Paham Kristologi Kontekstual untuk Memahami Yesus Kristus dalam Konteks Budaya Masyarakat Sumba Barat Daya
(Refleksi Atas Yesus Sebagai Pakoro Manggolu, Pakoro Malimma)
oleh: Petrus Ng. Bulu, CSsR
oleh: Petrus Ng. Bulu, CSsR
1. Pengantar
Seiring berkembangnya zaman dan
teknologi yang semakin canggih, masyarakat dituntut untuk mengikuti setiap arus
yang ada, tak terkecuali masyarakat Sumba sehingga banyak di antara mereka yang
mengadu nasib ke kota Yogyakarta baik
untuk menuntut ilmu, maupun mencari pekerjaan yang lebih layak. Pada akhirnya
mereka yang mengadu nasib ke kota Yogyakarta memiliki
identitas sebagai warga kota Yogyakarta
yang bersuku Sumba.
Bertolak dari situasi di atas,
lantas apakah identitas mereka sebagai orang Sumba masih tetap terpelihara
walaupun mereka ada di tanah rantauan? Bagaimanakah mereka merefleksikan Yesus
sebagai Pakoro Manggolu, Pakoro Malimma dalam keberadaan mereka di
tanah rantauan? Melalui tulisan ini, kami akan memaparkan Kristus yang dipahami oleh orang Sumba
rantauan yang berada di Yogyakarta sebagai
Pakoro Manggolu, Pakoro Malimma. Adapun penelitian ini
dilakukan terhadap orang Sumba Barat Daya di Yogyakarta
dengan populasinya adalah orang
Katolik yang sebagian besar menyebar di Yogyakarta. Mereka adalah tokoh yang dituakan dalam komunitas orang Sumba di Yogyakarta, tokoh gereja, dan tokoh masyarakat/jemaat. Kabupaten Sumba terbagi dalam empat wilayah yaitu
Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Dalam rangka
teologi Kristologi kontekstual, maka
yang menjadi fokus ialah Sumba Barat Daya.
2.
Apa
itu Kristologi Kontekstual
Kata
Kristologi memiliki akhiran logi
berarti ilmu (pengetahuan). Maka
Kristologi berarti ilmu pengetahuan tentang Kristus. Tetapi sebagai ilmu,
Kristologi tidak berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari teologi. Kalau
demikan, kristologi adalah teologi
tentang Kristus. Selanjutnya, tugas kristologi adalah merenungkan,
menyelidiki, dan mengutarakan keyakinan beriman kita, bahwa Yesus dari Nazaret
adalah Kristus dan Tuhan.[1] Definisi lain tentang kristologi adalah
refleksi ilmiah atas iman akan Yesus. Ajaran Gereja tentang Yesus. Kristologi
dalam arti yang lebih spesifik adalah studi tentang tema-tema, konsep-konsep
yang mana Gereja Perjanjian Baru mengungkapkan imannya di dalam Yesus sebagai
Kristus.[2]
Jadi,
berbicara tentang kristologi berarti berbicara tentang Yesus, yaitu hidup, mati
dan sampai kebangkitanNya. Menurut Volker Kuster[3], bahwa
Kristologi mencakup pembicaraan tentang hidup, kematian dan kebangkitan Yesus
Kristus, hal ini sudah ada kesejajarannya dalam PL dan memuncak dalam PB. Dalam
sejarah kekatolikan dan selanjutnya tradisi yang mengikutinya, inkarnasi Yesus
tetap dipertahankan. Dalam perspektif inkarnasi satu hal yang mau ditegaskan
bahwa kematian Yesus di salib merupakan konsekuensi dari pewartaannya. Dia-lah
sebagai tokoh sentral dalam Perjanjian Baru, menghadirkan karya penyelamatan
Allah bagi manusia yang penuh dosa.
3. Mengenal Konteks Masyarakat Sumba Barat Daya
Pulau Sumba disebut oleh penduduk
Sumba dengan sebutan Tana Humba. Menurut
mitos orang Sumba memasuki Sumba melalui Tanjung Sasar dan Muara Sungai
Pandawai yang kemudian menyebar ke seluruh Pulau Sumba. Sesampainya di Sumba,
orang-orang tersebut mendirikan pemukiman yang disebut Wanno Kalada (kampung besar)[4].
