"Dengan Semangat Injili, Kaum Awam Katolik Berpolitik Demi Terciptanya Bonum Commune"
1.
Pengantar
Gereja
dan Negara adalah dua institusi yang berbeda serta masing-masing otonom. Namun
disadari bahwa para anggota Gereja adalah warga negara yang mempunyai hak dan
kewajiban seperti warga negara lain. Di
tengah dinamika perkembangan dunia sekaligus juga perkembangan Gereja, refleksi
atas hubungan antara Gereja dan negara dan peran kaum awam Katolik harus terus-menerus
dikembangkan.
Dalam
konteks negara Indonesia yang diwarnai oleh pluralitas agama dan budaya, yang
mana agama Katolik merupakan agama minoritas ada kecenderungan di mana kaum
awam Katolik tidak terlalu menampakkan diri dalam kanca perpolitikan.
Kebanyakan umat Katolik lebih memilih pasif daripada terlibat aktif dalam
perpolitikan. Padahal sudah seharusnya
bahwa sebagai warga negara, kaum awam Katolik juga terlibat dan berpartisipasi
dalam politik. Dengan terlibat aktif, awam Katolik tidak hanya bertindak
sebagai warga negara tetapi juga menjadi Agen-agen Gereja yang dengan semanagt
Injili mengusahakan terciptanya bonum
commune.
1.
Kaum
Awam Katolik
Istilah
kaum awam dapat dipakai dalam dua arti[1].
Secara teologis, awam adalah warga
Gereja yang tidak ditahbiskan. Dalam arti ini awam juga meliputi biarawan yang
tidak ditahbiskan. Secara tipologis,
awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan. Sedangkan
dokumen Konsili Vatikan II Konstitusi
Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium) No.31, menyatakan: “Dengan awam
dimaksudkan di sini semua umat Kristen, di luar anggota tahbisan suci dan
status biarawan yang sah dalam gereja, yakni umat beriman, yang digabungkan
dengan Kristus oleh permandian, dilantik sebagai umat Allah dan mengambil bagian
atas caranya dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja, lalu menjalankan
perutusan seluruh umat Kristen dalam Gereja dan dalam dunia sesuai dengan
tanggungannya”[2].
Pengertian
tersebut memperlihatkan jati diri awam. Pertama, awam adalah bagian dari
seluruh umat Kristen yang merupakan umat beriman yang digabungkan dengan
Kristus sendiri oleh permandian serta dilantik menjadi umat Allah dan mengambil
bagian dalam tugas Kristus atas caranya sendiri[3]. Kedua,
awam merupakan kelompok umat Kristen
yang dibedakan dengan kelompok lain atas dasar jabatan dan status hidupnya.
Imam berbeda dengan kaum awam karena jabatannya, biarawan berbeda dengan kaum awam
karena status hidupnya. Hal ini sesuai dengan pengertian yang dipahami oleh
umat pada umumnya.
Jati
diri awam yang khas adalah keterlibatannya dalam urusan duniawi. Dengan cirinya
yang khas itu awam mencari kerajaan Allah dengan terlibat dalam hal-hal duniawi dan terpanggil
untuk mengaturnya sesuai dengan kehendak Allah. Kaum awam hidup dalam dunia
dengan kegiatan-kegiatan dan jabatan-jabatan duniawi. Awam hidup berkeluarga
dan terlibat aktif dalam kemasyarakatan biasa. Mereka secara langsung membawa
wajah dan peran Gereja dalam masyarakat di mana mereka berada.
Dari
pengertian tersebut kerasulan awam secara sederhana dapat dimengerti sebagai
karya para pengikut Yesus atau utusan Yesus yang secara langsung terlibat dalam
urusan-urusan duniawi. Dengan karya-karyanya yang bersifat duniawi tersebut
mereka menghadirkan ataupun menampilkan Kristus di tengah-tengah masyarakat
secara nyata. Karya-karya mereka merupakan kabar gembira yang
menyelamatkan bagi orang lain. Dengan
demikian karasulan awam dapat dikatakan sebagai peran serta awam dalam
perutusan penyelamatan dunia yang dilakukan oleh Gereja. Peran tersebut menjadi
sangat penting sebab awam secara khas mengambil peran penyelamatan dunia di tempat
ia berkarya.
