YESUS KRISTUS SANG JURU SELAMAT, PERBANDINGAN FAHAM KESELAMATAN DALAM BUDDHA DAN KATOLIK




1.                  Pendahuluan
Seperti dikatakan oleh James L. Fredericks, diskusi di antara orang-orang Kristiani tentang teologi agama-agama semakin hidup dan semakin menentang orang-orang Kristiani. Bagaimanapun sudah saatnya disadari bahwa perdebatan antara kaum eksklusif, inklusif dan pluralis  sudah mencapai jalan buntu[1]. Orang Kristen perlu mengembangkan keahlian untuk hidup secara bertanggungjawab dan kreatif dengan orang-orang non Kristen. Salah satu jalan keluar yang coba ditawarkan oleh para teolog adalah melalui teologi kompratif.
Teologi komparatif adalah usaha untuk memahami arti, makna dan sumbangan iman Kristiani dalam konteks keberagaman iman dengan menelitinya secara seksama dalam “terang” ajaran-ajaran tradisi religius yang lain. Berteologi dalam konteks perbandingan berarti orang-orang Krstiani menganggap kebenaran-kebenaran sebagaimana diyakini oleh penganut agama-agama lain sebagai sumber untuk memahami iman Krsitiani mereka sendiri[2]. Dengan demikian, seturut pendapat Francis Clooney yang dikutip oleh Y.B. Prasetyantha teologi komparatif adalah teologi yang secara mendasar berubah oleh perhatiannya yang terinci terhadap detail-detail dari tradisi teologis dan keagamaan yang beragam; suatu teologi yang direkonstruksi hanya setelah praktek-praktek perbandingan[3].
Sebagaimana yang dikatakan oleh James L. Fredericks yang dikutip oleh Y.B. Prasetyantha, teologi komparatif menggabungkan suatu studi yang mendalam tentang (tradisi) agama-agama lain dan suatu komitmen untuk meperdalam arti, makna sekaligus sumbangan iman Kristiani. Teologi komparatif adalah suatu tindakan “perlawanan” (resitance) sekaligus suatu tindakan “harapan” (hope); perlawanan terhadap kecendrungan untuk meng-“imunisasi” Kristianitas dari tantangan keberagaman iman sekaligus harapan bahwa keterbukaan terhadap agama-agama lain justru menjadi sarana untuk memahami lebih dalam kebenaran-kebenaran iman Kristiani[4].
Tujuan teologi komparatif adalah membantu orang-orang Kristiani untuk sampai pada pada pengertian yang lebih mendalam tentang tradisi iman mereka. Dalam konteks tugas teologi: fides quaerens intellectum, berteologi secara komparatif berarti berusaha untuk membangun korelasi-korelasi kritis yang saling menguntungkan antara interpretasi tentang tradisi religius yang khusus dan interpretasi terhadap dunia kontemporer. Teologi komparatif mencoba untuk sampai pada kebenaran Kristiani dengan menggunakan sumber dan acuan teologis yang semakin luas, termasuk unsur-unsur non Kristiani, tetapi tanpa mengkalaim diri mengetahui lebih banyak tentang penganut-penganut agama lain daripada para penganut agama itu mengenal diri mereka sendiri[5].
Hampir  semua agama, baik yang sudah diakui oleh negara maupun agama-agama tradisional, tema “keselamatan” merupakan tema utama dari setiap ritus yang mereka jalankan.  Faham keselamatan dalam masing-masing agama atau kepercayaan tersebut tentunya juga berbeda satu dengan yang lainnya. Misalnya saja faham keselamatan dalam agama Buddha dan Katolik. Agama Buddha melihat keselamatan sebagai hasil dari usaha manusia. Sedangkan agama Katolik dengan sejarahnya yang panjang melihat keselamatan sebagai anugerah atau karunia dari Allah, namun tidak dipungkiri bahwa didalamnya manusia juga turut serta mengusahakan keselamatan tersebut. Dalam paper ini kami akan mencoba membahas perbandingan faham keselamatan dalam agama Katolik dengan faham keselamatan dalam agama Buddha. Kami melihat tema keselamatan dalam kedua agama ini sangat berbeda. Inilah yang menjadi alasan bagi kami untuk mencoba melihat kekhasan masing agama tentang faham keselamatan. Paham soteriologi atau keselamatan merupakan persoalan yang sangat mendasar bagi kehidupan seorang beriman (baik Kristiani atau pun Buddha). Bisa dikatakan setiap orang yang hidup di dunia ini pastilah “mengharapkan atau mendambakan” apa yang disebut sebagai “kepastian nasib” entah itu berasal dari usaha manusia (dalam ajaran Buddha) atau pun itu berasal dari rahmat eksternal yakni dari Allah Yang Maha Kuasa dalam agama Katolik. Sulitlah memahami bahwa setiap manusia hidup dengan tujuan yang tidak jelas. Hal ini tentu bertentangan dengan salah satu sifat manusia yang selalu ingin bertanya dan berorientasi pada kebenaran. Setiap kehidupan pastilah memiliki tujuan.
Oleh karena itu, pemahaman akan paham keselamatan perlulah diberi perhatian khusus dan juga pemahaman yang baik dan benar serta mendalam. Dengan demikian setiap orang mampu semakin menghayati hidupnya secara lebih serius dan bertanggung-jawab. Paham soteriologi  merupakan faham yang mendorong kita untuk mampu berefleksi secara lebih mendalam mengenai tujuan hidup kita di dunia ini, barangkali lewat perbandingan, pertanyaan kritis, atau pun berdasarkan pengajaran yang bersifat doktriner. Dengan demikian, kita semakin dimampukan untuk menyadari keselamatan itu sendiri. Sehubungan dengan paper seminar ini, kelompok mencoba untuk membandingkan paham keselamatan itu sendiri dalam pandangan Katolik (Kristiani) dan Buddha. Kelompok merasa tertarik untuk membahas perbadingan ini karena adanya perbedaan paham Keselamatan yang dimiliki oleh masing-masing agama. Sehingga, kelompok merasa tertantang untuk semakin  mendalami dan memahaminya, tentunya dengan menggunakan  cara pandang yang digunakan oleh agama-agama itu sendiri, tanpa harus menilai baik buruk, positif-negatif. Dengan membandingkan kedua faham ini, kami ingin melihat perbedaan dan kiranya juga menemukan kekhasan masing-masing faham, yang kemudian bisa bermanfaat bagi perkembangan iman kita. Tentunya dengan mengingat bahwa perbandingan di sini tidak berarti berusaha menemukan faham keselamatan mana yang benar dari kedua agama ini.

2.                  Keselamatan[6] Dalam Pandangan Gereja Katolik
Pembicaraan mengenai keselamatan dalam tradisi Gereja menyangkut banyak hal seperti  rahmat, kesucian, dosa, pembenaran, penebusan, hidup kekal, kepengantaraan Kristus, tanggapan manusia dll. Faham-faham tersebut merupakan perkembangan dari faham keselamatan yang diwartakan dalam Kitab Suci. Maka pembahasan mengenai keselamatan dalam tradisi mengandaikan pemahaman faham keselamatan dalam Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Berpangkal dari faham keselamatan dalam Kitab Suci itu, tradisi Gereja merumuskan imannya makna keselamatan Allah dalam Yesus Kristus bagi umat manusia dalam konteks budaya yang dihidupinya serta permasalahan yang berkembang pada jamannya.

