SEGALA SESUATU MEMILIKI TUJUAN DAN KETERARAHAN
Pernakah
kita sejenak mengambil waktu untuk berpikir tentang keberadaan kita dan apa
tujuan keberadaan kita di dunia? Apakah kita sadar bahwa Tuhan memiliki makusd
dengan pengalaman-pengalaman hidup kita?
Hari
ini jam kuliah berlangsung dari 07.30-09.00, kebetulan hanya satu mata kuliah,
usai kuliah biasanya saya langsung pulang ke Wisma, namun siang ini say tidak langsung
pulang, tetapi bergabung bersama beberapa teman di bawa lopo di garasi parkir
sepeda untuk mendiskusikan tesis-tesis Bakaloreat. Siang ini salah satu tesis
yang kami diskusikan adalah tesis 3 yang berbunyi demikian: “Manusia mengalami
Yang Transesnden sebagai kenyataan yang menggetarkan dan mengungkapkannya dalam
tindakan serta pemahaman religius sesuai dengan kerinduan yang terdaam.
Kerinduan ini diwujudkan dalam upaya-upaya keselamatan dengan mengerahkan
seluruh daya manusiawinya.” Tesis ini sendiri merupakan satu dari tiga tesis filsafat,
khusunya filsafat ketuhanan. Yang menjadi topik diskusi dari tesis tiga ini
adalah: bagaimana manusia mengalami Yang Transeden? Khususnya sebagai kenyataan
yang menggetarkan, mengungkapkannya dalam tindakan serta pemahaman religiusnya
sesuai dengan kerinduan yang terdalam. Kerinduan ini kemudia diwujudkan dalam
upaya-upaya keselamatan dengan menggerakkan seluruh daya manusiawinya.
Dalam pembahasan
tesis tersebut, salah satu topik yang menjadi tema pembahsan kami adalah
keterarahan manusia kepada kepada Allah. Berikut ini adalah salah satu
argumen filosofis
tentang keterarahan manusia kepada Allah. Argumen tersebut adalah argumen
TELEOLOGIS: Keteraturan dan Rancangan. Dasar pemikiran: adanya keteraturan
dalam diri manusia dan alam, masing-masing bagian diri manusia dan alam
mempunyai tujuan. Argumen Qua tujuan: Segala sesuatu ada dg tujuan tertentu. Tujuan itu sudah ada sebelumnya (sesuatu itu diciptakan
untuk itu). Karena segala sesuatu yang ada memiliki tujuan, argumen
menolak yang namanya “argumen kebetulan”. Misalnya, Apa yang telah terjadi tidak dapat ditarik kembali à
maka bukan kebetulan, ex.: anak tak dapat dipilah-pilah lagi mana yang dari
ibu, mana yang dari bapak. Sesuatu dibuat dg tujuan tertentu/sudah ditentukan
finalitasnya à
maka bukan kebetulan, ex.: susunan huruf-huruf menjadi kata. Adanya keserasian
fisik dan psikis yang mengagumkan à pasti bukan kebetulan,
ex.: tubuh manusia. Adanya
stabilitas susunan alam, kelangsungan dan pengembangbiakan makhluk hidup, ex.:
musim hujan dan anjing kawin ya begitu-bagitu saja. Teknologi mencontoh
finalitas alam, ex.: pesawat terbang dibuat mirip burung. Berdasarkan contoh di atas, berarti: ada finalitas (tujuan), ada yang mengarahkan pada tujuan, akal
yang mengarahkan itu diidentifikasi sebagai Allah. Maka: Finalitas adalah suatu
- pengarahan/proses demi tujuan terntetu dan ditentukan oleh dan kepada suatu
tujuan tertentu. Argumen Qua keteraturan: alam semesta berjalan dengan teratur dan
pasti. Pasti ada pengatur yang membuatnya segala teratur dan
pasti. Pengatur ini harus ada
sebagai yang otonom. Pengatur itu adalah
Allah.
