EKOLOGI DAN ETIKA (Pemikiran Bernard Haring dalam Buku Free and Faithful in Christ)



I.         SEJARAH DAN SITUASI BARU
Manusia adalah makhluk sejarah. Tindakan  satu budaya (pada masa lalu) berdampak bagi lingkungan[1]. Namun, apa yang terjadi pada masa lalu umumnya hanya berpengaruh pada satu wilayah yang relatif kecil. Hari ini, dengan cara merusak sistem ekologi global manusia menjadi pembuat padang gurun. Bahwa seluruh wilayah yang sebelumnya sangat subur kini sudah menjadi padang gurun, hal ini tidak lepas dari kesalahan manusia.
Krisis ekologi yang terjadi ssat ini tidak lepas dari perkembangan perkembangan ilmu pengtehuan dan kemajuan teknologi. IPTEK membuat manusia menjadi manipulator alam[2] yang ulung. Sejatinya, tidak ada yang keliru dengan membentuk benda-benda alam semesta sejauh untuk kebutuhan manusia. Namun yang keliru adalah manusia menjadi rakus sehingga menyebabkan alam, harta warisan bagi umat manusia menjadi rusak.
Kerugian dan kerusakan yang menimpa lingkungan hidup saat ini tidak bisa lagi diukur dan dihitung. Kerusakan alam tidak hanya hanya berpengaruh pada individu semata tetapi juga seluruh manusia. Penggunaan DDT yang meluas, ribuan ton debu dan tima, mercuri, dan kadmium, tidak hanya menimbulkan ketakutan dan kecemasan akan bertambahnya kanker tetapi juga ketakutan akan adanya mutasi genetik dari berbagai jenis makluk hidup.
Akar dari pesoalan ini terletak pada ketidaksiapan kita untuk belajar secara menyeluruh, kemudian mengambil keputusan tegas untuk bertindak secara sistematis dan koheren berdasarkan apa yang dipelajari[3]. Masalah utama lainnya yakni adanya keterbatasan sumber daya alam mineral, misalnya: bahan bakar fosil. Jika semua negara menggunakan seluruh sumber daya alam seperti yang terjadi di Amerika dan negara-negara maju lainnya, ada kemungkinan sumber energi ini akan habis dalam satu atau dua generasi[4]. Jika kita tidak segera mengambil keputusan yang tegas, konflik sosial dan politik serta masalah psikologi tidak akan bisa dielakkan.
Fakta-fakta mengenai kerusakan ekologi memperlihatkan betapa masalah ekologi telah berakar secara kuat di dalam sejumlah struktur sosial kemasyarakatan. Dan penyebab semua ini adalah manusia, untuk itu, fokus dari tema ini adalah melihat dinamika relasional antara mansusia dan lingkungan. Tujuan dari etika dan strategi ekologi adalah “merumuskan prinsip-prinsip yang mana melalui beragam cara, relasi manusia dengan alam dituntun dan diarahkan”.
Pengetahuan dan krisi ekologi yang terjadi saat ini memperlihatkan dimensi kosmik dosa dan penebusan dalam terang yang baru. Dalam teologi, kita tahu bahwa kegagalan untuk setia pada Allah yang memanggil kita dalam Kristus lewat seluruh karya, sabda, dan pewahyuan-Nya bukan hanya kekurangan pribadi, tetapi sekarang kita lebih tahu bahwa itu adalah ‘tragedi kosmik”. Dan kita tidak boleh lagi mengabaikan kenyataan bahwa jawaban yang pantas kepada Allah dan tanggung jawab terhadap umat manusia harus nyata dalam kesadaran ekologi kita terhadap alam, yang merupakan sistem pendukung seluruh kehidupan. Alam harus dihormati; alam tidak bisa lagi diekploitasi dengan kejam. Perbuatan yang tidak bertanggung jawab terhadap alam merupakankan dosa karena menentang Allah Sang Pencipta.

II         TANTANGAN UNTUK ETIKA DAN TEOLOGI
Besarnya pesoalan ekologi menjadi tantangan bagi Teologi Moral untuk terlibat mencari solusi. Persoalan ekologi yang mana, kebanyakan disebabkan oleh negara-negara industri maju (yang berlatar belakang Kristiani), menjadi tantangan bagi Kristiantas, khususnya teologi, untuk melihat dan memeriksa kembali hati nurani mereka, tidak saja yang berkaitan dengan perbuatan mereka yang keliru tetapi juga ideologi yang mungkin membantu menjelaskan lebih dalam penyebab utama persoalan ekologi. Tujuannya adalah pertobatan dan pembaruan yang menyeluruh.
1.    Relasi Dasar Kita kepada Alam – Ciptaan
Bukan hanya orang non-kristiani tetapi juga para teolog merasa ada yang keliru dalam konsep pemikiran tradisi Judeo-Kristiani. Di satu sisi, mereka memuji Kristianitas, karena kebaikannya mendemitologisasi alam memungkinkan pengembangan ilmu modern dan teknologi di dunia Barat. Di lain sisi, mereka juga menuduh bahwa teologi dan tradisi Kristiani yang dikokohkan oleh Gereja, atau bahkan ajaran Kitab Suci, telah  berperan dalam berkuranganya penghormatan terhadap alam, sebuah kekurangan yang kemudian menuntun pada eksploitasi alam yang kejam.