2.1.      Kitab Suci Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama konsep tantang keselamatan yang muncul di antara uamat Israel adalah konsep yang terbentuk lebih dari bertahun-tahun dan didasarkan dari pengalaman mereka[7]. Perjanjian Lama merumuskan situasi selamat itu dengan ungkapan shaloom. Shaloom sebagai "suatu keadaan mantap di mana hubungan manusia dalam kebersamaan (kolektivitas) dari semua seginya adalah baik dan beres"[8]. Dan ini berarti suatu keadaan riil dan menyeluruh, menyangkut situasi rohani dan jasmani, baik sebagai orang perorangan maupun sebagai persekutuan (Kel 18: 23; Hak 8: 9; 11: 31), khusunya umat Israel (1 Raj 5: 4) serta pusatnnya Yerusalem/Sion (Maz 76; 122; 125), bahkan seluruh alam di sekitarnya ikut dan termasuk dalam keadaan bahagia itu (Hos 2: 20; Yes 11: 6-9)[9].
Keselamatan itu dirasakan hadir dalam situasi sekarang. Mengingat pentingnya relasi dalam hidup manusia yang pada hakikatnya makhluk sosial maka dalam arti relatif, shaloom menunjukkan relasi yang baik antarorang, antarkeluarga, dan antarbangsa yang berbeda-beda (Yos 9: 5; Hak 4: 17; 2Sam 3: 20).  Keadaan Kerajaan Israel pada jaman Daud dan Salomo dapat dikatakan sebagai gambaran ideal terwujudnya  shaloom di dunia ini. Maka dapat dikatakan bahwa keselamatan lebih berwarna "duniawi", bernada sosial politik, ketika kerajaan Israel dilimpahi berkat oleh Allah dalam wujud kejayaan dan kedamaian duniawi. Gambaran semacam itu merupakan gambaran ideal, yang didambakan oleh umat Israel. Dalam arti yang lebih luas, shaloom merupakan pemberian Allah.khusunya sebagai hasil tindakan Allah yang membebaskan manusia dari bahaya apa saja, keselamatan juga disebut yesuah dalam bahasa Ibrani, sótéria dalam bahasa Yunani[10].
Namun keadaan ideal tersebut tidak pernah terwujud.  Tidak adanya suasana shaloom dipahami sebagai akibat dosa manusia, karena umat tidak setia kepada kehendak Allah. Maka, para nabi menyerukan pertobatan, dan kembali kepada Yahwe supaya dapat mengharapkan kerajaan yang ditandai dengan perdamaian[11]. Umat perlu setia kepada perjanjian supaya keselamatan terjamin. Bila umat setia, Allah akan memulihkan suasana shaloom  sebagaimana dialami pada jaman Daud. Faham keselamatan yang berpangkal dari situasi dunia ini berkembang menjadi paham eskatologis, terutama setelah jaman pembuangan. Dalam suasana kehancuran itu, umat menyadari kedosaan mereka, dan mengharapkan karya Allah di masa datang, yang akan memperbarui segala sesuatu. Keselamatan tidak mungkin tercapai dengan memperbaiki dunia ini. Allah sendiri yang akan memperbarui dunia. Faham eskatologis ini kemudian tetap hidup dalam faham Kitab Suci sampai pada Gereja sendiri[12]. 


2.2.      Kitab Suci Perjanjian Baru
 Perjanjian Baru mengungkapkan situasi selamat dengan dua kata: sotêria (penyelamatan) dan eirênê (damai sejahtera, keselamatan) yang dianugerahkan Allah kepada manusia dihubungkan secara tegas dengan diri Yesus Kristus dan dengan karya Roh Kudus[13]. Pada dasarnya gagasan mengenai keselamatan dalam Perjanjian Baru meneruskan gambaran shaloom dari Perjanjian Lama. Namun demikian, Perjanjian Baru menghubungkan keadaan selamat itu dengan diri Yesus Kristus dan dengan karya Roh Kudus. Semuanya terpenuhi dalam diri Yesus Kristus[14].
Dimensi relasi dengan Allah semakin dirasakan dalam Perjanjian Baru. Dimensi sosial, politis tidak dihilangkan, tetapi relasi dengan Allah mendapat tekanan. Keselamatan dalam Perjanjian Baru juga berdimensi eskatologis, yaitu akan menjadi penuh pada saat kedatangan Yesus yang kedua. Disadari bahwa jaman baru sudah datang, tetapi belum sampai pada kepenuhannya. Maka, umat masih menantikan. Dengan demikian, Perjanjian Baru memberikan perhatian pada peran Yesus dalam rangka keselamatan kita. Dalam hal ini muncul gagasan mengenai pendamaian, penebusan. Perhatian kedua ialah mengenai keadaan kita setelah diselamatkan.
 Apakah artinya diselamatkan. Dalam Perjanjian Baru, keselamatan dipahami sebagai datangnya dunia baru, datangnya jaman baru yang ditandai dengan situasi serba beres dan bahagia, bebas dari bahaya dan kematian (Mat 8: 25; 14: 30; Mrk 3: 4; Luk 6: 9; Kis 27: 20), tidak ada penyakit (Mat 5: 23; 9: 21; Luk 8: 36; Yoh 11: 12; Kis 4: 9),  dari rasa takut akan kematian (Yoh 12: 27), dari dosa ( Mat 1: 21)[15], relasi manusia  dengan Allah baik, tidak ada tindakan tidak adil dll. Ini sungguh merupakan pembaruan dunia. Keadaan ini dimulai dengan wafat dan kebangkitan Kristus. Melalui wafat-Nya, kuasa jahat dikalahkan, melalui kebangkitan-Nya keadaan selamat dimulai. Tetapi, keselamatan ini belum penuh. Maka perhatian umat ada pada datangnya Yesus yang kedua, pada saat itulah semua orang yang percaya dan menerima Roh Kristus mendapatkan keselamatan[16].   

2.3.      Bapa-Bapa Gereja
Masuknya kekristenan ke dunia Yunani membawa perubahan dalam pemahaman mengenai keselamatan. Alam pikiran Yunani membuat para Bapa Gereja merumuskan imannya secara baru. Apa yang diterimanya dari budaya Yahudi, yang dinamis dan penuh gambaran harus dirumuskan dalam konsep-konsep baru supaya bisa dimengerti oleh alam pikiran Yunani. Inilah awal perkembangan dogma Kristen, yang dirumuskan dengan menggunakan alam pikiran Yunani-Romawi. Paham mengenai keselamatanpun mulai dirumuskan dalam pola pikir Yunani Hellenistis[17].
 Pada umumnya para Bapa Gereja melihat keselamatan jauh lebih invidualistis daripada pandangan Alkitab. Faham keselamatan hampir seluruhnya dibatasi pada hubungan Allah dengan manusia perseorangan. Masyarakat dan juga Gereja tidak termasuk tema-tema utama dalam Soteriologi Patristika[18]. Sebaliknya, pusat perhatian ialah hubungan langsung dan individual antar jiwa dan Allah. Keselamatan diterangkan dalam relasi manusia dengan Allah. Keselamatan dimengerti sebagai karya Allah dalam Yesus Kristus, melalui Roh Kudus. Mulai dibedakan antara karya penciptaan dan karya penyelamatan, tetapi tetap disadari sebagai karya Allah yang sama.   Keselamatan berarti situasi dimana manusia bebas dari kutuk dosa dan kembali terikat kepada Tuhan. Dengan menjadi anggota Gereja kita berpartisipasi dalam dalam buah penebusan Kristus[19].
Pemahaman para Bapa Gereja mengenai keselamatan tidaklah sama. Ada empat tema pokok dalam paham keselamatan Bapa-Bapa Gereja awal, yaitu penebusan, pembebasan, pengilahian dan pendidikan. Penebusan dan  pembebasan merupakan tema Kitab Suci, khususnya Paulus. Namun demikian karya penebusan tidak terbatas pada peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus, tetapi seluruh hidup Yesus menghasilkan penebusan kita. Misteri inkarnasi sendiri sudah dipahami sebagai penebusan, karena dalam diri Kristus, Logos yang menerima kodrat manusia, diterima seluruh kemanusiaan.
Paham yang lebih umum ialah pengilahian[20] (theiosis, divinisatio). Gagasan ini merumuskan faham biblis yang menerangkan keselamatan sebagai ikut serta dalam hidup Allah sendiri, karena Roh Allah tinggal dalam diri kita.  Bapa Gereja menerangkan bahwa manusia bisa sampai pada pengilahian berkat Yesus Kristus. Pengilahian bukan atas jasa manusia, tetapi sungguh merupakan anugerah Allah. Pengilahian sebagai karya Allah terjadi dengan misteri inkarnasi. Paham pendidikan muncul dalam konfrontasi dengan gnosis, yang berpendapat bahwa pengilahian manusia dapat dicapai kalau manusia mengenal gnosis. Bapa Gereja menggambarkan Kristus sebagai "Guru sejati", yang akan menuntun pada kebenaran sejati. Dan keselamatan berarti "pengetahuan (ngelmu) sejati". Kristus membawa manusia pada kesadaran yang akan medorongnya ke arah kesatuan dengan Kristus. Dengan demikian, manusia dibebaskan dari kegelapan dan kesesatan yang merupakan manifestasi kuasa setan. Maka manusia kembali menjadi "gambar Allah"[21].