Kondisi alam yang subur dan lahan
yang luas membuat masyarakat Sumba menggantungkan hidupnya pada pertanian dan
peternakan. Masyarakat yang rajin bekerja ditunjang dengan lahan pertanian yang
subur, membuat masyarakat Sumba cukup maju dalam bidang ekonomi.
Ada tiga kelas sosial yang terdapat
dalam kalangan orang sumba yaitu kelas maromba (kaum
bangsawan), kabihu (kaum merdeka), atta (kaum
hamba). Tetapi karena perkembangan zaman maka kelas-kelas ini tidak ada lagi di
Sumba Barat Daya, namun di wilayah lain seperti Sumba Timur kelas-kelas ini
masih dipertahankan[5].
Kepercayaan asli suku Sumba
disebut Marapu[6]. Seluruh kehidupan
orang Sumba terikat dengan pemahaman tentang Marapu. Menurut orang
Sumba, Marapu adalah kepercayaan kepada Ilah Tertinggi yang
tidak bisa disebut nama-Nya (Ndapa Teki Ngara, Ndapa Suma Tamo) melalui
arwah orang yang sudah mati yang dipercaya jiwanya masih berada di sekitar
mereka. Melalui Marapu inilah orang Sumba memohon berkat
kepada Ilah Tertinggi[7].
Dalam
kepercayaan Marapu, mereka mengenal siklus hidup yang berhubungan
dengan kelahiran, pesta adat, panen dan kematian. Saat seorang anak lahir maka
keluarga terdekat berkumpul untuk menerima tamu baru. Upacara adat terjadi bila
ada pernikahan, sebelum dan sesudah panen, kematian [8]. Walaupun
kekristenan sudah masuk ke Sumba, namun tak dapat dipungkiri kebudayaan ini
masih tetap dipelihara, hanya konsep penyembahan kepada Marapu diubah
sehingga sesuai dengan nilai-nilai kristiani. Kebudayaan inilah terus
dipelihara walaupun mereka keluar dari pulau Sumba dan merantau di Kota Yogyakarta.
Kehidupan orang Sumba yang
tinggal di Yogyakarta sangat memelihara
persekutuan mereka. Sekalipun mereka merantau di Yogyakarta, tradisi Sumba tetap diakui sebagai identitas mereka
yang tidak ditinggalkan walaupun mereka ada di kota Yogyakarta. Hal ini nampak dalam kehidupan sehari-hari mereka
yaitu berdialog menggunakan bahasa daerah (Bahasa Wejewa, Kodi, Loura), gotong royong, upacara adat untuk perkawinan dan
kematian. Namun sebagai orang Kristen, mereka menyatakan bahwa,
tradisi tersebut akan mereka lestarikan sejauh tradisi ini tidak bertentangan
dengan ajaran agama Kristiani[9]. Tradisi
yang tetap dipertahankan ini termasuk pemahaman mereka untuk merefleksikan
Yesus dalam bingkai sebagai Orang Sumba. Dalam kehidupan menggereja pun
mereka secara sungguh-sungguh menghayati keterpanggilan mereka sebagai orang
Kristen walaupun ciri primodialisme masih nampak dalam persekutuan.
3.1 Deskripsi
Sebelum
kekristenan masuk ke Pulau Sumba, orang Marapu hanya mengenal
Ilah Tertinggi yang mereka sembah lewat perantaraan Marapu. Ilah
Tertinggi ini tidak bisa disebut namanya oleh karena itu mereka menyebut-Nya
dengan Ndapa Teki Ngara, Ndapa Suma Tamo (tidak bisa disebut nama-Nya/ tidak ada nama)[10]. Dalam
agama suku Marapu nama tersebut bersifat keramat dan tidak
dapat disebut sembarangan dan jika disebut sembarangan, orang akan tertimpa
malapetaka. Demikian nama Ilah tertinggi diyakini memiliki kekuatan
magis. Nama itu hanya boleh disebut oleh rato dalam ritus
keagamaan dan disebut secara berbisik oleh rato pada
tengah malam tanpa seorang pun boleh mendengarkannya. Kendatipun tidak bisa
disebutkan namanya, namun orang Sumba memahami bahwa Ilah tertinggi adalah yang
menciptakan langit dan bumi, yang menjadikan manusia dan sebagainya.
