EKOLOGI DAN ETIKA (Pemikiran Bernard Haring dalam Buku Free and Faithful in Christ)
I.
SEJARAH
DAN SITUASI BARU
Manusia adalah makhluk
sejarah. Tindakan satu budaya (pada masa
lalu) berdampak bagi lingkungan[1].
Namun, apa yang terjadi pada masa lalu umumnya hanya berpengaruh pada satu
wilayah yang relatif kecil. Hari ini, dengan cara merusak sistem ekologi global
manusia menjadi pembuat padang gurun. Bahwa seluruh wilayah yang sebelumnya
sangat subur kini sudah menjadi padang gurun, hal ini tidak lepas dari kesalahan
manusia.
Krisis ekologi yang terjadi
ssat ini tidak lepas dari perkembangan perkembangan ilmu pengtehuan dan
kemajuan teknologi. IPTEK membuat manusia menjadi manipulator alam[2]
yang ulung. Sejatinya, tidak ada yang keliru dengan membentuk benda-benda alam
semesta sejauh untuk kebutuhan manusia. Namun yang keliru adalah manusia menjadi
rakus sehingga menyebabkan alam, harta warisan bagi umat manusia menjadi rusak.
Kerugian dan kerusakan
yang menimpa lingkungan hidup saat ini tidak bisa lagi diukur dan dihitung. Kerusakan
alam tidak hanya hanya berpengaruh pada individu semata tetapi juga seluruh
manusia. Penggunaan DDT yang meluas, ribuan ton debu dan tima, mercuri, dan
kadmium, tidak hanya menimbulkan ketakutan dan kecemasan akan bertambahnya
kanker tetapi juga ketakutan akan adanya mutasi genetik dari berbagai jenis
makluk hidup.
Akar dari pesoalan ini
terletak pada ketidaksiapan kita untuk belajar secara menyeluruh, kemudian
mengambil keputusan tegas untuk bertindak secara sistematis dan koheren berdasarkan
apa yang dipelajari[3]. Masalah
utama lainnya yakni adanya keterbatasan sumber daya alam mineral, misalnya: bahan
bakar fosil. Jika semua negara menggunakan seluruh sumber daya alam seperti
yang terjadi di Amerika dan negara-negara maju lainnya, ada kemungkinan sumber
energi ini akan habis dalam satu atau dua generasi[4].
Jika kita tidak segera mengambil keputusan yang tegas, konflik sosial dan
politik serta masalah psikologi tidak akan bisa dielakkan.
Fakta-fakta mengenai
kerusakan ekologi memperlihatkan betapa masalah ekologi telah berakar secara
kuat di dalam sejumlah struktur sosial kemasyarakatan. Dan penyebab semua ini
adalah manusia, untuk itu, fokus dari tema ini adalah melihat dinamika
relasional antara mansusia dan lingkungan. Tujuan dari etika dan strategi
ekologi adalah “merumuskan prinsip-prinsip yang mana melalui beragam cara,
relasi manusia dengan alam dituntun dan diarahkan”.
Pengetahuan dan krisi
ekologi yang terjadi saat ini memperlihatkan dimensi kosmik dosa dan penebusan
dalam terang yang baru. Dalam teologi, kita tahu bahwa kegagalan untuk setia
pada Allah yang memanggil kita dalam Kristus lewat seluruh karya, sabda, dan
pewahyuan-Nya bukan hanya kekurangan pribadi, tetapi sekarang kita lebih tahu
bahwa itu adalah ‘tragedi kosmik”. Dan kita tidak boleh lagi mengabaikan
kenyataan bahwa jawaban yang pantas kepada Allah dan tanggung jawab terhadap
umat manusia harus nyata dalam kesadaran ekologi kita terhadap alam, yang
merupakan sistem pendukung seluruh kehidupan. Alam harus dihormati; alam tidak
bisa lagi diekploitasi dengan kejam. Perbuatan yang tidak bertanggung jawab
terhadap alam merupakankan dosa karena menentang Allah Sang Pencipta.
II TANTANGAN
UNTUK ETIKA DAN TEOLOGI
Besarnya pesoalan ekologi
menjadi tantangan bagi Teologi Moral untuk terlibat mencari solusi. Persoalan
ekologi yang mana, kebanyakan disebabkan oleh negara-negara industri maju (yang
berlatar belakang Kristiani), menjadi tantangan bagi Kristiantas, khususnya teologi,
untuk melihat dan memeriksa kembali hati nurani mereka, tidak saja yang berkaitan
dengan perbuatan mereka yang keliru tetapi juga ideologi yang mungkin membantu
menjelaskan lebih dalam penyebab utama persoalan ekologi. Tujuannya adalah
pertobatan dan pembaruan yang menyeluruh.
1. Relasi
Dasar Kita kepada Alam – Ciptaan
Bukan hanya orang non-kristiani
tetapi juga para teolog merasa ada yang keliru dalam konsep pemikiran tradisi
Judeo-Kristiani. Di satu sisi, mereka memuji Kristianitas, karena kebaikannya
mendemitologisasi alam memungkinkan pengembangan ilmu modern dan teknologi di dunia
Barat. Di lain sisi, mereka juga menuduh bahwa teologi dan tradisi Kristiani
yang dikokohkan oleh Gereja, atau bahkan ajaran Kitab Suci, telah berperan dalam berkuranganya penghormatan
terhadap alam, sebuah kekurangan yang kemudian menuntun pada eksploitasi alam yang
kejam.
