Catatan Liburan
From
Jogja to Sumba...
Puisi Taufik Ismail yang berjudul
“Rinduku Pada Sumba” mungkin sedikit bisa menggambarkan pengalaman kerinduan saya dan
teman-teman akan kampung halaman dan sanak keluarga. Setelah menempuh
pendidikan selama kurang lebih empat
tahun di Yogyakarta, kesempatan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.
Kesempatan itu adalah liburan, suatu kesempatan di mana kami bisa berkumpul dan
berbagi bersama keluarga dan orang lain. Berbagi secara langsung berbagai rindu dan pengalaman yang
selama ini hanya tersampaikan lewat pesan-pesan tertulis dan terucap via media sosial. Meski kesempatan yang
diberikan hanya satu minggu, tidak apa, karena bagi kami hal itu dirasa sudah lebih dari cukup.
Kesempatan yang terkesan singkat ini harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin,
karena setelah itu kami akan melanjutkan misi di tempat TOP di mana kami akan
menjalani tahun orietasi. Dan berikut ini adalah kisah perjalanan saya bersama
kelima teman yang lain, dari Yogya menuju NTT.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00 ketika
travel yang kami tumpangi meninggalkan pelataran Wisma Sang Penebus Yogyakarta, bangunan yang tidak hanya sekedar komunitas tetapi sudah kami anggap sebagai rumah sendiri, rumah
yang tidak hanya sekedar menjadi tempat kami bernaung selama mengenyam
pendidikan di Fakultas Teologi-Universitas Sanata Darma tetapi lebih dari itu, Wisma
adalah rumah di mana kami menimba dan membagi sejuta mimpi dan inspirasi tidak saja dengan sesama
konfrater tetapi juga dengan mereka yang kami jumpai dan layani di luar komunitas. Tembok bangunan setiap unit
yang dihiasi dengan berbagai corak warnah mungkin bisa sedikit menggambarkan
betapa WSP adalah rumah pluralitas, rumah yang penuh dengan keberagaman . Di sini ada orang Flores, Sumba, Timor dan
Lembata, ada yang berambut lurus, keriting, ikal, berkulit hitam, puih dan sawo
matang. Semuanya perbedaan ini bersatu dan disatukan di bawah panji
Redemptoris menjadi satu keluarga dalam Kristus Sang Penebus.
Sesuai dengan rencana awal, kami seharusnya
berangkat pukul 19.00, namun karena terjadi kesalahan komunikasi, jadwal
keberangkatan kamipun diundur. Malam itu, ada banyak konfrtaer yang mengantar
kami. Seperti biasanya, ketika terjadi perpisahan pasti ada yang bersedih.
Kesedihan yang menandakan persaudaraan yang sangat akrab. Kesdihan tidak hanyat nampak dari sebagaian
konfrater yang akan menjalani perutusan yang baru, tetapi juga dari konfrater
lain yang melepas kepergian kami. Berat memang meningalkan orang-orang dan
komunitas yang selama ini telah banyak memberi spirit dan dukungan ala Redemptoris ketika pengalaman suka dan duka menghampiri dalam perjalanan yang baru separu jalan ini. Meski berat dan menyesakkan, namun kami tetap
harus pergi demi sebuah misi baru yang kami emban.
Setelah melewati perjalanan malam yang
melelahkan karena harus sabar dan tahan
untuk duduk berjam-jam, travel yang kami tumpangi akhirnya tiba di Pelabuhan Surabaya pada
hari Minggu, tepatnya pukul 05.00. Karena semalam belum sempat makan, kamipun
bergegas mencari warung makan untuk mengisi perut yang kelaparan. Kami kemudian
membagi diri dalam dua kelompok, kelompok yang pertama mecari warung dan yang
lain bertugas menjaga tas, koper dan barang-barang lain yang kami bawa, begitu
juga sebaliknya. Usai makan kami harus menunggu kedatangan KM Awu di luar
pelabuhan, karena saat itu pintu pelabuhan belum dibuka untuk penumpang.
Panasnya sengatan matahari Surabaya menemani kami menantikan KM Awu yang baru
akan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, tidak kami hiraukan, mungkin kerinduan untuk melihat kampung halaman dan berjumpa dengan keluarga lebih besar sehingga panas matahari tidak membuat kami mengeluh sedikitpun, yang ada justru canda tawa dan beragam kisah mengenai rencana liburan.