Ketika
kekristenan dibawa masuk ke Sumba oleh para Misionaris Yesuit pada
1889-1921, kemudian dilanjutkan oleh SVD sejak 1921-1957, hingga Para
Misionaris Redemptoris sejak 1957-sekarang[11], maka terdapat usaha dari para Misionaris Jerman dan Guru Agama
asal luar pulau Sumba untuk mempelajari bahasa Sumba dan memberitakan injil
dalam bahasa dan konsep budaya setempat. Pemberitaan Injil yang dilakukan ini
termasuk memperkenalkan Allah dan Yesus dengan memberikan sapaan-sapaan sesuai
dialek dan konsep pemikiran setempat. Usaha
ini sangat membuahkan hasil, orang Katolik Sumba
dapat memahami Allah dan Yesus dalam konsep kebudayaan mereka. Salah satu gelar
Yesus yang merupakan refleksi keberadaan mereka di tanah rantauan adalah Pakoro
manggolu, pakoro malimma. Secara
harafiah kata ini memiliki arti yakni Pakoro (Memagari) Manggolu (dalam kandang) Malimma (dalam rangkulan tangan). Bila digabungkan gelar ini memiliki makna memagari
dalam kandang, memagari dalam rangkulan tangan atau Tuhan yang melindungi dari
bahaya[12]..
Pemberian
gelar Pakoro manggolu, pakoro malima ini dilatarbelakangi oleh
kepercayaan mereka terhadap Marapu. Marapu dipandang sebagai
perantara antara Sang Pencipta dan manusia. Sang Marapu inilah yang
menyampaikan permohonan kepada Sang Pencipta dan Sang Pencipta menjawabnya
melalui Marapu. Marapu juga berperan sebagai ‘penolong’. Artinya ketika manusia (masyarakat Sumba) mampu untuk
menjalankan aturan-aturan dalam Marapu maka ia akan selamat. Keselamatan yang
di sini adalah berhasil dalam segala usahanya di dunia, pertanian,
peternakan serta akan dilindungi oleh Sang Pencipta melalui roh nenek
moyang agar terhindar dari segala malapetaka. Cara yang lazim digunakan adalah
dengan meletakkan sirih pinang atau sejumlah uang di atas kuburan sebagai tanda
permohonan[13].
Cara
seperti ini sering dilakukan oleh masyarakat Sumba terlebih bagi mereka yang
hendak merantau jauh dari tanah Sumba. Kegiatan ini sering dilakukan dengan
tujuan memperoleh perlindungan dari nenek moyang di tempat rantauan dan
mendapat pekerjaan setelah sampai di tanah rantauan. Namun setelah kekristenan
masuk orang Sumba tidak memohon perlindungan kepada Marapu tetapi
kepada Tuhan yang disebut sebagai Pakoro manggolu, pakoro malima. Yesus
mereka pahami sebagai yang akan melindungi mereka dari bahaya yang mereka
alami. Perlindungan Tuhan tidak sebatas hanya pada perang, tapi ketika mereka
hendak keluar rumah. Orang Katolik
Sumba di Yogyakarta pun meyakini bahwa
Yesus adalah Pakoro manggolu, pakoro malimma.
3.2 Analisis
Berdasarkan gelar-gelar Yesus
menurut orang Sumba Barat Daya yang dideskripsikan di atas, maka analisis yang
dapat diambil dari pemberian gelar-gelar tersebut adalah:
1. Historis
Secara historis pemberian
gelar-gelar seperti ini dipengaruhi oleh pemberitaan Para Misionaris
awal dan pekerja pribumi (bukan orang
Sumba) atau yang disebut guru Agama.
Para Misionaris tersebut mempelajari
bahasa Sumba dan menggunakannya dalam pemberitaan Injil kepada orang-orang
Sumba[14].
Para pekabar injil berkeyakinan agar injil dapat
diterima dan dimengerti oleh orang Sumba, mereka harus mempergunakan
ungkapan-ungkapan yang diambil dari konsep pemikiran, kebiasaan, dan
kepercayaan orang Sumba. Keyakinan inilah yang mendorong mereka memberi
penamaan kepada Allah dan Yesus sesuai dengan konsep kehidupan orang Sumba.