Meski demikian, tidak
semua setuju dengan pendapat bahwa akar dari semua ini adalah Kristianitas. Margaret
Mead dan Jhon Passamore misalnya melihat penyebabnya, tidak terdapat dalam
Kitab Suci dan Tradisi Judeo - Kristiani, tetapi dalam karakter khusus dari
masyarakat dan budaya-budaya, atau dalam pemikir-pemikir yang dipengaruhi oleh Dunia
Barat, yang mana tidak ada hubungannya dengan Kitab Suci[5].
Descartes dan Bacon[6] misalnya
membedakan manusia sebagai benda yang berpikir dan alam sebagai benda mekanik
(sebuah mesin belaka) yang digunakan. Bagi Descartes, adalah bagian dari ilmu
untuk menjadikan diri kita tuan dan pemilik dari alam.” Descartes percaya bahwa
“ Tidak ada hal yang diciptakan, yang mana tidak bisa kita ambil untuk
digunakan”.
Dalam Perjanjian Lama,
selain tindakan pembebasan Allah yang menjadi topik utama, juga tidak boleh
diabaikan bahwa mengajari mereka melihat sejarah dalam terang yang baru, adalah
juga yang menunjukkan berkat, cinta, kemuliaan
dan keindahan-Nya kepada semua ciptaan. Tindakan berkat Allah (meliputi semua
hal) mengandung sebuah nilai tersendiri yang sejajar dengan tindakan pembebasan. Tindakan penyelamatan
dan berkat dari Allah melingkupi setiap orang, dan Israel memuji Allah karena
dua hal ini. Berkat Allah mengajari mereka bagaimana menaruh hormat terhadap
alam dan dalam cara yang mana semua orang dapat mengalami berkat-Nya[7].
Dalam terang Kitab Suci
kita melihat relasi manusia dengan alam sebagai Co-creator yang dapat membangun
secara kreatif seandainya dia memuja dan menghormati Dia yang telah menciptakan
segala sesuatu. Manusia akan memanfaatkan alam bagi diri dan sesamanya
seandainya dia belajar untuk mengagumi karya Allah dan membawakan syukur kepada-Nya.
Siapa pun yang tahu dan menghidupi kesalehan Kitab Suci akan sadar bahwa ketika
manusia mereduksi dirinya hanya sebagai pengguna dan pengeksploitasi alam, dia
tidak hanya merendahkan dirinya tetapi juga berdosa terhadap Pencipta dan
ciptaan-Nya.
2. Makna
Kuasa Allah Yang Dipercayakan Bagi Manusia.
Krisis ekologi yang disebabkan oleh manusia mendorong
teologi untuk merefleksikan arti kuasa yang dipercayakan Tuhan kepada manusia
terhadap alam ciptaan-Nya. “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman
kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu,” (Kej 1:28). Kuasa ini, yang dipercayakan kepada ciptaan
istimewa, harus dilihat dalam persatuan intim dengan martabat manusia sebagai
ciptaan dengan gambar dan rupa Allah (Kej 1:27). Allah, yang memberkati ciptaan
seturut gambar-Nya, mempercayakan kepada mereka taman Eden “Untuk diusahakan
dan dipelihara” (Kej 2:15). Manusia harus merefleksikan perhatian dan cinta
Allah dalam dunia yang indah yang dipercayakan kepadanya. Mereka yang menolak
untuk menghromati Allah sebagai Allah dan menghormati setiap orang sebagai
gambar-Nya, melibatkan alam dalam bencana. Kuasa mereka atas
dunia tidak lagi menguntungkan selama itu tidak sesuai dengan berkat Allah.
Jika, perjanjian pertama – dengan Adam – adalah perjanjian
yang hanya melibatkan Allah dan Adam, dengan sebuah taman yang damai dan pemuja-pemuja
yang damai. Maka, berkat Nuh[8]
adalah sebuah hadiah dan peraturan untuk dunia yang telah jatuh dalam konflik
dan perselisihan tidak hanya antara manusia dengan manusia, tetapi juga antara
manusia dengan bintang-bintang serta alam seluruhnya, yang mana hak-hak manusia
berlaku, hanya jika dia merawat binatang dan seluruh alam ciptaan sebagaimana
yang dilakukan oleh Allah dan Nuh selama air bah. Perintah baru ini adalah
sebuah panggilan untuk berubah dan bertobat secara radikal, untuk berdamai dan
untuk bertindak wajar[9].
Seandainya manusia belajar untuk mengintegasikan
pengatahuannya yang baru mengenai kuasa dalam pelayanan tersebut yang datang
dari pengetahuan akan keselamatan, dari sebuah visi yang menyeluruh, alam tidak
akan dirubah dan dihancurkan dengan kejam. Jika manusia menempatkan pikiran dan tindakannya pada
tempatnya, dia juga akan menjadi pelayanan beriman bagi sesamamanya lewat
perhatian dan perlindungan terhadap alam, yang mana itu semua demi pemeliharaan
keutuhan alam.
3.
Resakralisasi?
Banyak orang yang beranggapan bahwa gangguan ekologi
yang bahkan mengarah pada kehancuran ekologi planetaris disebabkan oleh
penajisan alam. Hal ini dilihat sebagai penghujatan terhadap Pencipta. Meski
demikian, kita juga tidak harus mengikuti mereka yang percaya pada kemurnian
alam, yang melihat alam sebagai barang tabuh sehingga sama sekali tidak bisa
disentuh untuk dimanafaatkan.
