Petunjuk Penggunaan Psikologi di Dalam Penerimaan dan Formasi Calon Imam (Bebearap komentar pribadi)

Berikut ini adalah beberapa komentar pribadi saya berkaitan dengan dokumen “Petunjuk Penggunaan Psikologi di Dalam Penerimaan dan Pembentukan Calon Imam” yang diterbitkan oleh Konggregasi Pendidikan Katolik. Adapun cara yang saya tempu yakni dengan memaparkan poin-poin dari dokumen ini yang diikuti dengan komentar-komentar pribadi saya.
 Pada halaman pertama dari dokumen ini dikatakan bahwa “Setiap panggilan Kristiani datang dari Allah dan adalah karunia Allah. Tetapi panggilan itu tidak pernah diberikan di luar atau terlepas dari Gereja. Sebaliknya, panggilan selalu di dalam konteks Gereja dan melalui Gereja....., pantulan yang terang dan hidup dari misteri Tritunggal Mahakudus” Hemat saya, banyak orang sat ini, baik itu kaum berjubah maupun umat awam yang tidak lagi menyadari makna suci panggilan mereka sebagai umat Kristiani. Sejatinya, setiap profesi atau pekerjaan yang kita jalani adalah sebuah panggilan, entah sebagai kaum religius maupun awam, semuanya merupakan panggilan. Sebagai sebuah panggilan, maka adalah sebuah keharusan untuk menjalaninyadengan penuh cinta dan tanggung jawab dan harus diarahkan bagi perluasan Kerjaan Allah. Namun yang terjadi justru sebaliknya, banyak orang yang justru menjadikan “panggilan” mereka untuk memperkaya diri, akibatnya mereka lupa akan apa yang menjadi tujuan utama dari panggilan suci tersebut. Panggilan yang seharusnya membawa suara Allah karena pada hakaketnya berasal dari Allah, menjadi kehilangan makna dan spirirt yang sejati, karena orang lupa dan tidak lagi peduli dengan makna panggilannya yang sejati.
Dalam dokumen ini juga dikatakan, “Seperti panggilan-panggilan Kristiani lainnya, panggilan imamat dengan demensi Kristologinya memiliki dimensi eklesikal yang khas, bukan saja berasal dari Gereja dan dengan perantaraan Gereja, bukan saja dikenal dan menemukan pemenuhannya di dalam Gereja tetapi juga tampil di dalam pelayanan fundamental kepada Allah sebagai pelayanan kepada Gereja”.Jika disederhanakan, kalimat dari dokumen ini kurang lebih akan berbunyi demikian “Panggilan itu berasal dari dan untuk Gereja”. Jika demikian, maka formasi panggilan tidak hanya melibatkan komunitas-komunitas formasi itu sendiri tetapi juga harus mengikutsertakan Gereja (umat Allah)  secara umum. Gereja, dalam hal ini umat Allah memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam perkembangan panggilan itu sendiri.   Yang terjadi selama ini, kebanyakan umat Alla atau juga bahkan para formator sendiri di dalam rumah-rumah formasi hanya melihat proses formasi imam sebagai tanggungjawab dari  ordo atau keuskupan. Akibatnya, ketika terjadi krisis panggilan atau ada calon yang bermasalah, yang pertama-tama disalahkan adalah para formator dan proses formasi dari ordo atau keusukupan. Padahal, jika semua pihak (rumah formasi dan Gereja) sadar bahwa panggilan itu datang dari Gereja dan kembali kepada Gereja dan proses formasinya bukan semata-semata hanya melibatkan ordo dan keuskupan tetapi juga melibatkan umat seluruhnya maka tidak ada lagi kelompok yang dikambing hitamkan. Saya pribadi justru menemukan bahwa seringkali Gereja, dalam hal ini umat Allah hanya senang melihat frater atau imam memimpin ibadat atau perayaan Ekaristi, tetapi tidak terlalu  ambil pusing dengan proses formasi calon imam. Lebih para lagi, kebanyakan calon mengalami masalah formasi seringkali disebabkan oleh ulah beberapa umat Allah yang tidak bertanggungjawa, meski seringkali juga yang tidak dapat dipungkiri bahwa yang berulah adalah calon itu sendiri.
“Panggilan imam harus menemukan di dalam pelayana fundamental kepada Allah” idealnya, kata "pelayanan" bukan hanya didengungkan di dalam hati dan jiwa mereka yang terpanggil secara khusus, tetapi juga harus nampak dalam praksis nyata lewat pelayanan kepada umat yang dipercayakan oleh Gereja kepada mereka. Namun dalam kenyataannya, “pelayanan” yang seharusnya menjadi spirtualitas dan semangat mereka yang terpanggil secara khusus justru pelan-pelan mulai menghilang dari hati dan jiwa mereka. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang disertai dengan merebaknya budaya konsumerisme dan hedonisme tidak bisa dipungkiri memiliki pengaruh yang cukup besar dalam hal ini. Saya pribadi justru melihat adanya gejala yang bertolak belakang, di mana kebanyakan dari kaum berjubah justru hanya pandai berkotbah tentang pelayanan tanpa mampu menghidupinya dalam keseharian hidup. Parahnya lagi, banyak dari kami, baik itu imam atau frater yang lebih senang dilayani dari pada melayani, semoga gejala atau dugaan ini hanya sebatas dugaan dan tidak pernah menjadi kenyataan.
