HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR

(Sebuah Proses yang Membawa Pada Pemahaman Diri)


1.                Pengantar
Jika kita rajin mengikuti pemberitaan berbagai media, kita akan menemukan bahwa salah satu fenomena yang menggemparkan dunia akhir-akhir ini adalah fenomen Islamic State of Iraq and Syiriah atau yang disingkat dengan ISIS. Dengan menggunakan kekerasan, kelompok yang oleh masyarakat internasional ini dikategorikan sebagai teroris membunh siapa saja yang tidak senapas dan sehaluan dengan mereka. Kelompok ISIS ingin melanjutkan kebesaran kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman) dengan menyatukan lagi negara-negara seperti Lebanon, Syiriah, Jordania, Israel dan Palestina.
Dalam pergerakannya, ISIS berhasil merebut sejumlah wilayah di Irak dan Syiriah. Masyarakat atau kelompok-kelompok umat beragama seperti umat Kristiani yang tidak sehaluan dengan ideologi mereka dengan diberi pilihan: menyangkal iman dan bergabung menjadi anggota ISIS atau meninggalkan tanah air mereka dan bahkan dibunuh.
Kasus di atas adalah fenomena yang memperlihatkan dengan jelas bahwa pluralisme belum benar-benar mendapat penghargaan. Masih banyak individu atau kelompok masyarkat yang belum bisa atau cendrung sulit menerima pluralisme. Sebaliknya, fanatisme menjadi fenomena yang merajalela di dalam masyarakat kita dewasa ini. Realitas ini jelas sangat memperihatinkan.
Berhadapan dengan fenomena tersebut, hermeneutika hadir sebagai salah satu sarana untuk menjawab persoalan tersebut. Teks keagamaan menjadi objek paling nyata yang perlu dianalisa secara lebih bertanggungjawab. Dalam hermeneutika Paul Ricoeur, semua bentuk menopoli kebenaran dipertanyakan karena makna simbol dan teks terlalu kaya untuk direduksi menjadi satu kebenaran.
2.                Riwayat Hidup Paul Ricoeur[1]
Paul Ricoeur dilahirkan di Valence, Prancis Selatan, tahun 1913 dan menjadi yatim piatu dua tahun kemudian[2]. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dianggap sebagai salah seorang cendikiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Ia dibesarkan di rennes. Ia memperolah licence de philosphie  pada tahun 1933, lalu mendaftar pada Universitas Sorbone di Paris guna mempersiapkan diri untuk agregation de philosophie yang diperolehnya pada tahun 1935. Setelah mengajar setahun di Colmar, ia dipanggil untuk memenuhi wajib militer (1937-1939). Pada waktu mobilisasi ia masuk lagi ketentaraan Prancis dan dijadikan tahanan perang sampai akhir perang (1945). Dalam tahanan di Jerman itu ia mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger dan jaspers.
Sesudah perang, ia menjadi dosen filsafat pada College Cevenol,pusat Protestan internasional untuk pendidikan dan kebudayaan di Chambon-sur-Lignon (Haute Loire). Tahun 1948, ia mengganti Jean Hyppolite sebagai profesor filsafat di Universitas Strasbourg. Tahun 1950, ia meraih gelar docteurs es letters.  Ricoeur diangkat sebagai profesor filsafat di Universitas Sorbone pada tahun 1956. Pada tahun 1966, Ricoeur kemudian mengajukan permohonan agar dapat dipindahkan ke Nanterre, dan dikabulkan. Karena ada persoalan waktu itu, Ricoeur pindah lagi dan mengajar sebagai profesor tamu di Universitas Leuven, Belgia. Sejak tahun 1973 ia kembali Naterre (sekarang disebut Universitas Paris X) dan di samping itu setiap tahun mengajar juga beberapa bulan di Universitas Chicago. Di Paris ia menjadi direktur Centre d’etudes phenomenologiques et hermeneutiques (Pusat studi tentang fenomenologi dan hermeneutika).