Kita tidak bisa menanggalkan semua manipulasi
terhadap alam jika kita ingin tinggal dalam sebuah hidup yang beradab dan untuk memberi makan 4,5
milyar penduduk dunia. Kita tidak harus menanggalkan kebebasan dan tugas yang
dipercayakan oleh Allah kepada kita untuk menaklukkan bumi untuk memenuhi
kebutuhan riil kita. Manusia berhak dan berkuasa memodifikasi alam, namun harus
diingat, bahwa tindakan tersebut bukan modifikasi yang sembrono.
Seperti yang dikatakan oleh P. Teilhard de Chardin
berkaitan dengn alam, “Segala sesuatu disucikan
atau suci”, namun bukan berarti bahwa tidak bisa disentuh untuk dirubah.
Bahkan dalam pengertian yang lebih luas, kita memandang segala sesuatu sebagai
berkat dari Allah, sebagai tanda penciptaan yang tanpa henti dan panggilan
untuk kerjasa sama yang kreatif dan bertanggung jawab dengan alam. Orang
beriman yang melihat alam masih dalam proses penciptaan akan terpangil untuk
kerja sama yan setia.
4.
Antroposentrisme yang Wajar
Antroposentris kristiani
harus berbeda dengan yang apa dimaksudkan
oleh orang non-kristiani. Kita memandang Kristus, titik Omega dari semua
ciptaan dan sejarah: “Segala sesuatu diciptakan dalam Dia dan untuk Dia” (Kol
1:16). Dia menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran. Jika kita berkata bahwa keberadaan
manusia adalah sebuah peristiwa besar dalam evolusi, maka perhatian kita tidak
pertam-tama pada manusia si pembuat tetapi pada manusia Pemuja, yang dalam
relasi dengan seluruh alam, menghormati Pencipta dan menyampaikan syukur. Dia
adalah gambar Allah dalam kapasitasnya untuk mencintai Penciptanya dan ikut
serta dengan Pencipta dalam cinta-Nya untuk sesama manusia.
Inti dari rencana
keselamatan penciptaan adalah agar manusia menghormati Allah melalui cinta yang
mutual, hormat dan perhatian terhadap semua karunia-Nya. Mereka yang menerima
panggilan menjadi cerminan gambar cinta Allah untuk sesamanya juga akan menjadi
cerminan perhatian Allah untuk seluruh alam. Pandangan Alkitab mengenai relasi
manusia dengan alam memang bersifat antroposentris, namun tidak berarti
semenah-menah terhadap alam, tetapi antroposentrisme yang wajar.
Antroposentrisme yang
wajar ini berdampak pada relasi kita
dengan sesama. Dengan yakin kita berkata: “Kita adalah anggota dari sesama”,
juga dalam pandangan realitas sub-human. “Semua ciptaan yang ada mulai dari
proton hingga manusia memiliki sumber yang sama; mereka menampilkan keberadaan
mereka”. Tetapi keasadaran kita akan dinamika-dinamika ini, interaksi pendukung
kehidupan dan rasa solidaritas dengan semesta ciptaan dikuatkan dan ditinggikan
oleh relasi perjanjian kita dengan semua makluk hidup.
Tanggung jawab ekologi kita
kemudian menjadi pusat dari tindakan keadilan dan cinta kita bagi Tuhan dan
sesama. “Bumi yang ditata dengan sedemikian rupa sehingga bisa tertopang secara
ekologi lebih bernilai dan berharga bagi
kemanusiaan daripada yang tidak bisa ditopang secara ekologi. Bumi yang bisa
ditopang secara ekologi adalah kebutuhan yang mendesak untuk terciptanya keadilan
distributif/yang merata.
Dengan demikian, tanpa
keraguan, krisis ekologi yang mencemaskan saat ini harus
diiterpretasikan/ditafsirkan secara profetis sebagai sebuah panggilan untuk
bertobat dan berubah, untuk sebuah relasi dengan Allah pemberi alam yang
diperbaharui - tetapi selalu dengan dan
melalui relasi yang diperbarui dengan seluruh ciptaan.
5.
Ekologi dan Pemahaman Baru akan Hak
Milik Pribadi
Bentuk baru hidup
bermasyarakat yang ditandai dengan ilmu modern dan teknologi, memperjelas
kebusukan yang disebabkan oleh konsep individual atau kepemilikan pribadi.
Dalam pesannya kepada Konferensi Dunia yang Pertama Tentang Ekologi, Paus Paulus
VI menulis: “Lingkungan hidup adalah res
omnium, warisan umat manusia.” Dalam keadilan, setiap orang, baik secara individual
mupun kelompok harus bekerja sama memelihara warisan bersama ini.” Konsep-konsep yang keliru
tentang hak milik pribadi telah menyebabkan
kecemasan sosial. Penyalahgunaan sumber daya alam pemberian Allah yang
berorientasi pada kepentingan pribadi telah merugikan keutuhan sosial, yang
mana di dalamnya termasuk seluruh generasi umat manusia sekarang dan generasi
yang akan datang. Untuk itu, kita harus melihat dengan lebih tajam kebenaran
dari ungkapan Pemazmur: “TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan
dunia serta yang diam di dalamnya” (Mazm 24:1-2).
Kita tidak dapat menekankan
arti persamaan dan kebebasan di antara
manusia tanpa himbauan akan sebuah
tanggung jawab solidaritas untuk
ekosistem dan sumber daya yang tak tergantikan dari bum. Keadilan hukum dan
sosial melarang setiap orang untuk mencari hormat dan kekuatan melalui metode-metode
keliru yang merusak ekosistem manusia. Perkenaan/ pelonggaran terhadap
modifikasi ekosistem hanya bisa ditolerir sejauh hal tersebut tidak
menghancurkan ekosistem dan bermnafaat bagi kepentingan umum.