Meski demikian, tidak semua setuju dengan pendapat bahwa akar dari semua ini adalah Kristianitas. Margaret Mead dan Jhon Passamore misalnya melihat penyebabnya, tidak terdapat dalam Kitab Suci dan Tradisi Judeo - Kristiani, tetapi dalam karakter khusus dari masyarakat dan budaya-budaya, atau dalam pemikir-pemikir yang dipengaruhi oleh Dunia Barat, yang mana tidak ada hubungannya dengan Kitab Suci[5]. Descartes dan Bacon[6] misalnya membedakan manusia sebagai benda yang berpikir dan alam sebagai benda mekanik (sebuah mesin belaka) yang digunakan. Bagi Descartes, adalah bagian dari ilmu untuk menjadikan diri kita tuan dan pemilik dari alam.” Descartes percaya bahwa “ Tidak ada hal yang diciptakan, yang mana tidak bisa kita ambil untuk digunakan”.
Dalam Perjanjian Lama, selain tindakan pembebasan Allah yang menjadi topik utama, juga tidak boleh diabaikan bahwa mengajari mereka melihat sejarah dalam terang yang baru, adalah juga yang menunjukkan  berkat, cinta, kemuliaan dan keindahan-Nya kepada semua ciptaan. Tindakan berkat Allah (meliputi semua hal) mengandung sebuah nilai tersendiri yang sejajar dengan  tindakan pembebasan. Tindakan penyelamatan dan berkat dari Allah melingkupi setiap orang, dan Israel memuji Allah karena dua hal ini. Berkat Allah mengajari mereka bagaimana menaruh hormat terhadap alam dan dalam cara yang mana semua orang dapat mengalami berkat-Nya[7].
Dalam terang Kitab Suci kita melihat relasi manusia dengan alam sebagai Co-creator yang dapat membangun secara kreatif seandainya dia memuja dan menghormati Dia yang telah menciptakan segala sesuatu. Manusia akan memanfaatkan alam bagi diri dan sesamanya seandainya dia belajar untuk mengagumi karya Allah dan membawakan syukur kepada-Nya. Siapa pun yang tahu dan menghidupi kesalehan Kitab Suci akan sadar bahwa ketika manusia mereduksi dirinya hanya sebagai pengguna dan pengeksploitasi alam, dia tidak hanya merendahkan dirinya tetapi juga berdosa terhadap Pencipta dan ciptaan-Nya.
2.    Makna Kuasa Allah Yang Dipercayakan Bagi Manusia.
Krisis ekologi yang disebabkan oleh manusia mendorong teologi untuk merefleksikan arti kuasa yang dipercayakan Tuhan kepada manusia terhadap alam ciptaan-Nya. “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu,” (Kej 1:28). Kuasa ini, yang dipercayakan kepada ciptaan istimewa, harus dilihat dalam persatuan intim dengan martabat manusia sebagai ciptaan dengan gambar dan rupa Allah (Kej 1:27). Allah, yang memberkati ciptaan seturut gambar-Nya, mempercayakan kepada mereka taman Eden “Untuk diusahakan dan dipelihara” (Kej 2:15). Manusia harus merefleksikan perhatian dan cinta Allah dalam dunia yang indah yang dipercayakan kepadanya. Mereka yang menolak untuk menghromati Allah sebagai Allah dan menghormati setiap orang sebagai gambar-Nya, melibatkan  alam dalam bencana. Kuasa mereka atas dunia tidak lagi menguntungkan selama itu tidak sesuai dengan berkat Allah.
Jika, perjanjian pertama – dengan Adam – adalah perjanjian yang hanya melibatkan Allah dan Adam, dengan sebuah taman yang damai dan pemuja-pemuja yang damai. Maka, berkat Nuh[8] adalah sebuah hadiah dan peraturan untuk dunia yang telah jatuh dalam konflik dan perselisihan tidak hanya antara manusia dengan manusia, tetapi juga antara manusia dengan bintang-bintang serta alam seluruhnya, yang mana hak-hak manusia berlaku, hanya jika dia merawat binatang dan seluruh alam ciptaan sebagaimana yang dilakukan oleh Allah dan Nuh selama air bah. Perintah baru ini adalah sebuah panggilan untuk berubah dan bertobat secara radikal, untuk berdamai dan untuk bertindak wajar[9].
Seandainya manusia belajar untuk mengintegasikan pengatahuannya yang baru mengenai kuasa dalam pelayanan tersebut yang datang dari pengetahuan akan keselamatan, dari sebuah visi yang menyeluruh, alam tidak akan dirubah dan dihancurkan dengan kejam. Jika  manusia menempatkan pikiran dan tindakannya pada tempatnya, dia juga akan menjadi pelayanan beriman bagi sesamamanya lewat perhatian dan perlindungan terhadap alam, yang mana itu semua demi pemeliharaan keutuhan alam.
3.                  Resakralisasi?
Banyak orang yang beranggapan bahwa gangguan ekologi yang bahkan mengarah pada kehancuran ekologi planetaris disebabkan oleh penajisan alam. Hal ini dilihat sebagai penghujatan terhadap Pencipta. Meski demikian, kita juga tidak harus mengikuti mereka yang percaya pada kemurnian alam, yang melihat alam sebagai barang tabuh sehingga sama sekali tidak bisa disentuh untuk dimanafaatkan.
