LAPORAN BUKU: KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP TINJAUAN DARI PERSPEKTIF PASTORAL SOSIAL


Diterbitkan oleh: Sekretaris Komisi PSE/APP bekerjasama dengan LDD – KAJ
dan Komisi PSE – KWI. Jumlah halaman: 212

Buku ini hendak memberikan tambahan inspirasi mengenai problematika lingkungan hidup secara lebih integral. Telaah atas masalah ini datang dari berbagai sudut pandang, seperti: biblis, teologis, etis, liturgis dsb. Juga ada pendekatan yang lebih pragmatis.

PENDAHULUAN
                 SELAMATKAN LINGKUNGAN – SELAMATAKAN BUMI KITA
Bila berbicara tentang lingkungan hidup, seringkali kita hanya berpikir tentang hal-hal yang berhubungan langsung dengan hidup kita. Padahal manusia dan lingkungan berada di atas bumi satu, dan manusia tergantung hidupnya dari lingkungan sekitarnya. Bahkan di dalam rumah manusia itu sendiri terjadi pemisahan antara “aku” dan “orang lain”, seakan masing-masing hidup di daerahnya sendiri, tanpa peduli bahwa “kita” semua hidup di atas bumi yang satu dan sama.
Ekologi menjadi pembicaraan yang serius belakangan ini, seakan dahulu belum dikenal. Padahal nenek moyang kita sudah mengenalnya, pengalaman mereka tentangnya seringkali dituangkan dalam berbagai bentuk ungkapan, seperti pantun  dengan nama buah, bunga, dll.  Nenek moyang kita juga menggunakan kuasa mereka untuk mengolah dan memanfaatkan bumi ini dengan teratur dan penuh perhitungan. Mereka primitif, namun sangat arif dan bijaksana.
Jika bumi ini rusak, ini tidak lepas dari pandangan generasi dan kebudayaan muda yang beranggapan manusia bukan bagian integral dari bumi. Kebudayaan muda melihat diri mereka sebagai dominator.  Ini semakin dikukuhkan oleh ilmu modern yang tidak digunakan dengan arif dan bijaksana malahan mengancam kelangsungan hidup manusia. Akibatnya timbul berbagai akibat daripadanya, seperti el nino, pemansan global, polusi dll.
Kenyataan ini memperlihatkan bahwa lingkungan hidup tidak bisa lagi dianggap remeh karena menyangkut keberadaan manusia sendiri. Masalah ini terkait dengan beberapa aspek kehidupan manusia, seperti: martabat manusia, etika dan moral, teologi dan filsafat, Akitab (biblis), liturgi, pendidikan, ekonomi, korporasi & neoliberalisme, pertanian, air, tanah, sungai dan laut, pertambangan & energi dan perubahan iklim, kesehatan dan agama.
Dengan kompleksnya persoalan ini, maka yang bisa memperbaiki atau sebaliknya lebih menjerumuskan lingkungan ke arah pemusnahannya adalah manusia sendiri. Maka transformasi pola pikir, sikap dan perilaku manusia merupakan tuntutan bagi perbaikan lingkungan. Beberapa hal yang bisa menjadi strategi ekologi adalah: pendidikan kesadaran akan lingkungan hidup, tanggung jawab setiap manusia dan kelompok, legislasi dan gerakan nasional dan internasional dan terakhir, keadaan ini hanya berubah jika ada perubahan dan yang berawal dari peribadi.
PEDULIKAH SAYA DENGAN LINGKUNGAN HIDUP KITA?
(Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ)
Bagian ini merupakan Surat Gembala 2008 yang dibacakan sebagai pengganti kotbah Minggu 2/3 Februari 2008 untuk umat Keuskupan Agung Jakarta. Dalam tulisan ini, kita (umat beriman) ditantang untuk bertanya pada diri sendiri: Pedulikah Saya dengan Lingkungan Kita?”. Yang dimaksud dengan lingkungan di sini ada dua bagian: “lingkungan pergaulan” dan “ruang tempat kita hidup”.
Keluarga sebagai lingkungan hidup merupakan cermin sikap dan perilaku kita terhadap anggota keluarga sendiri, maupun terhadap pegawai atau pembantu rumah tangga. Kecuali itu juga cermin dari sikap dan perilaku kita terhadap rumah dan pekarangan dengan segala isinya yang ditata dan dikelola agar menjadi tempat hidup bersama yang nyaman.
Pertanyaannya kemudian adalah, pedulikah kita dengan anggota keluarga?  Apakah kita lebih suka dilayani atau melayani? Bagaimana perilaku kita terhadap pembantu rumah tangga? Dan bagaiman sikap dan perilaku kita tercermin dalam keterlibatan kita untuk menjaga seluruh suasana kenyamanan hidup, termasuk usaha “bersih bebas sampah” di rumah dan lingkungan masyarakat?