Tidak boleh ada pribadi
dan perusahaan ekonomi yang mendakukan biosfer manusia sebagai miliknya.
Konteks dari biosfer dan keterbatasan material sumber daya alam yang
penting mendesak umat manusia untuk
tidak hanya memperkuat tanggungjawab berskala lokal tetapi juga menyediakan dan
mengadakan perjanjian-perjanjian internasioanl yang menjamin keamana dari
ekosistem yang merupakan harta warisan
nenek moyang yang sangat berharga. Dengan perjanjian-perjanjian internasional
yang sahih berkaitan dengan masalah kesehatan lingkungan, energi dan sumber
daya alam – dan respek yang hati-hati demi prinsip subsidiaritas – dengan industri-industri yang berorientasi
profit, misalnya produsen senjata-senjata pemusna masal tidak lagi masuk
akal/diterima akal sehat.” Dan hal itu mungkin bisa menjadi sumbangan luar biasa
terhadap penghapusan perlakuan yang kejam dan mengerikan terhadap kelangsungan
hidup manusia dan ancaman bencana yang mengancam ekologi.
II.
KESADARAN
EKOLOGIS DAN TANTANGANNYA
Pengetahuan dan pemahaman
yang baru mengenai relasi dan dinamika persoalan ekologi malahirkan tanggung
jawab moral yang baru. Bagaimana pun,
persoalan ekologi yang mengancam ekosistem
berakar secara kuat dalam struktur hidup masyarakat, seperti bidang ekonomi
dan politik. Parahnya, semua ini sudah membentuk dan menjadi habitus. Keberanian untuk menghadapi persoalan
ini menuntut tipe pengetahuan lain –
sebuah pengetahuan keselamatan. Jika kita menginginkan sebuah perubahan dan mau
membangun komitmen pribadi untuk berkarya dan berjuang untuk perubahan, kita
harus sadar akan penghambat-penghambat utama yang bisa menghalangi tercapainya
perubahan dan pertobatan di bidang ekologi.
1.
Sistem Politik dan Ekonomi
Saat ini, selain krisis
ekologi dan ketegangan-ketegangan politik serta kejahatan sosial, juga ada
ideologi pertumbuhan konstan dari produksi nasional yang dianut oleh
negara-negara insdustri yang begitu rupa, sehingga meski ada kehendak baik dan
pengetahuan yang memadai dari para pemimpin politik, namun mereka tetap ditawan
oleh trend dan mentalitas ini. Di negara-negara industri besar misalnya,
terpilihnya seorang pemimpin dalam pemilihan ulang (pemilu) sangat tergantung pada
angka GNP (Produk nasional bruto), jika rencana lima tahun untuk pertumbuhan
ekonomi tidak terpenuhi maka dipastikan pemimpin tersebut tidak akan terpilih.
Dengan ideologi seperti
ini, negara-negara industri besar berlomba mengeruk kekayaan alam dari
negara-negara berkembang, akibatnya, kesenjangan sosial yang tidak dapat
dielakkan, negara-negara industri berkembang dengan pesat, sementara negara
berkembang tetap berada dalam kemiskinan. Bayangkan saja, 5,6 % penduduk dunia
yang tinggal di Amerika membutuhkan sekitar 40 % sumber daya utama dunia.
2. Kebiasaan
dan Teladan yang Keliru
Kini
masalah ekologi mendapat perhatian yang lebih luas. Tetapi karena masalah ini begitu
terstruktur, maka perjuangannya tidak hanya berhadapan dengan kekuatan-kekuatan
struktural, tetapi, pertama-tama dengan kebiasaan dan teladan pribadi yang kita
bangun lewat pikiran dan praktik. Kebiasaan-kebiasaan ini bersatu secara integral
dengan sistem ekonomi yang berorientasi profit dan budaya konsumsi, sehingga
tidak begitu disadari, namun efeknya terhadap alam dan lingkungan sangat jelas..
Untuk itu, Perjuangan menyelamatkan
lingkungan dan alam melawan kekuatan dan kepentingan pribadi serta kekuatan
kelompok yang beroreintasi profit hanya terjadi jika kita juga berjuang melawan
egoisme, melawan individualisme dan partikularisme kita sendiri. Perjuangan ekologi ini akan berhasil, jika kita mulai membangun
teladan dan kebiasaan yang dimulai dari diri sendiri, itu berarti kita harus
berani meninggalakan sifat egoitis kita dan membangun serta mengembangkan
kebiasaan dan teladan ekologis.
3. Kepentigan/Interese
Pribadi
Satu
kekuatan besar yang menjadi penghalang
tercapainya solusi yang tepat berkaitan dengan krisis lingkungan adalah adanya
puluhan (bahkan kini ratusan) kekuatan ekonomi multinasional. Kekuatan luar biasa
yang mereka miliki membuat mereka dengan mudah mempengaruhi opini masyarakat.
Akuntabiltas dan tranparansi harus dikenakan pada perusahaan-perusahaan besar
ini, misalnya, industri mobil dan industri kimia.
