"Dengan Semangat Injili, Kaum Awam Katolik Berpolitik Demi Terciptanya Bonum Commune"



1.                  Pengantar
            Gereja dan Negara adalah dua institusi yang berbeda serta masing-masing otonom. Namun disadari bahwa para anggota Gereja adalah warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban  seperti warga negara lain. Di tengah dinamika perkembangan dunia sekaligus juga perkembangan Gereja, refleksi atas hubungan antara Gereja dan negara dan peran kaum awam Katolik harus terus-menerus dikembangkan.
            Dalam konteks negara Indonesia yang diwarnai oleh pluralitas agama dan budaya, yang mana agama Katolik merupakan agama minoritas ada kecenderungan di mana kaum awam Katolik tidak terlalu menampakkan diri dalam kanca perpolitikan. Kebanyakan umat Katolik lebih memilih pasif daripada terlibat aktif dalam perpolitikan. Padahal  sudah seharusnya bahwa sebagai warga negara, kaum awam Katolik juga terlibat dan berpartisipasi dalam politik. Dengan terlibat aktif, awam Katolik tidak hanya bertindak sebagai warga negara tetapi juga menjadi Agen-agen Gereja yang dengan semanagt Injili mengusahakan terciptanya bonum commune.

1.                  Kaum Awam Katolik
            Istilah kaum awam dapat dipakai dalam dua arti[1]. Secara teologis, awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan. Dalam arti ini awam juga meliputi biarawan yang tidak ditahbiskan. Secara tipologis, awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan. Sedangkan dokumen Konsili Vatikan II Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium) No.31, menyatakan: “Dengan awam dimaksudkan di sini semua umat Kristen, di luar anggota tahbisan suci dan status biarawan yang sah dalam gereja, yakni umat beriman, yang digabungkan dengan Kristus oleh permandian, dilantik sebagai umat Allah dan mengambil bagian atas caranya dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja, lalu menjalankan perutusan seluruh umat Kristen dalam Gereja dan dalam dunia sesuai dengan tanggungannya”[2].
            Pengertian tersebut memperlihatkan jati diri awam. Pertama, awam adalah bagian dari seluruh umat Kristen yang merupakan umat beriman yang digabungkan dengan Kristus sendiri oleh permandian serta dilantik menjadi umat Allah dan mengambil bagian dalam tugas Kristus atas caranya sendiri[3]. Kedua, awam  merupakan kelompok umat Kristen yang dibedakan dengan kelompok lain atas dasar jabatan dan status hidupnya. Imam berbeda dengan kaum awam karena jabatannya, biarawan berbeda dengan kaum awam karena status hidupnya. Hal ini sesuai dengan pengertian yang dipahami oleh umat pada umumnya.
            Jati diri awam yang khas adalah keterlibatannya dalam urusan duniawi. Dengan cirinya yang khas itu awam mencari kerajaan Allah dengan  terlibat dalam hal-hal duniawi dan terpanggil untuk mengaturnya sesuai dengan kehendak Allah. Kaum awam hidup dalam dunia dengan kegiatan-kegiatan dan jabatan-jabatan duniawi. Awam hidup berkeluarga dan terlibat aktif dalam kemasyarakatan biasa. Mereka secara langsung membawa wajah dan peran Gereja dalam masyarakat di mana mereka berada.
            Dari pengertian tersebut kerasulan awam secara sederhana dapat dimengerti sebagai karya para pengikut Yesus atau utusan Yesus yang secara langsung terlibat dalam urusan-urusan duniawi. Dengan karya-karyanya yang bersifat duniawi tersebut mereka menghadirkan ataupun menampilkan Kristus di tengah-tengah masyarakat secara nyata. Karya-karya mereka merupakan kabar gembira yang menyelamatkan  bagi orang lain. Dengan demikian karasulan awam dapat dikatakan sebagai peran serta awam dalam perutusan penyelamatan dunia yang dilakukan oleh Gereja. Peran tersebut menjadi sangat penting sebab awam secara khas mengambil peran penyelamatan dunia di tempat ia  berkarya.