Surat gembala ini diakhiri dengan seruan dan ajakan untuk berubah dan memperbarui sikap dan perilaku kita baik terhadap anggota keluarga dan mereka yang bekerja untuk kita maupun dalam menata dan mengolah lingkungan hidup kita, sehingga yang tercermin adalah sikap dan perilaku kasih, penuh perhatian, solidaritas dan kepedulian satu terhadap yang lain, yang akhirnya juga terungkap dalam menata dan mengolah lingkunga hidup kita.
PEDULI EKOLOGI (BELAJAR DARI KEJ 1: 28)
Surip Stanislaus OFMcap.
Pada bagian ini Rm. Surip mengawali tulisannya dengan menjelaskan bahwa kerusakan alam dan lingkuangan merupakan akibat dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang lahir pada abad XVII. Iptek tidak saja menyebabkan kemajuan peradaban dan kenyamanan hidup manusia, tetapi juga menjadi penyebab terjadinya krisis lingkungan. Tempat tinggal kita yang berada dalam masalah merupakan dampak negatif dari iptek.
Lynn White yang diacuh oleh Rm. Surip menunjuk biang kerakusan manusia disebabkan oleh iman Kepercayaan Kristiani. Dalam pandangan White, Allah merencanakan segala sesuatu demi kepentingan manusia. Pendapat ini kemudian dikembangkan oleh Arnold Toynobee yang mengatakan bahwa Kej 1: 28 mengisinkan Adam dan Hawa berbuat semaunya atas bumi.
Di lain pihak, John Passamore menganalisi krisis ekologi dari sisi filosofis. Namun dia tetap melihat Kej 1:28 sebagai satu dari berbagai pemicu hasrat manusia menguras habis kekayaan alam. Paham-paham tersebut tidak saja mendorong manusia mengolah alam bahkan tidak segan mengeksploitasinya.
            Hal inilah yang mendorong Rm. Surip mencoba melihat kembali tafsir Kej 1:28. Yang pertama, manusia merupakan ciptaan Allah dari ketiadaan, bukan dari gambar yang sudah ada. Manusia dicipta menurut gambar (Ibrani: Zelem) dan rupa (Ibrani: Demut) Allah. Kata Demut sendiri berarti perwujudan apa yang tampak, sehingga manusia merupakan perwujudan atau penampakan dari Allah yang tidak tampak. Jadi manusia, dicipta menurut gambar dan rupa Allah berarti manusia merupakan perwujudan dari Penciptanya. Sebagai gambar dari rupa Allah, kuasa manusia harus mengejawantakan kuasa Allah.
Yang kedua, Kej 1:28 melukiskan berkat Allah kepada manusia. Berkat itu terungkap dalam kata kerja menaklukkan (Ibrani: Kabbasy) yang secara etimologis berarti “menjejak-jejak” dan berkuasa (Ibrani: Raddah) yang secara etimologis berarti “menginjak-injak”. Dalam konteks sebagai berkat, Kabbbasy berarti “mengusahakan dan memilihara” serta kata Raddah berarti “mengurus dengan baik”. Dengan kata kerja Kabbasy dan Raddah dalam konteks berkat (kej 1:28a) memungkinkan melihat peran manusia sebagai pengurus yang bertanggungjawab atas segala ciptaan.
Krisis ekologi juga tidak lepas dari tafsir manusia atas Kej 1:28 yang terlalu antroposentris, dengan ini manusia menjadi lupa perannya yang sejati. Karena itu, tafsiran yang lebih teosentris menjadi alternatif menyikapi krisis ekologi akibat. Tafsir teosentris berkosentrasi pada Sabat (Kej 2:1-3) yang mengakhiri kisa penciptaan pada Kej 1:1-2:4a. Dengan demikian mahkota penciptaan adalah Sabat bukan manusia. Manusia sendiri adalah ciptaan. Sabat yang berarti “berhenti” yang merupakan mahkota ciptaan dapat menjadi acuan untuk mengerem aktivitas manusia yang tanpa batas.
Selain itu, Kej 6-9 dapat menjadi satu alternatif lain untuk menyikapi krisis ekologis. Bencana air bah yang menghancurkan bumi dilukiskan sebagai akibat manusia menempatkan diri sebagai bagian ciptaan lainnya. Meski demikian, figur Nuh menyingkap secara simbolis upaya memelihara lingkungan hidup. Bahtera Nuh ibarat rumah tempat pemeliharan dan perlindungan segala makhluk yang hidupnya terancam punah (Kej 6:18-21). Perlindungan dan pemeliharaan atas segala makhluk itu nyata dalam jaminan Allah di akhir kisah: “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia..” (Kej 8:21-22).  Jaminan ini diperteguh dengan janji Allah yang tidak akan menghancurkan lagi bumi dan segala isinya (Kej 9:8-17).
Dengan ini, jelas bahwa Kej 1:28 tidak memberi izin bagi manusia untuk mengeksploitasi alam tanpa batas, bahkan sabaliknya harus peduli terhadap kelestarian ekologis. Dengan demikian, tuduhan bahwa Kitab Suci orang Kristen adalah biang keladi krisis ekologis ditepis.