Setelah menahan panasnya sengatan matahari tepat
pukul 11.30 pintu pelabuhan dibuka untuk penumpang, kamipun bergegas mengangkut
barang bawaan kami menuju kapal. Kami berlima menuju dek empat. Atas bantuan
seorang portir kami mendapatkan lima
tempat tidur. Mungkin ini juga tips bagi anda yang baru pertama kali menggunakan kapal laut, jika
tidak ingin kecapaian karena berdiri atau duduk di lorong dan dek kapal, maka hal pertama yangharus dilakukan adalah mencari tempat tidur, apalagi bagi
anda yang akan menempuh perjalanan yang
cukup jauh, yang memghabiskan waktu berhari-hari di atas kapal. Selanjutnya, pengalaman kami di Kapal AWU menjadi pengalaman yang tidak terlupakan: bergantian mengantri makan, sesekali mampir di "bioskop" menonton film meski kadang tidak seseru seperti yang diumumkan dengan pengeras suara, tidur yang tidak nyenyak karena sesekali harus terjaga ketika kapal diterjang gelombang atau harus berjaga mengawasi barang bawaan, belum lagi kapal yang kotor karena banyaknya penumpang yang belum sadar akan kebersihan, semua itu kami nikmati dengan gembira dalam kebersamaan.
Setelah melewati perjalanan laut yang sangat
melelahkan dan menguras tenaga selama tiga malam empat hari,
akhirnya saya dan teman-teman tiba juga di pelabuhan Waingapu, bunyi sirene pertanda kami telah pun berbunyi, dengan segera saya mempersiapkan diri untuk turun. Senang dan sykur
bercampur menjadi satu. Senang karena boleh kembali ke Sumba meski hanya sebtaas
liburan, syukur karena boleh menempuh perjalanan dan tiba di kampung halaman dengan
selamat, tanpa kekurangan satu apapun. Karena teman-teman yang lain masih akan
melajutkan perjalana ke pelabuhan Ende, maka di Waingapu hanya saya sediri yang
turun.
“Pasti Sumba
sudah mengalami banyak perubahan” begitulah pertanyaan yang muncul dalam
benakku ketika pertama kali menginjakkan kaki di Waingapu setelah empat tahun
meninggalkan Sumba. Dugaanku ternyata tidak salah-salah amat, Sumba yang
kusaksikan hari ini adalah Sumba yang telah banyak berubah, di sana-sini ada
banyak aktivitas yang menunjukkan gerak perubahan sedang yang terjadi di tanah
Marapu ini. Salah satu yang nampak secara kasat adalah pelebaran akses jalan
yang menghubungkan kabupaten-kabupaten yang berada di Sumba. Mengutip bahasa Yohanes Pembaptis dalam Luk 3:5-6, “Setiap
lembah akan ditimbun dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata, yang
berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan, dan semua
orang akan melihat keselamatan yang dari Tuha” begitu juga dengan Sumba, jalan
yang sebelumnya berkelok-kelok karena bukit-bukit kapur kini diratakan dengan membela
bukit-bukit. Lembah-lembah ditimbun, tujuannya jelas agar waktu tempuh menjadi semakin
singkat. Jalan yang bagus menjadi sarana transportasi yang menghubungkan empat kabupaten di Sumba serta menunjang perpindahan barang dan masyarakat.
Hemat saya, hal ini akan sangat berpengaruh bukan saja bagi
kinerja Pemerintah tetapi juga bagi masyarakat. Jika sebelumnya perjalanan dari
Waingapu ke Waitabula membutuhkan waktu tempu 4-5 jam, berkat berbagai
perbaikan, saat ini rute yang sama dapat ditempu hanya dalam waktu 3-4 jam.
Waktu tempuh yang singkat tidak saja mendukung efektifitas dan efisiensi
pergerakan dan perpindahan barang dan jasa yang menopang ekonomi pulau Sumba
tetapi juga semakin menaikkan nilai jual pulau Sumba bagi dunia luar, khususya
di bidang pariwisata, banyak wisatawan yang akan menjadikan sumba sebagai
destinasi wisata dan liburan karena ada akses yang sangat memadai.