2.
Kaum
Awam Sebagai Warga Negara
Hubungan Gereja
dan dunia terletak pada manusia, karena tentang martabat pribadi manusia,
tentang masyarakat manusia dan tentang arti mendalam kegiatan manusia merupakan dasar bagi hubungan antar Gereja
dan dunia, dan landasan bagi dialog timbal balik antara keduanya (GS 40). Para Bapa Konsili menggunakan
pendekatan antropologis dalam Gaudium st
Spes sehingga menempatkan manusia pada titik perjumpaan antara Gereja dan
dunia[4].
Gereja
dan dunia dipahami berhubungan dalam hidup dan usaha masing-masing orang
beriman. Segala pekerjaan manusia dan pergaulan dengan sesama serta pengaturan
bermasyarakat disebut dunia. Pola hidup orang sebagai Gereja dan sebagai dunia
menghantar pada pemikiran bahwa dialog antar Gereja dan dunia sebenarnya adalah
dialog dalam manusia sendiri sebagai subyek otonom dan anggota Gereja. Dalam
pemahaman ini, relasi Gereja dan dunia secara konkrit terwujud dalam komunitas
umat beriman dan masyarakat. Orang Kristen menghayati dan mengekspresikan iman
secara sosial dalam komunitas Gereja, sedangkan otonominya diungkapkan dan
diwujudkan secara sosial dalam masyarakat yang lebih luas di dalam negara. Oleh
kerena itu, hubungan Gereja dan negara harus selalu dilihat dan dimengerti
sebagai hubungan manusia sebagai anggota Gereja dan anggota negara[5].
Hubungan
orang beriman kristiani (awam Katolik) dengan kehidupan bersama dalam negara
adalah hubungan orang beriman dalam tanggung jawab moral dan sosial. Menjadi
warga negara bagi orang beriman berarti juga tersangkut pada tuntutan
melibatkan diri dalam menciptkan bonum
commune, sebab kepentingan hidup bersama dalam negara adalah terciptanya bonum commune. Kepentingan orang beriman
kristiani dalam negara adalah aktualisasi iman Kristen dalam tanggung jawab
moral dan sosial supaya keselamatan Allah terjadi padanya dan dalam sejarah
umat manusia. Oleh karena itu, orang Kristen sekaligus warga negara, yakni
mengimani Kristus dan melibatkan diri dalam kebersamaan hidup bernegara[6].
3.
Kaum
Awam Menampilkan Wajah Sosial Politik Gereja
Dalam berpolitik, kaum
awam hendaknya senantiasa menjadikan Yesus sebagai role model dalam berpolitik. Sejak Hidup Yesus terkadang menggunakan tamsil politik untuk mewartakan dekatnya Kerajaan Allah dan karya
keselamatan-Nya. Namun kerajaan ilahi sama sekali bukan hasil perjuangan
politik. Pernyataan tentang Kerajaan Allah bukan manifesto politik, walaupun
pernyataan ini mengandung implikasi-implikasi politik, seperti setelah
kerajaan-kerajaan di atas permukaan bumi lenyap, maka akan muncul Kerajaan
Allah. Dominasi atas diri sesama akan berlalu. Kerajaan cinta kasih dan
keadilan akan memerintah[7].
Mengenai sikap politik
Yesus dalam perjanjian Baru, kita juga boleh berkesimpulan bahwa Yesus adalah
tokoh yang tidak terlibat dalam politik karena ia tidak masuk dalam partai atau
gerakan politik tertentu demi pembebasan dari penjajah Romawi. Ia adalah
pribadi yang bebas dan hanya mau memperjuangkan tegaknya kerajaan Allah[8].