4. Nasionalisme
dan hegemonisme
Tantangan
lain dari perjuangan ekologi adalah adanya hegemonisme dan nasionalisme yang
keliru hanya mementingkan kepentingan kelompok sendiri dan mengabaiakn
kepentingan ekologi. Menariknya, akhir-akhir ini tekanan dan perjuangan ekologi
menjadi semakin intens karena adanya bentuk baru dari nasionalisme. Ancaman
ekologi menjadi motif bagi banyak orang yang berkehendak baik akhirnya
meninggalkan nasionalisme dan hegemonisme yang keliru, yang menyebabkan telah
menyebabkan kerusakan ekologi, misalnya perlombaan senjata yang tidak masuk
akal yang melibatkan seluruh spektrum politik dan ekonomi.
IV
STRATEGI EKOLOGI
1.
Pendidikan Ekologi
Kondisi mendasar yang
bisa menyelesaikan persoalan ekologi adalah pendidikan ekologi yang solid,
harapannya kesadaran akan persoalan dan bahaya krisis ekologi bisa tumbuh dalam
masyarakat. Namun, karena situasi yang menyedihkan -seperti yang kita saksikan
saat ini- merupakan hasil dari seluruh perilaku masyarakat yang berorientasi
profit, maka pendidikan ekologi hanya bisa sukses jika pengetahuan -yang berciri keselamatan- bisa terintegrasi secara integral sehingga
mampu mendefinisikan ulang makna kuasa manusia yang dipercayakan Allah kepada
manusia.
Masyarakat beradab harus tahu dan mencintai barang-barang yang
bermanfaat – sperti lingkungan yang sehat – dan meninggalkan “barang” yang
bertentangan dan merugikan lingkungan. Selanjutnya, agar semakin dimotivasi dan
semakin kompeten, kita harus sadar bahwa untuk menciptakan sebuah tatanan
masyarakat yang baru dan untuk menyembuhkan ekosistem, kita butuh manusia baru
dengan perubahan batin.
Kerjasama dengan
berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan ekologi juga harus digalakkan
dalam sistem pendidikan kita. Dengan ini diharapkan pendidikan ekologi menembus
bagian integral dari sistem sosial dan politik kita. Selain itu, kontribusi
Gereja dalam pengetahuan keselamatan harus menjadi visi yang memperjelas masalah
ini, sehingga mampu memotivasi banyak orang. Semua ajaran Gereja, baik di
bidang Kristologi, Eskatologi dan Antropologi dapat menjadi sarana guna
menerangi dan menggerakan kita untuk
menjadi teladan perilaku ekologi sebagaimana yang diaharapakan dunia dari orang
kristen.
2.
Iktiar Pribadi dan Saling Berbagi
Agar semakin bergaung, apa yang kita kerjakan sebagai individu dan
kelompok harus sejalan dengan pendidikan dan kesadaran ekologi kita. Kritik
yang kompeten akan efektif jika semua kelompok membangun inktiar yang
meyakinkan untuk berubah, yang mana hal tersebut nyata lewat gaya hidup mereka. Di sini kepemimpinan
yang baik sangat penting, karena dituntut untuk menjadi teladan.
Akasi bersama dari
masyarakat yang peduli dan memaksa perusahaan dan instansi yang bergerak di
bidang industri menilai kembali interaski mereka dengan lingkungan semakin
bernilai jika membawa kepentingan masyarakat atau orang banyak. Dalam hal ini,
bukan hanya kepentingan pribadi dan kelompok yang dikedepankan, tetapi juga
kebaikan masyarakat seluruhnya. Masyarakat harus memberikaan preferensi kepada
perusahaan untuk mencegah pemborosan sumber daya alam dengan metode daur ulang
tanpa membebani keseimbangan ekologi.
3.
Politik Ekologi
Ekologi menjadi isu
politik – itu berarti menjadi sebuah tugas yang tidak bisa dihindari oleh pemerintah-pemerintah
dan partai-partai politik – jika masyarakat memahami betapa penting dan
urgennya situasi ini, dan untuk itu dibutuhkan sebuah keputusan politik[10].
Persoalan ini tidak
hanya dibebankan kepada ahli ekonomi dan kekuatan ekonomi. Ini merupakan
kompetensi dan tanggung jawab utama dari pemerintah dan legislator (DPR), dan
tentu saja semua kekuatan demokrasi. Kita tidak bisa menyalahkan pemerintah dan
legislator jika kita sendiri tidak bertindak dengan kekuatan kita untuk
menguatakan kesadaran dan perilaku seluruh warga masyarakat.
4.
Rekonsiliasi Antara Manusia dan
Teknologi
Bersamaan dengan revolusi
industri yang kedua, manusia mencapai sebuah titik balik. Pada titik ini
manusia ditantang dan dipaksa utuk memilih, mengikuti dan teknolgi yang
seringkali menghancurkan kerja kreatif manusia dan meningkatkan pengangguran,
atau berdamai dengan teknologi dengan menciptakan sebuah “teknolgi yang
berwajah manusia”.
Manipulasi alam perlu
sejauh hal itu dilaksanakan dengan lebih berhati-hati, mengikuti irama alam.
Harus ada sebuah peralihan dari prinsip yang berorientasi profit pada
sebuah sikap peduli dan sikap hemat dalam cara dan penggunaan sumber
daya alam. Manusia adalah makluk yang dilengkapi dengan otak dan tangan, dan
kerja harus memberi kesempatan kepada otak dan tangan untuk kreatif, tidak
hanya untuk diri sendiri dan kelompok
tertentu tetapi untuk sebanyak mungkin orang.
Teknologi yang berwajah
manusia, yang mengembangkan kreativitas
setiap orang dan relasi kesehatan manusia dalam proses kerja, harus juga
bersahabat dengan lingkungan hidup. Perubahan dimulai degan keberanian kita
meragukan pengembangan teknik yang secara normal ke arah tekonologi raksasa dan
pemborosan. Hal ini tentu saja tidak normal dan tidak sehat di mata mereka yang
peduli mengenai kesehatan individu dan masyarakat.