Kita tidak bisa menanggalkan semua manipulasi terhadap alam jika kita ingin tinggal dalam sebuah  hidup yang beradab dan untuk memberi makan 4,5 milyar penduduk dunia. Kita tidak harus menanggalkan kebebasan dan tugas yang dipercayakan oleh Allah kepada kita untuk menaklukkan bumi untuk memenuhi kebutuhan riil kita. Manusia berhak dan berkuasa memodifikasi alam, namun harus diingat, bahwa tindakan tersebut bukan modifikasi yang sembrono.
Seperti yang dikatakan oleh P. Teilhard de Chardin berkaitan dengn alam, “Segala sesuatu disucikan  atau suci”, namun bukan berarti bahwa tidak bisa disentuh untuk dirubah. Bahkan dalam pengertian yang lebih luas, kita memandang segala sesuatu sebagai berkat dari Allah, sebagai tanda penciptaan yang tanpa henti dan panggilan untuk kerjasa sama yang kreatif dan bertanggung jawab dengan alam. Orang beriman yang melihat alam masih dalam proses penciptaan akan terpangil untuk kerja sama yan setia.
4.                  Antroposentrisme yang Wajar
Antroposentris kristiani harus berbeda dengan yang  apa dimaksudkan oleh orang non-kristiani. Kita memandang Kristus, titik Omega dari semua ciptaan dan sejarah: “Segala sesuatu diciptakan dalam Dia dan untuk Dia” (Kol 1:16). Dia menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran. Jika kita berkata bahwa keberadaan manusia adalah sebuah peristiwa besar dalam evolusi, maka perhatian kita tidak pertam-tama pada manusia si pembuat tetapi pada manusia Pemuja, yang dalam relasi dengan seluruh alam, menghormati Pencipta dan menyampaikan syukur. Dia adalah gambar Allah dalam kapasitasnya untuk mencintai Penciptanya dan ikut serta dengan Pencipta dalam cinta-Nya untuk sesama manusia.
Inti dari rencana keselamatan penciptaan adalah agar manusia menghormati Allah melalui cinta yang mutual, hormat dan perhatian terhadap semua karunia-Nya. Mereka yang menerima panggilan menjadi cerminan gambar cinta Allah untuk sesamanya juga akan menjadi cerminan perhatian Allah untuk seluruh alam. Pandangan Alkitab mengenai relasi manusia dengan alam memang bersifat antroposentris, namun tidak berarti semenah-menah terhadap alam, tetapi antroposentrisme yang wajar.
Antroposentrisme yang wajar ini  berdampak pada relasi kita dengan sesama. Dengan yakin kita berkata: “Kita adalah anggota dari sesama”, juga dalam pandangan realitas sub-human. “Semua ciptaan yang ada mulai dari proton hingga manusia memiliki sumber yang sama; mereka menampilkan keberadaan mereka”. Tetapi keasadaran kita akan dinamika-dinamika ini, interaksi pendukung kehidupan dan rasa solidaritas dengan semesta ciptaan dikuatkan dan ditinggikan oleh relasi perjanjian kita dengan semua makluk hidup.
Tanggung jawab ekologi kita kemudian menjadi pusat dari tindakan keadilan dan cinta kita bagi Tuhan dan sesama. “Bumi yang ditata dengan sedemikian rupa sehingga bisa tertopang secara ekologi  lebih bernilai dan berharga bagi kemanusiaan daripada yang tidak bisa ditopang secara ekologi. Bumi yang bisa ditopang secara ekologi adalah kebutuhan yang mendesak untuk terciptanya keadilan distributif/yang merata.
Dengan demikian, tanpa keraguan, krisis ekologi yang mencemaskan saat ini harus diiterpretasikan/ditafsirkan secara profetis sebagai sebuah panggilan untuk bertobat dan berubah, untuk sebuah relasi dengan Allah pemberi alam yang diperbaharui -  tetapi selalu dengan dan melalui relasi yang diperbarui dengan seluruh ciptaan.
5.                  Ekologi dan Pemahaman Baru akan Hak Milik Pribadi
Bentuk baru hidup bermasyarakat yang ditandai dengan ilmu modern dan teknologi, memperjelas kebusukan yang disebabkan oleh konsep individual atau kepemilikan pribadi. Dalam pesannya kepada Konferensi Dunia yang Pertama Tentang Ekologi, Paus Paulus VI menulis: “Lingkungan hidup adalah res omnium, warisan umat manusia.” Dalam keadilan, setiap orang, baik secara individual mupun kelompok harus bekerja sama memelihara warisan  bersama ini.” Konsep-konsep yang keliru tentang hak milik pribadi telah menyebabkan  kecemasan sosial. Penyalahgunaan sumber daya alam pemberian Allah yang berorientasi pada kepentingan pribadi telah merugikan keutuhan sosial, yang mana di dalamnya termasuk seluruh generasi umat manusia sekarang dan generasi yang akan datang. Untuk itu, kita harus melihat dengan lebih tajam kebenaran dari ungkapan Pemazmur: “TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mazm 24:1-2).
Kita tidak dapat menekankan arti persamaan  dan kebebasan di antara manusia  tanpa himbauan akan sebuah tanggung jawab solidaritas  untuk ekosistem dan sumber daya yang tak tergantikan dari bum. Keadilan hukum dan sosial melarang setiap orang untuk mencari hormat dan kekuatan melalui metode-metode keliru yang merusak ekosistem manusia. Perkenaan/ pelonggaran terhadap modifikasi ekosistem  hanya  bisa ditolerir sejauh hal tersebut tidak menghancurkan ekosistem dan bermnafaat bagi kepentingan umum.
