HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR
(Sebuah Proses yang Membawa Pada Pemahaman Diri)
1.
Pengantar
Jika kita rajin mengikuti pemberitaan berbagai media, kita akan menemukan
bahwa salah satu fenomena yang menggemparkan dunia akhir-akhir ini adalah
fenomen Islamic State of Iraq and Syiriah
atau yang disingkat dengan ISIS. Dengan menggunakan kekerasan, kelompok
yang oleh masyarakat internasional ini dikategorikan sebagai teroris membunh
siapa saja yang tidak senapas dan sehaluan dengan mereka. Kelompok ISIS ingin
melanjutkan kebesaran kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman) dengan menyatukan lagi
negara-negara seperti Lebanon, Syiriah, Jordania, Israel dan Palestina.
Dalam pergerakannya, ISIS berhasil merebut sejumlah wilayah di Irak dan
Syiriah. Masyarakat atau kelompok-kelompok umat beragama seperti umat Kristiani
yang tidak sehaluan dengan ideologi mereka dengan diberi pilihan: menyangkal
iman dan bergabung menjadi anggota ISIS atau meninggalkan tanah air mereka dan
bahkan dibunuh.
Kasus di atas adalah fenomena yang memperlihatkan dengan jelas bahwa
pluralisme belum benar-benar mendapat penghargaan. Masih banyak individu atau
kelompok masyarkat yang belum bisa atau cendrung sulit menerima pluralisme.
Sebaliknya, fanatisme menjadi fenomena yang merajalela di dalam masyarakat kita
dewasa ini. Realitas ini jelas sangat memperihatinkan.
Berhadapan dengan fenomena tersebut, hermeneutika hadir sebagai salah
satu sarana untuk menjawab persoalan tersebut. Teks keagamaan menjadi objek
paling nyata yang perlu dianalisa secara lebih bertanggungjawab. Dalam
hermeneutika Paul Ricoeur, semua bentuk menopoli kebenaran dipertanyakan karena
makna simbol dan teks terlalu kaya untuk direduksi menjadi satu kebenaran.
2.
Riwayat Hidup Paul Ricoeur[1]
Paul Ricoeur
dilahirkan di Valence, Prancis Selatan, tahun 1913 dan menjadi yatim piatu dua
tahun kemudian[2].
Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dianggap sebagai
salah seorang cendikiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Ia dibesarkan di
rennes. Ia memperolah licence de philosphie pada
tahun 1933, lalu mendaftar pada Universitas Sorbone di Paris guna mempersiapkan
diri untuk agregation de philosophie yang diperolehnya pada tahun
1935. Setelah mengajar setahun di Colmar, ia dipanggil untuk memenuhi wajib
militer (1937-1939). Pada waktu mobilisasi ia masuk lagi ketentaraan Prancis
dan dijadikan tahanan perang sampai akhir perang (1945). Dalam tahanan di
Jerman itu ia mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger dan jaspers.
Sesudah perang, ia
menjadi dosen filsafat pada College Cevenol,pusat Protestan
internasional untuk pendidikan dan kebudayaan di Chambon-sur-Lignon (Haute
Loire). Tahun 1948, ia mengganti Jean Hyppolite sebagai profesor filsafat di
Universitas Strasbourg. Tahun 1950, ia meraih gelar docteurs es
letters. Ricoeur diangkat sebagai profesor filsafat di Universitas
Sorbone pada tahun 1956. Pada tahun 1966, Ricoeur kemudian mengajukan
permohonan agar dapat dipindahkan ke Nanterre, dan dikabulkan. Karena ada
persoalan waktu itu, Ricoeur pindah lagi dan mengajar sebagai profesor tamu di
Universitas Leuven, Belgia. Sejak tahun 1973 ia kembali Naterre (sekarang
disebut Universitas Paris X) dan di samping itu setiap tahun mengajar juga
beberapa bulan di Universitas Chicago. Di Paris ia menjadi direktur Centre
d’etudes phenomenologiques et hermeneutiques (Pusat studi tentang
fenomenologi dan hermeneutika).