Dengan ini, pemerintah seharusnya tidak hanya
mempercepat pengadaan dan pengerjaan akses pendukung seperti jalan yang bagus
tetapi juga mempercepat pengelolaan tempat-tempat pariwisata serta akses-akses penunjang lainnya, seperti kemanan, komunikasi, kesehatan, pendidikan, dll. Pariwisata misalnya, Jika dikelolah
dengan baik, ada banyak tempat wisata potensial yang dapat mendatangkan
wisatawan. Kita seharusnya bangga dengan berbagai kekayaan alam yang kita
miliki, berdasarkan pengalam saya pribadi, jika dibadingkan, keindahan alam
Sumba yang esksotik dengan padang sabananya, bukit-bukit kapurnya yang membenat
dari timur sampai barat, air terjunnya yang jernih, serta pantai-pantai berpasi
putihnya yang masih perawan ditambah lagi dengan wisata megalitiknya, keindahan dan panorama alam Sumba tidak kalah dengan keindahan dan panorama alam yang diatawarkan oleh daerha-daerah
lain di Indonesia yang sudah terkenal dan mendunia, belum lagi wisata kain tradisonalnya dengan kain tenun Sumba, jika di Jogja ada paket wisata yang menawarkan pembuatan batik tradisonal, kenapa tidak dengan tenunan-tenunan kain kita? Mungkin kita hanya kalah karena minimnya sarana dan prasaran
yang menunjang dan juga minimnya kegiatan-kegiatan atau event-event untuk mempromosikan
potensi-potensi wisata tersebut.
Memang selama ini, sudah ada banyak panorama dan keindahan
Sumba yang sudah dipromosikan oleh berbagai pribadi dan komunitas-komunitas
yang memiliki semangat petualangan. Mengusung semangat “MY TRIP MY ADVENTURE” banyak pantai-pantai serta air-air terjun
dan masih banyak lagi panorama alam baru yang yang tadinya belum banyak
diketahui karena kurangnnya pemberitaan, mendadak menjadi "booming" dan terkenal serta ramai
dikunjungi tidak saja oleh masyarakat Sumba itu sendiri tetapi juga oleh
wisatawan-wisatawan luar daerah bahkan manca negara. Ini semua tidak lepas dari
semakin menjamurnya akses media komunikasi. Berkat kemajuan teknologi
informasi, alat-alat komunikasi yang semakin canggih memungkinkan keindahan Sumba yang tadinya seumpama mutiara
yang tersembunyi, kini menjadi terkenal dan mendunia. Saat ini orang dengan
muda mengakses informasi mengenai Sumba, hanya dengan sakali klik, beragam informasi dan berita mengenai Sumba akan bermunculan.
Sayangnya, fenomena yang menggiurkan ini belum
disadari betul oleh mereka yang bertanggung jawab. Yang ada, orang hanya
berjuang demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, akibatnya, kepentingan umum yang
sejatinya bisa membawa keuntungan bagi masyarakat belum benar-benar dikelolah
dengan benar. Memang sudah banyak informasi tentang Sumba yang bisa diakses
kapan dan di mana saja, namun kebanyakan informasi tersebut masih bersifat sporadis dan
tahapnya masih embrional serta belum ditata dengan rapi dan teratur, baik itu
dari segi bahasa maupun tampilannya. Andai saja, informasi-informasi ini lebih
disiapkan lagi serta disajikan dengan rapi dan teratur serta dengan kemungkinan
melibatkan semakin banyak orang muda yang kreatif dan inovatif di dalamnya,
tentu informasi yang disajikan akan semakin jelas dan meyakinkan bagi para
wisatawan luar untuk berkunjung....Ahhahhh,,,,mungkin anda berpikir, apa yang tertulsi ini hanya mimpi belaka. Namun harus diingat, ada banyak hal dan peristiwa besar yang pernah terjadi dan ada berawal dari
mimpi. Mimpi dan cita-cita bisa menjadi pendorong dan motivasi untuk
brkembang menjadi lebih baik lagi. Mengutip kata-kata Preside Soekarno, "Bermimpilah setinggi langit, sehingga jika engkau terjatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang". Jika cita-cita dan mimpimu belum tercapai teruslah berjuang, suatu ketika kau akan berada di antara bintang-bintang.
Demikianlah kisah perjalanan kami dari kota Pelajar
Yogyakarta menuju Sumba, tanah Marapu, pulau sabana nan eksostis di ujung
selatang Indonesia, dengan budaya megalitiknya yang tidak ada tandingannya dan telah berusia beratus-ratus tahun.
Tanah yang kaya dengan berbagai tradisi leluhur. Semua kekayaan dan tradisi
serta adat-istiadat itu senantiasa mengalir dalam nafas dan darah warga Sumba,
menghidupi dan dihidupi dalam keseharian mereka. Sebuah pulau karang yang
strukturnya tergambar secara jelas dalam watak dan karakter orang Sumba: tegar dan pantang menyerah berjuang dari hari ke hari namun halus dalam cara. Dari mulai matahari
terbit di ufuk timur hingga tenggelam di ufuk barat, juga meski musim silih
berganti, orang Sumba tidak akan pernah berhenti untuk berjuang dan berjuang
untuk masa depan yang lebih baik dari hari kemarin dan hari ini.
Komentar
Posting Komentar