Tidak boleh ada pribadi dan perusahaan ekonomi yang mendakukan biosfer manusia sebagai miliknya. Konteks dari biosfer dan keterbatasan material sumber daya alam yang penting  mendesak umat manusia untuk tidak hanya memperkuat tanggungjawab berskala lokal tetapi juga menyediakan dan mengadakan perjanjian-perjanjian internasioanl yang menjamin keamana dari ekosistem  yang merupakan harta warisan nenek moyang yang sangat berharga. Dengan perjanjian-perjanjian internasional yang sahih berkaitan dengan masalah kesehatan lingkungan, energi dan sumber daya alam – dan respek yang hati-hati demi prinsip subsidiaritas –  dengan industri-industri yang berorientasi profit, misalnya produsen senjata-senjata pemusna masal tidak lagi masuk akal/diterima akal sehat.” Dan hal itu mungkin bisa menjadi sumbangan luar biasa terhadap penghapusan perlakuan yang kejam dan mengerikan terhadap kelangsungan hidup manusia dan ancaman bencana yang mengancam ekologi.

II.                KESADARAN EKOLOGIS DAN TANTANGANNYA
Pengetahuan dan pemahaman yang baru mengenai relasi dan dinamika persoalan ekologi malahirkan tanggung jawab moral yang baru.  Bagaimana pun, persoalan ekologi yang mengancam ekosistem  berakar secara kuat dalam struktur hidup masyarakat, seperti bidang ekonomi dan politik. Parahnya, semua ini sudah membentuk dan menjadi  habitus. Keberanian untuk menghadapi persoalan ini menuntut tipe pengetahuan lain  – sebuah pengetahuan keselamatan. Jika kita menginginkan sebuah perubahan dan mau membangun komitmen pribadi untuk berkarya dan berjuang untuk perubahan, kita harus sadar akan penghambat-penghambat utama yang bisa menghalangi tercapainya perubahan dan pertobatan di bidang ekologi.
1.                  Sistem Politik dan Ekonomi
Saat ini, selain krisis ekologi dan ketegangan-ketegangan politik serta kejahatan sosial, juga ada ideologi pertumbuhan konstan dari produksi nasional yang dianut oleh negara-negara insdustri yang begitu rupa, sehingga meski ada kehendak baik dan pengetahuan yang memadai dari para pemimpin politik, namun mereka tetap ditawan oleh trend dan mentalitas ini. Di negara-negara industri besar misalnya, terpilihnya seorang pemimpin dalam pemilihan ulang (pemilu) sangat tergantung pada angka GNP (Produk nasional bruto), jika rencana lima tahun untuk pertumbuhan ekonomi tidak terpenuhi maka dipastikan pemimpin tersebut tidak akan terpilih.
Dengan ideologi seperti ini, negara-negara industri besar berlomba mengeruk kekayaan alam dari negara-negara berkembang, akibatnya, kesenjangan sosial yang tidak dapat dielakkan, negara-negara industri berkembang dengan pesat, sementara negara berkembang tetap berada dalam kemiskinan. Bayangkan saja, 5,6 % penduduk dunia yang tinggal di Amerika membutuhkan sekitar 40 % sumber daya utama dunia.
2.         Kebiasaan dan Teladan yang Keliru
            Kini masalah ekologi mendapat perhatian yang lebih luas. Tetapi karena masalah ini begitu terstruktur, maka perjuangannya tidak hanya berhadapan dengan kekuatan-kekuatan struktural, tetapi, pertama-tama dengan kebiasaan dan teladan pribadi yang kita bangun lewat pikiran dan praktik. Kebiasaan-kebiasaan ini bersatu secara integral dengan sistem ekonomi yang berorientasi profit dan budaya konsumsi, sehingga tidak begitu disadari, namun efeknya terhadap alam dan lingkungan sangat jelas..
Untuk itu, Perjuangan menyelamatkan lingkungan dan alam melawan kekuatan dan kepentingan pribadi serta kekuatan kelompok yang beroreintasi profit hanya terjadi jika kita juga berjuang melawan egoisme, melawan individualisme dan partikularisme kita sendiri. Perjuangan ekologi  ini akan berhasil, jika kita mulai membangun teladan dan kebiasaan yang dimulai dari diri sendiri, itu berarti kita harus berani meninggalakan sifat egoitis kita dan membangun serta mengembangkan kebiasaan dan teladan ekologis.
3.         Kepentigan/Interese Pribadi
            Satu kekuatan besar  yang menjadi penghalang tercapainya solusi yang tepat berkaitan dengan krisis lingkungan adalah adanya puluhan (bahkan kini ratusan) kekuatan  ekonomi multinasional. Kekuatan luar biasa yang mereka miliki membuat mereka dengan mudah mempengaruhi opini masyarakat. Akuntabiltas dan tranparansi harus dikenakan pada perusahaan-perusahaan besar ini, misalnya, industri mobil dan industri kimia.
