CATATAN ZIARAH SEPEDA JOGJA-GANJURAN



Jogja-Ganjuran
“Rama sekali he TU” demikian ungkapan spontan yang terlontar rekan saya Fr. Inyo tentang orang Jogja, ketika kami menanyakan rute jalan Jogja Ganjuran pada dua orang tukang ojek yang sedang menunggu pelanggan di perempatan Tugu.”TU..indah betul hehehe” ujar rekan saya ini ketika di lain kesempatan kami melewati hampran sawah menghijau. Hari ini kami berdua berziarah menggunakan sepeda ke Ganjuran. Hal yang sebenarnya sudah kami rencanakan jauh-jauh hari sebelumnya, namun karena satu dua kegiatan serta kesibukan, rencana bersepeda ke ganjuran tersebut baru terjadi hari ini.

Hujan yang mengguyur Jogja sejak siang nyaris membuat rencana berspeda kami lagi-lagi batal. Namun rupanya alam bersahabat dengan kami hari ini. Hujan yang begitu lebat sejak siang perlahan-lahan mulai redah. Pengalaman hari ini bisa jadi membenarkan kata-kata Paulo Coelho dalam novelnya yang berjudul Sang Alkemis. Di situ, paulo menulis demikian: “Jika engkua menginginkan sesuatua, maka alam semesta akan bersatu membantumu”. Sejalan dengan apa yang ditulis oleh novelis kenamaan tersebut, rencana kami hari ini mungkin didengar dan didukung oelh alam.
Kami pun bergegas mempersiapkan diri. Topi untuk melindungi kepala dan MP3 sebagai penghibur perjalanan menjadi pelengkap yang tidak boleh dilupakan. Jarum jam menunjukkan pukul 14.30 ketika kami berdua meninggalkan wisma Sang Penebus sore itu. Sepeda yang bagi orang lain mungkin merupakan kendaraan atau sekedar sarana transportAsi tetapi bagi kami sudah menjadi seperti teman baik, bahkan “pasangan sejati”  perlahan melaju mengikutui irama kayuan kaki meninggalkan pelataaran Wisma Sang Penebus.
Sore ini jalan cukup padat. Kendaraan pasangan-pasangan muda yang akan berakhir pekan serta kendaran yang menghantar tuannya kembali dari kantor menuju rumah membuat suasana jogja di akhir pekan sedikit rame. Beruntung ‘teman sejati’ kami, motor tanpa mesin, moda transportasi yang sangat rama dengan lingkungan merupakan kendaraan yang sangat praktis dan taktis, sehingga memudakan kami menemukan jalan di tengah padatnya kendaraan sore ini.

Saya sendiri, meski sudah lebih dari empat tahun berdomisili kota pelajar ini, namun belum pernah sakalipun berkunjung ke Ganjuran. So, boleh dikatakan, dan memang demikian adanya, ini merupakan kunjungan perdana kami ke Ganjuran. Karena merupakan kunjungan perdana, salah satu kendala yang kami hadapai adalah bagaimana menentukan rute. Beruntung, kota tempat kami tinggal adalah kota yang sangat welcome, penduduknya sangat ramah. Buktinya, ketika kebingungan menghinggapi kami mengenai rute mana yang harus dipilih, seseorang bapak tua pedagang tahu isi dengan sangat rama khas orang Jogja menjelaskan dengan sangat rinci kepada kami rute yang harus kami lalui. “Masih jauh mas....mas jalan lurus terus, nanti ketemu bang jo (sebutan untuk lampu lalu lintas) baru belok kiri” demikian penjelasan dari bapak tadi.    
        
Sepeda: Perlahan Tapi Asikk
Cuaca sore yang sejuk pasca hujan serta satu-dua sawah menghijau yang tersisa yang belum tersentuh perkembangan kota menjadi pemandangan yang menghibur perjalanan kami sore ini. Itulah keuntungan seseorang yang bersepeda: perlahan dan lambat memang, namun dalam perlahan dan lambat tersebut, dia memberi kesempatan kepada si pengendara untuk menikmati dan mesnyukuri karya Tuhan yang luar biasa mengagungkan, yang nyata lewat keramahan umatnya  serta pemandangan alam yang elok dan indah. Dengan cara ini kita diingatkan bahwa hidup tidak hanya hidup tetapi juga harus dinikmati.

Sebaliknya hal ini tidak atau belum tentu dialami oleh orang yang mengutamakan moda transpostasi seperti motor dan mobil sebagai sarana trasnportasi. Dengan sarana-sarana transportasi bermesin kita memang akan meringkas dan membuat waktu tempuh menjadi efisien, namun sadar atau tidak, kita juga akan kehilangan waktu atau bahkan terkadang kita tidak memiliki kesempatan untuk sejenak berhenti atau “memperlambat” diri untuk menikmati dan merasakan karya Tuhan yang hadir dan menyapa lewat kebaikan dan keramahan sesama serta lewat keindahan alam semesta. Kita lupa bahwa di sekitar kita ada banyak berkat dan keindahan “gratis’ yang harus dinikmati, keindahan yang tidak tidak menuntut tawaran atau tiket, tetapi hanya meminta dari kita  waktu sejenak untuk menikmatinya.

