MENGINJIL & DIINJILI
(Pengalaman
TOP Mario Yolus, CSsR)
Tak
pernah terbayang dalam pikiran saya kalau suatu ketika saya akan menginjak kaki
di tanah Borneo. Tanah yang selama ini hanya saya dengar lewat buku-buku
sejarah dan penuturan para guru waktu Sekolah Dasar, kini menjadi tempat saya
berkarya. Pada tanggal 31 Juli 2014 yang lalu, saya memulai lembaran baru
perjalanan hidup saya, yaitu menjadi frater TOP di tanah Kalimantan Tengah.
Saya menjalani Tahun Orientasi Patoral
(TOP) di dua paroki yang berbeda, yaitu di paroki St. Petrus, Sukamara dan di
paroki St. Yosef, Kudangan. Kedua paroki yang dilayani oleh kongregasi
Redemptoris ini berada di wilayah Keuskupan Palangkaraya. Berikut ini adalah
singkat gambaran mengenai sejarah singkat masuknya Redemptoris di tanah Borneo
khususnya Kalimantan Tengah dan karya yang mereka gumuli.
Sejarah
Singkat Masuknya Kongregasi Redemptoris di Sukamara dan Kudangan
Karya Redemptoris di tanah Borneo di mulai pada tanggal 1 Maret 2008 yang ditandai dengan pengutusan tiga tiga orang imam Redemptoris untuk berkarya di Keuskupan Palangkaraya, yakni; P. Remigius Sila, CSsR, P.
Asterius Zangu Ate, CSsR, dan P. Yosef Gabriel Hoeng Baoninang, CSsR. Ketiga
orang imam ini datang untuk memenuhi permintaan uskup Mgr. Aloysius M.
Sutrisnaatmaka, MSF untuk melayani umat di paroki Sukamara yang sebelumnya merupakan paroki administratif dari paroki
Pangkalan Bun. Kedatangan ketiga imam Redemptoris menjadikan paroki St. Petrus Sukamara sebagai paroki Definitif dengan P. Remigius Sila, CSsR sebagai pastor
Paroki.
Pada bulan yang sama, tepatnya pada tanggal 3
Maret 2008, stasi St. Yosef, Kudangan (sebelumnya masuk dalam wilayah paroki
Nanga Bulik) diresmikan menjadi paroki dengan status sebagai paroki
administratif.
Bapak Uskup, diwakili
oleh Vikjen
Keuskupan Palangkaraya,
meresmikan stasi Kudangan sebagai Paroki
Administratif
dan sekaligus menyerahkan Paroki
Administratif
Kudangan kepada Kongregasi Redemptoris (CSsR). Pada saat itu pula, segala tugas penggembalaan umat di
Paroki Kudangan diserahkan kepada tiga orang misionaris
Redemptoris yang pertama. Pada tahun 2009, tepatnya pada tanggal 2 Mei 2009,
paroki St. Yosef,
Kudangan diresmikan menjadi paroki defenitif/penuh oleh Mgr. Aloysius Sutrisnaatmaka,
MSF dan P. Asterius Zangu Ate, CSsR diangkat sebagai Pastor Paroki serta P.
Gabriel Hoeng Baoninang, CSsR sebagai pastor capelan.
Sharing....
Dalam
menjalankan tugas pastoral, terkadang
rasa takut dan gembira selalu menghampiri diri saya. Keterbatasan pemahaman
saya terus menggugah benak saya untuk bertanya “apa yang dapat saya berikan
kepada umat yang akan saya jumpai
dan layani?” Di samping itu, perjumpaan secara langsung dengan umat sungguh memberikan
kebahagiaan tersendiri untuk saya. Banyak pengalaman baru yang saya dapatkan, terutama dalam hal pelayanan. Medan
yang sulit dijangkau, berhadapan dengan situasi umat yang mempunyai latar
belakang budaya yang berbeda, dan berjumpa dengan umat yang mempunyai kesadaran
iman yang terbatas merupakan realita yang selalu dialami oleh setiap misionaris yang bertugas di
tanah Borneo.
Berbagai
kesulitan dan tantangan yang ada tidak megnhalangi kami untuk berkarya,
semnagat St. Alfonsus ketika melayani orang-orang miskin dan terlantar di
pegunungan Scala senantiasa menjadi penyemangat kami. Situasi yang serba terbatas dan medan yang juga cukup sulit membuat kami
harus mempersipakn segala sesutu dengn matang. Jadwal pelayanan kami buat dengan menggunakan sistem turne mengharuskan kami untuk bermalam di rumah umat. Kesempatan seperti ini, ketika saya berkumpul bersam
keluarga-keluarga seringkali saya manfaatkan untuk mengumpulkan dan mengajarkan anak-anak lagu sekolah minggu
dan beberapa pengetahuan dasar mengenai iman Katolik.