5.
Energi Nuklir dan Alternatifnya
Salah
satu isu panas dalam ekologi adalah pertanyaan tentang energi nuklir. Hal ini
memaksa para pemimpin politik untuk mengambil kepusan yang rumit. Isu energi
nuklir tidak saja isu ekologi tetapi juga isu politik dan isu keamanandan isu
perang berhadapan dengan teroris.
Jika tidak ada
perubahan radikal dalam tata ekonomi dan gaya hidup, diperkirakan bahwa pada
bebrapa dekade mendatang dibutuhkan sekitar 25.000 plutonium dari peternak untuk
mencukupi persediaan energi (juga untuk negara-negara berkembang). Enam kg
plutonium cukup untuk menghasilkan satu bom atom. Bisa dibayangkan apa yang
terjadi diseluruh dunia jika ini hal ini menjadi kenyataan. Berkaitan dengan
ini, Schumacher memperingatkan dengan keras. Baginya, menjadikan energi nuklir
sebagai “solusi” dari krisis energi sama saja dengan menciptakan masalah yang
lebih besar. Radiasi ion sudah menjadi perantara paling utama dari polusi.
Mereka yang menentang
energi nuklir menyadari dan melihat energi nuklir belum menjadi kebutuhan
mendesak. Bagi mereka, umat manusia dapat bekerja tanpa pos/pangkalan kekuatan
nuklir jika mereka berbalik ke kesederhanaan dan meninggalakan gaya hidup
boros. Penolakan terhadapa tawaran gaya hidup sederhana seperti yang diusulkan
mereka yang menolak energi nuklir, menjadi pembenaran bagi mereka yang
mengatakan bahwa perkembangan industri tidak dapat berjalan tanpa kekuatan
nuklir adalah.
6.
Kebebasan Kreatif dan Kesetiaan
Berhadapan dengan
krisisi ekologi, pertanyaannya yang dapat diajukan bukan soal kelangsungan
hidup tetapi kelangsungan hidup dari homo
sapiens. Itu berarti, setia pada kebebasan sejati dan kemanusian sejati,
dan pada waktu yang sama setia kepada bumi adalah kewajiban bagi setiap
individu. Usulan bagaimana menangani dan menyelesaikan persoalan ekologi harus
ditaksir dalam terang ini. Kita harus menanggalkan “kebebasan” yang hanya
mengedepankan kompetisi dan berorientasi profit yang telah menyebabkan ekologi
dan mengenakan kebeasan yang baru yakni “kebebasan kreatif”.
Dengan demikian,
menjadi jelas bagi orang beriman, bahwa orang Kristen dan orang lain yang
menyembah satu Allah dan Bapa semua hanya bisa menjadi “garam dan terang bagi
dunia” jika mereka sendiri tahu dan mengamalkannya dalam hidup, sehingga lewat
kata dan tindakan membuat itu dikenal oleh orang lain, yang mana hal ini tidak hanya gambaran kebebasan
kreatif tetapi juga berarti penting bagi
ekologi.
V RELEVANSI PEMIKIRAN HARING BAGI ZAMAN INI
Dibandingkan dengan
kesadaran akan mendesakanya permasalahan sosial, keadilan, perdamaian, hak
asasi manusia dan lain-lain, keprihatinan akan masalah lingkungan hidup di
kalangan Gereja barulah muncul agak kemudian. Seperti kita ketahui, Konsili
Vatikan II (Gaudium Et Spes, 1965)
sudah memberi perhatian serius pada masalah-masalah keadilan dan
perdamaian. Sebaliknya dalam dokumen
yang sama kita tidak menemukan kata-kata seperti pelestarian alam, lingkungan
hidup dan ekologi misalnya. Rupanya pada waktu itu masalah lingkungan hidup
belum sungguh disadari oleh Gereja sebagai masalah yang mendesak untuk
ditangani. Itu juga menunjukkan bahwa
ekologi belum sungguh dikembangkan. Lingkungan hidup belum menjadi bagian
hakiki refleksi Gereja[11].
Itu mengapa kemudian, Ketika
Berhard Haring memasukkan tema “ekologi” di dalam manualnya yang kedua yakni Free and Faithfull in Christ (1977),
hampir semua kritikus merasa bahwa tema ekologi adalah tema yang asing bagi
dunia moral. Mereka merasa bahwa tema itu terlalu dipaksan oleh Haring untuk
dibicarakan di dalam teologi moral. Konsep pemikiran mereka dapat dimengerti
karena moralitas itu diperuntukkan bagi manusia. Tepatnya yang bermoral
hanyalah manusia[12].
Keberanian Haring untuk
memasukkan tema ekologi sebagai bagian dari moral saat itu, di satu sisi
mungkin adalah tindakan yang berani karena melawan kelaziman zamannya, di mana
moral hanya dilihat dalam hubungannya manusia dengan manusia. Namun di sisi
lain, gagasana Haring harus dipuji karena ide dan gagasan yang dilontarkannya kini
menjadi kenyataan. Tema lingkungan hidup, pelestarian alam dan ekologi yang
sebelumnya tidak dilirik dan diberi perhatian oleh Gereja, kini menjadi
persoalan mendesak yang harus ditangani.