2.4.      Arti Agustinus bagi Perkembangan Faham Keselamatan
            Sebelum Agustinus (354-430), ajaran tentang dosa, rahmat dan keselamatan memang ada, tetapi sisinya belum jelas dan pernyataannya belum tegas. Baru oleh Agustinus persoalan mengenai teologi rahmat mulai dirumuskan dengan lebih tajam dan tegas. Sebelum dia, dalam teologi Patristika, khususnya pada pra bapa Yunani, paham “rahmat” itu cakupannya menyeluruh, hampir sinonim dengan faham “keselamatan” sehingga dapat dikatakan bahwa bagi orang yang bersatu dengan Kristus segala sesuatu adalah rahmat. Akan tetapi sejak Agustinus faham rahmat dipersempit cakupannya menjadi daya kekuatan Allah dalam jiwa individual manusia berdosa supaya manusia perseorangan dapat melaksanakan diri dengan bebas.
            Pemikiran Agustinus mengenai rahmat juga ditentukan oleh diskusinya dengan Pelagius. Persoalannya adalah bagaimana orang samapai pada keselamatan. Pelagius menekankan tanggung jawab manusia. Manusia bertanggungjawab atas hidupnya sendiri, oleh karena itu manusia harus hidup baik agar bisa diselamatkan. Pelagius melihat rahmat hanya sebagai bantuan saja[22]. Akibatnya, Pelagius melihat dosa adalah sesuatu yang personal, maka tidak benar jika manusia berdosa sebelum ia mampu berbuat dosa. Dosa Adam hanya berakibat bagi dirinya sendiri dan hanya sebagai teladan.     Berhadapan dengan Pelagius, Agustinus menekankan perlunya rahmat Allah bagi manusia. Mengikuti Paulus, Agustinus menekankan bahwa manusia dikuasai oleh dosa. Dosa yang berasal dari Adam kena pada manusia, sehingga dari dirinya sendiri manusia tidak bisa selamat, dosa ini disebut dosa  asal[23] karena diterima dari Adam,  maka untuk selamat manusia  rahmat Allah, dan ini merupakan anugerah Cuma-Cuma dari Allah. Dengan demikian mulai ditekankan peranan Yesus dalam penebusan. Tanpa Yesus tidak mungkin ada keselamatan.

2.5.      Konsili Trente
            Dalam Konsisli Trente, berkaitan dengan keselamatan dibicarakan dua hal yakni dosa asal dan Justificatio (pembanaran). Ajaran mengenai dosa asal ditegaskan kembali dalam Konsisli Trente. Dengan dmikian mendapat arti yang lebih resmi dan universal. Sebenarnya soal pokok yang dibicarakan adalah tentang justificatio, namun perlu juga dibicarakan mengenai dosa asal. Maksud dasar Konsili merumuskan ajaran mengenai dosa asal yakni lebih ke pembaruan ke dalam yaitu untuk menjaga kesatuan iman dan agar umat tidak tersesat dengan ajaran yang salah. Untuk itu, Konsili Trente hanya menegaskan kembali apa yang telah dirumuskan oleh Konsili Kartago dan Orange II. Konsili Trente merumuskan beberapa ajaran yakni, bahwa akibat dosa Adam ialah maut dan konkupisensa (kecendrungan ke arah dosa)[24]. “Kesucian dan kebenaran” yang hilang pada Adam juga hilang pada kita. Adam meneruskan dosanya kepada kita.
Dalam Kanon 3 dikatakan bahwa dosa Adam hanya bisa diambil oleh pahala Kristus berkat Sakramen Permandian, bukan sarana-saran yang lain. Kanon ini juga menerangkan ciri –ciri dosa Adam, yaitu berasal dari satu dosa, tetapi diteruskan kepada semua manusia “dengan pembiakan dan bukan dengan peniruan”. Dengan demikian dosa ada bukan karena meniru Adam. Dan dosa itu ada dalam diri manusia dan menjadi “dosanya sendiri”. Dengan demikian, bayi perlu dibaptis demi pengampunan dosa. Dalam kanon 5 ditegaskan bahwa akibat rahmat Kristus lewat permandian yaitu pengampunan dosa dan tidak ada dosa lagi dalam diri manusia. Dosa tidak hanya “dicukur” tetapi sungguh-sungguh diambil dari manusia[25]. Kanon 5 juga menegaskan bahwa yang tinggal dalam diri  manusia adalah “keinginan”(concupicentia), yang merupakan akibat dosa Adam. Konkupisensa sendiri bukan dosa, meski mengarah ke dosa. Bisa mengakibatkan dos tetapi belum merupakan dosa. Konkupisensa ditinggalkan demi perjuangan kita, maka tidak merugikan bagi yang tidak mengikutinya.

2.6.      Konsili Vatikan II
            Konsili Vatikan II membuka cakrawala bagi Gereja. Gereja mengubah sikapnya terhadapa dunia. Dunia tidak hanya dilihat melulu negatif, tetapi juga dihargai nilai positif yang ada di dalamnya. Penghargaan yang baru terhadap dunia dan masyarakat manusia, tentulah mengubah sikap Gereja terhadap dunia sendiri. Dalam pendahuluan dari konstitusi Gaudium et Spes dinyatakan bahwa Gereja tidak bisa berpangku tangan terhadap masalah- masalah dunia, "kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus pula" (GS art. 1). Nampaknya keselamatan yang mau diwartakan itu diyakini sebagai sesuatu yang tidak hanya menyangkut hidup pribadi, tetapi berkaitan erat dengan kehidupan seluruh masyarakat, "karena pribadi manusia harus diselamatkan dan masyarakat manusia harus diperbaharui" (GS art.3)[26].
            Haruslah dikatakan bahwa yang menjadi pusat perhatian dari Konsili adalah manusia sendiri, "manusia yang satu dan menyeluruh, dengan raga dan jiwa, dengan hati dan nurani, dengan pikiran dan kehendak" (GS art.3). Konsili sadar bahwa "segala sesuatu yang ada di dunia harus diarahkan kepada manusia sebagai pusat dan puncaknya" (GS art. 12). Maka, sejalan dengan pengakuan atas otonomi dunia, otonomi manusiapun diakui. Manusia diakui martabat pribadinya. Meski demikian, martabat pribadi manusia ini tidak dapat dilepaskan dari hubungannya dengan Sang Pencipta, martabat pribadi itu justru berakar pada panggilan manusia untuk bersatu dengan Allah (bdk. GS art. 19).
            Dalam kesatuan manusia dengan Allah ini, Allahlah yang mengambil insiatif untuk memanggil manusia. Panggilan Allah kepada manusia berlangsung terus selama hidupnya mulai dari penciptaan, dan ini merupakan tanda kasih Allah. Dengan demikian sejak semula Allah memang menghendaki manusia bersatu dengan-Nya. Dengan kata lain, Allah menciptakan manusia yang dikasihi-Nya untuk diselamatkan. Karena manusia diciptakan Allah sebagai “citra-Nya” manusiapun dipanggil untuk semakin mewujudkan diri dan martabatnya dalam hubungan erat dengan Allah sendiri.   Gambaran manusia sebagai citra Allah ini dinodai oleh dosa manusia. Kuasa inilah yang seringkali menjauhkan manusia dari Allah dan yang juga membuat manusia selalu menolak sang Pencipta. “"Sering manusia menolak untuk mengakui Allah sebagai asal mulanya, maka ia juga merusak keterarahan yang wajar kepada tujuan akhirnya dan serentak merusak seluruh hubungannya, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain serta semua makhluk" (GS art.13).
            Namun Allah tak membiarkan manusia hancur oleh kuasa dosa. "Tuhan sendiri datang untuk membebaskan manusia dan meneguhkannya dengan memperbaruinya dari dalam dan melempar keluar penguasa dunia ini (bdk.Yo 12:31), yang mengungkung manusia di dalam perbudakan dosa" (GS art. 13). Dengan demikian, kehadiran Allah Putra ke dunia ini, dalam rangka memulihkan dan membaharui martabat manusia yang dihancurkan oleh dosa itu. Ia sendiri tampil sebagai gambaran ideal dari manusia sendiri, sebagai kepenuhan dari gambar manusia sebagai "citra Allah". "Kristus, Adam Terbaru memanifestasikan manusia secara penuh kepada manusia justru di dalam wahyu rahasia Bapa dan cinta kasihNya dan memaparkan panggilan manusia yang sangat luhur kepadanya. Dengan demikian, peristiwa penjelmaan Allah Putra dinyatakan sebagai panggilan kembali dari pihak Allah kepada manusia untuk bersatu dengan-Nya.
            Gambaran manusia sebagai citra Allah juga mempersatukan manusia dengan manusia-manusia yang lain, yang sama-sama diciptakan sebgai citra Allah. Sejak semula Allah menciptakan manusia tidak sendirian. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial bersama dengan yang lain. Di sinilah manusia mengembangkan bakat dan kemampuannya (bdk. GS 12). Konsili juga menekankan makna persaudaraan bagi hidup pribadi manusia. "Allah, yang memelihara segala sesuatu sebagai Bapa, menghendaki agar semua manusia membentuk satu keluarga dan memperlakukan seorang akan yang lain dengan jiwa persaudaraan. Karena semua orang diciptakan menurut citra Allah, Yang menjadikan 'dari satu orang semua bangsa manusia untuk mendiami seluruh muka bumi' (Kis. 17:26)" (GS art.24). Dengan demikian, semakin disadari hubungan timbal balik anatara manusia dan masyarakat manusia.
            Segi lain dari gambaran manusia sebagai "citra Allah" ialah bahwa manusia "diangkat oleh Pencipta sebagai tuan atas segala makhluk di dunia, agar ia memerintahnya serta menggunakannya sambil memuliakan Allah" (GS art. 12). Karenanya dalam mewujudkan diri sebagai "citra Allah" tersebut, manusia berusaha mengatur dan menaklukkan dunia ciptaan. Dengan ini,  manusia dipanggil untuk membangun dunia. Namun Konsili sadar bahwa seringkali usaha manusia yang indah itu dicemarkan oleh dosa, sehingga situasi dunia tidak ideal karena diwarnai oleh peperangan dan kebencian. Dunia baru yang diharapakan adalah dunia manusia yang hidup dalam persaudaraan. Harapannya, hal itu nyata dalam dunia sehari-hari.
            Dalam membangun dunia ini manusia tidak melupakan cita-cita akan kediaman dan dunia baru yang akan diberikan Allah kepada manusia, dunia dimana maut tak berkuasa lagi dan manusia hidup berdampingan dalam keadilan, kedamaian dan kebahagiaan. Dunia ini hanyalah tercapai dengan datangnya Kerajaan Allah secara definitif. Tetapi dunia tersebut bukan juga sesuatu yang jauh, melainkan sudah mulai hadir di dunia ini. datang, namun dunia yang akan datang itu sudah hadir pada masa kini, meski belum mencapai kepenuhannya. Gereja memang mengejar keselamatan yang akan datang itu, karena itulah yang menjadi tujuan akhir umat manusia, hidup berbahagia dalam relasi dengan Allah sendiri. Sebagaimana misteri Gereja sendiri yang sekaligus kelihatan dan tak kelihatan, demikian pula perwujudan keselamatan yang harus diwartakan oleh Gereja, bersumber dan bertujuan pada kehidupan bersama Allah, namun mulai menjadi nyata dalam dunia ini. "Memang Gereja dalam mengejar tujuan penyelamatannya, bukan saja memberikan kehidupan ilahi kepada manusia, tetapi juga mencurahkan pantulan terangnya sedikit-dikitnya ke atas seluruh dunia, terutama dengan memulihkan serta mengangkat martabat manusia, dengan meneguhkan sendi-sendi masyarakat manusia dan dengan meresapi usaha manusia sehari-hari dengan makna dan arti yang terdalam" (GS art.40)[27].
 Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa perwujudan keselamatan mulai di dunia ini, mulai dengan perjuangan untuk memulihkan martabat pribadi manusia sebagai "citra Allah", yang berada di dunia bersama manusia-manusia yang lain. Allah menghendaki semua manusia bersatu dalam relasi personal dengannya, tidak hanya dalam kehidupan kekal nanti, tetapi mulai sekarang dalam perjuangan hidup manusia. Karena itu, segala hal yang berhubungan dengan pengembangan martabat pribadi manusia sebagai "citra Allah", entah itu dalam hidup berkeluarga, dalam perjuangan akan keadilan dan kesamaan hak, dalam perjuangan akan masyarakat yang lebih baik, merupakan bagian dari usaha mewujudkan keselamatan di dunia ini.