2.                  Kaum Awam Sebagai Warga Negara
            Hubungan Gereja dan dunia terletak pada manusia, karena tentang martabat pribadi manusia, tentang masyarakat manusia dan tentang arti mendalam kegiatan manusia  merupakan dasar bagi hubungan antar Gereja dan dunia, dan landasan bagi dialog timbal balik antara keduanya (GS 40). Para Bapa Konsili menggunakan pendekatan antropologis dalam Gaudium st Spes sehingga menempatkan manusia pada titik perjumpaan antara Gereja dan dunia[4].
            Gereja dan dunia dipahami berhubungan dalam hidup dan usaha masing-masing orang beriman. Segala pekerjaan manusia dan pergaulan dengan sesama serta pengaturan bermasyarakat disebut dunia. Pola hidup orang sebagai Gereja dan sebagai dunia menghantar pada pemikiran bahwa dialog antar Gereja dan dunia sebenarnya adalah dialog dalam manusia sendiri sebagai subyek otonom dan anggota Gereja. Dalam pemahaman ini, relasi Gereja dan dunia secara konkrit terwujud dalam komunitas umat beriman dan masyarakat. Orang Kristen menghayati dan mengekspresikan iman secara sosial dalam komunitas Gereja, sedangkan otonominya diungkapkan dan diwujudkan secara sosial dalam masyarakat yang lebih luas di dalam negara. Oleh kerena itu, hubungan Gereja dan negara harus selalu dilihat dan dimengerti sebagai hubungan manusia sebagai anggota Gereja dan anggota negara[5].
            Hubungan orang beriman kristiani (awam Katolik) dengan kehidupan bersama dalam negara adalah hubungan orang beriman dalam tanggung jawab moral dan sosial. Menjadi warga negara bagi orang beriman berarti juga tersangkut pada tuntutan melibatkan diri dalam menciptkan bonum commune, sebab kepentingan hidup bersama dalam negara adalah terciptanya bonum commune. Kepentingan orang beriman kristiani dalam negara adalah aktualisasi iman Kristen dalam tanggung jawab moral dan sosial supaya keselamatan Allah terjadi padanya dan dalam sejarah umat manusia. Oleh karena itu, orang Kristen sekaligus warga negara, yakni mengimani Kristus dan melibatkan diri dalam kebersamaan hidup bernegara[6]. 

