Kepercayaan Marapu


Berbicara tentang Sumba dan masyarakatnya, khususnya masyarakat suku Wewewa kabupaten Sumba Barat Daya, maka hal itu tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan Marapu. Suku bangsa Sumba memiliki suatu kepercayaan yang telah dianut turun temurun sejak jaman purba hingga masa kini, yaitu kepercayaan Marapu sebagai agama asli warisan leluhur orang Sumba. Disebut kepercayaan (religi) karena kegiatan-kegiatan pemujaan (kultus) dengan segala upacaranya dilakukan menurut suatu sistem atau cara yang teratur dan tertentu. Dapat juga dikatakan bahwa orang Marapu adalah masyarakat Sumba atau orang Sumba yang beragama Marapu. Disebut agama sebab agama adalah ekspresi lahir dari sikap batin manusia terhadap Allah.
Tidak ada defenisi yang pasti tentang Marapu. L. Onvlee seperti yang dikutip oleh Mateus Mali menyebutnyan sebagai “Yang Disembah dan Dihormati” karena baginya Marapu berasal dari arti kata  “Ma” (Yang) dan “rapu”(dihormati atau disembah). Marapu adalah sembahan orang Sumba. Penyembahan itu ditujuhkan kepada roh, arwah orang mati, atau “Allah” (Dewa Tertinggi). Semua yang disembah disebut Marapu[1]. Sementara itu, A.A. Yewangoe[2] mengartikan Marapu sebagai “Yang Tersembunyi” kalau kata ini diambil dari kata “ma”(yang) dan “rappu”(tersembunyi) atau sesuatu yang tidak dapat atau tidak boleh dilihat. Namun Marapu juga berarti “Serupa Nenek Moyang” bila kata Marapu diambil dari rangkaian kata “mera” (serupa) dan “appu” (nenek moyang)[3].
Dengan demikian belum dapat diketemukan kesesuaian pengertian di antara para tua-tua adat tentang pengertian Marapu ini[4]. Bahkan kebanyakan dari mereka tidak mempersoalkan hal tersebut. Untuk sementara ada beberapa pengertian yang dapat dikemukakan di sini sebagai arti dari kata Marapu antara lain yakni:
1.      Para penghuni langit yang hidup abadi. Makhluk-makhluk mulia itu merupakan makhluk-makhluk yang berwujud dan berkepribadian seperti manusia. Terdiri dari pria dan wanita, mereka juga berpasangan sebagai suami-istri. Di antara keturunannya ada yang menghuni bumi dan menjadi cikal-bakal nenek moyang suku-suku yang hidup di Sumba, mereka adalah perantara antara Allah sebagai Pencipta dan manusia sebagai ciptaan.
2.      Arwah nenek moyang di Kampung besar atau negeri Marapu
3.      Arwah sanak keluarga. Leluhur ini sebenarnya tidak sama dengan Marapu tetapi karena dekatnya mereka dengan Marapu lalu kemudian sering juga disebut Marapu.
4.      Makhluk-makhluk halus yang menghuni seluruh  penjuru dan ruang alam, benda-benda antara lain: kayu cendana, padi dan ular. Mereka mempunyai kekuatan gaib, magis yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia di alam ramai. Dalam arti ini Marapu yang baik mendatangkan berkat, ada ­Marapu yang mendatangkan bencana.
5.      Dalam pengertian lain Marapu dimengerti sebagai sobat[5].
Marapu juga dimengerti sebagai kekuatan supranatural yang senantiasa memberi pengaruh kepada manusia. Bila diikuti permintaanNya, Ia akan memberikan berkat. Namun bila tidak mengikutiNya, Ia akan memberikan kutuk. Berkat yang diberikan berupa kekayaan atau keberhasilan sesuai dengan intensi pemintanya. Sebaliknya, kutuk yang diberikan berupa kegagalan di dalam usaha atau bahkan bisa mendatangkan kematian. Kekuatan supranatural ini bisa melekat pada suku, tanah atau orang tertentu. Artinya bahwa yang bersangkutan memiliki hubungan khusus dengan Marapu[6].
Para Marapu tidak sama tingkat kedudukannya, Marapu yang menjadi cikal-bakal sekelompok suku menempati tingkat yang tinggi. Walapun demikian tak satupun di antara Marapu, meskipun tinggi derajatNya, dinyatakan sebagai Marapu pencipta alam semesta. Secara prinsispil kepercayaan Marapu tidak mengakui adanya Marapu pencipta alam semesta. Sebab yang tertinggi adalah DIA yang dialami sebagai yang mencipta seisi alam semesta, yang membentuk dan memberi kehidupan, yang bertelinga dan bermata Maha Besar. Istilah-istilah ini diucapkan secara berpasangan dalam bait-bait bahasa adat. Semuanya menyatakan pengakuan adanya Yang Ilahi, Yang Esa, Sang Pencipta yang pantang disebut namaNya, “NdapanumaNgara-Ndapateki Tamo” (Tak diucapkan namaNya dan tak disebutkan gelarNya). Dia tidak disebut Marapu.
Para Marapu inilah yang menjadi perantara atau media antara manusia dengan Alkhalik (Yang Ilahi/Yang Maha Kuasa) di dalam penyampaian segala perasaan dan kehendak hati dalam bentuk doa atau upacara-upacara. Dalam hal ini mereka melaksanaknnya dalam rumah-rumah adat yang disebut oleh masyarakat sebagai Umma Rato[7].




[1]               Mateus Mali, “Sumba: Tanah Marapu,” dalam Spiritualitas Dialog Narasi Teologis Tentang Kearifan Religius, Eddy Kristiyanto (ed), Kanisius, Yogyakarta 2010, 74.
[2]               A.A. Yewangoe, “Korban Dalam Agama Marapu”, dalam Peninjau, Tahun VII, Nomor 4, 1980.
[3]               Mateus Mali melihat bahwa pemikiran ini didasarkan pada kebiasaan yang terjadi di Sumba. Semua sanak saudara terlebih nenek moyang yang telah meninggal  telah berbahagia di alam baka dan mereka menjadi perantara doa-doa dari mereka yang masih hidup kepada “Dewa Tertinggi”. Pemberian sesaji berupa siri pinang atau makanan yang diletakkan di atas kuburan mereka yang meninggal dengan harapan mereka yang meninggal itu akan melindungi yang masih hidup dan kelak berkenan menjemput mereka kalau meninggal nanti ( Mateus Mali, “Sumba: Tanah Marapu,” 74.)
[4]               Bdk. Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2000, 117-118.
[5]               Sr. Anita, ADM, “Sumba, Marapu dan Iman Kristiani, dalam Rohani, September 1987, 334.
[6]               Mateus Mali, “Sumba: Tanah Marapu,” 74-75.
[7]               H. Ahamad Yunus & Suradi HP (eds), Upacara Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa dan Kepercayaan Daerah Nusa Tenggara Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Jakarta 1985, 76.

Komentar

Postingan Populer