Krisis ekologi tidak hanya berkaitan dengan alam itu sendiri tetapi lebih jauh
merupakan masalah yang kompleks karena berdampak pada seluruh seluruh
ekosistem. Prilaku manusia manusia yang hanya melihat alam sebagai obyek yang
bisa dieksploitasi menjadikan alam kini berada dalam bahaya besar.
Hemat saya, gagasan-gagasan
yang ditawarkan Haring berkaitan dengan persoalan ekologi sangat relevan dengan
situasi kita saat ini. Situasi bumi/alam kita yang tidak lagi bersahabat dengan
manusia (Misalnya: musim yang tidak lagi menentu, bencana alam-alam yang terjadi
di mana-mana, munculnya berbagai jenis penyakit baru) menjadi alarm bagi kita
untuk melihat kembali cara kita berhubungan dengan alam. Sudah saatnya, pola
pikir dan tindakan yang hanya memandang dan menjadikan alam seabagai sekedar
objek kita tinggalkan, dan menggantinya dengan paradigma baru, paradigma yang
memandang alam sebagi subyek yang memiliki nilai intristik pada dirinya
sendiri. Sebagaimana kita menyadari diri sebagai ciptaan, alam juga adalah
ciptaan. Itu berarti, jika alam dam manusia sama-sama sebagai ciptaan, maka tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan oleh manusia terhadap alam harus ditolak.
Untuk itu, strategi
ekologi yang ditawarkan Haring, seperti pendidikan ekologi untuk menyadarkan
masyarakat betapa persoalan ekologi merupakan bahaya yang mengancam keberadaan
manusia menjadi hal yang mendesak untuk dijalankan. Pendidikan ekologi yang
dijalankan dengan komprehensif akan
melahirkan generasi-generasi muda yang berwawasan ekologi. Generasi yang respek
terhadap alam. Gagasan-gasan ini, sebagaimana juga dijelaskan oleh Haring akan
menjadi kenyataan, ketika ada inisiatif dari setiap individu untuk berubah dan
bertobat menjadi pribadi ekologis, pribadi yang menaruh respek tidak saja
terhadap sesama tetapi juga terhadap alam semesta. Inisiatif-inisiatif yang
awalnya muncul secara sporadis akan semakin bergaung jika disertai dengan solidaritas bersama. Solidaritas
untuk bersama-sama bergerak menuju tatanan dunia baru yang lebih ekologis.
Di atas semua itu, kita
sadar juag bahwa sebagai warga masyarakat, kita hidup dan berada dalam sebuah
sistem yang mengatur hidup dan keberadaan kita. Untuk itu gagasan tentang
sekolah ekologi dan inisiatif-inisiatif ekologi dari banyak orang tersebut akan
menjadi semakin kuat jika ditopang oleh sebuah sistem yang kuat dan tegas.
Untuk itu, peran pemerintah dan Gereja
sebagai dua lembaga atau institusi kemasyarakatan dan religius keagamaan untuk menciptakan
serta menumbuh kembangkan sistem yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya kesadaran
ekologi dalam diri setiap warga dan umatnya menjadi sangat penting di sini. Tanpa
adanya dukungan dari pihak pemerintah dan Gereja, bagaimanapun cemerlangnya
sebuah gagasan dan ide ekologis, gagasan tersebut hanya akan membentur tembok
yang kuat.
Di Indonesia, misalnya,
secara de jure sudah banyak aturan
berupa undang-undang yang dikeluarkan oleh Pemerintah berkaitan dengan
pengelolahan dan penanganan lingkungan hidup, bahkan tidak sedikit
lembaga-lembaga pemerintah yang “bergerak” di bidang ini. Namun, secara de facto, atauran-aturan serta
perundang-undangan tersebut hanya sebatas rumusan aturan, tanpa pernah
dijalankan dengan tegas. Faktanya, sepanjang tahun 2015 hingga awal 2016,
banyak kejahatan yang berkaitan dengan kerusakan alam dan lingkungan, seperti
pembakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan, namun belum satu pun yang
diselesaikan. Bahkan kini, persoalan-persoalan tersebut terkesan dibiarkan dan
tidak dihiraukan. Fenomena ini dengan jelas memperlihatkan bahwa pemerintah
belum sungguh-sungguh mendukung tumbuh dan berkembangnya kesadaran ekologis.
Kita memiliki aturan namun belum dijlankan dengan tegas.
Ini menjadi gambaran,
betapa kesadaran-kesadaran ekologi yang bersifat pribadi memang merupakan benih
awal yang sangat bagus untuk menumbuh kembangkan kesadaran ekologis. Namun
benih tersebut akan semakin berkembang dengan subur jika ditopang oleh wadah
dan sistem yang kuat. Peran Gereja dan Pemerintah sangat penting di sini.
Keberanian Gereja dan pemerintah untuk berbicara secara lantang hemat saya
dapat menjadi “air segar” bagi kesadaran-kesadaran ekologis yang bersifat
pribadi tadi. Karya dan tidankan konkrit Gereja dan Pemerintah menjadi dukungan
nyata bagi gerakan pembaruan da pertobatan menuju tatanan hidup umat beriman
dan masyarakat yang baru, yang mengenakan dan mengedepankan semangat ekologis.
[1] Margaret Mead dan Walter
Fairservis menunjukkan bahwa, banyak kebudayaan yang menghancurkan masa depan
mereka dengan tindakan yang tidak bertanggungjawab terhadap alam. Kebudayaan Mesopotamia misalnya, hampir musna
karena kerusakan ekologi yang mereka sebabkan. Sementara kebudayaan Mesir dan
Cina kuno karena sikap mereka yang hati-hati dan hormat terhadap lingkungan bertahan
lebih lama.