3.                  Kaum Awam Menampilkan Wajah Sosial Politik Gereja
Dalam berpolitik, kaum awam hendaknya senantiasa menjadikan Yesus sebagai role model dalam berpolitik. Sejak Hidup Yesus  terkadang menggunakan tamsil politik untuk mewartakan dekatnya Kerajaan Allah dan karya keselamatan-Nya. Namun kerajaan ilahi sama sekali bukan hasil perjuangan politik. Pernyataan tentang Kerajaan Allah bukan manifesto politik, walaupun pernyataan ini mengandung implikasi-implikasi politik, seperti setelah kerajaan-kerajaan di atas permukaan bumi lenyap, maka akan muncul Kerajaan Allah. Dominasi atas diri sesama akan berlalu. Kerajaan cinta kasih dan keadilan akan memerintah[7].
Mengenai sikap politik Yesus dalam perjanjian Baru, kita juga boleh berkesimpulan bahwa Yesus adalah tokoh yang tidak terlibat dalam politik karena ia tidak masuk dalam partai atau gerakan politik tertentu demi pembebasan dari penjajah Romawi. Ia adalah pribadi yang bebas dan hanya mau memperjuangkan tegaknya kerajaan Allah[8]. Yesus bukanlah pembebas dalam arti politis. Dia menolak secara tegas pengakuan Petrus tentang diri-Nya sebagai Mesias nasionalis. Dia juga menolak pendapat Pilatus yang memandang diri-Nya sebagai Raja duniawi. Ia sendiri menyingkir ketika orang-orang mau mengangkat-Nya menjadi Raja[9].
Memang Yesus menginginkan pembebasan. Ia justru datang ke dunia untuk melaksanakan kehendak Bapa, agar manusia diselamatkan dan dibebaskan dari dosa. Dalam hal inilah Dia menjadi seorang pembebas. Untuk menjadi seorang pembebas, mau tidak mau Ia harus terjun langsung  ke lahan perjuangan-Nya, yaitu orang-orang yang menderita dan orang berdosa. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa Yesus  menjadi seorang revolusioner yang mau mengubah situasi politik dengan cara kekerasan. Ia tidak menjadi pendukung gerombolan-gerombolan revolusioner seperti kaum Zelot dan sebangsa-Nya. Meskipun kaum revolusioner mendukung Yesus dan orang-orang miskin, lapar dan menderita serta mau mengangkat-Nya menjadi Raja Ia tetap menolak karena Yesus tidak terlibat dalam gerakan-gerakan mereka[10]. Namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa kehidupannya yang sangat dekat dan terlibat dalam masyarakat tentu memberi pengaruh poitik yang cukup kelihatan[11].
            Gereja terpanggil untuk meneruskan perjuangan Yesus membela kaum miskin dan tertindas, bukan hanya di dalam lingkup Gereja saja tetapi harus keluar dari kawasan Gereja. Gereja tidak mau menuntut kebenaran dan keadilan bagi dirinya sendiri, tetapi bagi semua orang. Gereja tidak mau melawan pemerintah yang syah atau merongrong kewibawaan kuasa resmi dengan membakar semangat perjuangan kelas bawah. Perjuangan Gereja dalam bidang itu bisa berhadapan dengan akibat-akibat politis. Jadi, sebenarnya jangkauan Gereja dalam usahnya untuk membebaskan kebenaran dan keadilan, mau tidak mau pasti mengandung implikasi-implikasi politik.
Dengan demikian, dasar pemikiran utama Gereja terlibat adalah panggilan untuk menjadi tanda dan sarana keselamatan bagi semua orang. Panggilan itu terwujud secara konkrit dalam solidaritas dengan mereka yang tidak diuntungkan dalam arus perubahan, pembebasan manusia dari semua bentuk ketidak adilan, penindasan, kekerasan dalam berbagai bentuk dehumanisasi. Semua pengalaman-pengalaman yang konkrit yang merugikan umat manusia menjadi dasar Gereja terlibat dalam kehidupan umat beriman menjadi sakramen keselamatan.
            Gereja terlibat secara nyata dalam kehidupan manusia karena, pertama, Gereja adalah sakramen (tanda dan sarana) penyelamatan di mana di dalamnya terjadi persatuan antar manusia dengan Allah  dan kesatuan seluruh umat (LG 1).  Mengingat Gereja adalah sakramen persekutuan, maka hubungan antara misi Gereja dan dimensi politik dapat diterima[12]. Kedua, Gereja ingin merangkum dunia sebagai sebagai teman ziarah di dunia ini (GS 1). Maka sebagai tanda Gereja harus tampak, kelihatan  dan dapat dilihat orang lain. Sebagai sarana, Gereja harus hadir dan menyelamatkan orang  dengan “menjadi garam dan terang dunia.” (Mat 5:13). Karena itu, Gereja selalu mendorong umatnya , khususnya kaum awam untuk  terlibat secara aktif di dalam hidup berbangsa dan bernegara. Tugas awam secara khusus untuk menyucikan dunia lewat tugas hariannya dalam hidup sehari-hari (AA 16). Keterlibatan Gereja mestinya mendorong  setiap umat beriman mengambil bagian dalam hidup bermasyarakat. Dari segi politik keterlibatan itu dapat dimulai dengan melibatkan diri di dalam kehidupan masyarakat Rukun Tetanggga (RT), Rukun Warga (RW), dusun, kelurahan, dst. Keterlibatan itu dapat dilakukan dengan aktif dalam kehidupan sehari-hari, seperti ikut ronda malam, ikut rapat RT, ikut dalam kepengurusan partai, ikut dalam pecalonan legislatif, dst[13].
            Keterlibatan Orang Katolik dalam kehidupan masyarakat datang dari Sakramen-sakramen gerejawi yang ia terima terutama Sakramen Baptis, Sakramen Krisma dan Sakramen Ekaristi. Lewat Sakramen Baptis, seseorang dianugerahi martabat sebagai imam, nabi dan raja. Dengan  menjadi imam, seseorang akan menyucikan diri lewat pekerjaan yang dilakukannya, “Demikianlah para awam pun sebagai penyembah Allah, yang di mana-mana hidup dengan suci, membaktikan diri kepada Allah.” (LG 34). Seorang beriman dipanggil untuk menjadi nabi karena ia harus “memadukan pengakuan iman dengan penghayatan iman” (LG 35) dalam hidupnya sehari-hari sambil mewartakan kebenaran, keadilan dan cinta kasih kepada sesamanya. Dengan menjadi raja, seorang beriman ikut dalam tugas duniawi “supaya dunia ini diresapi oleh semangat Kristus” (LG 36) demi mencapai tujuan masyarakat yang adil, damai dan penuh cinta. Sakrmen Krisma akan meneguhkan seorang untuk masuk ke dalam dunia dengan menjadi “terang dan garam dunia’ (Mat 5:13-14). Sakramen Krisma akan mendewasakan orang agar mampu terlibat di dalam dunia dengan semangat Kristus. Sakramen Ekaristi akan membarui terus-menerus seorang beriman agar berani masuk ke dunia. Ungkapan “pergilah kamu diutus” adalah perutusan agar membawa iman itu masuk dalam kehidupan sehari-hari. Setelah Ekaristi, kita membawa altar persembahan itu ke altar kehidupan kita sehari-hari. Adorasi sejati akhirnya terletak pada kehidupan itu sendiri[14].
            Ajaran Sosial Gereja pun terus-menerus menyuarakan agar awam terlibat terlibat secara aktif di dalam hidup bermasyarakat khususnya dalam bidang politik. Paus Paulus VI menganjurkan keterlibatan umat dalam hiduo bernegara dan kerja sama yang saling menguntungkan  (Populorum Proressio, 1967), perhatian yang lebih pada orang miskin. Keterlibatan politik berarti keterlibatan untuk mengentaskan kemiskinan. Menurut Paus, yang paling menyakitkan dalam dunia sosial-politik adalah orang dimiskinkan. Di dalam dunia ini terjadi usaha pemiskinan (PP 4). Hal itu bertentangan dengan semangat politik itu sendiri yang semestinya membawa orang kepada kesejahteraan. Ensiklik Octogesima Adveniens (1971) berpendapat bahwa tugas politik adalah tugas warga negara. Warga Gereja sebagai warga negara juga harus terlibat demi , “mencerminkan perencanaan masyarakat yang konsisten dalam upaya-upaya konkrit maupun inspirasinya dan yang berdasarkan pengertian lengkap tentang panggilan manusia serta aneka ungkapan sosialnya” (OA 25). Ensiklik Centesimus Annus (1991) menilai bahwa orang Katolik harus mendukung sistem demokrasi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Paus Yohanes Paulus II menulis, “Demokrasi yang sejati hanyalah dapat berlangsung dalam negara hukum dan berdasarkan paham yang tepat tentang pribadi manusia.” (CA 46)[15].