Yesus bukanlah pembebas dalam arti politis. Dia menolak secara tegas pengakuan
Petrus tentang diri-Nya sebagai Mesias nasionalis. Dia juga menolak pendapat
Pilatus yang memandang diri-Nya sebagai Raja duniawi. Ia sendiri menyingkir
ketika orang-orang mau mengangkat-Nya menjadi Raja[9].
Memang
Yesus menginginkan pembebasan. Ia justru datang ke dunia untuk melaksanakan
kehendak Bapa, agar manusia diselamatkan dan dibebaskan dari dosa. Dalam hal
inilah Dia menjadi seorang pembebas. Untuk menjadi seorang pembebas, mau tidak
mau Ia harus terjun langsung ke lahan
perjuangan-Nya, yaitu orang-orang yang menderita dan orang berdosa. Tetapi hal
itu tidak berarti bahwa Yesus menjadi
seorang revolusioner yang mau mengubah situasi politik dengan cara kekerasan.
Ia tidak menjadi pendukung gerombolan-gerombolan revolusioner seperti kaum
Zelot dan sebangsa-Nya. Meskipun kaum revolusioner mendukung Yesus dan
orang-orang miskin, lapar dan menderita serta mau mengangkat-Nya menjadi Raja Ia
tetap menolak karena Yesus tidak terlibat dalam gerakan-gerakan mereka[10].
Namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa kehidupannya yang sangat dekat dan
terlibat dalam masyarakat tentu memberi pengaruh poitik yang cukup kelihatan[11].
Gereja terpanggil untuk meneruskan
perjuangan Yesus membela kaum miskin dan tertindas, bukan hanya di dalam
lingkup Gereja saja tetapi harus keluar dari kawasan Gereja. Gereja tidak mau
menuntut kebenaran dan keadilan bagi dirinya sendiri, tetapi bagi semua orang.
Gereja tidak mau melawan pemerintah yang syah atau merongrong kewibawaan kuasa
resmi dengan membakar semangat perjuangan kelas bawah. Perjuangan Gereja dalam
bidang itu bisa berhadapan dengan akibat-akibat politis. Jadi, sebenarnya
jangkauan Gereja dalam usahnya untuk membebaskan kebenaran dan keadilan, mau
tidak mau pasti mengandung implikasi-implikasi politik.
Dengan demikian, dasar
pemikiran utama Gereja terlibat adalah panggilan untuk menjadi tanda dan sarana
keselamatan bagi semua orang. Panggilan itu terwujud secara konkrit dalam
solidaritas dengan mereka yang tidak diuntungkan dalam arus perubahan,
pembebasan manusia dari semua bentuk ketidak adilan, penindasan, kekerasan
dalam berbagai bentuk dehumanisasi. Semua pengalaman-pengalaman yang konkrit
yang merugikan umat manusia menjadi dasar Gereja terlibat dalam kehidupan umat
beriman menjadi sakramen keselamatan.
Gereja
terlibat secara nyata dalam kehidupan manusia karena, pertama, Gereja adalah
sakramen (tanda dan sarana) penyelamatan di mana di dalamnya terjadi persatuan
antar manusia dengan Allah dan kesatuan
seluruh umat (LG 1). Mengingat Gereja
adalah sakramen persekutuan, maka hubungan antara misi Gereja dan dimensi
politik dapat diterima[12]. Kedua,
Gereja ingin merangkum dunia sebagai sebagai teman ziarah di dunia ini (GS 1).