Hari
ini saya juga mengalami satu pengalaman yang cukup manarik. Pengalaman ini
hemat menarik karena sesuai atau menjawab salah satu bagian dari tesis yang
kami bahas hari ini. Malam
hari ketika kami sedang makan malam, bel pertanda ada tamu yang berkunjung
berbunyi. Seorang umat yang juga merupakan kenalan, mendatangi komunitas kami
untuk meminta bantuan beberapa frater guna mendonorkan darah bagi salah satu
umat lingkungannya yang sakit. Adapun dolongan darah yang dibutuhkan adalah
golongan darah O.
Atas
permintaan bantuan tersebut, ketua WSP kemudian meminta bantuan beberapa fater agar bersedia
mendonorkan darah atau menjadi pendonor. Dua orang teman kemudian mengacungkan
jari pertanda mereka siap untuk membantu. Karena baru dua orang yang siap
sehingga masih butuh dua lainnya lagi, saya kemudia mengacukan jari untuk
mengisi dua yang masih kurang. Saya sendiri memang belum pernah mendonorkan
darah sebelumnya, selain karena takut dengan darah juga karena kondisi fisik yang
hemat saya kurang mendukung, “Kurus begini” mau donor apa, demikian saya
mengelak ketika dimintai bantuan. Namun kali ini saya memberanikan diri. Hal
ini tidak lepas dari anjuran teman-teman yang mengatakan bahwa donor darah yang
dilakukan secara rutin juga baik bagi kesehatan seseorang. Bersama dua teman
saya tadi, kami kemudian bersedia membantu umat tersebut dengan mendonorkan
darah.
Tepat
jam delapan malam, mobil jemputan yang akan menghantar kami menuju Rumah Sakit
tiba. Saya dan dua orang teman yang bergolongan darah O berangkat. Berdasarkan
pemeriksaan medis yang saya lakukan beberapa tahun yang lalu sebelum masuk
postulan saya sendiri memiliki golongan darah O. Golongan darah O sudah menjadi
bagain dari identitas saya karena tertera di KTP.
Malam
itu, sebelum mendonorkan darah kami terlebih dahulu diperiksa oleh petugas,
pemeriksaan ini bertujuan untuk memastikan bahwa kami para calon pendonor memenuhi
syarat dan kriteria yang ditentukan oleh RS. Bebepa kriteria yang harus
diperhatikan serta dipenuhi oleh calon pendonor misalnya adalah: dalam satu
minggu terakhir belum atau tidak berobat serta tidak minum, pendonor tidak
memiliki riwayat penyakit berbahaya atau penyakit menular seperti HIV/AIDS,
Hepatitis, Tekanan darah tinggi, malaria, dan masih banyak lagi kriteria
lainnya.
Saya
pribadi memenuhi seluruh kriteria tersebut, kebetulan beberapa bulan terakhir
saya tidak pernah mengalami sakit sehingga juga tidak mengkonsumsi obat. Namun
justru satu “keanehan” yang membuat saya dan dua teman lainnya sedikit heran
adalah golongan darah saya yang “berubah”. Seperti yang sudah saya katakan,
berdasarkan pemeriksaan beberapa tahun yang lalu di salah satu rumah sakit di
Sumba, golongan darah saya adalah O. Namun di sini saya benar-benar dibuat
dibuat kaget dan heran. Bagaimana tidak, berdasarkan hasil pemeriksaan, terungkap
fakta baru bahwa ternyata golongan darah saya bukan O, seperti yang selama ini
saya yakini. Dari hasil pemeriksaan, ternyata golongan darah saya adalah A.
Saya
kemudian, mengajukan protes kepada petugas tersebut dengan mengatakan bahwa
golongan darah saya adalah O. Namun semua protes tersebut menjadi tidak berarti
ketika petugas tersebut menunjukkan bukti untuk membenarkan bahwa golongan
darah yang saya miliki bukan O tetapi A. Saya kemudian bertanya, apakah mungkin
golongan darah saya berubah, petugas tersebut mengatakan bahwa tidak mungkin
golongan darah seseorang berubah. Kalau memang demikian, itu berarti kesalah
terjadi pada pemeriksaan awal, petugas yang memeriksa golongan darah saya
beberap tahun yang lalu telah keliru sehingga salah menentukan golonga darah
yang sebenarnya.