[2] Manusia sebagi wakil Allah, memiliki hak untuk memanipulasi
alam, asalkan dapat mempertimbangkan dengan kepastian moral bahwa tindakannya
menguntungkan bagi generasi sekarang dan
yang akan datang. Namun, jka intervensinya yang manipulatif mengakibatkan lebih
banyak kerugian/kerusakan daripada kebaikan bagi manusia, maka manusia harus
merubah tindakannya. Kemudian, dia mungkin atau harus juga menggunakan ilmu dan
teknologi untuk memperbaiki kerusakan/kerugian dan mengurangi penderitaan.
[3] Di Amerika,
hampir 50.000 orang meninggal setiap tahun akibat kecelakaan mobil, dan sekitar
15 ribu di negara-negara besar Eropa. Meski demikian, negara-negara ini terus mengembangan industri mobil dan
kendaraan peribadi. Setiap tahun, jutaan area tanah dialifungsikan dari
pertanian menjadi jalan raya. Ditambah lagi, kendaraan pribadi menyebabkan
polusi udara dan asap yang berbahaya bagi daerah perkotaan. Ini adalah contoh
kasus di mana tersedia pengetahuan dan pemahaman yang cukup, tetapi belum
menyebabkan perubahan yang mendalam dengan sakala yang luas
[4] Padahal, menurut Carl Friedrich
von Weizsacker, Direktur dari Institute Max Plank, sejatinya sumber energi yang
ada bisa memenuhi kebutuhan seluruh penduduk dunia. Tetapi masalah mendasar
adalah keterbatasan akses untuk mendapatkan (bisa jadi karena harga yang mahal
atau karena resiko yang tinggi).
[5] Jhon Passamore
mencatat pengaruh dari Aristoteles. Berbicara mengenai mereka yang berpikir
bahwa semua alam semesta dirancang secara khusus untuk manusia sebagai
pengguna, sebagai contoh ada beberapa teks menarik dari STOA, CICERO. “Jika
kemudian, seseorang dapat berbicara dari arogansi Kristianitas, yang mengira
benda-benda diciptakan untuk manusia, itu manjadi penentu bahwa bukan
Ibrani-Kristian tetapi arogansi Yunani-Kristiani.
[6] Yang sungguh
berbeda adalah pandangan Francis Bacon yang pada tahun 1597, menyatakan bahwa
“pengetahuan adalah kekuatan”[6].
Atas pendapatnya ini, Passamore kemudian menyebuat Bacon sebagai pelagian.
Bacon menegaskan bahwa hal itu buka karunia/hadia pemberian Allah, melainkan
manusia sendiri, yang mana melalui pengetahuannya mengenai kekuasaan manusia
mengembalikan/memulihkan kekuasaan asli atas dunia. Bacon menulis, “Kuasa
manusia atas alam seluruhnya bergantung pada seni dan ilmu.” Di sini kita
berada di persimpangan pengetahuan akan kekuasaan yang telahdan akan terus menyebabkan kerusakan ekologi. Pengetahuan
akan kekuasaan dan kontrol atasnya bukanlah hal yang buruk, namun hal itu akan
menjadi buruk ketika pengetahuan tersebut dipengeruhi oleh kekuatan kerakusan,
dan eksploitasi yang kejam, karena itu,
sebuah pengetahun yang tidak diakui sebagai karunia Allah, sebuah
pengetahuan yang berpisah dari kebijaksanan, dipisahkan dari pengetahuan akan
keselamatan.
[7] Ekonom kawakan
E. Fritz Schumacher melihat sikap manusia modern sebagai tindakan yang
berlawanan dengan visi Kitab Suci. “Manusia modern tidak mengalami dirinya
sebagai bagian dari alam tetapi sebagai kekuatan luar yang mendominasi dan
menaklukkannya. Manusia bahkan berbicara mengenai sebuah perang dengan alam,
lupa bahwa jika menang sekali pun, manusia tetap akan berada di posisi yang
kalah.”
[8] Gerad Liedke
menganggap perjanjian Allah dengan Nuh dan berkat baru yang diberikan kepada
Nuh sebagai kunci untuk memahami seluruh ajaran dari bab pertama Kitab Kejadian
tentang kekuasaan manusia atas bumi. Dia menjelaskan Kej 1 & 2 dalam terang
Kej 6-9. “Di sini Allah tidak dilihat sebagai Causa Prima tetapi sebagai Dia yang dengaNya semua ciptaan
berhadapan, Dia yang mencipta, menderita, menghancurkan dan kemudian
melindungi.”
[9] Hugo dari St. Viktor
mengemukakan tradisi yang autentik. Baginya, manusia dapat menggunakan kuasanya
atas bumi hanya dengan bertindak/berlaku sebagai gambar Allah dan menerima
kuasanya sebagai sebuah pemberian yang tidak semestinya dan pemberian Cuma-Cuma
dari Allah.
[10] Di Jerman dan Swedia mislanya, partai-partai
politik baru menjadikan ekologi sebagai bagai utama dari program mereka.
[11] Adrianus Sunarko, “Perhatian
Pada Lingkungan: Upaya Pendasaran Teologis”
dalam Menyapa Bumi Menyembah Hyang
Ilahi, A. Sunarko - Eddy Kristiyanto
(ed), Kanisius, Yogyakarta 2008, 31.
[12] Mateus Mali, “Ekologi dan Moral” dalam Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, A. Sunarko - Eddy Kristiyanto (ed), Kanisius,
Yogyakarta 2008, 140.
Komentar
Posting Komentar