Maka sebagai tanda Gereja harus tampak, kelihatan dan dapat dilihat orang lain. Sebagai sarana,
Gereja harus hadir dan menyelamatkan orang
dengan “menjadi garam dan terang dunia.” (Mat 5:13). Karena itu, Gereja
selalu mendorong umatnya , khususnya kaum awam untuk terlibat secara aktif di dalam hidup berbangsa
dan bernegara. Tugas awam secara khusus untuk menyucikan dunia lewat tugas
hariannya dalam hidup sehari-hari (AA
16). Keterlibatan Gereja mestinya mendorong
setiap umat beriman mengambil bagian dalam hidup bermasyarakat. Dari
segi politik keterlibatan itu dapat dimulai dengan melibatkan diri di dalam
kehidupan masyarakat Rukun Tetanggga (RT), Rukun Warga (RW), dusun, kelurahan,
dst. Keterlibatan itu dapat dilakukan dengan aktif dalam kehidupan sehari-hari,
seperti ikut ronda malam, ikut rapat RT, ikut dalam kepengurusan partai, ikut
dalam pecalonan legislatif, dst[13].
Keterlibatan
Orang Katolik dalam kehidupan masyarakat datang dari Sakramen-sakramen gerejawi
yang ia terima terutama Sakramen Baptis, Sakramen Krisma dan Sakramen Ekaristi.
Lewat Sakramen Baptis, seseorang dianugerahi martabat sebagai imam, nabi dan
raja. Dengan menjadi imam, seseorang
akan menyucikan diri lewat pekerjaan yang dilakukannya, “Demikianlah para awam
pun sebagai penyembah Allah, yang di mana-mana hidup dengan suci, membaktikan
diri kepada Allah.” (LG 34). Seorang beriman dipanggil untuk menjadi nabi
karena ia harus “memadukan pengakuan iman dengan penghayatan iman” (LG 35)
dalam hidupnya sehari-hari sambil mewartakan kebenaran, keadilan dan cinta
kasih kepada sesamanya. Dengan menjadi raja, seorang beriman ikut dalam tugas
duniawi “supaya dunia ini diresapi oleh semangat Kristus” (LG 36) demi mencapai
tujuan masyarakat yang adil, damai dan penuh cinta. Sakrmen Krisma akan
meneguhkan seorang untuk masuk ke dalam dunia dengan menjadi “terang dan garam
dunia’ (Mat 5:13-14). Sakramen Krisma akan mendewasakan orang agar mampu
terlibat di dalam dunia dengan semangat Kristus. Sakramen Ekaristi akan membarui
terus-menerus seorang beriman agar berani masuk ke dunia. Ungkapan “pergilah
kamu diutus” adalah perutusan agar membawa iman itu masuk dalam kehidupan
sehari-hari. Setelah Ekaristi, kita membawa altar persembahan itu ke altar
kehidupan kita sehari-hari. Adorasi sejati akhirnya terletak pada kehidupan itu
sendiri[14].
Ajaran
Sosial Gereja pun terus-menerus menyuarakan agar awam terlibat terlibat secara aktif
di dalam hidup bermasyarakat khususnya dalam bidang politik. Paus Paulus VI
menganjurkan keterlibatan umat dalam hiduo bernegara dan kerja sama yang saling
menguntungkan (Populorum Proressio, 1967), perhatian yang lebih pada orang miskin.
Keterlibatan politik berarti keterlibatan untuk mengentaskan kemiskinan. Menurut
Paus, yang paling menyakitkan dalam dunia sosial-politik adalah orang dimiskinkan.
Di dalam dunia ini terjadi usaha pemiskinan (PP 4). Hal itu bertentangan dengan
semangat politik itu sendiri yang semestinya membawa orang kepada
kesejahteraan. Ensiklik Octogesima
Adveniens (1971) berpendapat bahwa tugas politik adalah tugas warga negara.