EKARISTI: PERAYAAN KEUTUHAN CIPTAAN
(E. Martasudjita, Pr)
Tulisan Rm. Marta ini diawali dengan fenomena bagaimana setiap akhir pekan banyak mayarakat perkotaan yang ber-weekend ke daerah puncak.  Dalam pandangan beliau, hal ini menggambarkan bahwa, orang butuh tempat dengan lingkungan dan udara yang sejuk untuk melepas penat dan mengembalikan energi. Fenomena ini juga memperlihatkan bahwa lingkungan dan alam kita tidak lagi sehat dan sejuk, ini bukan karena usia alam yang tua tetapi ulah manusia yang serakah.
Kebiasaan masyarakat yang berkhir pekan pada hari Sabtu dan Minggu merupakan sebuah praktek sosiologis di mana orang ingin beristirahat sejenak. Di sini pekan dihitung mulai dari hari Senin sebagai hari pertama dan Minggu sebagai akhir pekan. Dalam pandangan Rm. Marta, pemahaman seperti ini tidak sesuai dengan pemahaman Gereja mengenai hari Minggu. Dalam pandangan Gereja hari Minggu bukanlah akhir pekan, melainkan hari pertama dalam pekan.
Hari minggu berarti hari Tuhan. Disebut hari minggu karena pada hari ini Tuhan bangkit dari wafat-Nya. Pentingnya hari Minggu karena berhubungan dengan asal-usulnya  dan maknanya yang mengalir dari peristiwa wafat dan kebangkitan Yesus Kristus atau Misteri Paskah. Dengan marayakan hari Minggu sebagai hari Tuhan, kerinduan akan kesegaran dan kesejukan yang dicari  oleh orang-orang yang sibuk terjawab dan terpenuhi.
Dalam tulisan ini, Rm. Marta juga melihat hari Minggu sebagai perayaan di mana kita mengenangkan peristiwa wafat dan kebangkitn Tuhan yang menebus umat manusia dari dosa. Dengan peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya, Kristus memperbarui seluruh ciptaan, dari ciptaan yang dikuasai oleh dosa kepada ciptaan yang bertumpuh pada rahmat Allah sendiri.
Dosa manusia yang begitu serakah dan suka merusak alam lingkungan tentu saja bertentangan dengan panggilan dasar manusia. Setiap kali manusia merusak alam dan lingkungan sebenarnya merupakan tindakan dosa sebagaimana Adam dan Hawa yang melakukan dosa sehingga relasi mereka dengan Allah dan lingkungannya terputus. Namun Kristus Sang Adam baru telah mengembalikan relasi tersebut. Dalam Yesus Kristus, ciptaan diperbaharui sehingga setiap unsur kemanusiaan kita dan alam ciptaan dapat menjadi medan perjumpaan kita dengan Allah. Dia Sang Sabda mau menjadi manusia, yakni mengenakan seluruh dimensi kemanusiaan kita dengan seluruh alam lingkungannya sebagai medan pertemuan.
Selain itu, beliau juga melihat perayaan Ekaristi yang dirayakan setiap hari dan teutama hari Minggu sebagai perayaan keutuhan ciptaan. Pada Ekaristi, kita merayakan keutuhan ciptaan yang kita sadari mengalir dari misteri Paskah Tuhan. Dengan mengikuti perayaan Ekaristi, kita sebenarnya merayakan keutuhan ciptaan yang menjadi cita-cita gerakan peduli lingkungan masyarakat kita.  Ekaristi yang ekologis misalnya, nampak ketika imam menghunjukkan roti pada bagian persembahan, imam berdoa; “Terpujilah Engkau, ya Tuhan, Allah semesta alam.....” atau dalam Doa Syukur Agung I-X  juga terungkap pujian kepada Allah atas ciptaan-Nya yang baik dan terlebih atas karya penebusan-Nya melalui Kristus. Selain itu, tata liturgi Gereja sebenarnya juga tersusun atas berbagai simbol yang memuat unsur-unsur alam yang masih alami, misalnya saja: roti dan anggur untuk Misa Kudus.
Dengan demikian, jika Perayaan liturgi merayakan kehidupan kita sendiri, yaitu kehidupan bersama kita dengan Allah, sesama dan lingkungan kita, maka perutusan kita di akhir perayaan Ekaristi adalah mewartakan dan menghadirkan kebikan Tuhan: Ite missa est! Pergilah kalian diutus. Kesejukan dan kesegaran rohani dan hidup yang kita peroleh dalam perayaan Ekaristi tidak dimaksudkan untuk kepentingan pribadi, tetapi agar kita dikuatkan kembali untuk melanjutkan perutusan Tuhan di tengah dunia ini, yakni mengembalikan keutuhan ciptaan dalam konteks sehari-hari.