4.                  Kaum Awam dan Politik Indonesia
            Adanya Injil dan Ajaran Sosial Gereja, khusunya Gaudium et Spes dapat pula dibaca sebagai bentuk keprihatinan Gereja terhadap keberadaan kaum awam yang bersikap apatis terhadap hidup menggereja dan kemasyarakatan. Ajaran Sosial Gereja, sebagai Injil Sosial, bertujuan untuk menanggapi keprihatinan, kecemasan dan harapan dari situasi zaman di mana Gereja hidup (GS 1). Tanggapa itu diharapkan menjadi dorongan dan guideline bagi awam untuk mengembangkan diri dengan menghidupi nilai-nilai kristiani. Ajaran Sosial Gereja akan menuntun awam untuk mengenal tata nilai hidup bermasyarakat yang benar yang pada giilirannya dapat membentuk karakter dasar yang sehat sebagai seorang manusia yang utuh, anggota masyarakat dan anggota Gereja umat Allah.
            Konfrensi Waligereja Indonesia menegaskan ajaran Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes artikel 42 bahwa “Kristus tidak memberikan tugas khusus kepada Gereja-Nya di bidang kemasyarakatan umum” melainkan “tujuan yang telah ditetapkan bagi Gereja adalah tujuan religius. Tetapi dari tugas religius itu sendirilah timbul suatu fungsi, suatu cahaya dan kekuatan yang bisa membantu menyusun  dan mengembangkan masyarakat”. Para uskup menemukan dasar eklesiologis yang kuat bagi pastisipasi Gereja, sebagai umat dan komunitas dalam hidup kemasyarakatan, terutama dalam kelembagaan negara. Partisipasi bukan demi kepentingan golongan Katolik itu sendiri, namun tujuan religius yang telah diberikan Kristus.
            Konfrensi Waligereja Indonesia mengajak umat Katolik bertekad “mendukung segala upaya membangun pemerintahan yang makin bersih dan berwibawa, menegukan badan perwakilan rakyat yang lebih tanggap, berdaulat dan menjaga demokrasi Pancasila yang berprikemanusiaan serta memantapkan badan yudikatif yang lebih mampu menegakkan hukum secara menyeluruh”. Usaha politik dapat dikerjakan oleh orang Katolik yang berkedudukan baik sebagai wakil organisasi Katolik maupun golongan lain yang tidak memakai nama Katolik. Ajaran ini secara tegas mendesak umat Katolik untuk terjun dan terlibat aktif dalam dunia politik praktis[16].
            Namun, dalam perjuangannya memperjuangkan kepentingan umum umat Katolik hendaknya menyadari bahwa mereka “berbicara dan bertindak atas nama instansi mereka dan tidak atas nama umat Katolik atau Gereja Katolik”. Dengan mengacu pada hasil sidang MAWI 1975, para uskup menegaskan “tidak menyetujui para imam melibatkan diri secara langsung dalam percaturan poltik , kecuali bila situasi khusus memang menuntutnya”. Umat awam tidak dapat mewakili Gereja Katolik  secara resmi dan seorang imam tidak boleh terlibat langsung dalam politik praktis. Wakil resmi Gereja Katolik adalah uskup. Uskuplah yang berbicara dan bertindak mewakili umat Katolik untuk menyuarakan ajaran-ajaran moral Kristiani dalam ruang publik. Para imam sebagai pejabat resmi Gereja membantu tugas uskup di dalam pelayanan gerejani. Oleh karena itu, keterlibatan langsung dalam poltik praktis tidak pada diri para imam, melainkan umat awam. Uskup, beserta imam, menyuarakan prinsip-prinsip moral bagi hidup bersama, sementara itu para umat awam memperjuangkannya dalam tindakan politik praktis.
Dalam konteks Indonesia juga, peranan Ajaran Sosial Gereja sangat mendorong umat Katolik Indonesia untuk memposisikan diri sebagai umat Katolik Indonesia dan bukan umat Katolik di Indonesia. Keterlibatan itu tentu saja akan membawa pengaruh yang sangat besar dalam menanamkan keberadaan Gereja di Indonesia sehingga pelan-pelan Gereja Katolik dikenal dan diterima baik oleh masyarakat Indonesia. Gereja Katolik Indonesia berusaha membumikan keberadaannya di Indonesia sebagai sebuah komunitas yang menawarkan  nilai-nilai Kerajaan Allah. Pembumian ini dilakukan dengan usaha karitatif seperti pelayanan di bidang sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dll., dan menawarkan nilai-nilai keadilan, kedamaian dan cinta kasih[17].