4.         Nasionalisme dan hegemonisme
            Tantangan lain dari perjuangan ekologi adalah adanya hegemonisme dan nasionalisme yang keliru hanya mementingkan kepentingan kelompok sendiri dan mengabaiakn kepentingan ekologi. Menariknya, akhir-akhir ini tekanan dan perjuangan ekologi menjadi semakin intens karena adanya bentuk baru dari nasionalisme. Ancaman ekologi menjadi motif bagi banyak orang yang berkehendak baik akhirnya meninggalkan nasionalisme dan hegemonisme yang keliru, yang menyebabkan telah menyebabkan kerusakan ekologi, misalnya perlombaan senjata yang tidak masuk akal yang melibatkan seluruh spektrum politik dan ekonomi.

IV        STRATEGI EKOLOGI
1.                  Pendidikan Ekologi
Kondisi mendasar yang bisa menyelesaikan persoalan ekologi adalah pendidikan ekologi yang solid, harapannya kesadaran akan persoalan dan bahaya krisis ekologi bisa tumbuh dalam masyarakat. Namun, karena situasi yang menyedihkan -seperti yang kita saksikan saat ini- merupakan hasil dari seluruh perilaku masyarakat yang berorientasi profit, maka pendidikan ekologi hanya bisa sukses jika  pengetahuan  -yang berciri keselamatan-  bisa terintegrasi secara integral sehingga mampu mendefinisikan ulang makna kuasa manusia yang dipercayakan Allah kepada manusia.
      Masyarakat beradab harus tahu dan mencintai barang-barang yang bermanfaat – sperti lingkungan yang sehat – dan meninggalkan “barang” yang bertentangan dan merugikan lingkungan. Selanjutnya, agar semakin dimotivasi dan semakin kompeten, kita harus sadar bahwa untuk menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang baru dan untuk menyembuhkan ekosistem, kita butuh manusia baru dengan perubahan batin.
Kerjasama dengan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan ekologi juga harus digalakkan dalam sistem pendidikan kita. Dengan ini diharapkan pendidikan ekologi menembus bagian integral dari sistem sosial dan politik kita. Selain itu, kontribusi Gereja dalam pengetahuan keselamatan harus menjadi visi yang memperjelas masalah ini, sehingga mampu memotivasi banyak orang. Semua ajaran Gereja, baik di bidang Kristologi, Eskatologi dan Antropologi dapat menjadi sarana guna menerangi dan menggerakan  kita untuk menjadi teladan perilaku ekologi sebagaimana yang diaharapakan dunia dari orang kristen.
2.                  Iktiar Pribadi dan Saling Berbagi
Agar semakin bergaung,  apa yang kita kerjakan sebagai individu dan kelompok harus sejalan dengan pendidikan dan kesadaran ekologi kita. Kritik yang kompeten akan efektif jika semua kelompok membangun inktiar yang meyakinkan untuk berubah, yang mana hal tersebut  nyata lewat gaya hidup mereka. Di sini kepemimpinan yang baik sangat penting, karena dituntut untuk menjadi teladan.
Akasi bersama dari masyarakat yang peduli dan memaksa perusahaan dan instansi yang bergerak di bidang industri menilai kembali interaski mereka dengan lingkungan semakin bernilai jika membawa kepentingan masyarakat atau orang banyak. Dalam hal ini, bukan hanya kepentingan pribadi dan kelompok yang dikedepankan, tetapi juga kebaikan masyarakat seluruhnya. Masyarakat harus memberikaan preferensi kepada perusahaan untuk mencegah pemborosan sumber daya alam dengan metode daur ulang tanpa membebani keseimbangan ekologi.
3.                  Politik Ekologi
Ekologi menjadi isu politik – itu berarti menjadi sebuah tugas yang tidak bisa dihindari oleh pemerintah-pemerintah dan partai-partai politik – jika masyarakat memahami betapa penting dan urgennya situasi ini, dan untuk itu dibutuhkan sebuah keputusan politik[10].
Persoalan ini tidak hanya dibebankan kepada ahli ekonomi dan kekuatan ekonomi. Ini merupakan kompetensi dan tanggung jawab utama dari pemerintah dan legislator (DPR), dan tentu saja semua kekuatan demokrasi. Kita tidak bisa menyalahkan pemerintah dan legislator jika kita sendiri tidak bertindak dengan kekuatan kita untuk menguatakan kesadaran dan perilaku seluruh warga masyarakat.
4.                  Rekonsiliasi Antara Manusia dan Teknologi
Bersamaan dengan revolusi industri yang kedua, manusia mencapai sebuah titik balik. Pada titik ini manusia ditantang dan dipaksa utuk memilih, mengikuti dan teknolgi yang seringkali menghancurkan kerja kreatif manusia dan meningkatkan pengangguran, atau berdamai dengan teknologi dengan menciptakan sebuah “teknolgi yang berwajah manusia”.
Manipulasi alam perlu sejauh hal itu dilaksanakan dengan lebih berhati-hati, mengikuti irama alam. Harus ada sebuah peralihan dari prinsip yang berorientasi profit  pada  sebuah sikap peduli dan sikap hemat dalam cara dan penggunaan sumber daya alam. Manusia adalah makluk yang dilengkapi dengan otak dan tangan, dan kerja harus memberi kesempatan kepada otak dan tangan untuk kreatif, tidak hanya untuk diri sendiri dan  kelompok tertentu tetapi untuk sebanyak mungkin orang.
Teknologi yang berwajah manusia, yang mengembangkan kreativitas  setiap orang dan relasi kesehatan manusia dalam proses kerja, harus juga bersahabat dengan lingkungan hidup. Perubahan dimulai degan keberanian kita meragukan pengembangan teknik yang secara normal ke arah tekonologi raksasa dan pemborosan. Hal ini tentu saja tidak normal dan tidak sehat di mata mereka yang peduli mengenai kesehatan individu dan masyarakat.