LINGKUNGAN HIDUPKU-KAJIAN ETIKA DAN MORAL
(Br. Antonius Dieng Karnedi, SJ)

Pertanyaannya adalah “ Pedulikah saya pada lingkungan hidup kita?” Lingkungan Hidup adalah “konteks di mana kita hidup dan bertempat tinggal. Apabila lingkungan hidup tersebut terganggu dan mengalami kerusakan, maka kehidupan dan tempat tinggal kitapun akan terusik (hal. 75).  Persoalan pokok adalah kerusakan Lingkungan hidup. Maka, kita harus memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk memelihara dan merawat LH.
a.       Mengapa kita harus peduli dengan LH? Beberapa contoh terjadinya kerusakan LH: eksploitasi alam dan penebangan hutan secara liar. Akibatnya adalah: bencana banjir, tanah longsor dan kelangkaan air bersih, membuat limbah industri dapat menyebabkan kematian ikan dan merusak habitatnya, penggunaan dinamit untuk menangkap ikan dapat merusak terumbu karang dan biota laut.  Hal ini disebabkan karena lemahnya kesadaran manusia terhadap LH. Ada  anggapan yang memandang bahwa pemanfaatan alam bagi manusia itu adalah hal yang “wajar”. Segala sesuatu dilihat sebagai hal yang wajar-wajar saja. Misalnya: membuang sampah sembarangan di manapun merupakan hal yang wajar. Maka, tugas untuk merawat dan memelihara LH, bumi serta segala isinya adalah tanggung jawab kita semua. LH dan bumi serta segala isinya adalah “milik” kita. ( hal. 76-78).
b.      Masalah Etika dan moral. Masalah Etika berkaitan dengan perbuatan manusia yang memperlakukan alam secara tidak bertanggung jawab. Maka, pendekatannya adalah pendekatan human centered (berpusat pada manusia/antroposentris) dan pendekatan life-centered (berpusat pada kehidupan/biosentris) (Hal. 79). Masalah moral berkaitan dengan prinsip-prinsip moral artinya sikap baik, hormat terhadap diri sendiri dan alam semesta.  Prinsip moral ini mengacu pada life-centered artinya binatang dan tumbuhan juga dimasukkan dalam golongan subyek moral ( hal. 81)
c.       Penutup
LH dan segala unsur di dalamnya memiliki daya pikat yang luar biasa. Ia menyajikan berbagai macam bentuk sumber kehidupan berupa: udara, makanan, kekayaan, tempat tinggal dll. Maka tidak heran manusia mempunyai kehendak yang kuat untuk menguasai dan memiliki sumber-sumber kehidupan itu. Pengrusakan dan eksploitasi alam secara besar-besaran menjadi suatu tujuan dengan alasan penghidupan manusia itu sendiri atau untuk menumpuk kekayaan. Maka, harapannya adalah tanamkan rasa tanggungjawab dan rasa kepemilikan-sense of belonging-yang tinggi. LH dan segala isinya adalah milik kita yang harus dijaga dan dipelihara.