2. Budaya
Manusia adalah makhluk budaya.
Sebagai makhluk budaya, manusia menentukan sendiri bagaimana dia
hidup. Budaya dipakai sebagai pedoman dalam keseluruhan gagasan dan karya
manusia yang harus dibiasakan dengan belajar. Dalam proses penentuan ini, manusia
dipengaruhi oleh lingkungan alam tempat ia hidup, sesamanya sendiri, tradisinya
dan kemampuan teknologinya. Kebudayaan dalam satu komunitas menjadi identitas
dari setiap bangsa atau suku bangsa. Di dalam kebudayaan-kebudayaan itulah suku
bangsa ada unsur saling mempengaruhi yang erat antara tingkah-laku
perorangan, suku atau persekutuan desa[15].
Dari hal tersebut maka kebudayaan Sumba juga turut mempengaruhi pemberian gelar
kepada Allah dan Yesus.
Kebudayaan yang identik dengan
masyarakat Sumba adalah setiap kehidupan orang Sumba
selalu diidentikkan dengan kepercayaan kepada Marapu.
Seluruh kehidupan orang Sumba tidak terlepas dari kepercayaan mereka
terhadap Marapu.
Kebudayaan-kebudayaan yang
mempengaruhi seperti permohonan perlindungan dari marabahaya kepada arwah-arwah
orang yang sudah meninggal. Dengan masuknya kekristenan, kebiasaan ini tidak
dilakukan namun mereka mengimani bahwa yang melindungi mereka dari marabahaya
adalah Yesus yang adalah Pakoro manggolu, pakoro malimma.
4. Yesus
Sebagai Pakoro Manggolu, Pakoro Malimma
Yesus
sebagai Pelindung orang Sumba (Pakoro Manggolu, Pakoro Malimma). Hal ini
dapat dirujuk dalam teks Yohanes 10:1-21 mengenai Gembala Yang
Baik. Menurut para ahli, Injil Yohanes ditulis sekitar tahun 100 M di kota
Efesus oleh Yohanes sang penatua[16]. Injil ini berbeda dengan Injil Matius, Markus
dan Lukas sebab injil ini ditulis dalam konteks Yunani-Gnostik[17]. Pada
waktu injil ini ditulis ada dua pokok permasalahan yang muncul dalam situasi
kehidupan gereja Kristen mula-mula. Masalah yang pertama adalah kehidupan
jemaat Kristen pada saat itu tidak lagi berasal dari kalangan Yahudi namun ada
juga dari kalangan Helenis. Oleh karena itu perlu adanya penjelasan tentang
kekristenan dalam situasi dan ukuran yang berubah itu yaitu dalam situasi dan
ukuran Helenis. Masalah yang kedua adalah adanya ajaran gnostik yang menolak
eksistensi Yesus sebagai manusia dan sebagai Allah[18].
Oleh karena itu injil Yohanes ditulis untuk menjawab kedua permasalah tersebut.
Salah
satu ajaran Yohanes untuk menyatakan keilahian Yesus adalah penggunaan kata
“Aku adalah”. Kata ini digunakan dalam Perjanjian Lama sebagai penggambaran
Allah. Kata YHWH mungkin sekali berkaitan dengan kata Ibrani hayah yang
berarti adalah dan dengan demikian dapat berarti “Aku adalah Dia yang tetap
ada” atau “Akulah yang akan tetap ada”[19]. Yesus
memakai ungkapan “Aku adalah” untuk menghubungkan diri-Nya dengan hakikat Allah
dan untuk menggambarkan apa yang telah Allah berikan kepada-Nya agar Ia lakukan
bagi manusia. Dalam Injil Yohanes terdapat
tujuh kali penggunaan kata “Aku adalah” yaitu roti, terang, pintu, gembala dan
anggur.