5.                  Energi Nuklir dan Alternatifnya
            Salah satu isu panas dalam ekologi adalah pertanyaan tentang energi nuklir. Hal ini memaksa para pemimpin politik untuk mengambil kepusan yang rumit. Isu energi nuklir tidak saja isu ekologi tetapi juga isu politik dan isu keamanandan isu perang berhadapan dengan teroris.
Jika tidak ada perubahan radikal dalam tata ekonomi dan gaya hidup, diperkirakan bahwa pada bebrapa dekade mendatang dibutuhkan sekitar 25.000 plutonium dari peternak untuk mencukupi persediaan energi (juga untuk negara-negara berkembang). Enam kg plutonium cukup untuk menghasilkan satu bom atom. Bisa dibayangkan apa yang terjadi diseluruh dunia jika ini hal ini menjadi kenyataan. Berkaitan dengan ini, Schumacher memperingatkan dengan keras. Baginya, menjadikan energi nuklir sebagai “solusi” dari krisis energi sama saja dengan menciptakan masalah yang lebih besar. Radiasi ion sudah menjadi perantara paling utama dari polusi.
Mereka yang menentang energi nuklir menyadari dan melihat energi nuklir belum menjadi kebutuhan mendesak. Bagi mereka, umat manusia dapat bekerja tanpa pos/pangkalan kekuatan nuklir jika mereka berbalik ke kesederhanaan dan meninggalakan gaya hidup boros. Penolakan terhadapa tawaran gaya hidup sederhana seperti yang diusulkan mereka yang menolak energi nuklir, menjadi pembenaran bagi mereka yang mengatakan bahwa perkembangan industri tidak dapat berjalan tanpa kekuatan nuklir adalah.
6.                  Kebebasan Kreatif dan Kesetiaan
Berhadapan dengan krisisi ekologi, pertanyaannya yang dapat diajukan bukan soal kelangsungan hidup tetapi kelangsungan hidup dari homo sapiens. Itu berarti, setia pada kebebasan sejati dan kemanusian sejati, dan pada waktu yang sama setia kepada bumi adalah kewajiban bagi setiap individu. Usulan bagaimana menangani dan menyelesaikan persoalan ekologi harus ditaksir dalam terang ini. Kita harus menanggalkan “kebebasan” yang hanya mengedepankan kompetisi dan berorientasi profit yang telah menyebabkan ekologi dan mengenakan kebeasan yang baru yakni “kebebasan kreatif”.
Dengan demikian, menjadi jelas bagi orang beriman, bahwa orang Kristen dan orang lain yang menyembah satu Allah dan Bapa semua hanya bisa menjadi “garam dan terang bagi dunia” jika mereka sendiri tahu dan mengamalkannya dalam hidup, sehingga lewat kata dan tindakan membuat itu dikenal oleh orang lain,  yang mana hal ini tidak hanya gambaran kebebasan kreatif tetapi juga  berarti penting bagi ekologi. 

V         RELEVANSI PEMIKIRAN HARING BAGI ZAMAN INI
Dibandingkan dengan kesadaran akan mendesakanya permasalahan sosial, keadilan, perdamaian, hak asasi manusia dan lain-lain, keprihatinan akan masalah lingkungan hidup di kalangan Gereja barulah muncul agak kemudian. Seperti kita ketahui, Konsili Vatikan II (Gaudium Et Spes, 1965) sudah memberi perhatian serius pada masalah-masalah keadilan dan perdamaian.  Sebaliknya dalam dokumen yang sama kita tidak menemukan kata-kata seperti pelestarian alam, lingkungan hidup dan ekologi misalnya. Rupanya pada waktu itu masalah lingkungan hidup belum sungguh disadari oleh Gereja sebagai masalah yang mendesak untuk ditangani. Itu juga menunjukkan  bahwa ekologi belum sungguh dikembangkan. Lingkungan hidup belum menjadi bagian hakiki refleksi Gereja[11].
Itu mengapa kemudian, Ketika Berhard Haring memasukkan tema “ekologi” di dalam manualnya yang kedua yakni Free and Faithfull in Christ (1977), hampir semua kritikus merasa bahwa tema ekologi adalah tema yang asing bagi dunia moral. Mereka merasa bahwa tema itu terlalu dipaksan oleh Haring untuk dibicarakan di dalam teologi moral. Konsep pemikiran mereka dapat dimengerti karena moralitas itu diperuntukkan bagi manusia. Tepatnya yang bermoral hanyalah manusia[12].
Keberanian Haring untuk memasukkan tema ekologi sebagai bagian dari moral saat itu, di satu sisi mungkin adalah tindakan yang berani karena melawan kelaziman zamannya, di mana moral hanya dilihat dalam hubungannya manusia dengan manusia. Namun di sisi lain, gagasana Haring harus dipuji karena ide dan gagasan yang dilontarkannya kini menjadi kenyataan. Tema lingkungan hidup, pelestarian alam dan ekologi yang sebelumnya tidak dilirik dan diberi perhatian oleh Gereja, kini menjadi persoalan  mendesak yang harus ditangani. Krisis ekologi tidak hanya berkaitan dengan alam itu sendiri tetapi lebih jauh merupakan masalah yang kompleks karena berdampak pada seluruh seluruh ekosistem. Prilaku manusia manusia yang hanya melihat alam sebagai obyek yang bisa dieksploitasi menjadikan alam kini berada dalam bahaya besar.