Ketika bermalam di rumah umat, saya juga memberi diri untuk menjadi teman mereka berbagai
pengalamn. Biasanya dengan mendengarkan
keluhan-keluhan atau persoalan-persoalan yang mereka alami, baik itu berkaitan dngan masalah keluarga
mapun berkaitan dengan pekerjaan mereka. Di sini saya tidak hanya dituntut
untuk menjadi pembicara dan pemberi solusi yang baik tetapi juga harus memapu
menjadi pendegar yang baik.
Dengan kata lain, pelayanan dalam turne ini semata-mata tidak hanya
untuk berjumpadan memberikan pelayanan rohani
tetapi lebih dari itu saya dituntut untuk bisa secaramengenal mereka tidak saja sebagai
pribadi tetapi juga mengetahui berbagai kompleksitas persoalan yang mereka
hadapi, baik itu bekaitan dengan keluarga maupun pekerjaan mereka langsung mengenal situasi umat yang saya kunjungi.
Ada
sebuah pengalaman menarik yang saya dapat ketika menjalankan tugas pastoral di
paroki Kudangan. Pada bulan Mei, saya dipercayakan P. Sani untuk mendampingi
umat di salah satu stasi untuk berdoa rosario. Umat di stasi ini ada 40 KK 128
jiwa. Jarak dari pastoran ke stasi itu kira-kira 45 km. Stasi itu berada di
pinggir jalan dan mudah untuk dijangkau. Karena mudah dijangkau sehingga
terkadang saya tidak selalu nginap. Pengalaman hari pertama, hari kedua, dan
hari ketiga sungguh mengecewakan. Ketika saya datang ke rumah yang sudah
ditentukan sebelumnya, saya hanya berjumpa delapan sampai dua belas orang yang bersedia
datang mengikuti doa Rosario.
Hati
kecil saya bertanya “di manakah sebagian besar umat yang tidak hadir? Sedang
apakah mereka ketika kami sedang berdoa?” pertanyaan ini terus bergelayut dalam
benak saya. Secara terpaksa, menyikapi persoalan ini, saya meminta pengurus
stasi untuk membuat jadwal kunjungan doa rosario dari rumah ke rumah setiap
orang Katolik di stasi itu. Meski pada awalnya ada sedikit rasa kecewa dan
putus asa meliaht situasi dan semangat umat yang demikian, namun saya
senantiasa berusaha mengikuti doa rosario bersama umat. Dalam perjalan waktu saya boleh bersyukur karena apa yang kami
rencanakan dengan pengurus stasi mulai menampakkan hasil. Melalui jadwal yang yang
dibagikan, dari hari ke hari jumlah umat yang mengikuti kegiatan doa rosario
terus bertambah. Baik anak-anak maupun orang tua menjadi antusias dan begitu bersemangat
mengikuti doa rosario itu.
Menginjili sekaligus diinjili
Bagi saya, pengalaman kecil di atas menunjukkan
bahwa kesabaran dan semangat pantang menyerah adalah kunci untuk melewati semua
rintangan yang datang. Ketika saya menceritakan pengalaman baru yang saya
temukan di tanah Kalimantan kepada P. Remi, beliau pun mengatakan kepada saya “Pada prinsipnya,
kita harus lebih bersabar di dalam memberikan pelayanan. Untuk sekarang belum
saatnya kita mengharapkan hasil. tetapi yang terutama adalah kita berusaha
untuk memberikan pelayanan. Kita berusaha untuk membuka lahan, perlahan-lahan
mulai menanamkan benih dan hasilnya pasti akan diperoleh generasi yang akan
datang”. Kalimat peneguh sekaligus motivasi ini
sejenak mengingatkan saya akan kata Rasul Paulus dalam Suratnya yang
pertama kepada Jemaat di Korintus yang
berbunyi demikian: “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi
pertumbuhan”(I Kor 3:6).
