KEBANGKITAN KAUM PEREMPUAN
Kita
tidak menyangkal bahwa di hadapan Allah laki-laki dan wanita diciptaan sebagai
makhluk yang mempunyai harkat dan martabat yang sama. Kesamaan kedudukan di
hadapan Allah seharusnya dijadikan pola dasar hubungan laki-laki dan perempuan
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Namun kenyataannya, seringkali kita temukan bahwa kesamaan mertabat ini tidak berjalan sebagaiman mestinya. Yan terjadi, kita justru menemukan banyak kali adanya penindasan, tindakan kekerasan, pelecehan, dominasi dan diskrimasi terhadap kaum perempuan dalam berbagai bentuk.
Namun kenyataannya, seringkali kita temukan bahwa kesamaan mertabat ini tidak berjalan sebagaiman mestinya. Yan terjadi, kita justru menemukan banyak kali adanya penindasan, tindakan kekerasan, pelecehan, dominasi dan diskrimasi terhadap kaum perempuan dalam berbagai bentuk.
Dalam
tradisi kuno bangsa Muangthai ada anggapan bahwa kaum perempuan tidak lebih
dari hewan, mereka tidak ada bedanya dengan kerbau. Perempuan lebih layak dan
hanya cocok bekerja di sawah atau ladang sebagai tulang punggung keluarga. Di kalangan
para filsuf pun ada juga pandangan yang cendrung merendahkan perempuan. Di dalam
Politea, Aristoteles misalnya menyamakan
kodrat perempuan dengan hamba atau lembu jantan bagi laki-laki untuk membantu
keluarga baru. Sedangkan filsuf lain, Plato misalnya mempunyai pandangan yang
menganggap perempuan sebagai degradasi laki-laki; menurut Plato, seorang
laki-laki pengecut akan menjadi perempuan pada kelahirannya yang berikut. Sedangkan Imanuel Kant menyatakan
bahwa perempuan tidak memiliki kemampuan untuk mengerti prinsip-prinsip. Di lainpihak,
bagi Fichte, perempuan dkuasai karena itu merupakan keinginan yang lahir dari
moral wanita itu sendiri untuk dikuasai. Sedangkan Francis Bacon berpendapat bahwa
ilmu pengetahuan dan teknologi berpusat pada laki-laki, sedangkan kaum prempuan
hanya cocok atau boleh bekerja di ladang dan mengurus hal-hal yang berkaitan
dengn rumah tangga.
Dalam
masyarakat tradisional di Indonesia pun, pola hubungan sosial kemasyarakatan
kerapali banyak ditentukan oleh laki-laki sebagai kepala keluarga. Laki-laki
sebagai kepala keluarga menampilkan diri sebagai pemilik rumah tangga, tanah,
binatang, budak, anak-anak, istri dan bakan juga selir atau wanita simpanan. Meskipun
hal seperti ini dalam masyarakat modern tidal lagi dijumpai secara mencolok,
namun dalam prakteknya, paham kepemilikan laki-laki atas perempuan belum dapat
dihapus sama sekali. Bagi perempuan yang bergantung pada laki-laki, kekuasaan
laki-laki menjadi sangat dominan, seolah-olah adalah sebuah kodrat bahwa
perempuan harus tunduk dan berada di bawa laki-laki. Dalam keadaan seperti ini,
perempuan berada pada posisi tidak berdaya, mereka kerapkali menerima saja perlakuan
laki-laki tanpa protes. Tidak jarang, kita bahkan membenarkan tindakan
kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.
Kelau
menecermati masalahnya, kita bisa menemukan bahwa patriarki merupakan akar
terdalam yang menciptakan kondisi pelestarian
kekerasan terhadap permpuan. Patriarki merupakan kontrol atau dominasi
kaum laki-laki terhadap perempuan, mulai dari badan, seksualitas, pekerjaan,
peran dan statusnya dalam keluarga maupun masyrakat. Patriarki telah menimbulkan
pemusatan kekuasaan dan hak istimewa berada di tangan kaum laki-laki, juga mengakibatkan
kontrol dan perendahan perempuan serta menciptakan ketimpangan serta
kesenjangan antar seks, perempuan hanya melayani laki-laki.
Gerakan
feminisme muncul dalam konteks seperti ini. Munculnya feminisme ini tidak
terlepas dari perjuangan hak-hak asasi manusia. Gerakan feminisme berusaha
mendobrak sistem patriarki yangsudah lestari dalam masyarakat. Feminisme melihat
masalah ketidakadilan terhadap perempuan dengan sudut pandang perempuan secara
keseluruhan dengan berbagai aspek kehidupannya. Tekanannya terletak pada
pengangkatan keberadaan perempuan dari ketidakadilan dan penindasan kaum
laki-laki. Di samping itu, gerakan kaum feminisme hendak mengajak semua kaum
perempuan (dan masyarakat seluruhnya) untuk bersama-sama bergandengan tengan
berjuang mengembangkan harkat dan martabat perempuan di mata kaum laki-laki dan
dalam kerangka pengembangan diri.
