BERGANDENGAN TANGAN UNTUK KEBAIKAN EKOLOGI



Tahun 2015 yang lalu, usai menyelesaikan studi S1 di Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma, oleh Kongregasi saya diutus untuk menjalani perutusan TOP di lembaga pendidikan calon imam Seminari San Dominggo Hokeng. Adapun tugas utama yang saya emban yakni menjadi guru di sekolah dan menjadi pamong asrama. Sebagai guru, saya dipercaya untuk mengajar beberapa mata pelajaran seperti musik, sejarah dan olahraga, sedangkan sebagai pamong asrama tugas utama saya adalah mendampingi para seminaris dalam berbagai rutinitas harian yang mereka lakukan usai jam sekolah. Di sini saya dituntut untuk hadir dan ada bersama mereka dalam setiap kegiatan yang mereka jalani, seperti doa bersama, olahraga bersama, rekreasi bersama dan kerja bersama.
Selama kurang lebih satu tahun berkarya di lembaga pendidikan ini, satu hal yang menjadi tantangan dan yang menjadi perjuangan saya adalah bagaimana membangkitakan kesadaran para seminaris untuk mencintai Seminari sebagaimana mereka menintai rumah mereka sendiri. Untuk menyadarkan mereka, satu hal yang sering saya gunakan adalah kesemptan ketika berjumpa bersama mereka di kelas. Di situ saya menyampaikan kepada mereka untuk melihat seminari sebagai rumah bersama. Sebagai rumah bersama itu berarti setiap orang harus bertanggungjawab untuk menjaga kebersihan, kerapihan dan keindahan seminari ini. Seminari dengan lingkungan yang bersih dan nyaman akan mendatangkan kesehatan, hal ini akan mendukung kenyamanan untuk belajar dan berdoa. Dan kalau Seminari sebagai rumah menjadi indah, maka tamu dan keluarga yang berkunjung yang berkunjung akan merasa kerasan untuk tinggal berlam-lama menikmati suasana  lingkungan seminari.
Dalam banyak kesempatan saya juga mengingatkan mereka untuk bekerja tidak hanya untuk kepentingan kelompok atau pos kerja tertentu tetapi tujuannya harus lebih luas yakni demi kepentingan bersama. itu berarti, ketika bekerja orang bekerja pertam-tama bukan untuk kepentingan pos kerja nya semata tetapi harus bekerja demi seminari. Hemat saya hal ini penting karena ketika ada tamu atau keluarga yang berkunjung dan mengagumi kebersihan dan kerapihan seminari, mereka tidak hanya akan memuji kelompok-kelompok atau pos-pos tertentu tetapi memuji seluruh warga seminari. Tidak pernah ada tamu yang berujar, “Ahh...Kapela ini bersih karena si A atau si B yang bekerja” , atau berujar “Taman Semnari sungguh indah dan sedap dipadang mata tidak lepas dari usaha si C atau si D yang bekerja”, sebaliknya mereka akan berujar, “Anak-anak Seminari rajin-rajin ya, lihat saja WC mereka sangat bersih dan taman mereka sangat indah”. Inilah beberapa contoh yang saya gunakan untuk menyadarkan mereka tentang pentingnnya bekerja tidak pertama-tama demi kepentingan pribadi atau kelompokk saja tetapi juga haurs diarahkan demi kepentingan yang labih luas.
Pengalaman perjumpaan dan perjuangan dengan anak-anak yang terkadang hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok senidiri, yang penting pos, lingkungan atau tugas saya bersih itu sudah cukup, kerapkali juga kita temukan dalam lingkup yang lebih luas, baik itu dalam lingkup komunitas-komunitas kita sendiri, masyarakat, mulai dari RT hingga provinsi bahkan negara. Misalnya saja, bila kita berbicara mengenai lingkungan hidup, seringkali kita hanya berbicara tentang hal-hal yang dekat atau berhubungan langsung dengan kehidupan kita sehari-hari. Kita akan berbicara ketika hal tersebut mengganggu kenyaman kita. Kita berbicara mengenai sampah karena hal itu secara langsung berdampak bagi kesehatan kita, polusi, bau busuk dan sebagainya. Kita berkeluh kesah mengenai banjir karena hal itu secara langsung mengganggu kenyamanan kita. Banjir membuat orang berlomba-lomba meninggikan lantai rumahnya, membuat bendungan di sekeliling rumahnya supaya air tidak masuk. Kita berbicara tanah longsor dan kita tidan bertindak