Ricoeur meninggal
dunia pada tanggal 20 Mei 2005 dalam usia 92 tahun. Tahun sebelumnya ia menutup
karier sebagai penulis selama 70 tahun dengan karangan Parcours de la
reconnaissanse (Perjalanan Utang Budi).
3.
Hermeneutika Menurut Paul Ricoeur
Sebagai salah seorang filsuf yang
memusatkan perhatiannya pada hermeneutika, Paul Ricoeur berpandangan bahwa
hermeneutika merupakan suatu teori mengenai aturan-aturan penafsiran terhadap
suatu teks atau sekumpulan tanda maupun simbol yang dikelompokkannya juga
sebagai teks. Salah satu tujuan hermeneutik adalah berjuang untuk melawan jarak
budaya dan keterasingan sejarah. Artinya, hermeneutika berjuang untuk menentang
pemisahan dari makna itu sendiri yang menjadi landasan sebuah teks. Dengan
demikian, interpretasi dapat dipahami sebagai usaha ‘menyatukan’, ‘menyamakan’,
menjadikan ‘sezaman dan serupa’ lalu dengan berterus terang membuat apa yang
pada awalnya asing menjadi milik sendiri[3].
Sebuah interpretasi dikatakan berhasil ketika tujuan paling dalam dari
interpretasi itu sendiri tercapai. Tujuan interpretasi adalah berusaha
mengaktualisasikan makna teks untuk pembaca saat ini.
Lebih lanjut, Ricoeur mendefinisikan
interpretasi sebagai usaha akal budi untuk menguak makna tersembunyi di balik
makna yang langsung tampak. Kemudian memperluas definisi tersebut dengan
menambahkan “perhatian kepada teks”. Teks sebagai penghubung bahasa isyarat dan
simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup hermeneutik karena budaya oral
(ucapan) dapat dipersempit. Hermeneutik dalam hal ini hanya akan berhubungan
dengan kata-kata yang tertulis sebagai ganti kata-kata yang diucapkan. Ricoeur
menegaskan bahwa definisi yang tidak telalu luas justru memiliki intensitas[4]. Bagi Ricoeur,
permasalahan tentang hermeneutika teks merupakan permasalahan yang rumit. Oleh
karena itu, dia sendiri tidak pernah mendefinisikan hermeneutika secara
permanen, sebab hermeneutika teks selalu berubah seiring berkembangnya pemikiran.
4.
Unsur-unsur Hermeneutika Fenomenologis Paul
Ricoeur
Hermeneutika Ricoeur ini merupakan upaya
mencangkokkan hermeneutika pada fenomenalogi. Ada tiga unsur di dalamnya,
yaitu: pertama, ideal filsafat
refleksif adalah transparansi mutlak, artinya pertemuan antara diri dan
pengetahuan diri. Kedua, hermeneutika
mengajari bahwa tidak ada pemahaman diri tanpa diantarai oleh tanda, simbol,
dan teks. Ketiga, kesadaran adalah
kesadaran akan sesuatu dan fenomen menampakkan diri kepada subyek[5].
4.1.
Refleksi adalah Tindakan Kembali kepada Diri Sendiri
Dalam hermeneutika fenomenalogis Paul
Ricoeur, makna semua pengalaman merujuk kembali kepada makna pengalaman tentang
yang lain. Dengan kata lain, pengalaman tentang yang lain menjadi cermin
terhadap refleksi diri sendiri. Pandangan Ricoeur ini mau menegaskan bahwa
untuk sampai kepada pemahaman tentang diri sendiri, seseorang harus terlebih
dahulu memahami yang lain. Refleksi dipahami sebagai ajakan kepada tindakan
kembali ke diri sendiri sehingga subyek memahami diri dalam kejernihan
intelektual dan dalam tanggung jawab moral[6]. Refleksi menurut Ricoeur
membutuhkan jalan panjang pengetahuan, yaitu mulai dari mengetahui secara
transparan yang membutuhkan tindakan penjelasan sampai kepada tindakan
pemahaman.
4.2.