3.                  KONSEPNIBBANA DALAM AJARAN BUDDHA THERAVADA
            Dalam Dhammapada 165, Sang Buddha bersabda,Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seseorang pun yang dapat mensucikan orang lain”. Dari sabda tersebut, dapat kita mengerti bahwa semua orang memiliki kemandirian dalam menentukan nasib hidupnya. Inilah ajaran yang paling mendasar dalam agama Buddha, yaitu keadaan yang ditentukan oleh tindakan pribadi. Ajaran Buddha sangat menekankan usaha pribadi dalam menjalankan hidupnya, termasuk untuk menikmati hidup “bahagia dan masuk surga” (Keselamatan). Kebaikan itu dapat diperoleh asalkan yang bersangkutan banyak berbuat kebajikan melalui pikiran, perkataan serta senantiasa menghindari kejahatan. Kebahagiaan tidak bergantung kepada Dia yang dianggap sebagai yang Adikuasa. Itulah sebabnya umat Buddha tidak diajarkan untuk berdoa kepada sosok Juru Selamat atau Yang Mahakuasa. Mereka tidak membutuhkan Dia untuk memperoleh keselamatan karena mampu mengusahakannya sendiri. Dengan demikian, bolehlah kita katakan bahwa keselamatan dalam agama Buddha berciri “egosentrik” .
            Keyakinan dasar yang dianut oleh orang-orang Buddha ini bukannya tanpa alasan. Mereka meyakininya berdasarkan pengalaman Sang Buddha sendiri yang lebih dahulu menjalankannya. Jalan Keselamatan yang ditunjukkan oleh Sang Buddha bukanlah monopoli suatu suku bangsa, ras, agama dan golongan tertentu saja, melainkan untuk semua makhluk[28]. Keyakinan ini tampak dengan jelas dalam hidup Sang Buddha.

3.1.      Buddha Seorang Manusia[29]
Siddhartha Gautama (pendiri ajaran Buddha) hidup di bagian Utara India pada abad Ke-6 SM. Dia dipanggil Buddha setelah Ia mencapai Pencerahan dan menyadari Kebenaran sejati. Dia terlahir sebagai seorang pangeran yang memiliki segalanya dan dibesarkan dengan kemewahan oleh keluarganya. Akan tetapi, di tengah-tengah kemewahan Dia justru merasa terjebak seperti seekor burung dalam sangkar emas. Ketika Siddharta mengadakan kunjungan ke luar lingkungan istana, Ia menyaksikan hal yang disebut “Empat Penampakan” (yang nantinya sangat menentukan ajarannya), yaitu orang tua, orang sakit, orang mati, dan petapa suci. Saat Dia melihat hal-hal tersebut, satu demi satu, kesadaran datang pada-Nya, bahwa Hidup akan menjadi uzur dan mati. Dia bertanya, “Di manakah ada alam kehidupan yang tidak ada uzur dan mati?”Penampakan akan petapa yang tenang karena telah melepaskan nafsu hidup keduniawian, memberi-Nya isyarat bahwa langkah pertama dalam pencapaian Kebenaran adalah meniggalkan hidup keduniawian. Kepemilikan duniawi tidak dapat membawa kebahagiaan sejati yang didambakan orang.
Setelah bertekat untuk mencari jalan keluar dari penderitaan universal ini, Dia memutuskan untuk meninggalkan rumah untuk mencari “obat”, bukan hanya untuk diri-Nya sendiri  melainkan untuk semua orang. Pada suatu malam, pada saat usia-Nya yang ke-29, Ia meninggalkan anak dan isteri-Nya, pergi keluar istana,  mengenakan jubah oranye dan berangkat mengembara tanpa bekal apapun. Ia menolak segala kenikmatan duniawi, janji kemuliaan dan kekuasaan, dan hidup penuh cinta dan kesenangan untuk pencarian Kebenaran yang sulit dan belum pernah ditemukan .
Sepanjang enam tahun Dia bekerja untuk mencari Kebenaran, yaitu memahami sifat kehidupan dan untuk menemukan kebahagiaan yang mutlak dan kekal. Ia belajar dari guru-guru terkemuka dan mempelajari segala hal yang bisa diajarkan oleh para guru tersebut. Namun, setelah menyadari bahwa mereka tidak bisa mengajarkan apa yang dicari-Nya, maka Ia memutuskan untuk menemukan Kebenaran melalui upaya-Nya sendiri. Dia bergabung dengan sekelompok petapa dan bersama-sama menyiksa tubuh dengan keyakinan jika tubuh dalam keadaan tersiksa maka jiwa akan terbebas dari penderitaan. Ia makan sangat sedikit sehingga saat Ia memegang kulit perutnya, Ia juga menyentuh tulang belakang-Nya. Ia memaksakan dirinya ke ambang batas yang tidak pernah dilakukan oleh manusia. Akhirnya Ia menyadari kesia-sian penghancuran diri, dan memutuskan untuk mempraktekkan Jalan Tengah.
Pada malam bulan purnama bulan Vesakha, Ia duduk dibawah pohon Bodhi di Gaya, memasuki meditasi yang mendalam. Saat itu, pikiran-Nya menggejolakkan salam semesta dan menyadari sifat sejati semua kehidupan dan segala sesuatu. Pada usia 35 tahun, Ia berubah dari pencari Kebenaran yang tekun menjadi Sang Buddha, Yang Tercerahkan yang telah mengalami Nibbana.
Selama setengah abad setelah mencapai Pencerahan, Sang Buddha mengajarkan Dhamma (ajaran-ajaran-Nya) sehingga mereka yang mendengar dan menjalankannya bisa menjadi mulia dan terbebas. Dia menjulang tinggi dalam kebijaksanaan dan intelektualitas. Dia memberikan kekuatan bagi umat manusia untuk berpikir bagi diri-Nya sendiri, menjunjung nilai umat umat manusia, dan menunjukkan bahwa manusia dapat mencapai pengetahuan tertinggi dan Pencerahan sempurna dengan usahanya sendiri. Baginya, yang terpenting ialah menjabarkan Kebenaran dan membuat seseorang menyadarinya. Dengan demikian mempu membebaskan manusia dari belenggu dengan suatu sistem berpikir dan jalan hidup yang rasional.
Apa yang Sang Buddha lakukan  – seperti semua Buddha-Buddha lain sebelum Beliau – adalah ‘menemukan kembali’ Kebenaran mutlak ini dan menyebarkannya kepada umat manusia. Dalam menemukan Kebenaran itu, Dia menemukan jalan yang dapat membebaskan diri-Nya secara mutlak dari siklus terkondisi yang tiada akhir yang selalu penuh dengan ketidak-puasan.
Setelah 45 tahun menjadi petapa, Sang Buddha wafat (mencapai Parinibbana) pada usia 80 tahun di Kusinara. Dia meninggalkan banyak pengikut, bhikku dan bhikkuni, dan warisan besar ajaran Dhamma. Sang Buddha tidak pernah memberikan motivasi dengan janji-janji dan impian-impian indah mengenai  kehidupan ‘surga abadi’  dengan hanya berbekal kepercayaan kepada-Nya atau mengimani apa yang dikatakan-Nya. Jalan Keselamatan itu murni diperoleh melalui usaha pribadi[30]. Sang Buddha tidak pernah berkata, “Pujalah saya, percayalah hanya kepadaku saja, maka kamu akan selamat”. Dia juga mengajarkan untuk tidak percaya akan pewahyuan dari Kitab Suci yang mengatakan bahwa jika kita beriman sepenuhnya kepada-Nya, maka semua dosa-dosa kita akan terhapuskan dan memperoleh jaminan masuk ke Surga abadi[31].

