SETELAH 3 BULAN DI NEW ZEALAND
Saya
tiba di New Zealand pada hari Sabtu tanggal 24 September 2016. Itu berarti,
sudah 3 bulan lebih saya berada di negara ini. Waktu pertama tiba ada sedikit
perasaan gugup, pertama tentu saja berkaitan dengan kemampuan bahasa Inggris
kami yang pas-pasan dan yang kedua, kami cemas karena berhadapan dengan sebuah
budaya baru. Namun cara komunitas memperlakukan kami sebagai saudara dalam
panggilan mengikis rasa cemas kami. Kami diterima dan dan perlakukan dengan
sangat baik oleh komunitas Glendowie tempat di mana kami tinggal, perlakuan yang
sama itu masih tetap kami rasakan hingga saat ini.
Komunitas
Glendowie bisa dikatakan cukup besar, ada tiga orang anggota komunitas yang
sudah berusia di atas 80, namun masih aktif dalam pelayanan yakni Denis, Bruce
dan Frank, serta seorang dari Ukraina yakni Iho. Iho merupakan mantan provinsial
Ukraina yang sedang menjalani tahun sabatikal dan akan kembali ke Ukraina pada
bulan Agustus tahun ini. Pada bulan Oktober komunitas kedatangan satu anggota
baru lagi yaki Dohan yang berasal dari Vietnam dan akan menjalani TOP di Paroki
Glendowie. Sehingga jika ditambah dengan. Redem selaku superior, total
seluruhnya kami berjumlah 9 orang.
Kami
bertiga (saya, Alan dan Yolus) memulai kursus di CCEL pada tanggal 1 Oktober
2016. Sebelum itu kami harus mengikuti tes untuk menentukan di kelas mana
nantinya kami akan berada. Ada pun tes yang kami ikuti terdiri dari listening, speaking, grammar dan writing,
akumulasi nilai dari seluruh tes ini akan menentukan kelas mana yang akan
ditempati. Sekolah kami memiliki enam kelas, yakni kelas 100, 200 hingga 600. Berdasarkan
hasil tes kami ditempatkan di kelas yang berbeda, saya sendiri menempati kelas
intermediate (kelas 400). Setiap kelas rata-rata terdiri dari 8-10 siswa dan
didampingi oleh salah satu guru/tutor. Pada umumnya siswa-siswa berasal dari
Amerika Latin (Kolombia dan Brazil) dan dari Asia (Jepang, Korea, China,
Thailand dan Indonesia) serta beberapa dari Eropa (Swiss, Perancis, Jerman,
Rusia, Italia dan Bulgaria).
Awalnya
kelas berlangsung dari pukul 09.00 hingga 15.30, namun mulai tahun ini terjadi
sedikit perubahan time table yang
mana kelas mulai sedikit lebih awal: 08.30 hinggga pukul 14.00. Biasanya kelas berlangsung
dalam suasana yang sangat santai namun serius. Di CCEL siswa tidak
diperbolehkan menggunakan bahasa negaranya sendiri. Setiap siswa diwajibkan
untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Latar belakang setiap siswa yang berbeda
memaksa kami untuk berinteraksi dalam bahasa Inggris. Kesempatan yang tentu
saja bagus untuk belajar bahasa sekaligus membangun persahabatan.
Pada
umumnya, bahan yang kami pelajari sudah atau pernah kami pelajari di SMP dan
SMA, yang beda yakni bahwa di sini kami mempelajari setiap topik dengan lebih
mendalam serta mempraktekannya secara langsung lewat speaking, writing, maupun listening. Kebanyakan yang ditempatkan di
kelas menengah ke atas sudah memiliki pemahaman bahasa Inggris yang bagus. Dengan
itu, akan lebih mudah bagi seseorang untuk mempelajari bahasa Inggris jika sudah
memiliki kecintaan dan dasar pengetahun bahasa Inggris, tanpa itu, maka bisa
dikatakan kita harus mulai dari kelas rendah, yang mana kita harus belajar
ulang lagi tentang gramar seperti tenses, dll.
CCEL
juga membantu para siswa yang memiliki visa study untuk mendapatkan pekerjaan
paruh waktu dan menawarkan beragam fun aktivitas
kepada para siswanya, seperti kelas conversation
yang berlangsung setiap hari Rabu usai jam sekolah. Juga ada tawaran paket
wisata, seperti ke pantai, gunung, museum, perpustakaan dan beragam aktivitas
lainnya. Tujuan dari kegiatan, yakni agar para siswa tidak hanya belajar dan
menekuni bahasa Iggris tetapi juga belajar untuk menjalin persahabatan lintas
negara serta mempelajari budaya-budaya
lain, khususnya budaya New Zealand.