Warga Gereja sebagai warga negara juga harus terlibat demi , “mencerminkan
perencanaan masyarakat yang konsisten dalam upaya-upaya konkrit maupun
inspirasinya dan yang berdasarkan pengertian lengkap tentang panggilan manusia
serta aneka ungkapan sosialnya” (OA 25). Ensiklik Centesimus Annus (1991) menilai bahwa orang Katolik harus mendukung
sistem demokrasi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Paus Yohanes Paulus
II menulis, “Demokrasi yang sejati hanyalah dapat berlangsung dalam negara hukum
dan berdasarkan paham yang tepat tentang pribadi manusia.” (CA 46)[15].
4.
Kaum
Awam dan Politik Indonesia
Adanya
Injil dan Ajaran Sosial Gereja, khusunya Gaudium
et Spes dapat pula dibaca sebagai bentuk keprihatinan Gereja terhadap
keberadaan kaum awam yang bersikap apatis terhadap hidup menggereja dan
kemasyarakatan. Ajaran Sosial Gereja, sebagai Injil Sosial, bertujuan untuk
menanggapi keprihatinan, kecemasan dan harapan dari situasi zaman di mana
Gereja hidup (GS 1). Tanggapa itu diharapkan menjadi dorongan dan guideline bagi awam untuk mengembangkan
diri dengan menghidupi nilai-nilai kristiani. Ajaran Sosial Gereja akan
menuntun awam untuk mengenal tata nilai hidup bermasyarakat yang benar yang
pada giilirannya dapat membentuk karakter dasar yang sehat sebagai seorang
manusia yang utuh, anggota masyarakat dan anggota Gereja umat Allah.
Konfrensi
Waligereja Indonesia menegaskan ajaran Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes artikel 42 bahwa
“Kristus tidak memberikan tugas khusus kepada Gereja-Nya di bidang
kemasyarakatan umum” melainkan “tujuan yang telah ditetapkan bagi Gereja adalah
tujuan religius. Tetapi dari tugas religius itu sendirilah timbul suatu fungsi,
suatu cahaya dan kekuatan yang bisa membantu menyusun dan mengembangkan masyarakat”. Para uskup
menemukan dasar eklesiologis yang kuat bagi pastisipasi Gereja, sebagai umat
dan komunitas dalam hidup kemasyarakatan, terutama dalam kelembagaan negara.
Partisipasi bukan demi kepentingan golongan Katolik itu sendiri, namun tujuan
religius yang telah diberikan Kristus.
Konfrensi
Waligereja Indonesia mengajak umat Katolik bertekad “mendukung segala upaya membangun
pemerintahan yang makin bersih dan berwibawa, menegukan badan perwakilan rakyat
yang lebih tanggap, berdaulat dan menjaga demokrasi Pancasila yang
berprikemanusiaan serta memantapkan badan yudikatif yang lebih mampu menegakkan
hukum secara menyeluruh”. Usaha politik dapat dikerjakan oleh orang Katolik
yang berkedudukan baik sebagai wakil organisasi Katolik maupun golongan lain
yang tidak memakai nama Katolik. Ajaran ini secara tegas mendesak umat Katolik
untuk terjun dan terlibat aktif dalam dunia politik praktis[16].
Namun,
dalam perjuangannya memperjuangkan kepentingan umum umat Katolik hendaknya
menyadari bahwa mereka “berbicara dan bertindak atas nama instansi mereka dan
tidak atas nama umat Katolik atau Gereja Katolik”. Dengan mengacu pada hasil
sidang MAWI 1975, para uskup menegaskan “tidak menyetujui para imam melibatkan
diri secara langsung dalam percaturan poltik , kecuali bila situasi khusus
memang menuntutnya”. Umat awam tidak dapat mewakili Gereja Katolik secara resmi dan seorang imam tidak boleh
terlibat langsung dalam politik praktis. Wakil resmi Gereja Katolik adalah
uskup. Uskuplah yang berbicara dan bertindak mewakili umat Katolik untuk
menyuarakan ajaran-ajaran moral Kristiani dalam ruang publik. Para imam sebagai
pejabat resmi Gereja membantu tugas uskup di dalam pelayanan gerejani. Oleh
karena itu, keterlibatan langsung dalam poltik praktis tidak pada diri para
imam, melainkan umat awam. Uskup, beserta imam, menyuarakan prinsip-prinsip
moral bagi hidup bersama, sementara itu para umat awam memperjuangkannya dalam
tindakan politik praktis.