3.2.      Prinsip-Prinsip Ajaran Buddha
Dasar-dasar ajaran Buddha yang terdapat dalam Dhamma[32] terdiri dari empat prinsip hidup:
1.    Bahwa dalam kehidupan di dunia ini penuh dengan hal-hal yang menyedihkan dan kesengsaraan. Maka, disimpulkan bahwa hidup itu menderita.
2.    Bahwa manusia berada oleh karena mempunyai nafsu keinginan untuk berada (hidup). Keadaan hidupnya itu adalah penderitaan karena terikat oleh samsara.
3.    Jika tidak lagi mempunyai nafsu keinginan, maka penderitaan samsara dapat dihilangkan yaitu dengan memadamkan nafsu keinginan tersebut (tresna).
4.    Cara menghilangkan nafsu keinginan tersebut ialah dengan melakukan 8 jalan kebenaran (Astavidha) yang terdiri dari: mengikuti pelajaran yang benar, melaksanakan niat yang baik, mengucapkan perkataan yang baik (masuk dalam tataran sila atau moralitas), menjalankan usaha yang benar, melakukan pekerjaan yang benar, memusatkan perhatian dengan benar (masuk dalam tataran Samadhi atau latihan mental), memiliki pandangan yang benar dan memiliki pikiran yang benar (masuk dalam tataran panna atau kebijaksanaan)
Keempat prinsip hidup dan delapan jalan kebenaran merupakan cara-cara yang ditempuh Buddha untuk mencapai Nibbana. Pelaksanaannya ialah dengan sikap atau perbuatan yang berkeinginan untuk menjauhi hal-hal yang berbau keduniawian, seperti yang dilakukan oleh kelompok asketis. Selain itu, kepercayaan kepada diri sendiri untuk mencapai “kebebasan” merupakan lampu penerang bagi jalan yang akan ditempuhnya. Tentang hal ini, Sang Buddha berpesan, “Jadilah lampu untuk dirimu sendiri, jangan pergi ke tempat perlindungan di luar dirimu. Peganglah kuat-kuat “kebenaran” itu sebagai lampu. Usahakanlah keselamatan untuk diri sendiri dengan rajin”. Buddha memandang setiap manusia memiliki kemampuan individual dalam usaha-usahanya mencapai Nibbana dengan optimis. Dialah yang menjadi contoh orang yang “selamat” yaitu dengan mencapai Nibbana.

3.3.      Nibbana Sebagai Tujuan
            Istilah Nibbana (bahasa Pali, dalam bahasa Sanskerta Nirwana)[33] berasal dari kata ni dan vana. Ni merupakan unsur negatif, sedang vana berarti nafsu atau keinginan. Disebut nibbana, karena terbebas dari nafsu (keinginan). Secara harafiah, Nibbana berarti terbebas dari kemelekatan. Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, suatu kebahagiaan abadi yang luar biasa sekaligus sebagai tujuan akhir ajaran Buddha. Nibbana tidak dapat dialami dengan memanjakan indera, tetapi dengan menenangkannya. Namun, adalah tidak mudah untuk mengetahui apa itu Nibbana. Lebih mudah mengetahui apa yang bukan Nibbana.
Nibbana bukanlah ketiadaan atau kepunahan. Pernyataan ini kemudian dipertegas dengan pertanyaan kritis mengenai Sang Buddha, “Apakah Sang Buddha akan meninggalkan keluarga dan kerajaan-Nya dan berceramah selama 45 tahun, semuanya hanya suatu ketiadaan?”Akan tetapi, Nibbana bukanlah suatu surga atau suatu tempat yang indah di mana semua hal baik adanya dan semua orang bahagia selamanya. Selama masa hidup-Nya, Sang Buddha tidak menyangkal gagasan tentang surga seperti yang dikenal dalam agama-agama awal India[34]. Tapi, Sang Buddha mengetahui bahwa surga-surga ini masih termasuk dalam Samsara, sementara pembebasan akhir berada di luar itu. Bagi Sang Buddha jalan menuju Nibbana jauh melebihi surga.
Lalu muncul sebuah pertanyaan, “Jika Nibbana bukan suatu tempat, lalu di manakah Nibbana itu?” Secara tegas, kita tidak dapat bertanya di manakah Nibbana itu. Hal ini dikarenakan keterbatasan kata-kata dalam menjelaskan dan mendefinisikan suasana Nibbana, sehingga hanya bisa dianalogi atau diibaratkan. Nibbana ada sama seperti adanya api. Tidak ada tempat penyimpanan untuk api atau pun untuk Nibbana. Akan tetapi, jika kita menggosok potongan kayu secara bersamaan, maka aka nada gesekan panas dan api akan muncul. Demikian juga, jika sifat pikiran manusia sedemikian sehingga bebas dari semua cemaran, maka kebahagiaan Nibbana akan muncul.
Nibbana dalam ajaran Buddha tidak menunjukkan keadaan sesudah mati[35], namun, bersifat kekal dan abadi. Nibbana lebih menggambarkan  kondisi kesempurnaan yang dihasilkan sewaktu orang masih hidup. Suatu keadaan di mana nafsu akan hidup sudah dimatikan dan orang menghayati suatu hidup yang amat tentram. Orang yang berhasil mencapainya disebut Arhant atau orang suci. Seorang Arhant, sesudah jiwa dan badannya terpisah, mungkin akan mencapai ketiadaan[36].
Setiap orang dapat mengalami Nibbana, tetapi sebelum mengalaminya, dia hanya dapat berspekulasi seperti apa itu sebenarnya, sekalipun kita bisa mendapatkannya sekilas dalam kehidupan sehari-hari. Seperti kegelapan hanya dapat dijelaskan dengan lawannya, yaitu terang, dan seperti ketenangan hanya dapat dijelaskan dengan lawannya, yaitu gerakan; demikian pula Nibbana, sebagai suatu keadaan yang setara dengan pemadaman segala penderitaan yang dipikul dalam Samsara. Seperti kegelapan timbul pada saat tidak ada cahaya, seperti ketenangan muncul pada saat tidak ada gerakan. Demikian juga Nibbana ada di mana-mana saat penderitaan, perubahan, dan pencemaran batin tidak ada.
Sang Buddha memberikan ilustrasi mengenai cara memperoleh Nibbana. Seorang penderita yang menggaruk lukanya dapat mengalami rasa lega sementara. Rasa lega sementara ini hanya akan memperburuk luka dan memperparah penyakit. Kegembiraan kesembuhan akhir tidak dapat dibandingan dengan rasa lega sementara yang dapat diperoleh dari garukan. Demikian juga pemuasan nafsu keinginan indrawi hanya membawa kepuasan atau kebahagiaan sementara yang justru memperpanjang perjalanan Samsara. Penyembuhan dari penyakit Samsara adalah Nibbana. Nibbana adalah akhir dari nafsu yang menyebabkan semua penderitaan kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kepedihan, ratapan, dan keputusasaan. Kegembiraan penyembuhan Nibbana sulit dibandingkan dengan kesenangan sementara dalam Samsara yang diperoleh dari pemenuhan nafsu indrawi.
Itulah sebabnya, Buddha menyarankan untuk tidak berspekulasi tentang apakah  Nibbana itu. Lebih baik mengetahui bagaimana menyiapkan kondisi yang diperluakan untuk Nibbana, bagaimana mencapai kedamaian dalam diri dan kejernihan pandangan menujuNibbana, sambil mengikuti nasihat Buddha dan mempraktekkannya. Melenyapkan semua kekotoran yang berakar dalam keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha). Setiap umat  Buddha diajari untuk memurnikan diri dari semua nafsu dan menyadari tiadanya inti diri yang mutlak. Menjalani  hidup dengan tindakan moral yang benar dan secara konstan melakukan meditasi.
Dalam hal ini jugalah konsep “meditasi” sungguh-sungguh berperan penting sebagai nilai spiritual menuju Nibbana. Meditasi dilakukan sebagai proses purifikasi yang lama, bertahap, yang juga mencakup transformasi moral dalam kehidupan dan menuntut penyangkalan diri. Tahap ini disebut sebagai pembersihan diri sebagai syarat mutlak untuk mencapai konsentrasi dan penerangan spiritual. Singkatnya, dengan upaya yang aktif membebasakan diri sendiri dari semua keegoisan dan ilusi, maka, Nibbana kemudian akan diperoleh dan dialami.