Ricoeur meninggal dunia pada tanggal 20 Mei 2005 dalam usia 92 tahun. Tahun sebelumnya ia menutup karier sebagai penulis selama 70 tahun dengan karangan Parcours de la reconnaissanse (Perjalanan Utang Budi).
3.                  Hermeneutika Menurut Paul Ricoeur
Sebagai salah seorang filsuf yang memusatkan perhatiannya pada hermeneutika, Paul Ricoeur berpandangan bahwa hermeneutika merupakan suatu teori mengenai aturan-aturan penafsiran terhadap suatu teks atau sekumpulan tanda maupun simbol yang dikelompokkannya juga sebagai teks. Salah satu tujuan hermeneutik adalah berjuang untuk melawan jarak budaya dan keterasingan sejarah. Artinya, hermeneutika berjuang untuk menentang pemisahan dari makna itu sendiri yang menjadi landasan sebuah teks. Dengan demikian, interpretasi dapat dipahami sebagai usaha ‘menyatukan’, ‘menyamakan’, menjadikan ‘sezaman dan serupa’ lalu dengan berterus terang membuat apa yang pada awalnya asing menjadi milik sendiri[3]. Sebuah interpretasi dikatakan berhasil ketika tujuan paling dalam dari interpretasi itu sendiri tercapai. Tujuan interpretasi adalah berusaha mengaktualisasikan makna teks untuk pembaca saat ini.
Lebih lanjut, Ricoeur mendefinisikan interpretasi sebagai usaha akal budi untuk menguak makna tersembunyi di balik makna yang langsung tampak. Kemudian memperluas definisi tersebut dengan menambahkan “perhatian kepada teks”. Teks sebagai penghubung bahasa isyarat dan simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup hermeneutik karena budaya oral (ucapan) dapat dipersempit. Hermeneutik dalam hal ini hanya akan berhubungan dengan kata-kata yang tertulis sebagai ganti kata-kata yang diucapkan. Ricoeur menegaskan bahwa definisi yang tidak telalu luas justru memiliki intensitas[4]. Bagi Ricoeur, permasalahan tentang hermeneutika teks merupakan permasalahan yang rumit. Oleh karena itu, dia sendiri tidak pernah mendefinisikan hermeneutika secara permanen, sebab hermeneutika teks selalu berubah seiring berkembangnya pemikiran.
4.                  Unsur-unsur Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur
Hermeneutika Ricoeur ini merupakan upaya mencangkokkan hermeneutika pada fenomenalogi. Ada tiga unsur di dalamnya, yaitu: pertama, ideal filsafat refleksif adalah transparansi mutlak, artinya pertemuan antara diri dan pengetahuan diri. Kedua, hermeneutika mengajari bahwa tidak ada pemahaman diri tanpa diantarai oleh tanda, simbol, dan teks. Ketiga, kesadaran adalah kesadaran akan sesuatu dan fenomen menampakkan diri kepada subyek[5].
4.1.                        Refleksi adalah Tindakan Kembali kepada Diri Sendiri
Dalam hermeneutika fenomenalogis Paul Ricoeur, makna semua pengalaman merujuk kembali kepada makna pengalaman tentang yang lain. Dengan kata lain, pengalaman tentang yang lain menjadi cermin terhadap refleksi diri sendiri. Pandangan Ricoeur ini mau menegaskan bahwa untuk sampai kepada pemahaman tentang diri sendiri, seseorang harus terlebih dahulu memahami yang lain. Refleksi dipahami sebagai ajakan kepada tindakan kembali ke diri sendiri sehingga subyek memahami diri dalam kejernihan intelektual dan dalam tanggung jawab moral[6]. Refleksi menurut Ricoeur membutuhkan jalan panjang pengetahuan, yaitu mulai dari mengetahui secara transparan yang membutuhkan tindakan penjelasan sampai kepada tindakan pemahaman.