Dalam konteks Indonesia
juga, peranan Ajaran Sosial Gereja sangat mendorong umat Katolik Indonesia
untuk memposisikan diri sebagai umat Katolik Indonesia dan bukan umat Katolik
di Indonesia. Keterlibatan itu tentu saja akan membawa pengaruh yang sangat
besar dalam menanamkan keberadaan Gereja di Indonesia sehingga pelan-pelan
Gereja Katolik dikenal dan diterima baik oleh masyarakat Indonesia. Gereja
Katolik Indonesia berusaha membumikan keberadaannya di Indonesia sebagai sebuah
komunitas yang menawarkan nilai-nilai
Kerajaan Allah. Pembumian ini dilakukan dengan usaha karitatif seperti
pelayanan di bidang sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dll., dan menawarkan
nilai-nilai keadilan, kedamaian dan cinta kasih[17].
5.
Berpolitik
Demi Terciptanya Bonum Commune
Bonum commune atau kesejahteraan bersama
adalah tujuan yang hendak dicapai oleh para awam Katolik. Politisi ataupun
semua orang Katolik yang terlibat dalam politik hendaknya melihat perjuangan
menciptakan kesejahteraan bersama sebagai sebuah panggilan. Dengan menyadari
tugas tersebut sebagai sebuah panggilan, mereka (para awam yang terlibat dalam
politik) diharapkan memiliki integritas moral dan kebijaksanaan, berani
“menentang setiap bentuk ketidakadilan dan penindasan, melawan
kesewenang-wenangan dan intoleransi terhadap orang atau kelompok lain”[18].
Seorang politikus yang baik adalah “seorang yang adil dan jujur, yang
membaktikan dirinya demi kepentingan masyarakat” (GS 75).
Seagai
sebuah panggilan, politisi atau politikus diharapkan memiliki rasa tanggung
jawab. Bertanggungjawab berarti mempunyai komitmen dan penuh pengabdian dalam
pelaksanaan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya. Yang penting adalah dua
dimensi dari tanggungjawab yakni tanggungjawab atas kekuasaan dan tanggungjawab
kepada rakyat. Tugas dan tanggungjawab yang diemban dan dipercayakan itu
dijalankan dengan berpegang pada prinsip-prinsip hormat terhadap martabat
manusia, kebebasan, keadilan, solidaritas, subsidiaritas, demokrasi dan
kesetaraan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika
prinsip-prinsip ini mampu dijalankan, maka bonum
commune akan dialami oleh banyak orang.
Lalu apa yang dimaksud
dengan bonum commune? Kesejahteraan
bersama (common good/bonum commune)
adalah salah satu konsep sosiologis yang memberi metapolitik untuk menerangi
struktur negara demokrasi. Pada dasarnya kesejahteraan bersama adalah tujuan
dari setiap orang yang hidup dalam satu komunitas: tujuan dari kebersamaan
tertentu dan tujuan dari setiap individu bila mau bergabung. Tujuan itu
merupakan tujuan obyektif dan instrisitik dari kehidupan sosial. Seandainya
semua manusia bersatu di dalam suatu masyarakat maka mereka harus sadar akan
kebutuhan-kebutuhan mereka dan bekerja sama serta ada saat yang sama memperoleh
“rahmat” (keuntungan) yang dapat mereka terima dari persatuannya itu.
Kesejahteraan bersama adalah hasil dari aktivitas persatuan itu, yang merupakan
norma tertinggi yang memimpin masyarakat itu untuk tinggal bersama. Konkritnya,
kesejahteraan bersama mengidentifikasi diri dengan kebersamaan yang menjadi
tali pengikat masyarakat itu dan menjadi unsur pembangun yang integral yang sekaligus menyempurnakan setiap anggota
di dalam komunitas itu[19].