Di
Indonesia sendiri, sudah ada gerakan feminisme yang ingin memperjuangkan hak
dan kedudukan kaum perempuan agar bisa lebih berperan dalam keluarga dan
masyarakat secara nyata tanpa dominasi laki-laki. Ada pun gerakan feminisme tersebut adalah, pertama, femenisme yang mengacuh pada
negara Barat (gerakan feminisme yang muncul di negara Barat seprti feminisme
radikal, sosialis, liberal, dll); kedua, gerakan
feminisme yang semangatnya mengacuh pada feminisme namun menolak aliran
tersebut. Namun perlu juga dicatat, di
Indonesia istilah feminisme belum begitu
populer. Yang muncul acapkali adalah istilah “wanita dan pembangunan”. Arahnya lebih pada emansipasi, di mana
perampuan menjadi mitra yang sejajar dengan kaum laki-laki, dengan tugasnya
adalah menunjang pembangunan. Kendala yang dihadapi adalah masih lemahnya
kesadaran terhadap cita-cita feminisme, belum ada kesadaran untuk bergerak
bersama. Masyarakt (dan perempuan khusunya) masih berada dalam suasana ketidaktahuan yang
didukung dengan tendensi pasivisme. Namun
demikian, keinginan untuk merubah “keadaan”
sudah mulai bertumbuh dan berkembang dengan cukup kuat. Sehigga dapat
dikatakan bahwa gerakan feminisme sudah kuat tetapi kesadaran yang komprehensif
dan holistik yang menyentuh dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang masih
kurang.
Di
atas semua itu, kebangkitan perempuan dalam tiga dasa warsa terakhir ini dapat
dikatakan telah berhasil menghancurkan mitos tentang posisi kaum perempuan yang
selalu dianggap sangat lemah. Hancurnya mitos tersebut tentu sangat beralasan, misalnya
dari prestasi perempuan dalam bidang ekonomi, politik dan bidang pelayanan umum
lainnya yang selama ini kental dengan warnahdan dominasi kaum laki-laki. Sudah banyak
kaum perempuan yang mencapai sukses menjadi perempuan mandiri di tengah-tengah
kaum laki-laki. Kemapanan dan kemandirian
di bidang i ekonomi tidak lagi sekedar menjadikan perempuan sebagai pelayan
kaum laki-laki dan warga kelas dua yang hanya pasif, tetapi menjadikan posisi
dan keberadaan mereka mulai diperhitungkan. Kemampuan kaum perempuan bersaing
dengan laki-laki dalam bidang ekonomi menjadi bukti bahwa perempaun juga bisa
menjadi tulang punggung keluarga. Di bidang politik, sudah banyak (dan akan
semakin banyak lagi) kaum perempuan yang
memegang dan menduduki posisi dan jabatan penting serta strategis. Kedudukan
dan posisi mereka yang strategis di MPR/DPR misalnya menjadi kesempatan emas
bagi mereka untuk semakin gencar menyuarakan
dan memperjuangkan kepentingan kelompok mereka.
Meski
jumlah perempuan yang berani bangkit dan memperjuangkan kepentingan kaumnya
memang masih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah keluruhan perempuan
Indonesia, namun setidaknya ini menunjukkan bahwa sudah ada “benih” kesadaran
yang mulai tumbuh dan muncul dari para banyak perempuan, kesadaran untuk keluar
dari tradisi dan perilaku lama yang selalu memunggirkan dan menyingkirkan
mereka. Melalui berbagai peran dan posisi mereka dalam masyarakat serta
keberanian untuk tampil di hadapan publik, kaum perempuan mulai berani bersuara untuk merebut kembali harkatnya yang selama
ini telah hilang dirampas oleh sistem yang berbau patriarki.
Benih
kesadaran (yang masih bersifat sporadis) ini akan semakin tumbuh dengan subur
jika ditopang secara berjenjang oleh sistem yang kuat. Dalam hal ini, peran Gereja (dan semua lembaga
agama tentunya) serta negara menjadi sangat mendesak. Sebagai orang Kristen dan
waraga negara yang beriman dan beradab kita tidak bisa hanya diam berhadapan
dengan segala kekarasan dan penindasan serta ketidakadilan yang menimpa sesama
kita, terutama dalam konteks ini perendahan martabat perempuan. Gereja dan
semua umat Kristen dituntut untuk terlibat secara aktif dengan semanagat iman
Katolik, solidaritas dan komitmen terhadapa kemanusiaan untuk perjuangan pembebasan
kaum perempuan.
Perjuangan
itu harus dimulai dari diri kita masing-masing. Dalam perjungan ini, kita harus
belajar dan berani untuk meninggalkan kebiasaan lama yang bersifat otoriter
yang mana banyak merendahkan kaum perempuan menuju kebiasaan baru yang lebih
mengutamakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Jika ini terus
berkembang maka akan tercipta tatanan masyarakat baru yang lebih partisipatif
dan egalitarian yang melibatkan tidak hanya laki-laki tetapi jug perempuan
sebagi subyeknya. Keberpihakan kita terhadap pejuangan ini merupakan bentuk nyata
dari dukungan kita terhadap Gereja dan pemerintah.
Komentar
Posting Komentar