5.                  Berpolitik Demi Terciptanya Bonum Commune
            Bonum commune atau kesejahteraan bersama adalah tujuan yang hendak dicapai oleh para awam Katolik. Politisi ataupun semua orang Katolik yang terlibat dalam politik hendaknya melihat perjuangan menciptakan kesejahteraan bersama sebagai sebuah panggilan. Dengan menyadari tugas tersebut sebagai sebuah panggilan, mereka (para awam yang terlibat dalam politik) diharapkan memiliki integritas moral dan kebijaksanaan, berani “menentang setiap bentuk ketidakadilan dan penindasan, melawan kesewenang-wenangan dan intoleransi terhadap orang atau kelompok lain”[18]. Seorang politikus yang baik adalah “seorang yang adil dan jujur, yang membaktikan dirinya demi kepentingan masyarakat” (GS 75).
            Seagai sebuah panggilan, politisi atau politikus diharapkan memiliki rasa tanggung jawab. Bertanggungjawab berarti mempunyai komitmen dan penuh pengabdian dalam pelaksanaan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya. Yang penting adalah dua dimensi dari tanggungjawab yakni tanggungjawab atas kekuasaan dan tanggungjawab kepada rakyat. Tugas dan tanggungjawab yang diemban dan dipercayakan itu dijalankan dengan berpegang pada prinsip-prinsip hormat terhadap martabat manusia, kebebasan, keadilan, solidaritas, subsidiaritas, demokrasi dan kesetaraan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika prinsip-prinsip ini mampu dijalankan, maka bonum commune akan dialami oleh banyak orang.
Lalu apa yang dimaksud dengan bonum commune? Kesejahteraan bersama (common good/bonum commune) adalah salah satu konsep sosiologis yang memberi metapolitik untuk menerangi struktur negara demokrasi. Pada dasarnya kesejahteraan bersama adalah tujuan dari setiap orang yang hidup dalam satu komunitas: tujuan dari kebersamaan tertentu dan tujuan dari setiap individu bila mau bergabung. Tujuan itu merupakan tujuan obyektif dan instrisitik dari kehidupan sosial. Seandainya semua manusia bersatu di dalam suatu masyarakat maka mereka harus sadar akan kebutuhan-kebutuhan mereka dan bekerja sama serta ada saat yang sama memperoleh “rahmat” (keuntungan) yang dapat mereka terima dari persatuannya itu. Kesejahteraan bersama adalah hasil dari aktivitas persatuan itu, yang merupakan norma tertinggi yang memimpin masyarakat itu untuk tinggal bersama. Konkritnya, kesejahteraan bersama mengidentifikasi diri dengan kebersamaan yang menjadi tali pengikat masyarakat itu dan menjadi unsur pembangun yang integral  yang sekaligus menyempurnakan setiap anggota di dalam komunitas itu[19].
            Kesejahteraan bersama mempunyai suatu keadilan yang muncul dari komunitas itu sendiri. Walaupun dibentuk dan dihidupi dari kesejahteraan partikular namun ia tidak diidentikkan dengan kesejahteraan dari setiap pribadi, tidak juga dari jumlah atau kombinasi keinginan  dari kesejahteraan setiap individu, tetapi ia adalah suatu kesulurahn hidup dan dinamika yang terpancar dari koordinasi yang harmonis dari aktivitas dan fungsi sosial dari seluruh komponen yang ada di dalam masyarakat itu[20].
            Ukuran dari kesejahteraan bersama adalah penyempurnaan manusia sehingga setiap orang dapat memperkembangkan seluruh kemampuannya dalam kerjasama dengan individu-individu lain dalam lingkup masyarakat dan komunitas tersebut. Penyempurnaan manusia adalah elemen dasariah dari kesejahteraan bersama yang dipandang sebagai norma konkrit dan obyektif  dari relasi-relasi antar manusia di dalam masyarakat itu sehingga boleh disebut  juga sebagai “keharusan keberadaannya” yang merupakan ukuran dari kehidupan sosial politik di mana suatu masyarakat dipanggil untuk mempromosikannya dalam setiap situasi sosiokultural. Kesejahteraan bersama mengimplikasikan juga seluruh  kebersamaan dari  inisiatif sosioekonomi yang diambil dari masyarakat. Penyempurnaan manusia merupakan juga suatu disiplin yang menjamin aktivitas setiap orang, bukan untuk mematikan melainkan untuk menghidupi  dan mengarahkannya pada kerjasama  menurut program pembangunan yang menopang, mengarahkan dan menjamin seluruh kekuatan kreatif dari masyarakat demi kesejahteraan bersama[21].