Tanda, Simbol, dan Teks
Sebuah pemahaman membutuhkan perantara
atau mediasi. Ricoeur sendiri yakin bahwa tidak ada pemahaman diri tanpa
mediasi melalui tanda, simbol dan teks[7]. Sebuah teks kaya akan
tanda. Kata, kalimat, dan tanda baca adalah setiap tanda yang digunakan oleh
pengarang sebagai sarana pengungkapan suatu maksud tertentu. Kata-kata adalah
simbol-simbol juga karena menggambarkan makna lain yang sifatnya “tidak
langsung” (figuratif) dan hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol
tersebut. Jadi, simbol-simbol dan interpretasi merupakan konsep-konsep yang
mempunyai pluralitas makna yang terkandung di dalam simbol-simbol atau
kata-kata[8]. Ricoeur mengatakan bahwa
hubungan dengan dunia teks terletak di dalam hubungan dengan subjektivitas
pengarangnya dan pada saat yang sama persoalan subjektivitas pembaca
ditinggalkan. Untuk memahami sebuah teks kita tidak memproyeksikan diri ke
dalam teks, melainkan membuka diri terhadapnya[9].
4.3.
Kesadaran adalah Kesadaran akan Sesuatu
Fenomenalogi Husserl yang dijiwai impian
akan pendasaran pengetahuan secara radikal ditandai oleh intensionalitas:
kesadaran adalah selalu kesadaran akan sesuatu. Fenomenalogi Husserl membuka
pada kesadaran yang diarahkan kembali pada kebenaran hermeneutika, lingkup tak
terbatas dari makna. Memahami diri berarti mengeksplisitasikan obyek yang tak
terbatas, karena makna yang diperuntukkan bagi saya berasal juga dari saya.
Jadi, fenomenalogi merupakan eksplisitasi makna dari semua tipe “ada” yang bisa
saya bayangkan. Dari pengertian fenomenalogi Husserl ini, dapat disimpulkan
bahwa visi fenomenalogi menuntut eksplisitasi atau penggelaran dari yang tak
kelihatan, yang tak diberikan dalam pengalaman sekarang, tetapi membentuk
cakrawala di mana visi itu terdapat. Dengan demikian, tidak ada visi yang dapat
terbentuk di luar interpretasi[10].
5.
Kategori-kategori Hermeneutika Paul Ricoeur
Dalam
pembicaraan tentang hermeneutika, Ricoeur menyajikan empat macam kategori yang
membentuk hermeneutika. Keempat kategori itu itu adalah objektivasi melalui
struktur, distansiasi melalui tulisan, dunia teks dan apropriasi (pemahaman
diri)[11].
Keempat
kategori di atas mencerminkan keprihatinan hermeneutika yang tidak puas hanya
sebagai metode (epistemologis), tetapi melalui yang epestimologis ini ingin
dijangkau sisi keberadaan penafsir (ontologis). Dengan kata lain hermeneutika
Ricoeur bukanlah sebuah metode yang hanya ingin mencari pemahaman epestimologis
semata, melainkan juga ingin mencari makna teks pada drinya sendiri, yakni
ketika teks menjadi otonom dan penafsir menjadi satu-satunya subjek aktif di
hadapan teks yang otonom tersebut. Berikut ini merupakan penjelasan dari empat
kategori hermeneutika Ricoeur.
5.1. Objektivasui
Melalui Struktur
Objektivasi
melalui struktur mengandaikan bahwa teks adalah otonom. Otonomisasi teks
berarti penafsir dapat memperlakukan teks tanpa memperhatikan wacana dan
pengarangnya[12].
Objektivasi melalui struktur adalah suatu usaha penjelasan. Sebelum sampai pada
pemahaman terhadap teks, teks tersebut harus dijelaskan menurut
struktur-struktur pembentuknya, struktur itu meliputi tanda-tanda bahasa.
Penjelasan terhadap tanda-tanda ini akan menolong mengungkapkan makna teks.
Objektivasi melalui struktur ini tidak hanya dibatasi pada pendekatan
struktural tetapi juga pada semua bentuk penjelasan terhadap teks.