4.2.                        Tanda, Simbol, dan Teks
Sebuah pemahaman membutuhkan perantara atau mediasi. Ricoeur sendiri yakin bahwa tidak ada pemahaman diri tanpa mediasi melalui tanda, simbol dan teks[7]. Sebuah teks kaya akan tanda. Kata, kalimat, dan tanda baca adalah setiap tanda yang digunakan oleh pengarang sebagai sarana pengungkapan suatu maksud tertentu. Kata-kata adalah simbol-simbol juga karena menggambarkan makna lain yang sifatnya “tidak langsung” (figuratif) dan hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol tersebut. Jadi, simbol-simbol dan interpretasi merupakan konsep-konsep yang mempunyai pluralitas makna yang terkandung di dalam simbol-simbol atau kata-kata[8]. Ricoeur mengatakan bahwa hubungan dengan dunia teks terletak di dalam hubungan dengan subjektivitas pengarangnya dan pada saat yang sama persoalan subjektivitas pembaca ditinggalkan. Untuk memahami sebuah teks kita tidak memproyeksikan diri ke dalam teks, melainkan membuka diri terhadapnya[9].
4.3.                        Kesadaran adalah Kesadaran akan Sesuatu
Fenomenalogi Husserl yang dijiwai impian akan pendasaran pengetahuan secara radikal ditandai oleh intensionalitas: kesadaran adalah selalu kesadaran akan sesuatu. Fenomenalogi Husserl membuka pada kesadaran yang diarahkan kembali pada kebenaran hermeneutika, lingkup tak terbatas dari makna. Memahami diri berarti mengeksplisitasikan obyek yang tak terbatas, karena makna yang diperuntukkan bagi saya berasal juga dari saya. Jadi, fenomenalogi merupakan eksplisitasi makna dari semua tipe “ada” yang bisa saya bayangkan. Dari pengertian fenomenalogi Husserl ini, dapat disimpulkan bahwa visi fenomenalogi menuntut eksplisitasi atau penggelaran dari yang tak kelihatan, yang tak diberikan dalam pengalaman sekarang, tetapi membentuk cakrawala di mana visi itu terdapat. Dengan demikian, tidak ada visi yang dapat terbentuk di luar interpretasi[10].
5.                  Kategori-kategori Hermeneutika Paul Ricoeur
Dalam pembicaraan tentang hermeneutika, Ricoeur menyajikan empat macam kategori yang membentuk hermeneutika. Keempat kategori itu itu adalah objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui tulisan, dunia teks dan apropriasi (pemahaman diri)[11].
Keempat kategori di atas mencerminkan keprihatinan hermeneutika yang tidak puas hanya sebagai metode (epistemologis), tetapi melalui yang epestimologis ini ingin dijangkau sisi keberadaan penafsir (ontologis). Dengan kata lain hermeneutika Ricoeur bukanlah sebuah metode yang hanya ingin mencari pemahaman epestimologis semata, melainkan juga ingin mencari makna teks pada drinya sendiri, yakni ketika teks menjadi otonom dan penafsir menjadi satu-satunya subjek aktif di hadapan teks yang otonom tersebut. Berikut ini merupakan penjelasan dari empat kategori hermeneutika Ricoeur.
5.1.      Objektivasui Melalui Struktur
Objektivasi melalui struktur mengandaikan bahwa teks adalah otonom. Otonomisasi teks berarti penafsir dapat memperlakukan teks tanpa memperhatikan wacana dan pengarangnya[12]. Objektivasi melalui struktur adalah suatu usaha penjelasan. Sebelum sampai pada pemahaman terhadap teks, teks tersebut harus dijelaskan menurut struktur-struktur pembentuknya, struktur itu meliputi tanda-tanda bahasa. Penjelasan terhadap tanda-tanda ini akan menolong mengungkapkan makna teks. Objektivasi melalui struktur ini tidak hanya dibatasi pada pendekatan struktural tetapi juga pada semua bentuk penjelasan terhadap teks.