Setelah
mendapat informasi dan penjelasan singkat, perawat tersebut kemudian menanayai
saya, apakah saya masih bersedia mendorokan darah saya. Saya sebenarnya agak
keberatan serta kecewa karena telah mengecewakan keluarga yang telah
mengharapkan bantuan untuk mendonorkan
darah. Namun, suara seorang bapak di ruangan tersebut yang berkata “Mas,
darahnya didonorkan buat istri saya saja” membuat saya mengubah keputusan, saya
kemudian mendornorkan darah saya. Usai mendonorkan darah bapak itu mendekati
saya, dengan sangat dia mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerelaan saya
mendonorkan dara bagi istrinya.
Selesai
mendonorkan darah, kembali si bapak tadi datang mendekati saya, sambil sekali
lagi mengucapkan terima kasih bapak tersebut menceritakan pengalamannya hari
ini untuk mencari pendonor bagi istrinya. Sudah sejak pagi dia mencari pendonor
dengan golongan darah A untuk membatu istrinya yang akan dioperasi. Berdasarkan
penjelasan dokter, istrinya membutuhkan paling kurang empat plastik kantung
darah. Berbagai upaya ditempuh oleh bapak tersebut untuk mendapatkan relawan
yang bersedia mendonorkan darahnya. Banyak orang sudah dihubunginya, dia bahkan
sampai meminta bantuan beberapa mesjid untuk membuat pengumuman perihal
permohonan bantuannya tersebut. Namun semua usahanya seperti menemui jalan
buntuh. Hingga malam dia baru mendapatkan dua pendonor, yang berarti baru ada
dua kantung darah, masih butuh dua lagi. Sehingga ketika saya menyatakan
kesediaan, bapak tersebut sangat berterima kasih.
Usai
menceritakan pengalamannya, si bapak menyodorkan amplop bersisi uang ke dalam
saku celana saya sambil berkata, “Ini ada sedikit uang mas, buat beli susu”.
Merasa tidak enak, saya kemudian mengembalikan amplop tersebut dan berkata,
“Ngga usah pak, uangnnya untuk keperluan yang lain saja pak, malam ini bukan
saya yang beruntung tetapi bapa yang beruntung, ini merupakan keberuntungan
bapak” ujar saya. Mendengan penjelasan saya, si bapak sekali dengan sangat menugucakan
banyak terima kasih. Sesuai dengan kata-kata saya kepada bapak tadi, saya
melihat bahwa bapa tersebut memang
berunutung. Bagi saya dan teman-teman, pengalaman ‘berubahnya glongan darah
dari O ke A” merupakan pengalaman yang aneh dan mengherankan, tetapi bagi bapa
tersebut, menjadi pengalaman yang melegahkan. Bayangkan saja, ketika sedang cemas
becampur bingung memikirkan dan mencari jalan keluar atas persoalan yang
dihadapinya, jawabannya ternyata sudah ada dan bahkan mendatanginya, sungguh
sebuah berkat bukan?
Pengalaman
malam ini juga menjawab atau boleh dikatakan membenarkan salah satu topik yang
saya dan teman-teman bahas dan diskusikan pagi tadi di kampus, yakni berkaitan
dengan argumen TELEOLOGIS yang
menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki keterarahan dan tujuan. Itu berarti
tidak ada yang namanya kebetulan dalam alam semesta ini. Dan sebagai orang
beriman saya meyakini bahwa yang mengatur dan mengarahakan semua hal tersebut
adalah Allah. Pengalaman perjumpaan saya dengan bapak yang mencari pendonor
untuk istrinya, oleh sebagian orang mungkin merupakan sebuah kebetulan semata,
sebuah perjumpaan yang tidak pernah dibyangkan dan terjadi begitu saja. Namun
sekali lagi, berdasarkan penjelasan tesis tersebut dan pengalaman saya malam
ini, saya yakin bahwa segala sesuatu memang memiliki keteraturan dan
keterarahan, dan semua ini terjadi berkat penyelenggaraan Allah. Itu berarti,
kalau kita mau jujur, dalam hidup ini tidak ada yang namanya kebetulan.
Kebetulan hanya terjadi bagi orang yang pesimis dan tidak beriman.
Komentar
Posting Komentar