Objektivasi
melalui struktur akan menciptakan penjarakan terhadap teks atau karya diskursus
untuk sampai kepada sebuah interpretasi yang diharapkan. Dengan adanya
objektivasi teks ini, maka makna imanen sebuah karya terpelihara dan tercipta sebuah
kemungkinan bagi pengambilan jarak oleh pembaca. Objektivasi bukanlah sikap
mengalienasi sebuah karya sehingga karya itu menjadi tertutup pada dirinya
sendiri, akan tetapi, sebuah karya menjadi otonom ketika karya itu ditempatkan
sebagai sebuah entitas yang bebas pada dirinya sendiri.
5.2. Distansiasi Melalui Tulisan
Dengan ditulisnya wacana,
maka wacana menjadi teks dan tidak lagi berubah. Sebetulnya ideal sebuah teks
adalah bila pengarang sudah mesti karena tidak ada lagi koreksi dan tambahan[13]. Pengambilan jarak atau
distansiasi, sebuah teks dapat terhindar dari kehilangan dalam waktu. Jika
penafsir mampu mengambil jarak dari sebuh teks, maka makna sebuh teks dapat
dilestarikan. Distansiasi mencabut teks dari maksud pengarangnnya, dari konteks
asli dan dari tujuan pengarangnya. Konsekuensinya teks menjadi terbuka untuk
interpretasi dan kemungkinan sangat besar bahwa teks tersebut sangat bertolak
belakang dengan maksud pengarangnya.
Penjarakan, di satu sisi
merupakan sebuah sikap yang memberikan kemungkinan bagi terjadinya objektivasi
dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, namun, di lain sisi, penjarakan merupakan syarat
bagi ilmu pengetahuan untuk mencapai status ilmiah dan pada saat yang sama
merupakan kejatuhan yang merusak relasi primordial dan fundamental yang
menjadikan kita sebagai bagian dari ralitas historis yang kita konstruksikan
sebagai objek.
Distansiasi juga menjadi
langkah awal dalam proses pemahaman diri atau apropriasi. Pengambilan jarak ini
bermaksud agar tidak terjadi distorsi makna. Ketika seorang penafsir melakukan
penjarakan terhadap teks, maka ia dapat melakukan interpretasi secara kreatif.
Artinya, ia dapat memperkaya dan memurnikan pemahaman diri. Pengambilan jarak
ini bisa berbentuk kritik ideologi, dekonstruksi atau pembongkaran dan variasi
imajinatif atau analogi permainan. Ketiga bentuk pengambilan jarak ini akan
membantu dalam membongkar ilusi-ilusi, motivasi-motivasi dan
kepentingan-kepentingan yang memenjarakan teks hanya pada satu makna.
5.3. Dunia Teks
Teks adalah sebuah wacana
terpatri yang berusaha mengungkapkan sebuah realitas dunia. Teks mengisahkan
sebuah dunia tertentu. Dunia atau wahana teks tidak berasal langsung dari
maksud pengarang tetapi disingkap melalui struktur-struktur karya atau teks.
Oleh karena itu, dunia yang digelar dan disaranakna oleh teks itu baru bermakna
bila menjadi milik pembaca atau penafsir.
Berkaitan dengan dunia
teks, Ricoeur mengemukakan konsep tentang ‘proyeksi kemungkinan terbesar yang
kita miliki’, dan menerapkannya kepada teori teks. Apa yang ditafsirkan dalam
teks adalah sebuah dunia yang dihamparkannya. Dunia inilah yang menjadi wilayah
di mana seorang bisa memproyeksikan kemungkinan yang dimilkinya. Gambaran
seperti inilah yang oleh Ricoeur disebut sebagai dunia teks. Pemahaman diri, dengan
demikian mendasarkan dirinya pada dunia teks agar bisa terungkap di dalam
bahasa.
5..4. Apropriasi (Pemahaman diri)
Teks adalah media yang
memperantarai kita untuk memahami diri kita sendiri. Pada saat inilah muncul
apa yang dinamakan subjektivitas pembaca atau penafisir. Apropriasi atau
pemahaman diri merupakan arah semua hermeneutika. Di dalam apropriasi, tujuan
proses hermeneutika tercapai, alur hermeneutika dari makna rujukan
terselesaikan. Apropriasi terjadi jika pembaca dapat melihat dirinya tercermin
di dalam teks. Dengan demikian ia dapat berkata: aku memahami keberadaanku
sendiri yang otentik lewat teks tersebut.