3.4.      Nibbana Eskatologis
            Mereka yang mencapai kebahagiaan Nibbana dapat mengalaminya selama sisa keberadaan mereka sebagai manusia. Setelah kematian, hubungan dengan unsur-unsur keberadaan akan hancur, namun Nibbana itu sendiri bersifat tetap. Hal ini terjadi karena Nibbana sifatnya tidak terkondisi, tidak relatif, tidak saling tergantung. Nibbana adalah Kebenaran Mutlak.
            Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang. Ajaran Buddha tidak menyatakan bahwa tujuan akhir itu hanya dapat dicapai dalam kehidupan sesudahnya. Kata Nibbana disadari dalam hidup ini dengan tubuh masih ada, hal ini disebut Sopadisesa Nibbana. Sementara itu, seorang Arahat mencapai Parinibbana setelah tubuhnya hancur, tanpa keberadaan fisik, hal ini disebut Anupadisesa Nibbana (Nibbana sesudah kematian) [37].
            Inti yang ingin disampaikan ialah seseorang harus belajar untuk tidak melekat pada hal keduniawian. Jika ada kemelekatan terhadap seseorang atau sesuatu atau jika ada keengganan terhadap seseorang atau sesuatu, seseorang tidak akan pernah mencapai Nibbana karana Nibbana melampaui semua kemelekatan dan keengganan, suka dan tidak suka. Saat keadaan tertinggi itu tercapai, dunia ini akan berhenti menjadi objek nafsu. Orang akan menyadari kesedihan, ketidak-kekalan, dan ketiadaan inti diri semua yang hidup dan yang tidak hidup. Buddha mengajarkan bahwa dengan tergantung pada guru atau buku suci tanpa usaha kita sendiri dengan cara yang benar, sukar untuk memperoleh penyadaran Nibbana. Semua kecemasan, kesengsaraan, gangguan, beban, penyakit fisik, dan mental, dan emosi akan berakhir setelah mencapai keadaan Nibbana ini. Dengan mengatakan bahwa Nibbana adalah ketiadaan, semata-mata karena orang tidak dapat merasakannya dengan panca-indera, sama tidak logisnya dengan berkata bahwa cahaya itu tidak ada hanya karena orang buta tidak melihatnya.

3.5.      Gagasan Mengenai Tuhan
            Dalam ajaran Buddha, ketika setiap agama muncul dan berkembang dengan gagasan tentang Tuhan, meskipun keberadaan-Nya tidak dapat dibuktikan. Masing-masing agama mengembangkan penjelasannya sendiri tentang Sang Pencipta. Oleh karena itu, dalam ajaran Buddha, gagasan mengenai Tuhan dihubungkan dengan berbagai mitos. Orang menggunakan gagasan tentang Tuhan sebagai kendaraan untuk penjelasan mereka mengenai keberadaan manusia dan alam semesta[38]. Gagasan tentang Tuhandan penciptaan mitos-mitos dianggap sebagai evolusi imajinasi manusia yang dimulai dengan kesalah-pahaman mengenai keberadaan fenomena alam. Kesalah-pahaman ini berakar dalam ketakutan dan ketidak-tahuan manusia.
Dalam ajaran Buddha, jika manusia diciptakan oleh suatu sumber eksternal, maka ia tentunya memiliki sumber itu dan bukan milik dirinya sendiri. Menurut ajaran Buddha, manusia bertanggung-jawab atas semua yang diperbuatnya. Umat Buddha tidak memiliki alasan untuk percaya bahwa mnusia ada melalui sumber eksternal mana pun. Manusia ada karena adanya nafsu, kemelekatan dan perbuatannya sendiri. Manusia tidak dihukum atau diberi hadiah oleh siapa pun selain dirinya sendiri sesuai dengan perbuatan baik dan buruknya. Manusia ada melalui proses evolusi. Tidak ada kata-kata Buddha yang mendukung kepercayaan bahwa dunia diciptakan oleh seseorang. Keyakinan Buddha ini mungkin saja mirip dengan pendapat para ilmuwan yang berpendapat bahwa dunia dan segala isinya muncul dari sistem evolusi, bukan penciptaan sebagaimana yang diimani oleh agama-agama semitik.Dengan demikian, konsep Allah sebagai Pencipta dan Penguasa dirasa tidak berlaku dalam ajaran Buddha.

4.                  Bagian Perbandingan
Setelah mengadakan penjelasan mengenai sejarah dan pengertian faham keselamatan dalam pandangan Katolik dan Buddha. Sekarang kami akan mencoba membandingkan faham keselamatan menurut dua agama ini. Kemudian setelah melihat kekhasan masing-masing agama tersebut kami akan mencoba mencari masukan (insight) bagi pengamalan kepercayaan dan keyakinan agama Katolik. Tak lupa juga kami akan memaparkan apa yang khas dari agama Katolik.

4.1.            Perbedaan dan Persamaan Faham Keselamatan dalam Katolik dan Buddha
Baik agama Kristiani atau pun Buddha, sama-sama menekankan usaha manusia sekaligus transendensi diri. Ajaran Buddha mengajarkan supaya pengikutnya mampu mengatasi berbagai kelekatan atau pun samsara yang erat dengan hidup manusia. Sedangkan dalam agama Katolik, aspek transendensi itu tampak dalam cara manusia menanggapi tawaran keselamatan Allah. Manusia tidak tinggal diam dalam merespon tawaran Allah itu. Perbedaannya yang mendasar terletak pada proses pencapaian keselamatan itu. Agama Buddha mengajarkan bahwa manusia mampu menciptakan keselamatannya sendiri tanpa memperoleh bantuan dari luar (eksternal). Sementara itu, dalam ajaran Katolik, aspek Keselamatan itu sendiri pertama-tama berasal dari inisiatif Allah yang ingin menyelamatkan manusia utnuk bersatu kembali dengan-Nya, namun manusia juga dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam menanggapinya.
 Kedua agama ini sama-sama melihat keselamatan secara Eskatologis. Perbedaannya terletak pada fokus keselamatan. Dalam ajaran Buddha, Nibbana pertama-tama dihadirkan di dunia. Pari-Nibbana (sesudah kematian) muncul dari Nibbana (keselamatan dunia). Sementara dalam Katolik lebih menekankan aspek Eskatologis yang “dipersiapkan” di dunia dengan cara menjalankan ajaran iman secara baik dan benar yakni dengan percaya dan mengimani Yesus kristus. Gereja Katolik meyakini bahwa keselamatan akan mencapai kepenuhannya pada kedatangan Yesus yang kedua pada akhir zaman, oleh sebab itu orang Kristiani dituntut untuk senantiasa menjaga imannya agar jangan samapai tersesat, karena ini merupakan salah satu bentuk persiapan akan masa eskatologis nanti.
Nibbana muncul setelah berhasil menenangkan samsara atau kemelekatan dan nafsu. Keselamatan Katolik muncul setelah mampun menjalankan misi di dunia.Sama-sama menekankan aspek moral. Nibbana diperoleh setelah berhasil menjalankan empat prinsip dasar dan delapan ruas jala (yang semuanya berisikan ajaran moral). Moral yang baik merupakan keharusan. Sementara dalam Keselamatan Katolik tindakan moral yang baik dan benar merupakan buah dari rahmat yang diperoleh dari Allah. Inisiatif keselamatan berasal dari Allah. Karena kasih-Nyalah maka Allah mengaruniakan kehidupan kepada kita agar kita ikut ambil bagian dalm hidup Allah[39]. Bedanya, Nibbana bersal dari Usaha Pribadi sedangkan Keselamatan Katolik bersifat anugerah sebagai buah dari iman dan tindakan baik.