MULIA NAMAMU TUHAN DISELURUH BUMI-KAJIAN ETIKA DAN MORAL
(Benny Phang, O. Carm)
Dasar Biblis: Mzm 8:2; Dan 3: 51-82)
Manusia, Sang Penguasa?
Dasar refleksinya adalah Kej 1:26. Kisah penciptaan manusia, berkuasa atas ikan-ikan dilaut dan burung-burung di udara…”pertanyaannya adalah: bukankah Allah sendiri yang memerintahkan kita manusia menjadi penguasa atas alam ciptaan? Selanjutnya, Kej 1:28: beranak cuculah dan bertambah banyaklah…” Kedua teks ini mau memandang manusia sebagai penguasa, diberi gelar tinggi dan menaklukkan alam. Manusia menjadi sombong dan angkuh “ akulah ciptaan yang tertinggi dan akulah sang penguasa dunia dan makluk yang lain” (hal. 92). Karena manusia jatuh dalam dosa maka terjadi penyimpangan yang cukup parah. Berkuasa mendapat arti baru yakni “menjajah”.
Manusia Penjaga
Dasarnya: Kej 1:28 dan Kej 2:15. Manusia ditugaskan oleh Allah untuk menjaga Taman, mengusahakan dan memelihara taman. Jadi kuasa yang diberikan Allah itu adalah untuk mengusahakan dan memelihara taman dengan segala isinya bukan untuk menjajahnya. Artinya manusia menjadi penjaga alam dan segala isinya. Manusia bukanlah tuan jahat yang merusak alam atau menghancurkannya. Jadi kuasa di sini “dibatasi” dalam arti untuk mengusahakan dan memelihara alam ciptaan ( hal. 95).
Manusia Pelayan Allah
Manusia meskipun martabatnya tinggi luhur, dia bukanlah sang Pencipta. Manusia adalah ciptaan. Antara ciptaan dan sang pencipta. Jika di runut dalam teks KS: manusia diberi kuasa dan diperintah oleh Allah (Kej 1:28), ia diambil dan ditempatkan di dalam taman ( Kej 2:15), ia dilarang makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat ( Kej 2:16). Teks-teks ini menempatkan manusia dalam posisi pasif. Artinya adalah kuasa yang ada pada manusia itu diberikan atas dasar kehendak bebas Allah, dan manusia diberi kuasa atas ciptaan untuk bertanggung pada Allah dan menjadi pelayan Allah, bukan untuk menjadi Allah.
Menghormati Alam Ciptaan
Alam semesta beserta isinya diciptakan Allah untuk manusia. Ia diminta untuk memuji Sang Pencipta melalui alam semesta ciptaan-Nya. Ia diminta bukan untuk menyembah ciptaan tetapi untuk menjaga dan memeliharanya, demi kepentingannya sendiri. Inilah sikap hormat terhadap alam ciptaan Allah. Belajar dari St. fransiskus dari Assisi dalam madah Sang Surya menyanyikan keagungan Allah dengan menyebut alam semesta sebagai saudara dan saudari. ( Hal. 101). St.