Hemat saya, gagasan-gagasan yang ditawarkan Haring berkaitan dengan persoalan ekologi sangat relevan dengan situasi kita saat ini. Situasi bumi/alam kita yang tidak lagi bersahabat dengan manusia (Misalnya: musim yang tidak lagi menentu, bencana alam-alam yang terjadi di mana-mana, munculnya berbagai jenis penyakit baru) menjadi alarm bagi kita untuk melihat kembali cara kita berhubungan dengan alam. Sudah saatnya, pola pikir dan tindakan yang hanya memandang dan menjadikan alam seabagai sekedar objek kita tinggalkan, dan menggantinya dengan paradigma baru, paradigma yang memandang alam sebagi subyek yang memiliki nilai intristik pada dirinya sendiri. Sebagaimana kita menyadari diri sebagai ciptaan, alam juga adalah ciptaan. Itu berarti, jika alam dam manusia sama-sama sebagai ciptaan, maka tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh manusia terhadap alam harus ditolak.
Untuk itu, strategi ekologi yang ditawarkan Haring, seperti pendidikan ekologi untuk menyadarkan masyarakat betapa persoalan ekologi merupakan bahaya yang mengancam keberadaan manusia menjadi hal yang mendesak untuk dijalankan. Pendidikan ekologi yang dijalankan dengan komprehensif  akan melahirkan generasi-generasi muda yang berwawasan ekologi. Generasi yang respek terhadap alam. Gagasan-gasan ini, sebagaimana juga dijelaskan oleh Haring akan menjadi kenyataan, ketika ada inisiatif dari setiap individu untuk berubah dan bertobat menjadi pribadi ekologis, pribadi yang menaruh respek tidak saja terhadap sesama tetapi juga terhadap alam semesta. Inisiatif-inisiatif yang awalnya muncul secara sporadis akan semakin bergaung jika  disertai dengan solidaritas bersama. Solidaritas untuk bersama-sama bergerak menuju tatanan dunia baru yang lebih ekologis.
Di atas semua itu, kita sadar juag bahwa sebagai warga masyarakat, kita hidup dan berada dalam sebuah sistem yang mengatur hidup dan keberadaan kita. Untuk itu gagasan tentang sekolah ekologi dan inisiatif-inisiatif ekologi dari banyak orang tersebut akan menjadi semakin kuat jika ditopang oleh sebuah sistem yang kuat dan tegas. Untuk itu,  peran pemerintah dan Gereja sebagai dua lembaga atau institusi kemasyarakatan dan religius keagamaan untuk menciptakan serta menumbuh kembangkan sistem yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya kesadaran ekologi dalam diri setiap warga dan umatnya menjadi sangat penting di sini. Tanpa adanya dukungan dari pihak pemerintah dan Gereja, bagaimanapun cemerlangnya sebuah gagasan dan ide ekologis, gagasan tersebut hanya akan membentur tembok yang  kuat.
Di Indonesia, misalnya, secara de jure sudah banyak aturan berupa undang-undang yang dikeluarkan oleh Pemerintah berkaitan dengan pengelolahan dan penanganan lingkungan hidup, bahkan tidak sedikit lembaga-lembaga pemerintah yang “bergerak” di bidang ini. Namun, secara de facto, atauran-aturan serta perundang-undangan tersebut hanya sebatas rumusan aturan, tanpa pernah dijalankan dengan tegas. Faktanya, sepanjang tahun 2015 hingga awal 2016, banyak kejahatan yang berkaitan dengan kerusakan alam dan lingkungan, seperti pembakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan, namun belum satu pun yang diselesaikan. Bahkan kini, persoalan-persoalan tersebut terkesan dibiarkan dan tidak dihiraukan. Fenomena ini dengan jelas memperlihatkan bahwa pemerintah belum sungguh-sungguh mendukung tumbuh dan berkembangnya kesadaran ekologis. Kita memiliki aturan namun belum dijlankan dengan tegas.
Ini menjadi gambaran, betapa kesadaran-kesadaran ekologi yang bersifat pribadi memang merupakan benih awal yang sangat bagus untuk menumbuh kembangkan kesadaran ekologis. Namun benih tersebut akan semakin berkembang dengan subur jika ditopang oleh wadah dan sistem yang kuat. Peran Gereja dan Pemerintah sangat penting di sini. Keberanian Gereja dan pemerintah untuk berbicara secara lantang hemat saya dapat menjadi “air segar” bagi kesadaran-kesadaran ekologis yang bersifat pribadi tadi. Karya dan tidankan konkrit Gereja dan Pemerintah menjadi dukungan nyata bagi gerakan pembaruan da pertobatan menuju tatanan hidup umat beriman dan masyarakat yang baru, yang mengenakan dan mengedepankan semangat ekologis. 



[1] Margaret Mead dan Walter Fairservis menunjukkan bahwa, banyak kebudayaan yang menghancurkan masa depan mereka dengan tindakan yang tidak bertanggungjawab terhadap alam.  Kebudayaan Mesopotamia misalnya, hampir musna karena kerusakan ekologi yang mereka sebabkan. Sementara kebudayaan Mesir dan Cina kuno karena sikap mereka yang hati-hati dan hormat terhadap lingkungan bertahan lebih lama.