Kesejahteraan
bersama mempunyai suatu keadilan yang muncul dari komunitas itu sendiri.
Walaupun dibentuk dan dihidupi dari kesejahteraan partikular namun ia tidak
diidentikkan dengan kesejahteraan dari setiap pribadi, tidak juga dari jumlah
atau kombinasi keinginan dari
kesejahteraan setiap individu, tetapi ia adalah suatu kesulurahn hidup dan
dinamika yang terpancar dari koordinasi yang harmonis dari aktivitas dan fungsi
sosial dari seluruh komponen yang ada di dalam masyarakat itu[20].
Ukuran
dari kesejahteraan bersama adalah penyempurnaan manusia sehingga setiap orang
dapat memperkembangkan seluruh kemampuannya dalam kerjasama dengan
individu-individu lain dalam lingkup masyarakat dan komunitas tersebut.
Penyempurnaan manusia adalah elemen dasariah dari kesejahteraan bersama yang
dipandang sebagai norma konkrit dan obyektif
dari relasi-relasi antar manusia di dalam masyarakat itu sehingga boleh
disebut juga sebagai “keharusan
keberadaannya” yang merupakan ukuran dari kehidupan sosial politik di mana
suatu masyarakat dipanggil untuk mempromosikannya dalam setiap situasi
sosiokultural. Kesejahteraan bersama mengimplikasikan juga seluruh kebersamaan dari inisiatif sosioekonomi yang diambil dari
masyarakat. Penyempurnaan manusia merupakan juga suatu disiplin yang menjamin
aktivitas setiap orang, bukan untuk mematikan melainkan untuk menghidupi dan mengarahkannya pada kerjasama menurut program pembangunan yang menopang,
mengarahkan dan menjamin seluruh kekuatan kreatif dari masyarakat demi
kesejahteraan bersama[21].
6.
Penutup
Agama dan negara adalah
dua realitas yang berbeda namun serentak memilik kesamaan karena berada dalam
kehidupan nyata dalam melibatkan pribadi yang sama pula yakni manusia yang
bergama sekalian bernegaraa atau sebaliknya bernegara sekalian beragama. Dengan
demikian umat atau warga dari agama dan negara adalah sama. Komunitas agama
adalah juga komunitas sosial. Realitas sosial bisa juga ditopang keberadaanya
oleh realitas agama. Dengan kata lain agama tidak bisa lepas dari realitas
sosial dan sebaliknya realitas sosial tidak bisa lepas dari agama karena
amanusia adalah makhluk rohani sekaligus juga makhluk sosial.
Gereja
Katolik memandang poltik sebagai salah satu bidang pelayanan demi perwujudan
Kerajaan Allah. Bentuk pelayanan ini mengmabil wujud paling nyata dalam upaya
setiap umat beriman (awam Katolik) memajukan kesejahteraan umum. Dengan
demikian adalah kewajiban bagi kita umat awam Katolik untuk terlibat secara
aktif dalam kehidupan perpolitikan di negara ini. Selaku umat awam Katolik kita
perlu menyadari dengan sungguh bahwa dasar keterlibatan kita sebagai warga
negara dan apa yang kita lakukan dengan terlibat secara aktif dalam
perpolitikan adalah melanjutkan misi Yesus Kristus demi tercapainya
kesejahteraan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Artikel
Chang, W.,
2011 “Gereja
dan Politik”, dalam A. Eddy Kristiyanto (ed), Semakin Mengindonesia 50 tahun Hierarki, Kanisius, Yogyakarta .
Gitowiratmo,
St.,
2003 Seputar Dewan Paroki, Kanisius,
Yogyakarta
Lalu,
Y.,
2010 Gereja Katolik Memberi Kesaksian tentang
Makna Hidup, Kanisius, Yogyakarta.