banyak selain menangisi musibah yang terjadi. Kita berpikir dan bertindak reaktif , dan juga seakan kita repisah sama sekali dari lingkungn kita, ada ranah lingkungan dan ada rumah manusia yang tidak berhubungan. Dan manusia boleh melakukan apa saja di dalam kedua ranah tersebut. Padahal manusia berada di atas bumi yang sama dan satu, dan hidup manusia sepenuhnya tergantung dari lingkungan tersebut. Bahkan di dalam di ranah manusia itu sendiri terjadi pemisahan antara ‘aku’ dan ‘orang lain’, seakan masing-masing hidup di daerahnya sendiri, tanpa peduli bahwa ‘aku’ dan ‘orang lain’ hidup bersama di atas bumi yang satu dan sama.
Sikap manusia, yang hanya mementingkan diri sendiri, yang mengukur segala kenyamanan dari kaca mata pribadi adalah sumber dari berbagai kerusakan ekologis yang terjadi saat ini. Dengan pandangan dan pemikiran yang egois seperti itu, manusia cendrung bekerja demi kepentingan dirinya semata. Yang penting keluarga dan lingkungan saya aman itu sudah cukup, tidak peduli keluarga dan lingkungan orang lain tidak aman, bahkan lebih parah lagi, ada orang yang bahkan rela merampas dan menggunakan hak orang atau lingkungan lain demi kepentingan dirinya. Orang berani mengorbankan kepentingan orang dan lingkungan lain yang penting lingkungan yang saya tempati menjadi nyaman. Lihat saja banjir yang melanda Jakarta setiap musim hujan tiba. Banjir yang terjadi seringkali merupakan banjir kiriman dari kawasan pucak Bogor. Setelah diteliti ternyata daerah resapan air di kawasan puncak semakin berkurang karena banyak lahan hutan yang digusur dan beralifungsi menjadi perumahan-perumahan mewah. Setelah diteliti lebih dalam, ternyata villa dan hunian elit tersebut kebanyakan bertasnamakan orang-orang Jakarta. Ini merupakan contoh bagimana ulah beberapa atau sekelompok orang yang hanya mementingkan diri sendiri menjadi sumber bencana tidak saja bagi kebanyakan msyarakat lain tetapi juga bagi lingkungan itu sendiri.
Melihat kompleksitas dari persoalan ini, maka yang bisa mencegah dan memperbaikinya atau sebaliknya malah semakin menjadikannya rusak adalah manusia itu sendiri. Sudah saatnya kita menanggalkan kaca mata yang pribadi yang hanya melihat dan memperhatikan segala hal sejauh membawa manfaat bagi diri sendiri dan mengenakan kaca mata yang lebih ekologis, kaca mata yang lebih holistik, yang membantu kita untuk melihat segala hal secara keseluruhan. Sudah saatnya kita meninggalkan kebiasaan kita yang hanya mementingkan diri sendiri dan mengenakan kebiasaan baru yang memberi prioritas bagi kepentingan bersama. Persoalan ekologi yang sudah sangat parah tidak bisa lagi hanya menjadi tanggung jawab institusi-institusi tertentu, tetapi hendaknya menjadi titik tolak bagi semua institusi untuk bersama bergandengan tangan, bergerak bersama untuk perubahan dan trasfromasi demi perbaikan dan kebaikan lingkungan hidup yang adalah rumah kita bersama.
Untuk itu, harus ada pertobatan yang diikuti dengan perubahan ekologis yang dimulai diri sendiri. Konkrtinya transformasi harus dimulai dari pola pikir dan tingka laku setiap pribadi. Kita harus berani menanggalkan manusia lama yang hanya mementingkan diri sendiri dan mengenakan manusia baru yang mengusung semangat ekologis, yang menjadikan kepentingan bersama sebagai tujuan dan motivasi dalam setiap keberadaannya, itu berarti, pola dan pola laku harus mencerminkan kepentingan umum. Kita harus menjadi manusia baru yang melihat kepentingan lingkungan sebagai kebutuhan yang mendesak, karena kita sadar bahwa kita sepenuhnya tergantung dari lingkungan. Kita harus meninggalakan kebiasaan-kebiasaan yang tidak bershabat dengan alam, karena jik alam murka, siapa pun dan apa pun keberadaan kita tidak akan berpengaruh, di hadapan alam yang murka kita semua sama: Kalah! Agar jangan sampai hal ini terjadi maka pertobatan dan perubahan yang radikal adalah satu tuntutan bagi kita.


Komentar

Postingan Populer