Fenomena memudarnya spirtualitas pelayanan di kalangan kami yang menyebut diri terpanggil secara khusus bisa jadi disebabkan oleh pemahaman  kami yang kurang memadai tentang spiritualitas imamat. Hal ini bisa jadi karena formasi dasar para calon baik itu dari jenjang seminari menengah, postulan, novisiat hingga seminari tinggi kurang mendapat perhatian, yang mengakibatkan berkurangnya pemahaman dan pemaknaan kami terhadap spritualitas pelayanan tersebut. Untuk itu, hemat adalah kewajiban setiap keuskupan atau konggregasi menyadari fenomena ini, sehingga bisa mempersiapkan tenaga-tenaga yang mumpuni untuk membekali para calon dengan pemahaman dan pengetahuan yang memadai mengenai spritualitas imamat yang kelak akan mereka terima, dengan demikian para calon bisa diarahkan kepada spritualitas yang benar. Selain itu, partisipasi aktif dan kesediaan setiap calon untuk membuka diri untuk dididik dan diarahkan oleh para pembina dan formator menjadi faktor lain yang akan berpengaruh. Itu berati usaha dari keuskupa,n, konggregasi dan rumha-rumah fromasi akan berhasil jika didukung oleh para calon itu sendiri.
Dalam petunjuk ini juga dikatakan bahwa setiap formator harus memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kepribadian setiap calon, dan pengetahuan ini harus diperoleh dari pendidikan yang memadai. Dengan demikian, para uskup atau pimpinan Konggregasi dengan memanfaatkan berbagai program dan lembaga untuk mempersiapkan para formator untuk mendalami ilmu yang berkaitan dengan tugas mereka kelak. Hemat saya, hal ini juga yang belum disadari dengan sungguh-sungu oleh banyak keuskupan dan konggregasi. Banyak keuskupan dan konggregasi yang belum memiliki tenaga yang memadai untuk menangani para calonnya. Kasus yang terjadi, kebanyakan formator ditempatkan begitu saja tanpa dibekali dengan ilmu dan pemahaman yang mendukung pelayanannya kelak. Kebanyakan formator yang ditempatkan di rumah-rumah formasi memang merupakan lulusan teologi, namu banyak yang belum memiliki spesifikasi yang mendukung palayanan mereka untuk menangani para calon imam yang menuntut ilmu di lembaga tersebut. Hemat saya tersedianya formator yang memadai tidak hanya membantu Gereja dalam pendidikan dan formasi para calon imamnya tetapi juga lebih khusus lagi membantu para calon untuk memurnikan motivasi mereka.
            Dalam bagian yang lain dari petunjuk ini dikatakan bahwa panggilan menjadi imam berada di luar kompetensi psikologi. Panggilan imamat adalah karunia Allah. Namun dalam beberapa kasus, ilmu psikologi sebenarnya sangat bermanfaat karena memungkinkan evaluasi yang lebih meyakinkan mengenai psikis kandidat untuk menanggapi panggilan ilahi. Dengan demikian ilmu psikologi tidak hanya menawarkan pembinaan psikis tetapi juga membantu para calon mengembangkan kepribadian agar mampu menjawab panggilan Ilahi dengan jujur dan penuh tanggungjawab.
Hemat saya, hal ini juga yang belum diperhatikan dengan baik oleh banyak keuskupan dan konggregasi. Ada banyak ordo atau kongregasi yang belum mimiliki seorang formator yang secara khusus mendalami psikologi. Akibatnya, bidang ini belum benar-benar mendapatkan perhatian. Padahal panggilan seseorang tidak hanya semata-mata berasal dari Allah tetapi juga melibatkan seluruh pribadi calon beserta latar belakangnya, sehingga pengaplikasian ilmu psikologi di dalam formasi calon imam adalah hal yang juga harus diberi perhatian secara serius. Mungkin selama ini, perhatian terhadap persoalan ini sudah ada, namun belum maksimal, akan semakin lebih baik jika yang menangani bidang ini adalah formator yang memang dipersiapkan secara khusus, misalnya dengan mendalami psikologi hidup rohani.
Dokumen ini juga menekankan bahwa “Cita rasa yang positif dan stabil dari identitas maskulin seseorang ......harus mendapat perhatian khusus”. Hemat saya hal ini juga belum sungguh diperhatikan dengan baik oleh banyak konggregasi dan rumah-rumah formasi. Ada banyak calon yang diterima tanpa memperhatikan sisi ini, akibatnya dalam proses formasi selanjutnya bukan hanya calon yang dirugikan tetapi juga konggregasi itu sendiri. Hal yang sama juga tidak hanya terjadi atau menimpa para calon yang sudah berada di Seminari Tinggi, tetapi juga terjadi pada calon-calon yang masih menmpuh pendidikan dasar dan menengah. Banyak siswa yang diterima begitu saja, namun banyak juga yang dikeluarkan begitu saja tanpa melibatkan pertimbangan sisi psikologi.
Demikianlah beberapa tanggapan pribadi saya atas dokumen yang berbicara mengenai penggunaan psikologi dalam proses formasi.


Komentar

Postingan Populer