SENIMAN KASIH ALLAH
Seniman
Sejati
Novel,
lagu, musik, puisi, cerpen, lukisan, dll, merupakan salah satu bentuk atau
mungkin lebih tepat dikatakan sebagai salah satu ruang yang mana di dalamnya kreasi sastrawi
mewujud. Ruang sastra ini tidak semata-mata berangkat dari sebuah angan-angan kosong
tetapi juga punya titik pijak atau latar belakang, yakni realitas atau kenyataan
hidup. Imajinasi dan kreasi sastrawi selalu mungkin berdiri pada dan berangkat
dari realitas kehidupan. Ia menjadi bagian dari refleksi tentang kehidupan
nyata. Orientasi sebuah karya sastra dengan demikian selalu beranjak dari
keprihatinan kepada keberpihakan. Sastra lalu
menjadi medium yang menjembatani realitas kehidupan dan imajinasi.
Kalimat
di atas adalah kata-kata yang saya kutip
dari kalimat pengantar dalam Novel “Ritual Gunung Kemukus” karya F. Rahardi.
Novel terbitan Penerbit Lamalera berkisah tentang ritual gunung Kemukus, sebuah
ritual “seks” yang diadakan di Gunung Kemukus. Para pelaku meyakini bahwa jika
mereka dapat melakuakn ritual seks kurang lebih 7 kali dan sejauh memenuhi
syarat yang ditentukan maka permohonan mereka akan dikabulkal. Novel ini
mencoba melihat berbagai aspek dan faktor yang menjadi latar belakang mengapa
ritual tersebut tetap langgeg hingga sekarang.
Saya
tidak aka membahas lebih jauh tentang novel tersebut. Bagi saya yang menarik
adalah penjelasan dari pengatar novel tersebut, terutama bagaimana posisi sebuah karya sastra,
baik itu puisi, cerpen, lukisan, lagu, dll, tidak hanya sekedar muncul dari imajinasi
kosong belaka tetapi merupakan hasil dari sebuah refleksi mendalam yang bertolak dari
realitas. Relitas kehidupan dengan berbagai dinamika yang melingkupinya menjadi
inspirasi atau ilham bagi para sastrawan dalam berkarya. Itu berarti, karya seorang sastrawan atau seniman tulen seharusnya membawa dan menyuarakan tidak hanya interse pribadi dan kelompok semata tetapi juga kepentingan
masyarakat luas. Seorang seniman sejati , dengan segala resiko yang menghadang berani menentang
kebiasaan-kebiasaan yang menyimpang, yang menodai keadilan dan kebenaran pada
zamannya. Mereka tidak gentar menyuarakan kebenaran meski itu harus berhadapan
dengan tirani kekuasaan. Maka sungguh disayangkan jika ada sastrawan atau
seniman yang berkarya tetapi justru mengorbankan keadilan dan kebenaran yang
tentu saja akan berdampak bagi kepentingan orang atau masyarakat banyak.
Slank
& Iwan Fals
Kita
mungkin bertanya kenapa Iwan Fals dan Slank misalnya, selalu memiliki penggemar
atau fans fanatik tersendiri dalam dunia musik Indonesia. Fans atau penggemar mereka ada ribuan dan tersebar di berbagai penjuru tanah air, mereka
datang dari berbagai latar belakang, tidak peduli mau petani, tukang ojek,
buruh pabrik, guru honor, pegawai, pengusaha, eksekutif, dll, hampir pasti ketika
mereka menunjukkan aksi panggung di situ fans fanatik mereka akan hadir untuk
mendukung mereka. Lagu-lagu yang mereka dendangkan selalu saja
merebut hati banyak orang. Bendera-bendera yang mengusung logo Iwan Fals dan
Slank pasti selalu akan muncul dalam setiap pagelaran konser tidak peduli yang
mengadakan konser adalah Slank, Iwan Fals atau penyanyi dan grup band lain.
Salah
satu faktor utama yang membuat mereka mampu eksis
dan bertahan di tengah persaingan musik yang semakin ramai adalah
keberanian mereka untuk melawan arus dan lebih dari itu keberanian mereka untuk berpihak pada rakyat kecil mengkritisi mereka yang berkuasa. Keberadaan berbagai band dan penyanyi solo pendatang baru yang belum mampu menggeser posisi mereka dari kancah musik tanah air saat
ini menjadi bukti sahi bagaimana mereka memiliki basis penggemar tersendiri. Mereka adalah sosok yang boleh dikatakan anti-main stream, lewat lirik-lirik lagu, dengan lantang
dan berani mereka menyuarakan kepentingan rakyat, meski untuk itu, mereka harus melawan arus. Ketika
kebanyakan penyanyi dan band tnuduk dan mengikuti kemauan pasar, mereka justru
berani menentang dengan karya-karya yang tentu saja tidak sejalan dengan
kemauan pasar dalam hal ini produsen, tetapi dinantikan oleh orang banyak
karena bisa menyuarakan keprihatinan dan penderitaan mereka yang tidak pernah
bisa tersampaikan.