6.                  Penutup
Agama dan negara adalah dua realitas yang berbeda namun serentak memilik kesamaan karena berada dalam kehidupan nyata dalam melibatkan pribadi yang sama pula yakni manusia yang bergama sekalian bernegaraa atau sebaliknya bernegara sekalian beragama. Dengan demikian umat atau warga dari agama dan negara adalah sama. Komunitas agama adalah juga komunitas sosial. Realitas sosial bisa juga ditopang keberadaanya oleh realitas agama. Dengan kata lain agama tidak bisa lepas dari realitas sosial dan sebaliknya realitas sosial tidak bisa lepas dari agama karena amanusia adalah makhluk rohani sekaligus juga makhluk sosial.
            Gereja Katolik memandang poltik sebagai salah satu bidang pelayanan demi perwujudan Kerajaan Allah. Bentuk pelayanan ini mengmabil wujud paling nyata dalam upaya setiap umat beriman (awam Katolik) memajukan kesejahteraan umum. Dengan demikian adalah kewajiban bagi kita umat awam Katolik untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan perpolitikan di negara ini. Selaku umat awam Katolik kita perlu menyadari dengan sungguh bahwa dasar keterlibatan kita sebagai warga negara dan apa yang kita lakukan dengan terlibat secara aktif dalam perpolitikan adalah melanjutkan misi Yesus Kristus demi tercapainya kesejahteraan umum.












DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel

Chang, W.,
2011       “Gereja dan Politik”, dalam A. Eddy Kristiyanto (ed), Semakin Mengindonesia 50 tahun Hierarki, Kanisius, Yogyakarta .