PEMBERDAYAAN LINGKUNGAN SEBAGAI UPAYA KESEJAHTERAAN
( Stephanus Bijanta, CM)
Pemberdayaan Lingkungan dapat dijalankan melalui proses managemen sebagai berikut:
a.       Penyadaran akan realitas Lingkungan Alam yang rusak dan perlu di perbaiki.
b.      Adanya peningkatan kemampuan dan keterampilan baik pribadi, kelompok dan organisasi melalui Lokakarya, seminar, pelatihan dan pembekalan.
c.       Pemberian daya. Setiap target/kelompok sasaran diberikan daya, kekuatan, kekuasaan, otoritas atau pelauang yang didasarkan pada kualitas kecakapan yang telah dimiliki.
Maka, tindakan untuk bertindak adalah:
1.      Pemberdayaan air tanah: air merupakan kebutuhan mendasar bagi hidup manusia. Maka, sebagai laku tobat setiap orang wajib hukumnya menanam pohon untuk peresapan air.
2.      Pemberdayaan Pekarangan: banyak pekarangan dibiarkan dan hanya diisi dengan dekorasi bunga, ketimbang jenis tanaman yang memenuhi kebutuhan sayuran.
3.      Pemberdayaan persawahan: tidak hanya memakai system monokultur (hanya padi) tetapi system multi kultur (tumpang sari) palawija. Misalnya: pematang sawah ditanami kacang panjang, buncis, gudai, orok-orok.
4.      Pemberdayaan hutan: hutan sudah menjadi kawasan yang gersang dan gundul karena membangun bangunan megah dan mewah. Dampaknya kurangnya oksigen. Maka, gerakan penanaman hutan kembali (reboisasi)perlu dilakukan.




BUMIKU SAKIT
(Maria Purwanto)
Ada Yang Tidak Beres
Layaknya tubuh manusia, apabila ada yang tidak beres dengan tubuhnya, maka akan muncul tanda-tanda demand an panas. Bumi telah teracuni, dicekoki oleh aneka limbah dan racun. Suhu udara yang panas telah dirasakan diberbagai kota bahkan dibelahan dunia manapun.
Hal-hal kecil yang dapat kita lakukan adalah:
a.       Hemat energy: penggunaan kendaraan yang hemat bahan bakarnya. Uji emisi sudah selayaknya dilakukan. Bila memungkinkan gunakan kendaraan umum, gunakan sepeda atau berjalan kaki untuk bepergian.
b.      Kurangi pemakaian AC dimanapun berada: buatlah sebanyak mungkin jendela yang dapat memungkinkan udara masuk sehingga sirkulasi udara dalam ruangan tidak terlalu panas.
c.       Kurangi penggunaan Listrik: siang hari, mengapa kita tidak menggunakan sumber daya alam matahari sebagai sumber pencahayaannya.
d.      Pengelolaan sampah dengan model 3 R+1 R ( Reduce, reuse, recycle+replant): apabila sampah tidak dikelola dengan baik, maka sampah dapat menghasilkan gas cH4 sebagai salah satu GRK yang memiliki kekuatan 21 kali lipat CO2. Oleh karena itu, kurangi sampah dengan gaya hidup tidak boros.
e.       Tanamilah halaman rumah, sekolah, tempat peribadatan maupun kantor tempat dimana kita beraktivitas dengan aneka pohon.
f.       Hemat air: mengingat suhu udara yang semakin menyengat, air dipermukaan semakin menyusut jumlahnya, baiklah kita menghemat air. ( Hal. 122-123).