Dalam
teks Yohanes 10:1-21[20],
Yesus mengungkapkan diri-Nya sebagai pintu dan gembala yang baik. Gambaran
sebagai pintu dan gembala yang baik ini berlatar belakang kehidupan di Yudea
pada masa Yesus. Kandang domba pada zaman itu biasanya merupakan sebidang tanah
yang tertutup di sekelilingnya untuk menjaga domba agar tetap aman. Sang
gembala menjadi penjaga pintu menuju ke dalam kandang itu dan ia juga yang
menentukan siapa yang boleh masuk ke dalamnya. Pintu berfungsi untuk melindungi
dan menjaga kawanan domba agar mereka tidak keluar dari kandang dan menjaga
agar tidak ada binatang buas atau pencuri yang masuk ke dalam kandang.
Pekerjaan
sebagai gembala di Palestina menuntut banyak pengorbanan bahkan sampai
mengorbankan nyawanya untuk keselamatan para dombanya. Hubungan gembala dan
dombanya sangat erat sehingga domba-domba akan mengenal suara sang gembala.
Gembala di Palestina menghabiskan sebagian besar waktu mereka di alam bebas,
mengawasi kawanan ternak dan seringkali harus tidur dekat kawanan ternaknya
untuk melindungi mereka dari perampok dan serangan hewan buas. Kehidupan para
gembala ini juga berpindah-pindah untuk mencari rumput yang baik bagi kawanan
domba mereka sehingga seringkali mereka tidak pulang ke desa dan menginap di
kandang-kandang yang ada di atas bukit[21].
Kandang-kandang itu terbuka dan dikelilingi tembok yang terdapat satu lubang
sebagai tempat keluar masuknya domba. Lubang itu tidak memiliki pintu sehingga
pada waktu malam sang gembala membaringkan diri sebagai di dalam lubang untuk
mencegah kawanan dombanya keluar dari kandang. Dengan demikian sang gembala
sangat berperan penting untuk menjaga keselamatan kawanan dombanya. Gembala itu
secara mutlak bertanggung jawab kepada domba-dombanya. Seorang gembala yang
baik menganggap domba-dombanya sebagai sahabatnya dan selalu mendahulukan
kepentingan dimba-dombanya. Ketika Yesus mengatakan bahwa Ia adalah gembala
yang baik hendak menggambarkan bahwa Ia adalah pelindung dan penjaga bagi
umat-Nya. Namun ada juga gembala yang tidak setia. Ia bekerja bukan karena
panggilan namun menjadikan pekerjaan gembala sebagai mata pencaharian sehingga
ia hanya memikirkan upah yang ia peroleh bukan domba-dombanya. Yesus adalah
gembala yang baik sehingga Ia rela mempertaruhkan nyawa-Nya untuk
domba-domba-Nya demi keselamatan domba-domba-Nya.
Selain
untuk menentang ajaran gnostik, ungkapan Yesus sebagai gembala juga
mengungkapkan aspek universalisme. Suatu bangsa seringkali bersifat eksklusif
dan menganggap mereka yang paling baik dari suku bangsa lain sehingga sangat
sulit bagi mereka untuk mengakui bahwa hak-hak istimewa yang mereka miliki juga
terbuka bagi orang lain. Hal ini juga yang terjadi dalam bangsa Yahudi. Namun kata-kata
Yesus dalam Yoh 20:16 menunjukkan bahwa dalam Yesus semua orang akan
dipersatukan. Dengan demikian peran Yesus sebagai gembala yang baik bukan hanya
untuk orang Yahudi saja namun juga untuk bangsa-bangsa lain.
Kerygma:
1. Ungkapan
Yesus sebagai pintu kepada domba-domba menunjukkan Yesus sebagai pelindung bagi
umat-Nya.
2. Ungkapan
Yesus sebagai gembala yang baik menggambarkan peran Yesus sebagai pelindung dan
penjaga bagi umat-Nya bahkan Ia rela memberikan nyawa-Nya demi keselamatan umat-Nya.
Ungkapan ini juga mengandung aspek universalisme bahwa di dalam Yesus semua
bangsa akan dipersatukan. Yesus adalah juga gembala bagi bangsa lain bukan
hanya untuk bangsa Yahudi saja.
5.