Mulyana,
F.,
1997 “Tantangan Kerasulan Awam”, dalam M. Beding
(dkk), Gereja Indonesia Pasca Vatikan II,
Kanisius, Yogyakarta
Mali,
M.,
2014 Etika Berpolitik Orang Krstiani, Kanisius,
Yogyakarta
“Revitalisasi
Etika Sosial-Politik Dalam Hidup Berdemokrasi” dalam Orientasi Baru Jurnal Filsafat dan Teologi, Vol. 20, No. 1, Aprill
2011,
Maryono,
Y.,
“Keterlibatan Gereja Katolik
Indonesia dalam Bidang Politik”, dalam Jurnal
Teologi Vol. 1, No. 02, November 2012.
Sebastian,
R.,
1991
“Sikap Kaum Religius Terhadap Politik”,
dalam Eduard R. Dopo (ed), Keprihatinan
Sosial Gereja, Kanisius, Yogyakarta.
Budi
Kleden, P.,
“Politik sebagai
Panggilan”, Pos Kupang 26 Januari 2013.
Dokumen Gereja
Dokumen
Konsili Vatikan II
[1] Yosef Lalu, Gereja
Katolik Memberi Kesaksian tentang Makna Hidup, Kanisius, Yogyakarta 2010, 138.
[2] Feliks Mulyana, “Tantangan
Kerasulan Awam”, dalam M. Beding (dkk), Gereja Indonesia Pasca Vatikan II,
Kanisius, Yogyakarta 1997, 66.
[3] St.
Gitowiratmo, Seputar Dewan Paroki,
Kanisius, Yogyakarta 2003, 57.
[4] Yohanes
Maryono. “Keterlibatan Gereja Katolik Indonesia dalam Bidang Politik”, dalam Jurnal Teologi Vol. 1, No. 02, November
2012, 111.
[5] Yohanes
Maryono. “Keterlibatan Gereja Katolik Indonesia dalam Bidang Politik”, 111.
[6] Yohanes
Maryono. “Keterlibatan Gereja Katolik Indonesia dalam Bidang Politik”, 111.
[7] William
Chang, “Gereja dan Politik”, dalam A. Eddy Kristiyanto (ed), Semakin Mengindonesia 50 tahun Hierarki, Kanisius,
Yogyakarta 2011, 343.
[9] R.
Sebastian, OCSO, “Sikap Kaum Religius Terhadap Politik”, dalam Eduard R. Dopo
(ed), Keprihatinan Sosial Gereja ,
Kanisius, Yogyakarta 1991, 151.
[12] William
Chang, “Gereja dan Politik”, dalam A. Eddy Kristiyanto (ed), Semakin Mengindonesia 50 tahun Hierarki, Kanisius,
Yogyakarta 2011, 343.
[13] Mateus
Mali, Konsep Berpolitik Orang Kristiani, 152.
[14] Mateus
Mali, Konsep Berpolitik Orang Kristiani, 152-153.
[16] Yohanes
Maryono. “Keterlibatan Gereja Katolik Indonesia dalam Bidang Politik”, 105.
[17] Mateus
Mali, Konsep Berpolitik Orang Kristiani, 156.
[18] P.
Budi Kleden, “Politik sebagai Panggilan”, Pos Kupang 26 Januari 2013.
[19] Mateus
Mali, “Revitalisasi Etika Sosial-Politik Dalam Hidup Berdemokrasi” dalam Orientasi Baru Jurnal Filsafat dan Teologi,
Vol. 20, No. 1, Aprill 2011, 51.
[20] Mateus
Mali, “Revitalisasi Etika Sosial-Politik Dalam Hidup Berdemokrasi” 51-52.
[21] Mateus
Mali, “Revitalisasi Etika Sosial-Politik Dalam Hidup Berdemokrasi” 52.
Komentar
Posting Komentar