Gitowiratmo, St.,
            2003    Seputar Dewan Paroki, Kanisius, Yogyakarta
Lalu, Y.,
            2010    Gereja Katolik Memberi Kesaksian tentang Makna Hidup, Kanisius, Yogyakarta.
Mulyana, F.,
1997    “Tantangan Kerasulan Awam”, dalam M. Beding (dkk), Gereja Indonesia Pasca Vatikan II, Kanisius, Yogyakarta
Mali, M.,
            2014    Etika Berpolitik Orang Krstiani, Kanisius, Yogyakarta

“Revitalisasi Etika Sosial-Politik Dalam Hidup Berdemokrasi” dalam Orientasi Baru Jurnal Filsafat dan Teologi, Vol. 20, No. 1, Aprill 2011,
Maryono, Y.,
“Keterlibatan Gereja Katolik Indonesia dalam Bidang Politik”, dalam Jurnal Teologi Vol. 1, No. 02, November 2012.
Sebastian, R., 
1991    “Sikap Kaum Religius Terhadap Politik”, dalam Eduard R. Dopo (ed), Keprihatinan Sosial Gereja, Kanisius, Yogyakarta.
Budi Kleden, P.,
                        “Politik sebagai Panggilan”, Pos Kupang 26 Januari 2013.

           
Dokumen Gereja

Dokumen Konsili Vatikan II





[1]               Yosef  Lalu, Gereja Katolik Memberi Kesaksian tentang Makna Hidup, Kanisius, Yogyakarta  2010, 138.
[2]               Feliks Mulyana, “Tantangan Kerasulan Awam”,  dalam M. Beding (dkk), Gereja Indonesia Pasca Vatikan II, Kanisius, Yogyakarta 1997,  66.
[3]               St. Gitowiratmo, Seputar Dewan Paroki, Kanisius, Yogyakarta  2003, 57.
[4]               Yohanes Maryono. “Keterlibatan Gereja Katolik Indonesia dalam Bidang Politik”, dalam Jurnal Teologi Vol. 1, No. 02, November 2012, 111.

[5]               Yohanes Maryono. “Keterlibatan Gereja Katolik Indonesia dalam Bidang Politik”, 111.
[6]               Yohanes Maryono. “Keterlibatan Gereja Katolik Indonesia dalam Bidang Politik”, 111.
[7]               William Chang, “Gereja dan Politik”, dalam A. Eddy Kristiyanto (ed), Semakin Mengindonesia 50 tahun Hierarki, Kanisius, Yogyakarta 2011, 343.
[8]               Mateus Mali, Konsep Berpoltik Orang Kristiani, Kanisius, Yogyakarta 2014, 147.
[9]               R. Sebastian, OCSO, “Sikap Kaum Religius Terhadap Politik”, dalam Eduard R. Dopo (ed), Keprihatinan Sosial Gereja , Kanisius, Yogyakarta 1991, 151.
[10]             R. Sebastian, OCSO, “Sikap Kaum Religius Terhadap Politik”, 151.
[11]             Mateus Mali, Konsep Berpoltik Orang Kristiani, 147.
[12]             William Chang, “Gereja dan Politik”, dalam A. Eddy Kristiyanto (ed), Semakin Mengindonesia 50 tahun Hierarki, Kanisius, Yogyakarta 2011, 343.
[13]             Mateus Mali, Konsep Berpolitik Orang Kristiani, 152.
[14]             Mateus Mali, Konsep Berpolitik Orang Kristiani, 152-153.
[15]             Mateus Mali, Konsep Berpolitik Orang Kristiani, 154.
[16]             Yohanes Maryono. “Keterlibatan Gereja Katolik Indonesia dalam Bidang Politik”, 105.
[17]             Mateus Mali, Konsep Berpolitik Orang Kristiani, 156.
[18]             P. Budi Kleden, “Politik sebagai Panggilan”, Pos Kupang 26 Januari 2013.
[19]             Mateus Mali, “Revitalisasi Etika Sosial-Politik Dalam Hidup Berdemokrasi” dalam Orientasi Baru Jurnal Filsafat dan Teologi, Vol. 20, No. 1, Aprill 2011, 51.
[20]             Mateus Mali, “Revitalisasi Etika Sosial-Politik Dalam Hidup Berdemokrasi” 51-52.
[21]             Mateus Mali, “Revitalisasi Etika Sosial-Politik Dalam Hidup Berdemokrasi” 52.

Komentar

Postingan Populer