Objektivasi melalui struktur akan menciptakan penjarakan terhadap teks atau karya diskursus untuk sampai kepada sebuah interpretasi yang diharapkan. Dengan adanya objektivasi teks ini, maka makna imanen sebuah karya terpelihara dan tercipta sebuah kemungkinan bagi pengambilan jarak oleh pembaca. Objektivasi bukanlah sikap mengalienasi sebuah karya sehingga karya itu menjadi tertutup pada dirinya sendiri, akan tetapi, sebuah karya menjadi otonom ketika karya itu ditempatkan sebagai sebuah entitas yang bebas pada dirinya sendiri.
5.2.      Distansiasi Melalui Tulisan
            Dengan ditulisnya wacana, maka wacana menjadi teks dan tidak lagi berubah. Sebetulnya ideal sebuah teks adalah bila pengarang sudah mesti karena tidak ada lagi koreksi dan tambahan[13]. Pengambilan jarak atau distansiasi, sebuah teks dapat terhindar dari kehilangan dalam waktu. Jika penafsir mampu mengambil jarak dari sebuh teks, maka makna sebuh teks dapat dilestarikan. Distansiasi mencabut teks dari maksud pengarangnnya, dari konteks asli dan dari tujuan pengarangnya. Konsekuensinya teks menjadi terbuka untuk interpretasi dan kemungkinan sangat besar bahwa teks tersebut sangat bertolak belakang dengan maksud pengarangnya.
            Penjarakan, di satu sisi merupakan sebuah sikap yang memberikan kemungkinan bagi terjadinya objektivasi dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, namun, di lain sisi, penjarakan merupakan syarat bagi ilmu pengetahuan untuk mencapai status ilmiah dan pada saat yang sama merupakan kejatuhan yang merusak relasi primordial dan fundamental yang menjadikan kita sebagai bagian dari ralitas historis yang kita konstruksikan sebagai objek.
            Distansiasi juga menjadi langkah awal dalam proses pemahaman diri atau apropriasi. Pengambilan jarak ini bermaksud agar tidak terjadi distorsi makna. Ketika seorang penafsir melakukan penjarakan terhadap teks, maka ia dapat melakukan interpretasi secara kreatif. Artinya, ia dapat memperkaya dan memurnikan pemahaman diri. Pengambilan jarak ini bisa berbentuk kritik ideologi, dekonstruksi atau pembongkaran dan variasi imajinatif atau analogi permainan. Ketiga bentuk pengambilan jarak ini akan membantu dalam membongkar ilusi-ilusi, motivasi-motivasi dan kepentingan-kepentingan yang memenjarakan teks hanya pada satu makna.
5.3.      Dunia Teks
            Teks adalah sebuah wacana terpatri yang berusaha mengungkapkan sebuah realitas dunia. Teks mengisahkan sebuah dunia tertentu. Dunia atau wahana teks tidak berasal langsung dari maksud pengarang tetapi disingkap melalui struktur-struktur karya atau teks. Oleh karena itu, dunia yang digelar dan disaranakna oleh teks itu baru bermakna bila menjadi milik pembaca atau penafsir.
            Berkaitan dengan dunia teks, Ricoeur mengemukakan konsep tentang ‘proyeksi kemungkinan terbesar yang kita miliki’, dan menerapkannya kepada teori teks. Apa yang ditafsirkan dalam teks adalah sebuah dunia yang dihamparkannya. Dunia inilah yang menjadi wilayah di mana seorang bisa memproyeksikan kemungkinan yang dimilkinya. Gambaran seperti inilah yang oleh Ricoeur disebut sebagai dunia teks. Pemahaman diri, dengan demikian mendasarkan dirinya pada dunia teks agar bisa terungkap di dalam bahasa.
5..4.     Apropriasi (Pemahaman diri)
            Teks adalah media yang memperantarai kita untuk memahami diri kita sendiri. Pada saat inilah muncul apa yang dinamakan subjektivitas pembaca atau penafisir. Apropriasi atau pemahaman diri merupakan arah semua hermeneutika. Di dalam apropriasi, tujuan proses hermeneutika tercapai, alur hermeneutika dari makna rujukan terselesaikan. Apropriasi terjadi jika pembaca dapat melihat dirinya tercermin di dalam teks. Dengan demikian ia dapat berkata: aku memahami keberadaanku sendiri yang otentik lewat teks tersebut.