Keberanian
mereka untuk kritis terhadap para penguasa, menjadikan mereka ditolak oleh para
produser. Beberapa kali mereka diancam dan diteror karena kritik-kritik mereka,
meski demikian hal itu tidak mereka pedulikan, bakan semakin memotivasi mereka untuk
semakin gencar menyuarakan kepentingan rakyat lewat lirik-lirik lagu bernada
kritis yang mereka ciptakan. Lagu Bento
punya Iwan Fals dan Koruptor milik
Slank misalnya, adalah dua contoh dari sekian banyak lagu yang mengkritisi pemerintah. Lagu-lagu
bernada kritik seperti itu pulalah yang menjadikan mereka tidak dilirik
para produser, namun demikian, satu yang pasti, karya mereka selalu punya tempat
tersendiri di hati para penggemar, terutama bagi merek yang selama ini merasa
diabaikan oleh para penguasa. Bagi masyarakat banyak, lagu-lagu Slank dan Iwan Fals
menjadi teman dan sahabat sekaligus medium untuk menyampaikan aspirasi mereka yang selama
ini tertahan di kerongkongan para wakil mereka.
Orang
Kudus
Dalam
sejarah Gereja sendiri, banyak orang kudus yang lahir dari rahim Gereja karena
berani menentang kebiasaan atau situasi zaman mereka. Keberanian mereka melawan
kabiasaan dan tradisi yang menyimpang saat itu menjadikan Gereja tetap eksis
hingga hari ini. Angela Merici (1474-1540) misalnya, ketika gerakan Renaissance
mencapai puncaknya di Italia dalam abad 14-15, pendidikan, kesenian dan kebudayaan
pada umumnya berkembang luar biasa. Tetapi Angela Merici mengamati bahwa kaum
perempuan sangat terabaikan. Maka dia dan teman-temannya membentuk semacam
kelompok rahani yang berniat memajukan pendidikan di kalangan anak-anak
perempuan, karena mereka inilah yang akan menjadi ibu keluarga yang bakal
melanjutkan pendidikan iman Kristiani untuk anak-anak usia dini. Kelompok
Angela Merici dan teman-temannya mengambil St. Ursulin sebagai pelindung
mereka. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi apa yang kita kenal sebagai
tarekat suster-suster Ursulin.
Masih
banyak lagi orang-orang Kudus yang berani mengambil sikap melawan arus zamannya.
Tokoh lain yang bisa di sebut adalah St.
Alfonsus Maria de Liguori. Alfonsus dengan segala kemewahan yang dia miliki
berani meninggalkan semua itu untuk mengikuti Kristus yang tersalib lewat
pelayanan terhadap orang kecil, miskin dan terlantar yang terdapat di
Pegunungan Scala. Dua sosok ini merupakan contoh dari sekian banyak kisah-kisah
inspiratif tetang perjuangan banyak tokoh-toko kudus dalam Gereja untuk mewatakan
Sabda Tuhan. Mereka berani meninggalkan zona nyaman (Comfort Zone) untuk kemudian berjuang dan menderita bersama
orang-orang kecil yang miskin terlantar. Karya dan pelayanan yang mereka tunjukkan menjadi
bentuk perlawanan dari situasi dan kondisi zaman yang sudah jauh menyimpang dari kebiasaan dan
tradisi yang benar .
Yesus
Sang Inspirator
Tentu
saja inspirasi mereka dalam berkarya mengalir dari Yesus, Sang Guru Sejati.
Dalam berbagai kesempatan, entah itu lewat mujizat dan perumpamaan, Yesus
adalah tokoh yang berani menentang kebiasaan dan tradisi-tradisi yang keliru
dan menyesatkan pada zamannya. Pada zamanNya, Yesus tidak segan menyingkirkan
hukum agama mengenai najis dan tahir, halal dan haram, karena bagiNya, hati
orang jauh lebih lebih penting daripada aturan lahiriah (Mark 7:15, Luk 11:38).
Yesus pun secara mencolok bergaul dan berkerabat, makan bersama dengan orang
yang menurut agama justru dikucilkan. Dia juga bergaul dengan orang berdosa,
pemungut cukai, pelacur dan mereka yang tidak ambil pusing dengan hukum agama
serta hukum Allah (Mat 11: 19; Luk 5:2; 5:30; 19:1-2). Yesus juga mendekati
orang malang: mereka yang sakit, cacat, yang kerasukan roh najis (Mat 4:23;
8:16; 9:35; 15:30; 21:14). Dan Ia terutama dekat dengan mereka yang secara sosio-ekonomis
dan politis tidak berdaya (Luk 4:18-19; 6:20-26).
Bagaiman
kita?
Pertanyaannya
bagi kita kemudian apakah kita masih mampu meneladani Yesus dalam kehidupan
kita saat ini. Atau jangan-jangan kita justru terseret mengikuti arus zaman?
Apakah kita juga mampu menjadi sosok yang menginspirasi orang lain? atau
jangan-jangan kita malah menjadi batu sandungan bagi sesama kita? Kita mungkin
tidak bisa menjadi seniman ala Slank dan Iwan Fals, namun kita dapat menjadi
seniman Kasih Allah, jika kita berani dan mau membuka diri menjadi saluran berkat Tuhan bagi sesama.
Kita mungkin tidak bisa merangkai kata-kata dan nada-nada menjadi puisi dan lagu yang indah, namun di hadan
Tuhan, yakinlah kita dapat menjadi seniman-seniman kasih Allah yang baru di zaman ini. Kita mungkin
tidak bisa menghasilkan dan menciptakan karya dalam bentuk novel yang indah, namun kita dapat membiarkan Tuhan menjadi
penulis dalam “novel hidup” kita, sehingga lewat kata-kata dan perbuatan kita, karya Tuhan yang agung dan dasyat menjadi nyata bagi sesama
yang kita jumpai.
.
Komentar
Posting Komentar