PAROKI RAMAH LINGKUNGAN
(Al. Andang L. Binawan, SJ)

Tulisan ini tidak terlalu memaparkan perkara yang bersifat teoritis, tetapi bersifat praktis, dan menguraikan beberapa pandangan yang sehubungan dari kacamata iman, serta menawarkan beberapa program praktis yang bisa dilakukan di paroki demi terwujudnya paroki yang ramah lingkungan.

Habitus, Iman dan Harapan
Karena kepedulian adalah salah satu perwujudan cinta, yang menjadi bagian integral iman kristiani, kepedulian pada lingkungan hidup adalah perwujudan iman Kristiani. Karena kepedulian terhadap lingkungan hidup adalah juga menyangkut banyak orang dan untuk kepentingan umum dan menjadi sarana sederhanapenghayatan iman dan cinta.
Habitus, sampah dan Gereja
Selain karena ketiga keutamaan teologi, Iman, Cinta, dan Harapan, gerakan pembentukan habitus juga cocok dengan kesadaran Gereja akan dirinya. Gereja wajib berperan serta membentuk habitus terutama dengan penyadaran.
Habitus, Manusia dan Masyarakat
Habitus adalah kebiasaan masing-masing orang dalam hidup bermasyarakat. Karena itu habitus bukanlah kebiasaan masing-masing orang demi tujuan pribadinya. Habitus dibentuk dan dilakukan untuk demi kepentingan bersama.

TANAM HIAS DAN PEMBERIAN UMAT BASIS
(ML Supama)
Salah satu pembicaraan yang sedang dibicarakan di Keuskupan Agung Jakarta adalah lingkungan bertumbuh menjadi komunitas basis yang kuat. Salah satu sisi yang perlu diperdayakan adalah bidang ekonomi agar umat dan masyarakat mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya.
Apa Hubungannya Dengan Pemberdayaan Umat Basis ?
Keuskupan Agung Jakarta, memberdayakan umat basis difokuskan pada lingkungan. Pemberdayaan itu meliputi upaya untuk meningkatkan mutu iman umat, mutu persekutuan, dan mutu pelayanan. Hal tersebut akan mempunyai dampak pada bentuk pemberdayaan umat basis di lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui tanaman hias, dan tanaman lainnya seperti dapur hidup. program semacam ini akan membantu ekonomi rumah tangga tanpa harus pergi membelinya ke pasar tetapi sudah tersedia sendiri. Selain itu ada pemasukan juga karena orang pasti akan datang untuk membeli dirumah tersebut yang mempunyai tanaman dapur hidup.



CINTAKU PADA SECARIK KERTAS
(F.V. Bernardi Widjaja)
St. Bonaventura mengikuti pengalaman St. Fransiskus mengembangkan suatu teologi yang disebut Sakramentalitas Ciptaan, yakni jejak-jejak Kristus dalam dunia ciptaan. Dunia dihuni oleh yang kudus. Semua makhluk ciptaan adalah suatu tanda dan pewahyuan Pencipta yang meninggalkan jejakNya di mana-mana (epifania). Merusak dengan sengaja ciptaan Tuhan berarti merusak gambar Kristus yang hadir dalam segenap Ciptaan. Kristus menderita tidak saja ketika manusia mengabaikan hak-haknya dan dieksploitasi tetapi juga ketika laut, sungai, dan hutan dirusakkan. Ketika ciptaan diakui sebagai sakramen, yang menyatakan membawa kita pada Allah, maka relasi kita dengan orang lain juga di tantang untuk beralih dari dominasi dan kuasa ke rasa hormat dan takzim.