            Dunia teks ter-apropriasi-kan jika diriku tercermin sedemikian rupa sehingga keberadaanku yang otentik terpahami lewat  dunia teks termaksud. Untuk itu, seorang pembaca harus mampu melepaskan prakonsepsi-prakonsepsi dengan mengisinkan dunia ontologisnya membuka diri. Seorang pembaca dengan demikian melepaskan egonya serta membuka diri untuk menerima diri yang otentik dari teks.      

6.                  Pengambilan Jarak: Kritik Idiologi, Pembongkaran dan Analogi Permainan
Dalam proses pemahaman diri (apropriasi) ini, pengambilan jarak terhadap diri sendiri merupakan prasyarat mutlak agar tidak terjadi distorsi makna dan agar dapat merelativasi kesewenang-wenangan di dalam penafsiran[14]. Pengambilan jarak dalam hal ini menjadi sarana ampuh untuk mencapai sikap keterbukaan. Adapun tiga bentuk pengambilan jarak yakni kritik ideoologi, dekonstruksi atau pembongkaran dan variasi imajinasi (Ricoeur) atau analogi permainan (Gadamer)[15]. Tiga bentuk pengambilan jarak ini menurut Ricoeur menjadi alat kontrol terhadap kesewenang-wenangan penafsiran.
Jika agama sebagai sebuah ideologi, maka kritik terhadap agama menjadi penting untuk diperhatikan. Agama pantas mendapat kritik agar bisa memurnikan dirinya. Keterbukaan terhadap kritik berarti agama mengakui adanya serangan dari luar yang tidak dilihat sebagai pelecehan tetapi sbagai alat otokritik. Maka, jawaban atas kritik itu bukan apalogia (pembelaan diri), tetapi mentransformasi kritik tersebut untuk pemurnian pemahaman diri yang lebih baik[16].
Pengambilan jarak yang kedua adalah dekonstruksi atau pembongkaran. Dengan dekonstruksi berarti penafsir diajak untuk membongkar ilusi-ilusi, motivasi-motivasi dan tujuan-tujan serta kepentingan-kepentingan diri atau kelompok[17]. Pembongkaran ini penting untuk menghindarkan dari penyalahgunaan ideologi, misalnya agama. Pembongkaran ini bermaksud untuk mencegah adanya sikap eksklusif  yang bertentangan dengan pluralitas yang dibangun oleh agama tertentu.
Bentuk pengambilan jarak yang ketiga adalah analogi permainan. Jika kritik ideologi dan dekonstruksi merupakan bentuk negatif dari pengambilan jarak terhadap diri sendiri, variasi imajinatif atau analogi permainan merupakan bentuk positifnya[18]. Permainan berusaha membebaskan kemungkinan-kemungkinan  yang terpenjara oleh kehidupan yang terlalu serius dan formal. Dalam kehidupan formal dan serius, seorang akan merasa ketakutan untuk berkreasi. Dengan kata lain, permainan bisa mendorong tumbuhnya inisaitf dan kreativitas, sebab dengan permainan, subjek dibebaskan dari norma sosial dan keseriusan sehari-hari[19].
Analogi permainan merupakan bentuk pengambilan jarak yang berusaha menciptakan peluang bagi perjumpaan antar pribadi atau kelompok masyarakat yang informal. Perjumpaan yang informal itu misalnya dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti olahraga bersama, kerja bakti bersama dan konser musik anak-anak sekampung. Dan yang penting juga, semua kegiatan tersebut jangan sampai menjadi alat segregasi sosial. Artinya, permainan-permainan tersebut tidak boleh diklaim oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan dirinya[20]
7.                  Penutup
            Bagi Ricoeur, hermeneutika adalah usaha akal budi manusia untuk meguak maknda yang tersembunyi di balik teks. Hermeneutika merupakan proses  penguraian yang memunculkan arti dan makna  dari keadaannya yang semula tersembunyi. Konsep hermeneutika Ricoeur tidak terkepas dari pandangannya tentang tanda, simbol dan teks. Bagi Ricoeur, ketiga tanda ini merupakan media yang menghantar pembaca atau penafsir untuk memahami diri.
