu (Theology
After Auschwitz)?
Meskipun
demikian, dari pelbagai barang milik para tawanan yang tertinggal, orang
menemukan tulisan yang menggetarkan hati dan penuh kesaksian; bahwa di neraka
Auschwitz ini Tuhan ternyata masih bisa dialami. KitabTaurat, khusunya Mazmur
masih tetap didaraskan, doa-doa masih dipanjatkan, bahkan sofar (terompet ibadat dari tanduk kambing gunung) masih dikumandangkan. Semua ini terjadi dan berlangsung
dalam bayang-bayang teror dan maut!
Selalu
Percaya
Rabi
Tzvi Hirsch Meisels menulis, “Kita boleh berharap semoga perlbagai hal bisa
menjad lebih baik. Namun kita juga perlu bersiap-siap jika semua menjadi lebih
buruk. Demi Tuhan, mari kita tidak lupa menyeruhkan doa “Dengarlah hai
Israel!”” Kesimpulannya kiranya jelas, tanpa menyangkal daya melumpuhkan dari
penderitaan, apalagi mengglorifikasikannya, pengalaman negatif
manusia-betapapun keras Dan intensifnya-tidak bisa diidentifikasikan dengan
sebab penolakan atas eksisteni Tuhan dan kebaikan-Nya.
Kepercayaan
kepada Tuhan tidak dapat diruntuhkan hanya dengan menunjukkan bahwa ada
penderitaan. Pelbagai macam penderitaan manusia ada dan akan tetap ada, tanpa
peduli apakah Tuhan dicoret atau tidak. Berhadapan dengan fakta ini, baik orang
beriman mapun ateis yang menolak Tuhan atas nama penderitaan manusia, bermain
dengan hasil remis.
Ketakutan,
“rasa khawatir terhadap dunai objektif” (Scheling), memang bisa menciptakan
neurosis dan paranoid. Meskipun begitu, ketakuatan dan kekhawatidan yang sama
bisa juga membuka horizon manusia dalam memahami dirinya secara lebih integral:
bahwa ia relatif, fana, lemah, terbatas, berkukurangan dan bukan
segala-galanya!
Rasa
taku dan khawatir memberi tawaran berupa “ kemungkinan bagi kebebasan” (Kierkegaard) pada manusia
untuk memilih secara atau-atau: Atau ia
mebiarkan diri dilumpuhkan oleh rasa takut dan menjadi pecundang sebelum
berperang. Atau ia bangkit dan bertarung
melawan ketakuatan dan menguasainya. Di sini eksistensialisme Barat bertemu
dengan bushido Timur.
Kalaupun
pilihan pertama diambil, orang akan jatuh dalam apati, resignasi dan mundur
sebelum bertempur. Sebaliknya jika memilih opsi kedua, orang akan semakin
dimampukan mencapai perkembangan eksisensi yang lebih utuh dan penuh, bahkan
terbuka kepada yang Transesnden, yang mengatasi semua realitas intrmundam yang serba terbatas: Tuhan
sendiri. Di sini paradoks Heidegger mendapakan maknanya yang terdalam tatkala
filsuf ini menyeruhkan agar kita tak perlu merasa khawatir mempunyai
“keberanian memiliki kekhawatiran (Muz
zur Angst).
Mungkin
tanpa disadari, Rabi Meisels dan banyak orang beriman lain Auschwitz adalah
mereka yang menemukan maksud rahasia ketakuatan dan mendekodefikasikannya untuk
bertahan menyintas neraka jahanam kamp kosentrasi itu. “Peranti” mereka untuk
ikhtiar amat sederhana: doa syukur, nyanyian dan musik sebagai ungkapan
kepercayaan mereka kepada Yahweh, Allah yang diyakini pasti mendengarkan dan
bertindak untuk mereka.
Bayang
Teror
Pada
natal ini, dalam bayang-bayang bahaya
dan ancaman terorisme, sekitar dua milyar orang Kristen akan memenuhi
Gereja-Gereja di seluruh dunia. Dengan syukur dan nyanyian mereka akan merayakan
kelahiran Isa Almasih. Ia adalah pribadi yang hidup dan karya-Nya menjadi
inspirasi bagi banyak orang. Bukan karena ia tidak pernah memiliki rasa takut,
melainkan karena Ia telah berhasil mengalahkan ketakutan dan mengubahnya
menjadi rasa syukur.
Rahasia
keberhasilan-Nya itu tidak berhubung dengan banyaknya pengikut, apalagi dengan
kekuatan kekerasan, tetapi semata-mata dalam kepercayaan akan Allah
sebagai pribadi yang rahim kepada siapapun tanpa kecuali. Ini melawan
gambaran Tuhan sebagai pembenci kaum kafir dan dalam solidaritas-Nya berpihak
kepada kaum kecil: melawan para penguasa rakus yang memperkaya diri.
Dua
ciri-corak kepercayaan fundamental itu, yaki kesetiaan kepada Allah dan
solidaritas dengan manusia, membuat hidup nabi ini menjadi gloria in excelsis Deo et in terra pax homminibus (Kemuliaan bagi
Allah di Surga dan damai sejahtera bagi umat manusia di bumi).
Dengan
demikian, pesan Natal yang merupakan awal kemunculan nabi ini berlaku universal
untuk semua orang, baik Kristiani maupun bukan, bahkan bagi mereka yang percaya
kepada adanya kebaikan meskipun masih mempertanyakan keberadaan Tuhan.
SP LILI TJAHJADI
Kompas, Rabu 23 Desember 2015
Komentar
Posting Komentar