Perkawinan Sejenis Tak Berdasar

Rabu, 24 Februari 2016 | 09:50 WIB 
Oleh: Franz Magnis-Suseno
Akhir-akhir ini kontroversi di negara kita tentang masalah homoseksualitas dan isu seputar LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender) menghangat.
Yang mengejutkan adalah penggunaan bahasa yang keras dan ancaman tersembunyi dalam banyak pernyataan. Amat perlu kontroversi ini disikapi sesuai dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.
Untuk itu, sebaiknya kita membedakan tiga hal: fakta, sikap terhadap fakta itu, dan opsi kerangka hukum.
Homoseksualitas dimaksud sebagai ketertarikan seksual kepada orang yang sama jenisnya dan bukan yang lawan jenis, jadi laki-laki tertarik pada laki-laki dan bukan pada perempuan, dan perempuan tertarik pada perempuan.  
Pada 26 tahun lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah mencoret homoseksualitas dari daftar penyakit mental. Kecenderungan homoseks (selanjutnya: homo),  tidak dipilih, tetapi dialami oleh yang bersangkutan.
Homoseksualitas adalah kecenderungan alami, ditemukan juga di antara binatang, dan kalau orang-seperti penulis ini-percaya bahwa alam diciptakan, maka homoseksualitas juga tidak di luar penciptaan.
Kecuali dalam orientasi insting seksual ada perbedaan dengan orang lain. Mereka sama baik atau buruk, sama cakap atau tidak.
Karena itu, mau "menyembuhkan" atau "membina" ke jalan yang benar mereka yang berkecenderungan alami adalah tidak masuk akal.
Menyikapi fakta
Bagaimana menyikapi fakta itu? Pertama, kita harus berhenti menstigmatisasi dan mendiskriminasi mereka. Orientasi seksual tidak relevan dalam kebanyakan  transaksi kehidupan.
Sebaiknya kita ingat: menghina orang karena kecenderungan seksualnya berarti menghina Dia yang menciptakan kecenderungan itu.
Kedua, orang berkecenderungan homo memiliki hak-hak kemanusiaan dan kewarganegaraan yang sama dengan orang heteroseksual. Sebab, negara wajib melindungi segenap tumpah darah bangsa, maka negara wajib berat melindungi mereka.
Ketiga, hak mereka untuk bersama- sama membicarakan keprihatinan mereka harus dihormati. 
Hak konstitusional mereka untuk berkumpul dan menyatakan pendapat mereka wajib dilindungi negara. Amat memalukan kalau polisi kita bisa didikte kelompok-kelompok tertentu. Orang-orang itulah yang menyebarkan intoleransi dan kebencian dalam masyarakat.
Keempat, tahun 1945 bangsa Indonesia memilih menjadi negara hukum, bukan negara agama dan bukan negara adat-istiadat. Dan itu berarti otonomi seseorang dihormati selama ia tidak melanggar hukum.
Moralitas pribadi bukan wewenang aparat, suatu prinsip yang amat penting dalam masyarakat majemuk. Apa yang dilakukan dua orang dewasa atas kemauan mereka sendiri di kamar tidur seharusnya bukan urusan negara.
Namun, kelima: empat butir di atas tidak berimplikasi bahwa kecenderungan homo sama kedudukannya dengan kecenderungan hetero.
Dalam masyarakat kita-sampai 50 tahun lalu di seluruh dunia-kecenderungan homo oleh kebanyakan warga dianggap tidak biasa. Dan, tidak tanpa alasan.
Seksualitas berkembang selama evolusi demi untuk menjamin keturunan, tetapi untuk mendapatkan keturunan yang perlu bersatu (dan karena itu saling merasa tertarik) adalah laki-laki dan perempuan.
Dalam arti itu heteroseksualitas bisa disebut normal. Homoseksualitas juga produk alam, tetapi produk sampingan.
Kerangka hukum
Pertanyaan tentang kerangka hukum adalah pertanyaan apakah tuntutan legalisasi perkawinan antara dua orang sejenis-seperti sudah banyak terjadi di negara-negara Barat-sebaiknya dipenuhi.
Mari kita kesampingkan pertimbangan atas dasar agama (yang tentu saja juga sah). Mari kita bertanya: mengapa semua masyarakat di dunia-sampai 20 tahun lalu-tidak pernah menyamakan kedudukan pasangan sejenis dengan kedudukan pasangan laki-laki dan perempuan? 
Jawabannya jelas: evolusi mengajarkan bahwa spesies yang tidak memberi prioritas tertinggi pada penjaminan keturunannya akan punah.
Umat manusia sejak ribuan tahun memberikan perlindungan khusus terhadap persatuan intim laki-laki dan perempuan karena berkepentingan vital akan keturunannya.
Tambahan pula, agar bayi bisa menjadi orang dewasa yang utuh, dia memerlukan suatu ruang sosial terlindung selama sekitar 20 tahun pertama hidupnya, dengan acuan baik pada manusia laki-laki maupun pada manusia perempuan. Ruang sosial itulah keluarga.
Karena alasan yang sama, harapan banyak pasangan homo agar diizinkan mengadopsi anak sebaiknya tidak dipenuhi.
Betapa pun pasangan homo mencintai anak angkat mereka, tetapi menjadi besar dalam "keluarga" dua ayah atau dua ibu bisa menyebabkan gangguan dalam perkembangan kesosialan anak tersebut.
Oleh karena itu, masyarakat amat berkepentingan terhadap keluarga dengan ayah dan ibu, tetapi tidak berkepentingan terhadap persatuan dua manusia sejenis.
Oleh karena itu pula, tuntutan penyamaan kedudukan legal pasangan sejenis dengan yang berbeda jenis tidak mempunyai dasar.
Perkenankan saya mencoba menarik beberapa kesimpulan. Yang pertama, kita mesti menyepakati bahwa segala diskriminasi terhadap mereka yang homo harus diakhiri. Orientasi seksual tidak relevan untuk kebanyakan bidang kehidupan.
Dari seorang pejabat tinggi dapat diharapkan bahwa ia bisa membedakan antara wawasan tingkat taman kanak-kanak dan wawasan universitas.
Justru universitaslah tempat di mana diskursus kompeten dan terbuka terhadap implikasi perbedaan orientasi seksual harus dibicarakan. Para rektor universitas wajib berat menjamin kebebasan akademik.
Dari mereka yang berorientasi homo diharapkan realisme dan kesediaan untuk menerima bahwa perbedaan dalam orientasi seksual membuat mereka juga berbeda.
Mendesakkan penyamaan perkawinan antar-sejenis dengan perkawinan tradisional hanya akan memperkuat prasangka-prasangka. Dorongan untuk coming out bisa tidak kondusif. Pengakuan sosial akan memerlukan kesabaran.
Sudah waktunya kita menjadi dewasa secara etis dan intelektual.


Franz Magnis-Suseno
Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara


Komentar

Postingan Populer