Dunia teks
ter-apropriasi-kan jika diriku tercermin sedemikian rupa sehingga keberadaanku
yang otentik terpahami lewat dunia teks termaksud.
Untuk itu, seorang pembaca harus mampu melepaskan prakonsepsi-prakonsepsi
dengan mengisinkan dunia ontologisnya membuka diri. Seorang pembaca dengan
demikian melepaskan egonya serta membuka diri untuk menerima diri yang otentik
dari teks.
6.
Pengambilan Jarak: Kritik Idiologi, Pembongkaran
dan Analogi Permainan
Dalam proses
pemahaman diri (apropriasi) ini, pengambilan jarak terhadap diri sendiri
merupakan prasyarat mutlak agar tidak terjadi distorsi makna dan agar dapat
merelativasi kesewenang-wenangan di dalam penafsiran[14].
Pengambilan jarak dalam hal ini menjadi sarana ampuh untuk mencapai sikap
keterbukaan. Adapun tiga bentuk pengambilan jarak yakni kritik ideoologi,
dekonstruksi atau pembongkaran dan variasi imajinasi (Ricoeur) atau analogi permainan
(Gadamer)[15].
Tiga bentuk pengambilan jarak ini menurut Ricoeur menjadi alat kontrol terhadap
kesewenang-wenangan penafsiran.
Jika agama
sebagai sebuah ideologi, maka kritik terhadap agama menjadi penting untuk
diperhatikan. Agama pantas mendapat kritik agar bisa memurnikan dirinya.
Keterbukaan terhadap kritik berarti agama mengakui adanya serangan dari luar
yang tidak dilihat sebagai pelecehan tetapi sbagai alat otokritik. Maka,
jawaban atas kritik itu bukan apalogia (pembelaan diri), tetapi mentransformasi
kritik tersebut untuk pemurnian pemahaman diri yang lebih baik[16].
Pengambilan
jarak yang kedua adalah dekonstruksi atau pembongkaran. Dengan dekonstruksi
berarti penafsir diajak untuk membongkar ilusi-ilusi, motivasi-motivasi dan
tujuan-tujan serta kepentingan-kepentingan diri atau kelompok[17].
Pembongkaran ini penting untuk menghindarkan dari penyalahgunaan ideologi,
misalnya agama. Pembongkaran ini bermaksud untuk mencegah adanya sikap
eksklusif yang bertentangan dengan
pluralitas yang dibangun oleh agama tertentu.
Bentuk
pengambilan jarak yang ketiga adalah analogi permainan. Jika kritik ideologi
dan dekonstruksi merupakan bentuk negatif dari pengambilan jarak terhadap diri
sendiri, variasi imajinatif atau analogi permainan merupakan bentuk positifnya[18].
Permainan berusaha membebaskan kemungkinan-kemungkinan yang terpenjara oleh kehidupan yang terlalu
serius dan formal. Dalam kehidupan formal dan serius, seorang akan merasa
ketakutan untuk berkreasi. Dengan kata lain, permainan bisa mendorong tumbuhnya
inisaitf dan kreativitas, sebab dengan permainan, subjek dibebaskan dari norma
sosial dan keseriusan sehari-hari[19].
Analogi
permainan merupakan bentuk pengambilan jarak yang berusaha menciptakan peluang
bagi perjumpaan antar pribadi atau kelompok masyarakat yang informal.
Perjumpaan yang informal itu misalnya dapat kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari, seperti olahraga bersama, kerja bakti bersama dan konser musik
anak-anak sekampung. Dan yang penting juga, semua kegiatan tersebut jangan
sampai menjadi alat segregasi sosial. Artinya, permainan-permainan tersebut
tidak boleh diklaim oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan dirinya[20]
7.