Gambaran Masyarakat Kita
Dua sisi di atas: “perlahan” dan “cepat”, hemat saya sedikit tidaknya bisa mengambarkan atau mewakili sikap dan watak masyarakat kita saat ini. “Perlahan’ dan bahkan sering sangat melambat adalah sikap yang bisa merepsentasikan watak masyarakat pedesaan, sedangkan sikap “cepat’ atau serba “instant’ tanpa mengharagai arti dari sebuah proses adalah watak yang merepsentasikan masyarakat perkotaan.

Watak ini menjadi sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri jika melihat fenomena masyarakat kita saat ini. Masyarakat perkotaan memang tinggal dalam keramaian, lihat saja rumah-rumah mereka yang berdempetan, seolah tidak ruang pemisah, namun itu tidak berarti penghuninya juga “berdekatan” dan saling manyapa, yang ada, di sana justru sama sekali tidak komunikasi. Hari-hari hidup mereka diwarnai dengan kesibukan super (meski terkadang juga tidak terlalu perlu), seakan tanpa keberadaan mereka dunia akan hancur. Yang ada dalam benak mereka (walau juga tidak sepenuhnya benar) adalah bagaimana mengumpulkan harta, untuk itu segala cara cara akan mereka tempuh, kerja dari pagi hingga malam sudah menjadi habitus mereka. Ruang-ruang hidup mereka dipenuhi dengan kebisingan pabrik dan suara kendaraan. Hidup mereka dipermudah dengan kecanggihan komunikasi, dengan sarana-sarana seperti itu mereka kelihatan sangat dekat, padahal nyatanya sangat jauh. Mereka menjadi korban alat komunikasi; mendekatkan yang jauh tetapi serentak menjauhkan yang dekat.

Sebaliknya, masyarakat pedesaan yang masih berpegang teguh dan menghidupi tatanan nilai-nilai tradisonal adalah kontras dari masyarakat perkotaan. Mereka memang hidup dalam kesederhaan dan keterbatasan, namun demikian, di sana ada sejuta tawa, ada kebahagian yang nilainya tidak terkira yang tidak bisa diuangkan, di sana ada semangat gotong royong yang masih terpelihara, di sana kontrol sosial masih berjalan dengan sangat baik. Rumah-rumah mereka mungkin berjauhan satu dengan yang lain, namun tidak menghalangi mereka utnuk berkunjung dan bertegur sapa serta saling membantu. Lihat saja, jika satu keluarga kehabisan garam, gula, kopi atau tidak punya korek api, kelurga yang lain yang dimintai bantuan akan membantu dengan iklas. Di sana sikap berbagi masih ada, ketika sebuah keluaraga mendapat berkat, keluarga lain akan diudang untuk merasakan.

Mereka mungkin masih sangat jauh atau bahkan asing dengan yang namanya alat komunikasi seperti HP. Namun keterbatasan itu bukan penghalang bagi mereka untuk menjalin komunikasi dan keakraban. Di sana ada tidak ada kebisingan yang disebabkan oleh suara pabrik dan deruh mesin, sebagai gantinya yang ada adalah suara-suara bintang yang mengumandangkan simponi alam semesta. Tidak seperti orang-orang kota yang bekerja dari pagi hingga malam hanya untuk menikmati hidup, mereka justru sangat menikmati hidup, bagi mereka, alam adalah dapur yang sudah menyediakan segala macam kebutuhan untuk hidup. Itu mengapa di dalam masyarakat seperti ini, penghormatan terhadap alam adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar.

Berhenti sejenak
Belajar dari fenomen di atas, di tengah keramaian dan kesibukan, kita mungkin harus berani mengambil waktu untuk sejenak berhenti guna menikmati berkat Tuhan yang hadir lewat keluarga, rekan kerja, tetangga kita dan alam yang nyata lewat keindahan lama semesta. Kita harus berani mengakui bahwa kesibukan dan kerja yang berorientasi materi membuat kita tidak memiliki waktu untuk sesama, dengan perkejaan terkadang kita rela mengabaikan keluarga. Apalah gunanya pekerjaan yang luar biasa dengan pendapatan yang luar biasa, jika tidak membawa kebahagiaan bagi orang-orang yang kita cintai. Semoga kita berani memilah dan menempatkan keluaraga dan sesama sebagai prioritas utama dan pertama dalam hidup kita.

Demikianlah catatan perjalanan liburan kami berdua di akhir pekan, dari jogja menuju Ganjuran. Perjalanan yang tidak hanya menyehatkan jiawa raga tetapi juga memberi pelajaran hidup, khususnya bahwa penghargaan terhadap sebuah proses memberi kenimatan yang sangat.


Komentar

Postingan Populer