4.2.            Insight Bagi Iman Kristiani
Baik umat agama Buddha maupun agama Katolik sama-sama dituntut untuk setia dalam pengamalan ajarannya. Buddha yang sejak awal mengajarkan independensi (tidak mempiliki konsep Allah) mampu menunjukkan bahwa keselamatan itu perlu diusahakan secara penuh oleh tiap-tiap pribadi. Dengan demikian penetu utama keselamatan adalah manusia. Manusia harus berusaha mencapai keselamatan itu dengan mempraktekkan empat prinsip hidup dan delapan jalan kebenaran. Manusia tidak boleh sembarangan dalam menentukan Keselamatannya. Ini menunjukkan identitas manusia yang optimis dalam mencapai tujuannya.
Sementara itu dalam ajaran Katolik, penyadaran akan Keberadaan Allah sungguh terasa sejak awal kehidupan manusia. Manusia berasal dari Allah dan tidak bisa terlepas dari Allah. Meneguhkan pandangan Agustinus, Gereja katolik meyakini bahwa manusia tidak akan selamat tanpa campur tangan Allah. Dosa Adam membawa manusia pada maut. Dengan demikian inisiatif keselamatan berasal dari Allah yakni dengan mengutus Putara-Nya yang tunggal untuk menebus dosa manusia. Untuk itu, manusia juga dituntut untuk bersikap aktif menanggapi tawaran Allah tersebut.
Hemat kami, setelah melihat faham keselamatan dalam dua agama ini, khusunya Buddha, kita dapat mengambil insight yang kiranya dapat membantu kita untuk beriman secara lebih mendalam. Seperti yang kita telah ketahui, agama Buddha mengajarkan bahwa keselamatan itu tidak berasal dari luar diri manusia (eksternal), melainkan diusahakan oleh setiap umat Buddha. Sedangkan dalam agama Katolik meyakini bahwa keselamatan itu merupakan karunia atau anugerah  Cuma-cuma dari Allah. Allah berinisiatif untuk menyelamatkan manusia. Atas tawaran kasih Allah ini dituntut suatu sikap aktif dari manusia. Dengan demikian kita juga dapat belajar dari saudara-saudara kita yang beragama Buddha bagaimana menanggapi tawaran kasih Allah yang diberikan kepada kita. Kita dapat belajar dari perjungan mereka mengusahakan keselamatan secara pribadi.

4.3.            Kekhasan Tradisi Kristiani:
Sudah sangat jelas tampak bahwa Konsep Allah (yang berperan penting dalam keselamatan manusia) sungguh sangat ditekankan dalam ajaran Katolik. Allah sebagai Pencipta dan sumber Hidup ditampilkan dalam Pribadi Yesus Kristus. Paham Allah dalam ajaran Buddha ‘ditolak’ karena Dia dipahami sebagai yang di luar pemahaman manusia, sehingga tidak dianggap kurang penting dan relevan (tidak real atau nyata) dalam hidup manusia.
Sementara dalam Agama Kristiani, faham Allah yang Transenden itu (Yang jauh dan takterselami itu) hadir dalam wujud manusia  dalam diri Yesus Kristus, Sang Juru Selamat. Sehingga, Allah itu selain bersifat historis, juga bersifat antropologis melalui Inkarnasi, wafat, dan kebangkitan. Singkatnya, “Allah” yang tidak dikenal dalam ajaran Buddha terwujud dalam pribadi Yesus (sungguh Allah sungguh Manusia).  

5.                  Penutup
Berteologi komparatif  itu bukan untuk memperoleh jawaban benar-salah (judging), namun lebih pada soal pemahaman dan penerimaan sebagaimana yang diimani oleh masing-masing agama. Berteologi secara komparatif juga tidak berarti mencari kelemaham agama atau kepercayaan agama lain. Teologi komparatif berarti mencoba melihat kekhasan yang ada pada masing-masing agama yang kiranya dapat memperkaya iman kepercayaan kita.  Untuk itu, dalam teologi komparatif  yang dibutuhkan adalah perjumpaan (aposteriori) yang mendalam dan tidak hanya sebatas perdebatan atau dialog teologis (apriori).  Dengan demikian dalam teologi komparatif dituntut suatu sikap rendah hati untuk menghargai masing-masing kerpercayaan sesuai dengan apa yang yang diajarkan oleh agama tersebut dan yang juga dipercayai oleh pemeluk agamanya.
Seperti yang dikatakan oleh Y.B Prasetyantha, teologi komparatif masih sangat mudah. Belum bayak yang mengenalnya[40]. Cita-cita dari teologi kompratif belum sepenuhnya tercapai. Sehinnga jika tidak didukung dengan pengertian dan pemahaman yang baik, praktek teologi kompratif hanya akan membawa orang pada pemahaman yang kurang didukung dengan tindakan nyata. Kesulitan lain dalam teologi komparati yakni bahwa kita hanya bisa sampai pada penerimaan dan penjabaran ajaran agama ‘selogis’ mungkin agar bisa diterima. Namun untuk sampai pada tahap “ kebenaran sesungguhnya”, tetap akan menjadi misteri yang tidak dapat dijelaskan melalui bahasa manusia.
Keuntungan berteologi komparatif membuat kita semakin terbuka pada kebenaran ajaran agama lain. Sikap toleransi kita semakin diteguhkan, bukan karena alasan praktis atau sosial, melainkan karena adanya keyakinan bahwa yang mereka imani itu mengandung suatu kebenaran. Sehingga kita semakin terdorong untuk mengembangkan sikap aposteriori bukan apriori. Teologi komparatif juga memberi warna baru bagi displin ilmu teologi, bahwa berteologi tidak hanya sebatas  pada pemahaman doktrin-doktrin agama tetapi juga menuntut suatu tindakan nyata (praktek) yakni lewat perjumpaan. Teori yang didukung dengan perjumpaan langsung akan memberi suatu pemahaman yang orisinil.







DAFTAR PUSTAKA


Arifin, M. H. M.,Ed.,
1986 Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, PT Golden Terayon Press, Jakarta.
Brennan, J.P.,
1990 Christian Mission In A Pluralistic World, St. Paul Publication, Inggris.
Dister, N.S.,
2004 Teologi Keselamatan 2: Ekonomi Keselamatan, Kanisius, Yogyakarta.
Dhammananda, S.,
2007 Keyakinan Umat Buddha,Karaniya, Jakarta.
Fredericks, J.L.,
1999 Faith Among Faiths: Christian Theology and Non-Christian Religions, Paulist Press, New York.
Groenen, C.,
1989 Soteriologi Alkitabiah, Keselamatan yang Diberitakan Alkitab, Kanisius, Yogyakarta.
Hauken, A.,
 2005 Ensiklopedi Gereja – Jilid IV: K-KI, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta.
Martasudjita, E.,
2003 Sakramen-Sakramen Gereja, Kanisius, Yogyakarta.
Majelis Buddhayana Indonesia,
1980 Kebahagian dalam Dhamma, Majelis Buddhayana Indonesia, Jakarta.
Prasetayantha, Y.B.,
“Teologi Kompratif: Pendekatan Baru Terhadap Pluralitas Iman”, dalam Diskursus, Vol. 6, No. 2, Oktober 2007, 198-199.
      ,
“Sabda Allah  yang Menjadi Manusia: Doktrin Kristiani dan Islam Tentang Pewahyuan. Sebuah Studi Teologi Komparatif”,  dalam Orientasi Baru, Vol. 15, No. 1-2, Oktober 2006, 4-5.
Purwatma, M.,
2010 Tradisi Keselamatan, Diktat Kuliah, FTW, Yogyakarta.
Majelis Buddhayana Indonesia,
1980 Kebahagian dalam Dhamma, Majelis Buddhayana Indonesia, Jakarta.
Rukiyanto, B. A.,
“The Concept of  Salvation in The Javanese Culture Context”, dalam Diskursus, Vol. 1, No. 1, April 2002.
Sastropratedja, M.,
[....] Dialog Dengan Hinduisme dan Buddhisme, Publikasi Puskat, Yogyakarta.
Wowor, C.,
2012 Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam Agama Buddha,  Vihara Tanah Putih, Semarang.