            Ricoeur juga melihat bahwa tanda, simbol dan teks memiliki pluralitas makna, oleh sebab itu tugas hermeneutika adalah menghadirkan teks tersebut di hadapan pembaca atau penafsir. Dalam melakukan sebiah interpretasi, Ricoeur mengusulkan empat kategori hermeneutika: objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui tulisan, dunia teks dan apropriasi. Kategori-kategori ini akan membantu pembaca atau penafsir untuk memahami teks. Semua tahap ini juga akan membantu pembaca atau penafsir untuk memahami diri lebih baik.
            Sebuah teks harus terbuka terhadap setiap bentuk penafsiran. Untuk sampai kepada apropriasi (pemahaman diri), seorang pembaca atau penafsir harus melakukan distansiasi. Dengan distansiasi, teks dibiarkan berbicara sehingga ada pemurnian diri dalam pemahaman. Pandangan Ricoerur ini dapat dijadikan alat untuk agama-agama agar membuka diri terhadap kritik. Kritik terhadap teks agama dapat menjadi sarana pemurnian diri agama itu sendiri. Agama harus membuka diri terhadap penafsiran, karena sebuah teks agama memiliki pluralitas makna.


Daftar Pustaka
Bertens, K.,
            1996    Filsafat Kontemporer Prancis, Gramedia, Jakarta.
Haryatmoko.,
2000    “Hermeneutika Paul Ricoeur: Transparansi sebagai Proses”, Basis, 27-33.
2003    Etika Politik dan Kekuasaan, Kompas, Jakarta.
2015    Hermeneutika Paul Ricoeur dan Filsafat Kecurigaan-Diktat Kuliah, FTW, Yogykarta.
Ricoeur, P.,
1981    “Toward a New Concept of Interpretation”, dalam J. B. Thompson (ed), Hermeneutics and The Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation (terj), Cambridge University, New York.
Sumaryono, E.,
1999    Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.






[1] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta 1999, 103-104.
[2] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Gramedia, Jakarta 1996, 254.
[3] P. Ricoeur, “Toward a New Concept of Interpretation”, dalam J. B. Thompson (ed), Hermeneutics and The   Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation (terj), Cambridge University, New York 1981, 159.
[4] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, 107.
[5] Haryatmoko, Hermeneutika Paul Ricoeur dan Filsafat Kecurigaan-Diktat Kuliah Hermeneutika, FTW, Yogyakarta 2015, 3.
[6] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul Ricoeur: Transparansi sebagai Proses”, Basis 05-06 (2000), 29.
[7] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul Ricoeur: Transparansi sebagai Proses”29.
[8] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, 105.
[9] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, 109.
[10] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul Ricoeur: Transparansi Sebagai Proses”, 29.
[11] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul Ricoeur: Transparansi Sebagai Proses”, 29.
[12] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul Ricoeur: Transparansi Sebagai Proses”, 30.
[13] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul Ricoeur: Transparansi Sebagai Proses”, 31.
[14] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul Ricoeur: Transparasi Sebagai Proses”, 31.
[15] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul Ricoeur: Transparasi Sebagai Proses”, 32.
[16] Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Kompas, Jakarta 2003, 68.
[17] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul Ricoeur: Transparasi Sebagai Proses”, 32.
[18] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul Ricoeur: Transparansi Sebagai Proses”, 32.
[19] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul Ricoeur: Transparansi Sebagai Proses”, 32.
[20] Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, 69.

Komentar

Postingan Populer