VALUES”
(St. Hendro Budiyanto, S.pd.)
Pendekatan Living Values dimaksudkan sebagai pijakan dan fondasi untuk melawan dan memerangi keadaan lingkungan yang semakin hari semakin kurang aman, kurang bernialai, kurang berharga, kurang saling memahami, dan kurang saling mencintai.
Program Kegiatan Penyadaran “Living Values” Untuk Sekolah
1.      Perkenalan berbasis nilai, tujuan: memberi pengalaman kepada anak-anak apa itu nilai melalui sebuah pengalaman.
2.      Berbagai contoh pengalaman nilai dan mengalami nilai kehidupan, tujuannya: memberi pengalaman kepada anak-anak bagaimana memaknai hidup.
3.      Berbagai contoh potret masyarakat dewasa ini, tujuannya: mengajak anak-anak untuk melihat, memahami permasalahan-permasalahan dalam masyarakat dewasa ini, dan mengajak anak-anak untuk melihat dan menyadari penyebab dari permasalahan-permasalahan dalam masyarakat dewasa ini.
4.      Lima kebutuhan dasar manusia, tujuan: mengajak anak-anak untuk mengetahui lima kebutuhan dasar manusia, yakni perasaan aman, perasaan bernilai, perasaan dihargai, perasaan dipahami, perasaan dicintai.


BURUH DAN LINGKUNGAN KERJA
( L. Gathot Widyanata)
Ada tiga poros kekuatan dalam membangun industrialisasi yakni pengusaha, buruh dan negara. Ketiga kekuatan tersebut berpengaruh pada soal tanggungjawab atas akibat industri terhadap lingkungan hidup dan resiko kesehatan buruh.
1.      Tanggungjawab perusahan: pengusaha dan serikat buruh hendakanya turut serta menciptakan kebijakan perusahan dan industri yang lebih luas dengan memperhatikan manajemen lingkungan kerja.
2.      Tanggungjawab buruh: para buruh dituntut untuk mengetahui dan memahami informasi yang cukup tentang proses kerja dan dampaknya terhadap kesehatan dirinya.
3.      Tanggungjawab negara: Negara adalah pihak yang bertanggungjawab atas perlindungan tenaga kerja. Melalui pengawasan, negara harus mengontrol ketat agar kewajiban perusahan memberikan perlindungan terhadap pekerjanya dijalankan. Pasal 35 UU No. 13 tahun 2003 tentang kewajiban pemberi kerja untuk memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik dijamin pelaksanaannya.

PENUTUP

Bicara tentang alam semesta kita harus belajar dari kamu Indian asli yang mencoba menempatkan manusia dalam keterarutan ciptaan. Bagi mereka, pertama: “Kita adalah bagian dari dunia” : kita diciptakan dalam daging yang sama seperti binatang lain. Kita makan tetumbuhan yang sama. Kita berbagi udara, air, tanah dan makanan dengan setiap bentuk kehidupan yang lain di planet ini. Kita dilahirkan dengan cara yang sama seperti mamalia yang lain, dan kalau kita mati, sama seperti mereka, kita akan menjadi bagian dari tanah yang akan menumbuhkan generasi-generasi yang akan datang. Kedua: “adalah kodrat kita untuk bekerja sama dengan ciptaan yang lain: setiap bentuk kehidupan mempunyai tujuan khusus dalam ekosistem yang luas, dan semuanya patut dihormati. Setiap binatang dan tumbuhan mempunyai inteligensi dan jiwa sendiri yang unik. Kita boleh bersaing dengan tetumbuhan dan binatang yang lain, namun kita tak boleh semena-mena menghancurkan mereka. Setiap kehidupan adalah suci secara absolut sama seperti hidup manusia. Meski perburuan dan pembunuhan adalah bagian dari hukum alam, ketika melakukannya harus dilaksanakan dengan hormat dan terimakasih.

Komentar

  1. Saya sangat terinsipirasi dengan membaca isi dari buku ini. God bless..

    BalasHapus
  2. Semoga blog selanjutnya dapat bermanfaat dan diminati banyak orang. Semangat😊

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer