PERLUNYA KESADARAN EKOLOGIS
Dalam kuliah Gereja dan Ekologi,
Rm. DR. Mateus Mali, CSsR, mengatakan bahwa Krisis ekologis muncul setelah manusia memasuki era
modern sejak abad XVII. Sebelum itu, manusia hidup bersahabat dengan alam.
Ketika hidup sangat primitif, saat ia hidup sebagai peramu dan pemburu, manusia
menyadari dirinya sebagai anggota dari alam semesta dan sangat tergantung
kepada alam semesta. Ketika manusia sudah mengenal alat-alat sederhana untuk
bercocok tanam, ia hidup tergantung kepada keadaan alam. Ia bersahabat dengan
alam dan mencoba mengikuti ritme hidup yang diberikan oleh alam. Ia mendirikan
rumah yang sesuai dengan keadaan alam, bercocok tanam mengikuti gerak musim
yang ada, ia tahu membaca tanda-tanda alam yang menyangkut kehidupannya.
Manusia merasa kecil di hadapan alam.
Pernyataan di atas mengingatkan
saya akan pengalaman pribadi waktu kecil ketika masih duduk di bangku SD dan SMP, terutama pada masa liburan ketika berkumpul bersama keluarga besar di kampung halaman. Waktu itu saya sering berkunjung ke rumah kakek dan nenek, baik
dari pihak ibu maupun ayah. Di sana, satu hal yang saya ingat betul hingga hari
ini adalah penghargaan mereka yang besar terhadap alam. Misalnya, ketika sebuah
pohon akan ditebang untuk membangun rumah, biasanya akan diadakan ritual adat.
Dalam keyakinan mereka setiap unsur alam, sperti pohon memiliki penghuni, sehingga
adalah sebuah kewajiban untuk memohon izin pada “mereka” yang menghuni pohon
tersebut. Bahkan ketika seseorang akan membuat “air” di tengah hutan, hal
pertama yang harus disadari adalah meminta izin.
pengalaman-pengalaman masa kecil ini menunjukkan bahwa ekologi
atau keutuhan alam semesta juga ditopang oleh “paradigma mistis” yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat, dan hampir sebagian penganut dan pemerhati paham
seperti ini terdapat dalam masyarakat tradisional. Dalam kelompok-kelompok
masyarakat seperti ini, ada sebuah kebiasaan untuk memberi nama pada
benda-benda yang terdapat di alam semesta. Masyarakat Jogja tradisional
misalnya memanggil atau menyebut Gunung Merapi dengan sebutan "Eyang", satu sebutan yang sangat manusiawi. Sebutan
seperti ini tidak muncul begitu saja, tetapi muncul dari kedalaman hati dan kesadaran budi yang menggambarkan sebuah relasi yang sangat personal antara manusia dengan alam. Relasi ini kemudian melahirkan sikap
hormat terhadap alam. Pengalaman dengan alam memberi mereka perspektif bahwa
alam memiliki kekuatan yang sulit diprediksi, kekuatan yang tidak dapat ditaklukkan dengan nalar dan kekauatan manusia, suatu kekuatan yang penuh dengan misteri, sehingga hormat dan penghargaan
terhadapnya adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar agar alam menjauhkan berbagai mara bahaya yang
bisa mengancam keselamatan.
Hal lain yang menggambarkan
bagaimana manusia bergantung sepenuhnya dari alam dan hidup bersahabat serta mengikuti
ritme alam adalah prediksi mereka tentang musim. Bukan kelender, apalagi HP
yang mereka gunakan sebagai pengingat atau alarm bagi aktivitas mereka. Tanda-tanda
alam, seperti hujan, bulan, bintang, guntur dan agin menjadi pengingat akan beragam peristiwa. Dengan tanda-tanda seperti itu, mereka tahu kapan ladang dan kebun
harus disiapakan untuk menyongsong musim tanam, mereka juga tahu kapan
ritual-ritual adat seperti Wulla Poddu (Kec. Loli) dan Pasola (Kec. Wano Kaka,
Lamboya dan Kodi) diadakan, semua ritual ini didasarkan pada tanda-tanda alam,
misalnya bulan, bintang, matahari, angin, hujan, dll.
Kebanyakan ritual-ritual adat
yang diadakan bukan hanya untuk ritual itu sendiri, tetapi lebih dari itu
menunjukkan kedalaman relasi antara alam dan manusia. Berhadapan dengan alam dan yang
sulit diprediksi, muncul kesadaran dalam diri manusia bahwa alam memiliki “penghuni”
sehingga hormat terhadapnya adalah sebuah keharusan. Selain itu, manusia juga
sadar bahwa dia hanya merupakan salah satu bagian dari unsur semesta ini.