Dialog
Teks Kitab Suci &
Konteks Budaya Sumba Barat Daya
Bertolak dari rangkuman teks dan
konteks di atas, maka dialog antara keduanya dapat dibangun dengan menggunakan
tipologi Nieburh yaitu Kristus dan budaya ada dalam hubungan paradoks. Kami memilih tipologi ini karena di dalamnya ada hubungan
dialog antara kekristenan dan kebudayaan sehingga dalam mengembangkan teologi
kita tidak hanya melihat pada satu sisi saja.
Dalam budaya Sumba, khususnya
masyarakat Sumba yang ada di perantauan menganggap Yesus sebagai Pakoro
manggolu, pakoro malimma. Ungkapan ini menunjukkan pemahaman bahwa mereka
mempercayai bahwa Yesus adalah pelindung bagi mereka. Pelindung bagi mereka
bukan hanya ketika berada di Sumba namun juga ketika mereka berada di rantauan.
Dalam teks Yohanes 10:1-21 tergambar jelas peran Yesus sebagai pelindung dan
penjaga bagi umat-Nya. Dalam konteks budaya Sumba peran ini telah diakui dengan
ungkapan Pakoro manggolu, pakoro malimma, namun ungkapan Yesus sebagai pintu dan gembala yang
baik tidak hanya sekedar memagari atau memagari dalam kandang atau berada dalam
rangkulan tangan. Ungkapan Yesus sebagai pintu dan gembala yang baik juga
mengungkapkan suatu peran Yesus yang rela memberikan nyawa-Nya bagi umat-Nya.
Selain itu teks Yohanes 10:1-21 juga mengandung aspek universalisme. Karena itu
teks budaya Sumba juga dapat diperkaya bahwa dalam Yesus juga ada keselamatan
bagi orang lain di luar orang Sumba.
Budaya Sumba yang masih
menampakkan kekerasan seperti dalam dalam perang antar Wanno
Kalada (Kampung Besar) seharusnya
tidak dipakai lagi. Karena ungkapan Yesus sebagai pintu dan gembala tidak
mengajarkan kekerasan. Justru dalam kedua ungkapan itu terdapat aspek
pengorbanan diri sehingga orang Sumba dapat belajar untuk menciptakan
perdamaian dengan mengurangi kekerasan. Dalam teks budaya Sumba tentang Pakoro
manggolu, pakoro malimma sebenarnya dapat memberikan sumbangan juga
tentang peran Yesus. Teks budaya ini mengatakan bahwa Yesus memagari mereka
berarti Yesus tidak hanya pintu namun Yesus juga merupakan pagar bagi mereka.
Juga teks budaya ini menyampaikan bahwa mereka berada dalam rangkulan tangan
Tuhan yang berarti menunjukkan hubungan yang akrab seperti hubungan
kekeluargaan dan persahabatan. Jika gembala dan domba berada dalam hubungan
persahabatan maka ungkapan Pakoro manggolu, pakoro malimma memberikan
sumbangan bahwa Yesus dan manusia juga berada dalam hubungan kekeluargaan.
Oleh karena itu teks injil dan
teks budaya ini dapat memberikan sumbangan bagi kehidupan masyarakat Sumba yang
berada di Kota Yogyakarta bahwa Yesus adalah pelindung dan penjaga
mereka bahkan memberikan keselamatan kepada mereka melalui pengorbanan-Nya di
kayu salib. Hubungan mereka dengan Yesus bukan hanya berada dalam hubungan
persahabatan namun juga berada dalam hubungan kekeluargaan. Dalam Yesus juga
ada keselamatan bagi orang lain sehingga orang Sumba di Yogyakarta perlu menghargai orang lain dan hidup bersama mereka
dalam kerukunan.
6. Tindakan
Nyata Sebagai Bentuk Pelaksanaan Kritologi Kontekstual.