Selain
pelajaran yang kami dapatkan dari CCEL, komunitas juga memiliki peran yang
besar dalam perkembangan bahasa Inggris kami. Waktu doa sore, misa bersama yang
berlangsung setiap hari, rekreasi dan makan malam bersama merupakan kesempatan
berharga dan langkah yang mana sangat membantu kami untuk mengembangkan
kemampuan berbahasa Inggris. Orang- orang tua di sini selalu siap membantu. Jika
kami meminta bantuan berkaitan dengan study mereka akan membantu dengan senang
hati, mereka senantiasa mendorong kami untuk lebih tekun lagi belajar, bahkan
mereka tidak sungkan menyediakan waktu
untuk duduk bersama mengerjakan setiap tugas yang kami yang kami dapatkan. Misalnya
ketika saya mendapatkan tugas sebagai Lektor, Frank selalu membantu saya untuk membenarkan
setiap pengucapan yang keliru, atau ketika ada tugas membuat tulisan, Bruce
selalu siap membantu, sesuatu yang tentunya tidak didapatkan oleh siswa-siswa
lain.
Sebagaian
besar waktu kami pada umumnya habis untuk kegiatan sekolah dan komunitas,
situasi seperti ini terkadang membuat saya merasa kesepian dan bosan, ada
keinginan untuk berkumpul bersama teman-teman, bermain bola bersama, bersepeda
bersama, nonton bersama, nyanyi bersama dll, sesuatu yang yang tentunya sulit
terpenuhi di tempat ini, namun beruntung kami bertiga yang diutus ke tempat ini
sehingga ada teman ngobrol dan nyanyi
bersama di kala merasa sepih dan
jenuh. Karena sudah jarang bermain sepak bola dan bersepeda, alternatif lain
yang saya ambil untuk menjaga badan tetap fit adalah dengan berjalan dan
berlari setiap hari, dua jenis exercise
ini sangat populer di kalangan masyarakat New Zealand.
Selain
belajar bahasa dan terlibat dalam komunitas, kami juga sering terlibat aktif
dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Komunitas Katolik Indonesia di
Auckland (KKIA), seperti terlibat dalam kor, mengikuti doa rosario bersama,
misa bersama dan banyak kegiatan rohani lain. Kehadiran mereka juga mengobati
kerinduan kami akan suasana Indonesia. Lewat makanan dan minuman yang mereka
sajikan setiap kali pertemuan, kami seolah kembali ke Indonesia, dan tentu saja
di atas semua itu, bergaul dengan mereka membuat kami tidak lupa akar
ke-Indonesiaan kami.
Ada
pun tantangan yang saya hadapi selama beberapa bulan awal berada berada di sini
yakni berkaitan dengan budaya, makanan, hoby dan cuaca. Mengenai makanan,
tantangan utamanya yakni ketika harus beralih dari beras ke kentang, roti dan
sereal, awalnya tidak mudah memang, namun perlahan kami bisa menyesuaikan diri.
Yang kedua olahraga, pada umumnya masyarakat New Zealand dikenal sebagai
pencinta rugby dan kriket, dua jenis olahraga ini sangat populer di kalangan masyarakat,
mulai dari anak-anak hingga orang dewasa semuanya suka rugby, di pantai,
lapangan, dan di aman saja mereka selalu memainkan kedua oalahraga ini. Beruntung
ada beberapa siswa yang berminat sepak bola sehingga hoby tetap bisa disalurkan.
Namun saya harus mempelajari rugby dan kriket (minimal tahulah sedikit) karena
di komunitas kami pun, jika topik pembicaraannya adalah olahraga maka pasti
yang dibicarakan adalah kriket dan rugby.
Berkaitan
dengan cuaca, ada ungkapan “Jangan pernah percaya dengan cuaca di New Zealand”
Awalnya memang tidak muda bagi kami untuk beradapatasi dengan cuaca di New Zealand yang cepat sekali berubah dan
kadang serba tak menentu, kadang dingin, panas, kadang juga hujan meski sudah summer, namun perlahan-lahan kami bisa
menyesuaikan diri. Kami senantiasa mengenakan sepatu, jaket dan topi untuk
menjaga suhu badan tetap hangat. Beruntung kami tiba di sini selepas musim
dingin sehingga muda bagi kami untuk beradaptasi dengan cuaca meski hingga kini
masih terasa dingin.
Setelah
kurang lebih tiga bulan berada di sini, saya pribadi merasa kemampuan bahasa
Inggris saya juga mengalami perkembangan meski belum terlalu signifikan. Di
tahun yang baru ini saya membuat resolusi untuk semakin menikmati hidup,
menjaga kesehatan, menjaga hidup rohani dan tentu saja semain tekun belajar
bahasa, sehingga ketika selesai nanti saya sudah bisa berbicara (bagian ini,
agak sedikit mudah) dan menulis (tantangan untuk tahun ini) dalam bahasa
Inggris. Demikian sedikit sharing signkat saya dari New Zealand setelah kurang
lebih tiga bulan meninggalkan Indonesia.
Komentar
Posting Komentar