[2] Manusia sebagi wakil Allah, memiliki hak untuk memanipulasi alam, asalkan dapat mempertimbangkan dengan kepastian moral bahwa tindakannya menguntungkan bagi generasi sekarang  dan yang akan datang. Namun, jka intervensinya yang manipulatif mengakibatkan lebih banyak kerugian/kerusakan daripada kebaikan bagi manusia, maka manusia harus merubah tindakannya. Kemudian, dia mungkin atau harus juga menggunakan ilmu dan teknologi untuk memperbaiki kerusakan/kerugian dan mengurangi penderitaan.
[3] Di Amerika, hampir 50.000 orang meninggal setiap tahun akibat kecelakaan mobil, dan sekitar 15 ribu di negara-negara besar Eropa. Meski demikian, negara-negara ini  terus mengembangan industri mobil dan kendaraan peribadi. Setiap tahun, jutaan area tanah dialifungsikan dari pertanian menjadi jalan raya. Ditambah lagi, kendaraan pribadi menyebabkan polusi udara dan asap yang berbahaya bagi daerah perkotaan. Ini adalah contoh kasus di mana tersedia pengetahuan dan pemahaman yang cukup, tetapi belum menyebabkan perubahan yang mendalam dengan sakala yang luas

[4] Padahal, menurut Carl Friedrich von Weizsacker, Direktur dari Institute Max Plank, sejatinya sumber energi yang ada bisa memenuhi kebutuhan seluruh penduduk dunia. Tetapi masalah mendasar adalah keterbatasan akses untuk mendapatkan (bisa jadi karena harga yang mahal atau karena resiko yang tinggi). 
[5] Jhon Passamore mencatat pengaruh dari Aristoteles. Berbicara mengenai mereka yang berpikir bahwa semua alam semesta dirancang secara khusus untuk manusia sebagai pengguna, sebagai contoh ada beberapa teks menarik dari STOA, CICERO. “Jika kemudian, seseorang dapat berbicara dari arogansi Kristianitas, yang mengira benda-benda diciptakan untuk manusia, itu manjadi penentu bahwa bukan Ibrani-Kristian tetapi arogansi Yunani-Kristiani.
[6] Yang sungguh berbeda adalah pandangan Francis Bacon yang pada tahun 1597, menyatakan bahwa “pengetahuan adalah kekuatan”[6]. Atas pendapatnya ini, Passamore kemudian menyebuat Bacon sebagai pelagian. Bacon menegaskan bahwa hal itu buka karunia/hadia pemberian Allah, melainkan manusia sendiri, yang mana melalui pengetahuannya mengenai kekuasaan manusia mengembalikan/memulihkan kekuasaan asli atas dunia. Bacon menulis, “Kuasa manusia atas alam seluruhnya bergantung pada seni dan ilmu.” Di sini kita berada di persimpangan pengetahuan akan kekuasaan yang telahdan akan terus  menyebabkan kerusakan ekologi. Pengetahuan akan kekuasaan dan kontrol atasnya bukanlah hal yang buruk, namun hal itu akan menjadi buruk ketika pengetahuan tersebut dipengeruhi oleh kekuatan kerakusan, dan eksploitasi yang kejam, karena itu,  sebuah pengetahun yang tidak diakui sebagai karunia Allah, sebuah pengetahuan yang berpisah dari kebijaksanan, dipisahkan dari pengetahuan akan keselamatan.

[7] Ekonom kawakan E. Fritz Schumacher melihat sikap manusia modern sebagai tindakan yang berlawanan dengan visi Kitab Suci. “Manusia modern tidak mengalami dirinya sebagai bagian dari alam tetapi sebagai kekuatan luar yang mendominasi dan menaklukkannya. Manusia bahkan berbicara mengenai sebuah perang dengan alam, lupa bahwa jika menang sekali pun, manusia tetap akan berada di posisi yang kalah.”

[8] Gerad Liedke menganggap perjanjian Allah dengan Nuh dan berkat baru yang diberikan kepada Nuh sebagai kunci untuk memahami seluruh ajaran dari bab pertama Kitab Kejadian tentang kekuasaan manusia atas bumi. Dia menjelaskan Kej 1 & 2 dalam terang Kej 6-9. “Di sini Allah tidak dilihat sebagai Causa Prima tetapi sebagai Dia yang dengaNya semua ciptaan berhadapan, Dia yang mencipta, menderita, menghancurkan dan kemudian melindungi.”

[9] Hugo dari St. Viktor mengemukakan tradisi yang autentik. Baginya, manusia dapat menggunakan kuasanya atas bumi hanya dengan bertindak/berlaku sebagai gambar Allah dan menerima kuasanya sebagai sebuah pemberian yang tidak semestinya dan pemberian Cuma-Cuma dari Allah.
[10] Di Jerman dan Swedia mislanya, partai-partai politik baru menjadikan ekologi sebagai bagai utama dari program mereka.
[11] Adrianus Sunarko, “Perhatian Pada Lingkungan: Upaya Pendasaran Teologis” dalam Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi,  A. Sunarko - Eddy Kristiyanto (ed), Kanisius, Yogyakarta 2008, 31.
[12] Mateus Mali, “Ekologi dan Moral” dalam Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi,  A. Sunarko - Eddy Kristiyanto (ed), Kanisius, Yogyakarta 2008, 140.

Komentar

Postingan Populer