Dengan kesadaran seperti ini, berarti manusia mengakui bahwa subyek alam
semesta bukan hanya dirinya sendiri, tetapi seluruh alam semesta adalah subyek
itu sendiri yang harus diperlakukan dengan baik. Jika dikatakan sebagai subyek, berarti
unsur-unsur semesta tesebut memiliki nilai instristik dan bukan hanya nilai
instrumental, sebuah nilai yang diletakkan manusia pada alam semesta untuk
kepentingan pribadinya. Dengan adanya nilai instristik yang melekat pada alam
ini, itu berarti manusia tidak bisa lagi memperlakukan alam semesta ini dengan
semenah-menah.
Namun ketika manusia sudah mengenal teknologi, ia yang tadinya merasa kecil di hadapan alam,
mulai merasa bahwa ia bisa menaklukkan alam. Alam semesta tidak lagi dipandang sebagai subyek yang
memiliki nilai instristik pada dirinya sendiri. Penghormatan yang lahir dari
kesadaran bahwa alam ini sakral, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi perlahan-lahan hilang. Manusia yang tadinya menghargai alam semesta
berganti menjadi sosok
berkuasa atas alam semesta. Ia mengadakan ekspolitasi
sumber daya alam untuk kebutuhan hidupnya. Krisis ekologis terjadi karena
manusia mengeruk segala kekayaan alam itu tanpa memperhatikan lagi dampak yang
ditimbulkan oleh penggalian itu, seperti kerusakan lingkungan, pencemaran yang
ditimbulkan oleh penggalian tersebut, spesies-spesies tertentu di sekitar
lokasi penambangan biasanya punah.
Dengan demikian, tantangan bagi
pelestarain alam atau ekologi saat ini adalah adanya paradigma “ekonomi pragmatis”, yang
menggantikan “paradigma msitis”. Dengan "paradigma ekonomi pragmatis" orang tidak lagi
melihat alam sebagai subyek yang memiliki nilai instristik, tetapi sebatas
ruang yang bisa dieksploitasi dengan bebas demi kepentingan ekonomi. Ditambah lagi merebaknya
paham konsumerisme dan hedonisme membuat orang tidak lagi peduli dan menaruh respek
terhadap alam. Alam tidak lagi dilihat sebagai subyek, tetapi menjadi sebuah
instrumen, sebuah medium bagi pemenuhan hasrat dan kerakusan manusia.
Lompatan paradigma yang terjadi
dalam masyarakat, dari yang tadinya mistis ke ekonomis menadi semakin berbahaya
karena tidak atau belum diimbangi dengan kesadaran ekologis. Kesadaran ekologis
di sini berarti orang melihat alam tidak hanya sebagai ruang untuk
mengembangkan ekonomi semata, tetapi juga ruang untuk hidup dan berkembang serta
berkreativitas. Akibatnya bisa kita lihat sendiri, dalam tempo yang singkat
alam menjadi sangat kritis. Kesadaran ekologis yang diharapkan segera tumbuh
dalam masyarakat semakin menjadi kabur, ketika sistem yang politik tidak mendukung.
De Jure, sudah ada banyak sistem dan
atauran yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait pelestarian alam, namun De Facto, kebanyakan aturan dan sistem
yang ada hanya sebatas aturan tanpa pernah diekskusi di lapangan.
Untuk itu, satu hal yang mendesak
yang dilakukan oleh semua lapisan masyarakat saat ini adalah menumbuhkan
dan mengembangkan kesadaran ekologis. Agar kesadaran ini bisa tumbuh dan berkembang dengan subur,
maka, keberadaan sebuah sistem pendukung yang dikeluarkan oleh pemerintah mutlak
diperlukan. Kita mungkin bisa belajar dari negara-negara maju di Eropa, di Jerman
misalnya, orang tidak bisa seenaknya menebang sebatang pohon, tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum yang sangat berat, jika terbukti bersalah akibatnya bisa
berakhir di penjara. Di Indoesia, hal seperti ini mungkin masih jauh dari
harapan, nyatanya, penebangan-penebangan liar dan pembukaan lahan untuk kelapa
sawit yang terjadi di hutan-hutan Kalimantan, Papua dan Sumatera yang luas, tidak atau belum
dilihat sebagai sebuah masalah yang serius, mungkin kesadaran - meski sudah terlambat - baru akan muncul
setelah semua hutan yang kita miliki berubah menjadi gurun. Kalau ini terjadi, kita akan sadar bahwa di hadapan alam kita tidak berarti apa, tidak ada lagi orang kaya, miskin, tidak ada lagi orang pemenang atau pecundang, di hadapan alam yang yang rusak kita semua sama: KALAH!.
Komentar
Posting Komentar