Penutup
Bagi Ricoeur, hermeneutika adalah usaha akal budi manusia untuk meguak
maknda yang tersembunyi di balik teks. Hermeneutika merupakan proses penguraian yang memunculkan arti dan
makna dari keadaannya yang semula
tersembunyi. Konsep hermeneutika Ricoeur tidak terkepas dari pandangannya
tentang tanda, simbol dan teks. Bagi Ricoeur, ketiga tanda ini merupakan media
yang menghantar pembaca atau penafsir untuk memahami diri.
Ricoeur juga melihat bahwa
tanda, simbol dan teks memiliki pluralitas makna, oleh sebab itu tugas
hermeneutika adalah menghadirkan teks tersebut di hadapan pembaca atau
penafsir. Dalam melakukan sebiah interpretasi, Ricoeur mengusulkan empat
kategori hermeneutika: objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui
tulisan, dunia teks dan apropriasi. Kategori-kategori ini akan membantu pembaca
atau penafsir untuk memahami teks. Semua tahap ini juga akan membantu pembaca
atau penafsir untuk memahami diri lebih baik.
Sebuah teks harus terbuka
terhadap setiap bentuk penafsiran. Untuk sampai kepada apropriasi (pemahaman
diri), seorang pembaca atau penafsir harus melakukan distansiasi. Dengan
distansiasi, teks dibiarkan berbicara sehingga ada pemurnian diri dalam
pemahaman. Pandangan Ricoerur ini dapat dijadikan alat untuk agama-agama agar
membuka diri terhadap kritik. Kritik terhadap teks agama dapat menjadi sarana
pemurnian diri agama itu sendiri. Agama harus membuka diri terhadap penafsiran,
karena sebuah teks agama memiliki pluralitas makna.
Daftar Pustaka
Bertens, K.,
1996 Filsafat
Kontemporer Prancis, Gramedia, Jakarta.
Haryatmoko.,
2000 “Hermeneutika Paul Ricoeur: Transparansi
sebagai Proses”, Basis, 27-33.
2003 Etika
Politik dan Kekuasaan, Kompas, Jakarta.
2015 Hermeneutika Paul Ricoeur dan Filsafat
Kecurigaan-Diktat Kuliah, FTW, Yogykarta.
Ricoeur, P.,
1981 “Toward
a New Concept of Interpretation”, dalam J. B. Thompson (ed), Hermeneutics and The Human Sciences: Essays
on Language, Action and Interpretation (terj), Cambridge University, New
York.
Sumaryono, E.,
1999 Hermeneutik
Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.
[1] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat,
Kanisius, Yogyakarta 1999, 103-104.
[2] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Gramedia, Jakarta 1996, 254.
[3] P. Ricoeur, “Toward a New
Concept of Interpretation”, dalam J. B. Thompson (ed), Hermeneutics and The Human
Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation (terj), Cambridge
University, New York 1981, 159.
[4] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, 107.
[5] Haryatmoko, Hermeneutika Paul Ricoeur dan Filsafat Kecurigaan-Diktat Kuliah
Hermeneutika, FTW, Yogyakarta 2015,
3.
[6] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul
Ricoeur: Transparansi sebagai Proses”, Basis
05-06 (2000), 29.
[7] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul
Ricoeur: Transparansi sebagai Proses”29.
[8] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, 105.
[9] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, 109.
[10] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul
Ricoeur: Transparansi Sebagai Proses”, 29.
[11] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul
Ricoeur: Transparansi Sebagai Proses”, 29.
[12] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul
Ricoeur: Transparansi Sebagai Proses”, 30.
[13] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul
Ricoeur: Transparansi Sebagai Proses”, 31.
[14] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul
Ricoeur: Transparasi Sebagai Proses”, 31.
[15] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul
Ricoeur: Transparasi Sebagai Proses”, 32.
[16] Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Kompas, Jakarta 2003, 68.
[17] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul
Ricoeur: Transparasi Sebagai Proses”, 32.
[18] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul
Ricoeur: Transparansi Sebagai Proses”, 32.
[19] Haryatmoko, “Hermeneutika Paul
Ricoeur: Transparansi Sebagai Proses”, 32.
[20] Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, 69.
Komentar
Posting Komentar