Dalam konteks orang Katolik Sumba yang ada di Yogyakarta, aksi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Menyediakan suatu liturgi kontekstual bagi orang Katolik asal Sumba. Hal ini membuat kehadiran mereka di
terima, dan mempertajam kembali refleksi mereka akan Yesus dalam konteks budaya
setempat. Di samping itu dengan
adanya liturgi kontekstual dari berbagai suku yang mengajarkan mereka untuk
belajar mengenai siapa Yesus dalam berbagai budaya sehingga tidak membuat
mereka eksklusif.
b. Gereja menjadi fasilitator untuk mempertajam refleksi
teologis orang Sumba tentang Yesus yang mereka imani dalam konteks kebudayaan
mereka. Tak dapat dipungkiri, status mereka sebagai orang rantauan di kota Yogyakarta memiliki potensi lunturnya nilai-nilai kebudayaan
Sumba yang menjadi identitas mereka. Oleh karena itu, gereja secara berkala
perlu memberi perhatian misalnya dalam bentuk diskusi bersama
ataupun pemahaman Alkitab yang dapat mempertajam refleksi teologis mereka
secara kontekstual disamping itu menanamkan sikap keterbukaan mereka dengan
budaya lain sambil memelihara identitas mereka.
c. Bersikap kritis terhadap kebudayaan, sejauh hal
tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Iman dan Kitab Suci.
Daftar Pustaka
Barclay, W.,
1996 Pemahaman
Alkitab Sehari-hari Injil Yohanes pasal 1-7, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Hagelberg, D.,
2006 Tafsiran
Injil Yohanes (Pasal 10-21), Yayasan ANDI
(Anggota IKAPI), Yogyakarta.
Jean – Yves
Lacoste (Ed),
2005 Encyclopedia of Christian Theology, Volume 1
A-F, Penerbit Routledge, NY, USA.
Kali Batu, S.,
1985 Upacara
Traditional Daerah Nusa Tenggara Timur, Depdikbud Jakarta.
Kapita, Oe. H.,
2008 Sejarah
Pergumulan Injil Di Sumba, Waingapu: Sinode Gereja Kristen Sumba.
Kapita, Oe. H.,
1982 Kamus Sumba/Kambera Indonesia, Percetakan
Arnoldus, Ende.
Luckas, Y.,
[....] Sejarah Gereja Katolik Sumba dan Sumbawa, Nusa Indah, Ende-Flores.
Lembaga Alkitab
Indonesia,
2011 Alkitab Edisi Studi, Lembaga
Alkitab Indonesia, Jakarta.
Mali, M.,
2010 “Sumba: Tanah Marapu,” dalam
Spiritualitas Dialog Narasi Teologis
Tentang Kearifan Religius, Eddy Kristiyanto (ed), Kanisius, Yogyakarta.
Retnowinarti & -
Poerba, J.E.P.,
1994 Agama-agama
dan Tantangan Kebudayaan, Kumpulan Karangan Seminar Agama-agama XIV/1994, Jakarta;
Badan Penelitian dan Pengembangan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia.
Syukur Dister, N.,
1987 Kristologi, sebuah sketsa, Kanisisus, Yogyakarta.
Welem, F. D.,
2004 Injil
dan Marapu, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Wismoadi
Wahono, S.,
2000 Di Sini Ku Temukan, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Walker, D.F.,
2009 Konkordansi
Alkitab, BPK. Gunung Mulia, Jakarta.
Yewangoe, A. A.,
1980 “Korban Dalam Agama Marapu, ” dalam Peninjau, Tahun VII, Nomor 4.
Sumber
Wawancara:
Yohanes Umbu Lele, ( 60 tahun, Dosen UNY-umat Paroki
Baciro
- Yogyakarta,), diwawancarai pada tanggal 20 Februari 2016.
Magdalena Bulu, (56 tahun, Pegawai Negeri Sipil-Umat paroki Kematiran - Yogyakarta), diwawancarai pada tanggal 23 Februari 2016.
[1] Dr. Niko
Syukur Dister, OFM, Kristologi, sebuah
sketsa, Kanisisus, Yogyakarta 1987,
21.
[2] Jean –
Yves Lacoste (Editor), Encyclopedia of Christian Theology, penerbit Routledge,
NY, USA, Volume 1 A-F, 2005, 285.
[3] Dalam buku: The Many Faces of Jesus Christ,
Intercultural Christology, aslinya ditulis dalam bahasa Jerman Vielen Gesichter Jesu Christi : Christologie Interkulturell (1999) dan diterjemahkan oleh
John Bowden, diterbitkan pada Maret 2001.
[4] Oe.
H. Kapita, Sejarah Pergumulan Injil Di Sumba, Waingapu: Sinode
Gereja Kristen Sumba, 2008, 13.