[1]               James L. Fredericks, Faith Among Faiths: Christian Theology and Non-Christian Religions, Paulist Press, New York 1999, 163.
[2]               Y.B. Prasetayantha, “Teologi Kompratif: Pendekatan Baru Terhadap Pluralitas Iman”, dalam Diskursus, Vol. 6, No. 2, Oktober 2007, 198-199.
[3]               Y.B. Prasetyantha, “Sabda Allah  yang Menjadi Manusia: Doktrin Kristiani dan Islam Tentang Pewahyuan. Sebuah Studi Teologi Komparatif”,  dalam Orientasi Baru, Vol. 15, No. 1-2, Oktober 2006, 4-5.
[4]               Y.B. Prasetyantha, “Sabda Allah  yang Menjadi Manusia: Doktrin Kristiani dan Islam Tentang Pewahyuan. Sebuah Studi Teologi Komparatif”, 5.
[5]               Y.B. Prasetayantha, “Teologi Kompratif: Pendekatan Baru Terhadap Pluralitas Iman”, 199.
[6]               Kata ‘selamat’ diambil dari bahasa Arab (Salam = keadaan baik, keutuhan). Allah disebut Al Salam yang artinya ‘Yang bebas dari kekurangan apa pun’; dar-al-salam adalah Firdaus. Akar katanya adalah salima yang berarti ‘berada dalam keadaan baik, tidak terluka’, yang menjadi dasar untuk salam yaitu ‘damai, kesehatan, pernyataan hormat’. Kata salam itu sudah digunakan sebelum zaman Nabi Muhammad untuk menyalami orang, sama seperti kata Ibrani shalom, yang seakar dan searti dengannya. Kata shaloom dalam Perjanjian Lama digunakan untuk ‘keadaan sejahtera, bebas dari bahaya, sehat, tidak kekurangan apa-apa’. Maka, kata bahasa Indonesia (ke)selamat(an) berakar dalam bahasa sejarah keselamatan yang sangat tua dan asli. 
Dalam bahasa-bahasa lain, keselamatan sebagai kebahagiaan dan kesejahteraan yang menyangkut seluruh manusia, disebut dengan kata-kata yang mirip artinya: Salvation (Ing.) dari kata Latin salvus, artinya ‘dalam keadaan selamat, tidak terluka, masih hidup’, Heil (Jerm.) yang berarti ‘utuh, tidak ada yang rusak’; salus (Lat.) artinya, keadaan sehat, segar, aman’; soteria (Yun.) yang mengandung arti ‘pembebasan dari kesulitan, musuh, dan bahaya.(A. Hauken, Ensiklopedi Gereja – Jilid IV: K-KI, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta 2005, 190-191).
[7]               John Patrick Brennan, Christian Mission In A Pluralistic World, St. Paul Publication, Inggris 1990, 27.
[8]               C. Groenen, Soteriologi Alkitabiah, Keselamatan yang Diberitakan Alkitab, Kanisius, Yogyakarta 1989, 52.
[9]               Nico Syukur Dister, Teologi Keselamatan 2: Ekonomi Keselamatan, Kanisius, Yogyakarta 2004, 138.
[10]            Nico Syukur Dister, Teologi Keselamatan 2: Ekonomi Keselamatan, 138.
[11]             A. Hauken, Ensiklopedi Gereja – Jilid IV: K-KI, 191.
[12]             M. Purwatma, Tradisi Keselamatan, Diktat Kuliah, FTW, Yogyakarta 2010, 1.
[13]             Nico Syukur Dister, Teologi Keselamatan 2: Ekonomi Keselamatan, 141.
[14]             John Patrick Brennan, Christian Mission In A Pluralistic World, 28.
[15]             B. A. Rukiyanto, “The Concept of  Salvation in The Javanese Culture Context”, dalam Diskursus, Vol. 1,  No. 1, April 2002,  94.
[16]             M. Purwatma, Tradisi Keselamatan, 2.
[17]             Paham keselamatan bagi orang-orang Yunani dilatarbelakangi oleh pemikiran mereka mengenai alam semesta dan manusia, yang berciri dualistis. Bagi mereka dunia ini merupakan realitas yang fana, bukan sempurna, bukan realitas sejati. Manusia yang mempunyai jiwa yang merupakan bagian dari yang ilahi merindukan keadaan yang sejati dan sempurna itu. Maka soal keselamatan bagi mereka ialah bagaimana meninggalkan dunia yang fana ini dan menjadi ilahi, bagaimana melepaskan diri dari realitas duniawi ini supaya dapat menjadi ilahi? Dalam dunia Hellenis ditawarkan dua macam jawaban. Agama misteri menyampaikan jawabnya melalui upacara-upacara, sedangkan kaum gnosis mengatakan bahwa dengan mengenal dan menjalankan gnosis orang bisa kembali ke dunia ilahi.
[18]              Nico Syukur Dister, Teologi Keslamatan 2: Ekonomi Keselamatan, 151.
[19]             B. A. Rukiyanto, “The Concept of  Salvation in The Javanese Culture Context”, 94.
[20]             Gagasan ini menjadi lebih kuat dalam konteks budaya Hellenistis yang merindukan kembalinya manusia kepada keilahian, melepaskan diri dari dunia sekarang ini.
[21]             M. Purwatma, Tradisi Keselamatan, 3-4.
[22]             Pandangan Pelagius ini ditolak oleh Konsili Kartago (418). Menurut Konsili rahmat diperlukan bukan hanya untuk keselamatan tetapi juga agar manusia mampu menghindari dosa. Konsili memegang teguh pandangan Kristus untuk keselamatan. Dengang demikian Konsili meneguhkan pandangan Agustinus. Pandangan Konsili Kartago ini kemudian ditegaskan kembali dalam Konsili Orange II.
[23]             Ajaran mengenai dosa asal dirumuskan dalam Konsili Kartago. Konsili mengajarkan bahwa kematian merupakan akibat dosa. Dalam Konsii ini juga ditekankan bahwa anak-anak perlu baptis untuk pengampunan dosa karena mereka memperoleh dosa asal dari Adam.
[24]             Trente menegaskan kembali pernyataan Kartago dan Orange II.
[25]             Menolak pandangan Luther yang mengatakan bahwa dalam pembenaran dosa manusia tetap ada tetapi tidak diperhitungkan Allah, sehingga manusia benar  tetapi tetap pendosa (simul iustus et peccator).
[26]             M. Purwatma, Tradisi Keselamatan, 31.
[27]             M. Purwatma, Tradisi Keselamatan, 36.
[28]             Bdk. Avatamsaka-sutra bab 10, “Bagaikan awan hujan yang besar menjatuhkan hujan ke seluruh penjuru bumi, curahan hujan tidak membeda-bedakan siapapun. Demikianlah kebenaran semua Buddha“.

[29]             Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, Jakarta, Karaniya 2007, 1-7.

[30]             Bdk.Dhammapada XX : 4 (276), “Engkau sendirilah yang harus berusaha. Para Tathagata hanya menunjukkan 'Jalan'”.

[31]             Bdk.Jnanasarasamuccaya : 31, Sebagaimana orang bijaksana menguji emas dengan membakar,memotong dan menggosoknya (pada sepotong batu penguji); demikian pula kalian menerima kata-kata-Ku setelah memeriksanya dan bukan hanya karena rasa hormat terhadap-Ku."
[32]             HM. Arifin. M. Ed., Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, PT Golden Terayon Press, Jakarta 1986, 99.
[33]             Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, Majlis Buddhayana Indonesia, Jakarta 1980, 134.
[34]             Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, 125.
[35]             M. Sastropratedja, Dialog Dengan Hinduisme dan Buddhisme, Publikasi Puskat Yogyakarta (...), 42-43.
[36]             Keadaan Nibbana ini kemudian disebut Pari-Nibbana.Ketiadaan atau nihilisme sebetulnya hanya merupakan konsekwensi lebih lanjut, bukan merupakan motif atau tujuan dari latihan-latihan disiplin.M. Sastropratedja , Dialog Dengan Hinduisme dan Buddhisme, 43.

[37]             Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha,155.
[38]             Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha,376.
[39]               E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja, Kanisius, Yogyakarta 2003, 40.
[40] Y.B. Prasetayantha, “Teologi Kompratif: Pendekatan Baru Terhadap Pluralitas Iman”, 208.

Komentar

Postingan Populer