Kalimat ini sungguh memotivasi dalam
berkarya, pengalaman pelayanan dan perjumpaan dengan umat memberi saya banyak
pelajaran yang tak terkira nilainya. Pertama,
perjumpaan dengan mereka yang mengharuskan saya juga berproses semakin meyakinkan
dan menguatkan saya bahwa setiap karya pewartaan dan misi yang dijalankan oleh Gereja lewat tarekat
dan kongregasi di mana dan kapan pun, pertama-tama memang tida dapat dilepaskan
dari karya para misionaris, namun di atas semua itu, Allahlah yang memberi
pertumbuhan, berkat dan rahmat Allahlah yang memungkinkan karya tersebut
berjalan dan tetap bertahan hingga mampu melintasi zaman.
Kedua, pengalaman
perjumpaan dengan mereka yang sederhana menyadarkan saya tentang arti pelayanan
sejati yang sesungguhnya. Seperti Yesus yang bersabda bahwa “Sama
seperti Anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan
untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Mat
20:28), sayapun sadar bahwa panggilan dan pertusan yang dipercayakan oleh
Gereja lewat Kongregasi Redemptoris merupakan sebuah panggilan untuk meneladani
Yesus sendiri, yakni datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Pelayanan tidak selamanya harus memberi tetapi
kehadiran yang nyata dalam perjumpaan dan kesedian untuk menjadi pendengar yang
baik hemat saya, sudah merupakan sebuah bentuk pemberian diri yang bernilai dan
berarti bagi mereka. Setidaknya itulah yang saksikan dan alami sendiri. Dalam pertemuan-pertemuan
yang kami adakan mereka benar-benar bersamangat dan antusias, terutama dalam
sharing-sharing Kitab Suci dan ibadat serta aneka kegiatan lainnya.
Ketiga, selama menjalani
TOP, saya diajarkan untuk menghargai arti proses daripada hasil. Memasang target
dan mengharapkan hasil yang maksimal adalah sebuah kewajaran, tetapi yang
diharapkan terutama adalah proses. Dengan target kita memang akan cepat mencapai
hasil, tetapi sadar atau tidak, ketika kegagalan menghampiri, kita akan cepat
putus asa dan enggan untuk menoba kembali. Namun, dengan berproses, kita
dilatih untuk menjadi pribadi yang tangguh, yang tidak mudah putus asah dan
pantang menyerah, kita dilatih untuk melihat melihat kegagalan sebagai
pelajaran untuk menjadi lebih baik. Setidaknya inilah pelajaran penting lain
yang saya dapatkan selama menjalani TOP di Paroki Sukamara dan Kudangan,
perjumpaan dan kebersamaan dengan mereka yang saya layani mengajarkan saya
tentang arti sebuah proses. Bahwa kita mengalami kegagalan memang patut disesalkan, namun bahwa setelah
itu kita dapat bangkit dan menjadi lebih baik lagi, itu jauh lebih penting.
Kempat, perjumpaan dengan
umat di Paroki Sukamara dan Kudangan yang mayoritas bekerja sebagai buruh dan
petani menyadarkan saya bahwa masih banyak umat yang mendambahkan sapaan dan
pelayanan rohani. Realita kemiskinan yang terjadi di sana dengan segala
keterbatasan dan kekurangan yang dialami oleh umat Allah, juga menunjukkan
bawah masih ada banyak Gereja yang membutuhkan tidak saja bantuan rohani tetapi
juga bantuan jasmani, terutama yang berkaitan dengan pendidikan dan kesehatan.
Dua hal ini menjadi kebutuhan mendesak, terutama di tengah ramainya eksploitasi
ilegal atas kekayaan alam Borneo oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.
Pendidikan yang minim menjadikan mereka gampang diperalat dan dipolitsir oleh
oknum yang tidak bertanggungjawab.
Akhirnya, semua
pengalaman-pengalamn itu membawa saya pada kesadaran baru, bahwa dalam berkarya
tidak selamanya kita yang meginjili ,tetapi terkadang, justru kita juga diinjili oleh mereka yang kita
layani. Banyak sekali pelajaran dan kearifan hidup yang saya dapatkan selama
menjalani TOP di tanah Borneo, pengalaman yang tentunya tidak bisa diukur nilainya.
Kesedehanaan hidup yang terpancar dari keseharian mereka, ketulusan dan
kepolosan yang mengalir dari wajah dan hati, serta perjuangan mereka untuk
bertahan hidup di tengah dan dalam situasi yang tidak menentu mengajarkan arti
penting dari perjungan, bahwa kesulitan dan persoalan tidak menjadi penghalang
bagi untuk berjuang dan berusaha, melainkan menjadi media pembelajaran untuk menjadi
semakin dewasa dalam tutur kata dan tindakan.
COPIOSA APUD EUM REDEMPTIO
Komentar
Posting Komentar