[5]
Yohanes Umbu Lele, ( 60
tahun, Dosen UNY-umat Paroki Baciro), Wawancara,Yogyakarta, 20 Februari 2016.
[6]
Tidak ada defenisi yang pasti tentang Marapu. L. Onvlee seperti yang dikutip
oleh Mateus Mali menyebutnyan sebagai “Yang Disembah dan Dihormati” karena
baginya Marapu berasal dari arti kata
“Ma” (Yang) dan “rapu”(dihormati atau disembah). Marapu adalah sembahan
orang Sumba. Penyembahan itu ditujuhkan kepada roh, arwah orang mati, atau
“Allah” (Dewa Tertinggi). Semua yang disembah disebut Marapu (Mateus Mali,
“Sumba: Tanah Marapu,” dalam Spiritualitas Dialog Narasi Teologis Tentang
Kearifan Religius, Eddy Kristiyanto (ed), Kanisius, Yogyakarta 2010, 74).
Dalam kamus Sumba/Kambera Indonesia yang disusun oleh Oe. H. Kapita, kata
“Marapu” diartikan sebagai dewa, ilah, yang dipuja, yang dipertuan, cakal
bakal, nenek moyang, leluhur mendiang, karamat (dalam bahasa sabu: ama ápu,
Manggarai: rapu; Do’o Donggo: parafu). (Oe. H. Kapita, Kamus Sumba/Kambera Indonesia, Percetakan Arnoldus, Ende 1982,
154). Sementara itu, A.A. Yewangoe mengartikan Marapu sebagai “Yang
Tersembunyi” kalau kata ini diambil dari kata “ma”(yang) dan
“rappu”(tersembunyi) atau sesuatu yang tidak dapat atau tidak boleh dilihat.
Namun Marapu juga berarti “Serupa Nenek Moyang” bila kata Marapu diambil dari
rangkaian kata “mera” (serupa) dan “appu” (nenek moyang)( A.A. Yewangoe,
“Korban Dalam Agama Marapu”, dalam Peninjau,
Tahun VII, Nomor 4, 1980)
[7]
Yohanes Umbu Lele, ( 60
tahun, Dosen UNY-umat Paroki Baciro), Wawancara,Yogyakarta, 20 Februari 2016.
[8]
Magdalena Bulu, ( 56
tahun, Pegawai Negeri Sipil-Umat paroki Kematiran), Wawancara,
Kemetiran-Yogyakarta, 23 Februari 2016.
[9]
Magdalena Bulu, ( 56
tahun, Pegawai Negeri Sipil-Umat paroki Kematiran), Wawancara,
Kemetiran-Yogyakarta, 23 Februari 2016.
[10] F. D.Welem, Injil
dan Marapu, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2004,
42-43.
[11]
Yosep Luckas, Sejarah Gereja Katolik Sumba dan Sumbawa, Nusa
Indah, Ende-Flores, 7-49.
[12] F. D.Welem, Injil dan
Marapu, 45.
[13] Samuel Kali Batu, Upacara Traditional Daerah Nusa Tenggara
Timur, Depdikbud Jakarta 1985, 75-76.
[14] F. D.Welem, Injil
dan Marapu, 56.
[15] Retnowinarti. J.E.P.Poerba, Agama-agama
dan Tantangan Kebudayaan, kumpulan karangan seminar agama-agama XIV/1994, Jakarta;
Badan Penelitian dan Pengembangan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, 1994,
70.
[16] S. Wismoadi Wahono, Di
Sini Ku Temukan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, 445
[17] S. Wismoadi Wahono, Di
Sini Ku Temukan, 445.
[18] Wiliam Barclay, Pemahaman
Alkitab Sehari-hari Injil Yohanes pasal 1-7, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996, 11-24.
[19] Lembaga
Alkitab Indonesia, Alkitab Edisi Studi, Lembaga Alkitab
Indonesia, Jakarta 2011, 1758.
[20]Dave Hagelberg, Tafsiran
Injil
Yohanes (Pasal 10-21), Yayasan ANDI
(Anggota IKAPI), Yogyakarta 2006, 87.
[21] D.F. Walker, Konkordansi
Alkitab, BPK. Gunung Mulia, Jakarta 2009, 195.
Komentar
Posting Komentar